IMPLEMENTASI NILAI-NILAI TASAWUF DALAM DUNIA PENDIDIKAN GUNA MEMBENTUK KARAKTER SISWA
LATAR BELAKANG
Dalam konteks pendidikan nasional, nilai-nilai tasawuf memiliki kesinambungan dengan prinsip-prinsip yang tertuang dalam Pancasila dan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional. Pancasila mengamanatkan pembentukan manusia yang berketuhanan, berperikemanusiaan, menjunjung persatuan, mengutamakan musyawarah, dan menjunjung tinggi keadilan sosial. Prinsip-prinsip ini selaras dengan nilai inti tasawuf seperti kesadaran spiritual (muraqabah), kasih sayang (raḥmah), sikap tawadhu’, keadilan, dan tanggung jawab moral. Integrasi tasawuf dalam pendidikan tidak hanya memperkuat fondasi spiritual peserta didik, tetapi juga menjadi sarana internalisasi nilai Pancasila secara lebih mendalam dan personal.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menegaskan bahwa pendidikan harus membentuk manusia yang beriman, bertakwa, berakhlak mulia, berilmu, dan memiliki kepribadian yang kuat. Arah ini sejalan dengan tujuan tasawuf yang menekankan penyucian hati, pengendalian hawa nafsu, dan penanaman akhlak terpuji. Dengan menghadirkan nilai-nilai tasawuf dalam praktik pendidikan, proses pembentukan karakter menjadi lebih komprehensif karena tidak hanya menyentuh aspek kognitif, tetapi juga ranah afektif dan spiritual.
Tujuan utama tasawuf adalah membersihkan hati dari sifat-sifat buruk dan menumbuhkan sifat-sifat terpuji. Dalam tradisi keilmuan Islam, pembentukan karakter tidak mungkin terwujud apabila jiwa masih dipenuhi kualitas negatif seperti kesombongan, iri hati, riya’, tamak, dan hawa nafsu yang tidak terkendali. Tasawuf memandang akhlak sebagai cerminan kondisi batin; apabila batin rusak, perilaku akan ikut rusak. Oleh karena itu, langkah pertama dalam pembentukan karakter adalah pembersihan aspek batiniah melalui introspeksi, pengendalian diri, dan pembiasaan spiritual. Proses ini tidak hanya memusnahkan sifat buruk, tetapi juga membuka ruang bagi tumbuhnya hati yang lembut, lapang, dan siap menerima nilai-nilai kebaikan.
Berdasarkan latar belakang tersebut, muncul pertanyaan yang menjadi fokus penelitian ini. Pertama, bagaimana nilai-nilai tasawuf dapat diintegrasikan dalam dunia pendidikan untuk membentuk karakter siswa secara efektif? Kedua, metode apa yang dapat diterapkan oleh pendidik untuk menanamkan nilai-nilai tasawuf dalam kegiatan belajar mengajar? Dan ketiga, sejauh mana penerapan nilai-nilai tasawuf berdampak pada pembentukan akhlak dan karakter peserta didik? Pertanyaan-pertanyaan ini menjadi dasar penting untuk menelusuri hubungan antara pendidikan karakter dan nilai-nilai tasawuf, sekaligus mengidentifikasi strategi implementasinya agar pembentukan karakter siswa lebih komprehensif, autentik, dan menyentuh dimensi batiniah.
PEMBAHASAN
Konsep dan Peran Nilai-Nilai Tasawuf dalam Pembentukan Karakter Siswa
Tasawuf menegaskan bahwa transformasi karakter tidak dapat dicapai secara instan atau melalui instruksi moral semata. Pembentukan karakter merupakan perjalanan spiritual yang berlangsung secara bertahap dan berkesinambungan, sehingga menuntut proses pembinaan batin yang mendalam. Dalam perspektif tasawuf, pembentukan kepribadian diawali dengan pembersihan diri dari sifat-sifat negatif (takhalli), kemudian dilanjutkan dengan penghiasan diri melalui akhlak mulia (tahalli), seperti kesabaran, tawakal, keikhlasan, dan ketenangan jiwa. Apabila kedua tahap tersebut dijalani secara konsisten, seseorang akan mencapai kondisi kejernihan batin dan stabilitas spiritual (tajalli). Tahapan ini sejalan dengan konsep pendidikan karakter yang menekankan internalisasi nilai melalui pembiasaan, pengulangan, serta pendampingan yang berkelanjutan.
Sejalan dengan kerangka tersebut, pendidikan tasawuf menjadi semakin relevan dalam konteks pendidikan modern yang cenderung menitikberatkan pengembangan kecerdasan intelektual. Pendidikan pada umumnya diarahkan untuk membentuk peserta didik agar unggul secara kognitif, terampil berpikir logis, dan mampu menguasai berbagai disiplin ilmu. Namun demikian, kecerdasan intelektual tidak selalu berbanding lurus dengan kematangan moral dan ketenangan batin. Dalam praktiknya, individu dengan tingkat kecerdasan tinggi tetap berpotensi kehilangan arah apabila tidak dibekali kemampuan pengendalian diri dan kedalaman spiritual.
Pada titik inilah tasawuf hadir untuk mengisi dimensi yang kerap terabaikan dalam sistem pendidikan, yaitu dimensi spiritual manusia. Menurut pandangan kaum sufi, setinggi apa pun tingkat pendidikan seseorang, ilmu pengetahuan akan kehilangan makna apabila tidak dibarengi pembinaan batin. Kecerdasan yang tidak disertai penyucian hati berpotensi melahirkan kegelisahan dan ketidakpuasan batin, sehingga ilmu tidak lagi berfungsi sebagai sarana menuju kebaikan, melainkan dapat berubah menjadi alat pembenaran bagi kepentingan diri sendiri.
Tasawuf memandang bahwa semakin tinggi kecerdasan seseorang, semakin besar pula kebutuhan akan pengendalian batin. Pengendalian ini berfungsi mengarahkan ilmu dan kemampuan intelektual agar tetap berada dalam koridor nilai moral dan ketuhanan. Tanpa pengendalian spiritual, kecerdasan justru berpotensi disalahgunakan untuk tujuan-tujuan yang merusak. Sebagai contoh, penguasaan ilmu ekonomi yang tidak disertai kedalaman spiritual dapat mendorong praktik riba, manipulasi, dan korupsi, karena ilmu tidak dibarengi kesadaran tanggung jawab moral dan ketundukan kepada nilai-nilai ilahiah.
Dalam konteks implementasinya, nilai-nilai tasawuf tidak cukup diajarkan sebagai pengetahuan normatif, tetapi harus ditanamkan melalui pengalaman spiritual, latihan pengendalian emosi, serta refleksi diri yang berkesinambungan. Nilai moral tidak berhenti pada ranah kognitif, melainkan diinternalisasi hingga membentuk kesadaran batin peserta didik. Ketika nilai-nilai tersebut tertanam kuat, integritas moral akan tumbuh secara alami sebagai bagian dari kepribadian, bukan sekadar hasil tekanan eksternal atau kepatuhan formal terhadap aturan.
Lebih jauh, tasawuf mengajarkan bahwa pendidikan harus berlandaskan pengakuan terhadap Tuhan Yang Maha Esa sebagai puncak orientasi nilai. Kesadaran ketuhanan ini mengarahkan pembentukan karakter dan perilaku peserta didik agar memiliki orientasi moral yang jelas. Namun demikian, tasawuf juga menegaskan bahwa seluruh bentuk kepatuhan manusia kepada Tuhan, termasuk ketaatan terhadap aturan, syariat, dan latihan spiritual, pada hakikatnya tidak memberikan manfaat apa pun bagi Tuhan. Seluruh ketundukan tersebut ditetapkan demi kemaslahatan manusia itu sendiri agar kehidupannya tertata dan jiwanya terpelihara dari kerusakan.
Pandangan ini dipertegas dalam hadis qudsi yang menyatakan bahwa seandainya seluruh manusia dan jin, dari generasi pertama hingga terakhir, berada pada tingkat ketakwaan tertinggi, hal tersebut tidak akan menambah sedikit pun kekuasaan Allah. Pesan ini menunjukkan bahwa seluruh ajaran dan praktik tasawuf berorientasi pada pembinaan manusia, bukan pada kepentingan Tuhan. Dalam konteks pendidikan, nilai-nilai tasawuf berfungsi sebagai sarana transformasi batin yang menuntun peserta didik menuju kematangan spiritual, kejernihan moral, dan tanggung jawab etis yang utuh.
«يَا عِبَادِي لَوْ أَنَّ أَوَّلَكُمْ وَآخِرَكُمْ وَإِنْسَكُمْ وَجِنَّكُمْ» يَعْنِي: بِدُونِ اسْتِثْنَاءِ، جَمِيعَ الثَّقَلَيْنِ مِنْ أَوَّلِ مَخْلُوقٍ إِلَى آخِرِ مَخْلُوقٍ، «كَانُوا عَلَى أَتْقَى قَلْبِ رَجُلٍ»؛ أَتْقَى قَلْبِ رَجُلٍ، يَقُولُ بَعْضُ الشُّرَّاحِ: الْمُرَادُ مُحَمَّدٌ ﷺ. لَوْ كَانَ الْخَلْقُ كُلُّهُمْ مِنْ أَوَّلِهِمْ إِلَى آخِرِهِمْ مِنَ الثَّقَلَيْنِ مِنَ الْجِنِّ وَالْإِنْسِ، كَانُوا عَلَى أَتْقَى قَلْبِ رَجُلٍ، وَهُوَ مُحَمَّدٌ ﷺ، «مَا زَادَ ذَلِكَ فِي مُلْكِي شَيْئًا».(شرح الأربعين النواوية, ج: ١٣ ص: ١٦٨ )
“Wahai hamba-hamba-Ku, seandainya orang-orang yang terdahulu dan yang kemudian di antara kalian, manusia dan jin, yakni seluruh makhluk yang dibebani kewajiban dari makhluk pertama hingga makhluk terakhir berada di atas hati seorang laki-laki yang paling bertakwa; hati orang yang paling bertakwa itu, menurut sebagian pensyarah, adalah hati Muhammad Saw. Seandainya seluruh makhluk, dari awal hingga akhir, baik dari golongan jin maupun manusia, berada di atas hati orang yang paling bertakwa, yaitu Muhammad Saw., niscaya hal tersebut tidak akan menambah sedikit pun kekuasaan-Ku.” (Syarah al-Arba‘in al-Nawawiyyah, jilid 13, hal: 168)
Berdasarkan kerangka tersebut, dapat disimpulkan bahwa pendidikan tasawuf bertujuan memperbaiki akhlak peserta didik dengan meningkatkan kualitas spiritualitas sekaligus menyeimbangkan kecerdasan intelektual hingga pada akar pembentukannya. Ilmu pengetahuan tidak hanya diarahkan untuk mencerdaskan akal, tetapi juga untuk membina hati dan mengendalikan perilaku. Seluruh proses ini bermuara pada kemaslahatan peserta didik itu sendiri, sehingga terbentuk pribadi yang berakhlak mulia, tenang secara batin, dan bertanggung jawab dalam menggunakan kecerdasannya.
Oleh karena itu, konsep tasawuf memberikan fondasi epistemologis dan psikologis yang kuat bagi pendidikan karakter dengan menempatkan hati sebagai pusat pengambilan keputusan moral. Pendidikan karakter tidak cukup dilaksanakan melalui aturan dan nasihat moral semata, tetapi harus disertai pembinaan mental dan spiritual secara seimbang. Pendekatan ini menuntut adanya pendampingan yang berkelanjutan, sehingga nilai-nilai tasawuf tidak hanya dipahami, tetapi juga dihayati dalam kehidupan peserta didik sehari-hari.
Dengan demikian, implementasi nilai-nilai tasawuf dalam dunia pendidikan tidak dapat dilepaskan dari peran pendidik sebagai pembimbing dan teladan utama dalam proses pembinaan batin. Keberhasilan pendidikan tasawuf sangat bergantung pada kualitas pribadi guru yang tidak hanya menguasai materi ajar, tetapi juga memiliki kedalaman spiritual dan integritas moral. Oleh sebab itu, pembahasan selanjutnya akan difokuskan pada kualifikasi guru dalam mengimplementasikan nilai-nilai tasawuf di lingkungan pendidikan.
Kualifikasi dan Peran Guru dalam Pendidikan Tasawuf
Guru menempati posisi sentral dalam implementasi nilai-nilai tasawuf di lingkungan pendidikan, karena proses pembinaan batin tidak dapat berjalan efektif tanpa kehadiran pendidik yang berperan sebagai pembimbing dan teladan. Dalam perspektif tasawuf, pendidikan tidak hanya berlangsung melalui transfer pengetahuan, tetapi terutama melalui keteladanan sikap, kedalaman spiritual, dan integritas moral yang tercermin dalam kepribadian guru. Oleh karena itu, kualitas batin pendidik menjadi faktor penentu keberhasilan penanaman nilai-nilai tasawuf kepada peserta didik.
Sebagai penegasan atas pentingnya peran guru dalam pembinaan batin, tradisi tasawuf klasik menempatkan pendidik bukan sekadar sebagai pengajar, melainkan sebagai pembimbing spiritual yang memiliki otoritas moral dan keteladanan hidup. Dalam perspektif ini, keberhasilan penanaman nilai-nilai tasawuf sangat ditentukan oleh kualitas pribadi pendidik yang mampu menuntun peserta didik secara lahir dan batin menuju jalan kebenaran. Pandangan tersebut secara tegas tercermin dalam wasiat Syekh as-Suhrawardī, yang menguraikan keharusan adanya seorang pembimbing spiritual beserta kriteria-kriteria yang harus dipenuhi agar layak menjalankan fungsi pembinaan akhlak dan bimbingan ruhani.
قَالَ الشَّيْخُ السَّهْرَوَرْدِيُّ قُدِّسَ سِرُّهُ فِي وَصَايَاهُ: لَا بُدَّ لَكَ مِنْ شَيْخٍ مُرْشِدٍ إِلَى طَرِيقِ الحَقِّ، مُرَبٍّ عَنِ الأَخْلَاقِ السَّيِّئَةِ. وَشُرُوطُ الشَّيْخِ الَّذِي يَصْلُحُ أَنْ يَكُونَ نَائِبًا لِرَسُولِ اللهِ ﷺ: أَنْ يَكُونَ تَابِعًا لِشَيْخٍ بَصِيرٍ يَتَسَلْسَلُ إِلَى سَيِّدِ الْكَوْنَيْنِ، وَأَنْ يَكُونَ عَالِمًا، لِأَنَّ الْجَاهِلَ لَا يَصْلُحُ لِلإِرْشَادِ، وَأَنْ يَكُونَ مُعْرِضًا عَنْ حُبِّ الدُّنْيَا وَحُبِّ الْجَاهِ، وَيَكُونَ مُحْسِنًا رِيَاضَةَ نَفْسِهِ بِقِلَّةِ الأَكْلِ وَالنَّوْمِ وَالْقَوْلِ، وَكَثْرَةِ الصَّلَاةِ وَالصَّدَقَةِ وَالصَّوْمِ، وَمُتَّصِفًا بِمَحَاسِنِ الأَخْلَاقِ كَالصَّبْرِ وَالشُّكْرِ وَالتَّوَكُّلِ وَالْيَقِينِ وَالسَّخَاوَةِ وَالْقَنَاعَةِ وَالْحِلْمِ وَالتَّوَاضُعِ وَالصِّدْقِ وَالْحَيَاءِ وَالْوَفَاءِ وَالْوَقَارِ وَالسُّكُونِ وَأَمْثَالِهَا.(خزينة الأسرار, ص: ٢١٩)
“Syekh as-Suhrawardi, semoga Allah menyucikan rahasianya. berkata dalam wasiat-wasiatnya: ‘Engkau harus memiliki seorang syekh pembimbing yang menunjukkan jalan kebenaran dan mendidikmu agar terbebas dari akhlak yang buruk. Adapun syarat-syarat syekh yang layak menjadi wakil Rasulullah Saw. ialah: ia mengikuti seorang syekh yang memiliki pandangan batin yang tajam dengan sanad yang bersambung hingga Penguasa dua alam; ia harus berilmu, karena orang yang bodoh tidak layak memberi bimbingan; ia berpaling dari kecintaan kepada dunia dan kedudukan; ia membina jiwanya dengan mengurangi makan, tidur, dan berbicara, serta memperbanyak salat, sedekah, dan puasa; dan ia menghiasi dirinya dengan akhlak-akhlak mulia seperti sabar, syukur, tawakal, keyakinan, kedermawanan, qanaah, santun, rendah hati, jujur, rasa malu, menepati janji, kewibawaan, ketenangan, dan sifat-sifat mulia lainnya.’” (Khazinat al-Asrar, hal: 219)
Dalam wasiatnya, Syekh as-Suhrawardi qaddasa sirrah menekankan pentingnya keberadaan seorang pembimbing spiritual (syekh mursyid) dalam perjalanan menuju kebenaran. Pembimbing tersebut berfungsi menunjukkan jalan yang benar sekaligus mendidik murid untuk terbebas dari akhlak tercela. Karena itu, menurut as-Suhrawardi, seorang syekh harus memenuhi sejumlah kriteria agar layak dianggap sebagai penerus fungsi Rasulullah SAW dalam bimbingan spiritual.
Kriteria tersebut meliputi: memiliki sanad bimbingan yang bersambung kepada Nabi Muhammad SAW berilmu, bersikap zuhud, serta memiliki kedisiplinan spiritual seperti sedikit makan, sedikit tidur, sedikit berbicara, dan memperbanyak ibadah. Selain itu, ia harus berhias dengan akhlak mulia seperti sabar, syukur, tawakal, dermawan, qana‘ah, tawaduk, serta sifat-sifat terpuji lainnya. Figur seperti ini dipandang sebagai “cahaya dari cahaya Nabi SAW”, namun keberadaannya sangat langka. Karena itu, jika seseorang menemukan syekh dengan kualitas demikian, ia dianjurkan untuk senantiasa menemaninya, menghormatinya, dan menjaga adab terhadapnya.
Menurut Tanwir al-Qulub, seorang mursyid atau guru pembimbing spiritual harus memenuhi kualifikasi yang menunjukkan kematangan ilmiah, moral, dan ruhani. Ia dituntut memiliki pengetahuan agama yang cukup, terutama dalam akidah, fikih, dan penjelasan syubhat, serta memiliki pemahaman mendalam tentang dinamika hati, penyakit-penyakitnya, dan cara penyuciannya. Seorang mursyid juga harus berwatak lembut dan penuh kasih, menjaga kerahasiaan aib murid, serta membersihkan dirinya dari ambisi duniawi. Keteladanan menjadi syarat utama: ia mengamalkan apa yang diajarkan, menjaga kesantunan lisan, dan tidak menuntut penghormatan berlebihan.
Meskipun peran mursyid dalam tasawuf memiliki kedalaman spiritual yang jauh melampaui fungsi guru dalam pendidikan formal, keduanya tetap memiliki titik temu dalam aspek pembimbingan dan keteladanan. Guru tidak dituntut mencapai maqam ruhani seperti seorang mursyid, namun nilai-nilai dasar yang melekat pada mursyid seperti kebijaksanaan, integritas moral, dan perhatian terhadap perkembangan batin dapat diadaptasi dalam konteks pendidikan modern. Dengan menerapkan prinsip-prinsip tersebut, guru tidak hanya berfungsi sebagai penyampai pengetahuan, tetapi juga sebagai figur yang menuntun peserta didik menuju pembentukan karakter yang matang. Dengan demikian, konsep mursyid dapat memberikan inspirasi bagi penguatan peran guru sebagai pembimbing moral dan kepribadian dalam dunia pendidikan.
Dalam kerangka tersebut, tasawuf menegaskan bahwa guru ideal adalah mereka yang telah membersihkan diri dari sifat-sifat tercela dan menghiasi dirinya dengan akhlak mulia. Guru tidak sekadar menguasai teori, tetapi telah mengalami perjalanan spiritual sehingga mampu membimbing dengan kebijaksanaan dan keteladanan. Ketika guru memiliki hati yang jernih, ia mampu menyampaikan ilmu dengan kelembutan, membangkitkan semangat kebaikan dalam diri peserta didik, dan menuntun mereka menuju kesadaran moral yang mendalam.
Selain itu, guru dalam perspektif tasawuf dituntut memiliki kecerdasan emosional yang tinggi. Ia harus mampu membaca kondisi batin peserta didik, menuntun mereka mengelola emosi, dan membimbing mereka keluar dari dorongan-dorongan negatif. Dengan demikian, guru tidak hanya berperan sebagai pengajar, tetapi juga sebagai pendamping spiritual yang memahami bagaimana nilai-nilai ditanamkan melalui keteladanan, pengalaman, dan suasana hati yang penuh ketenteraman.
Seiring dengan pentingnya kualifikasi guru dalam membentuk karakter berbasis nilai tasawuf, langkah berikutnya adalah meninjau bagaimana nilai-nilai tersebut dapat diterapkan secara nyata dalam proses pendidikan. Penerapan ini mencakup integrasi nilai tasawuf ke dalam kurikulum dan metode pembelajaran, seperti pembiasaan, latihan refleksi, dan strategi pengendalian diri, serta dampak yang timbul pada sikap, akhlak, dan perkembangan kepribadian siswa secara menyeluruh. Dengan integrasi yang konsisten dan pendekatan yang tepat, nilai-nilai tasawuf tidak hanya dipahami secara teoritis, tetapi juga terinternalisasi dalam kehidupan sehari-hari, sehingga membentuk peserta didik yang matang secara moral dan stabil secara spiritual.
Integrasi dan metode Penerapan Nilai Tasawuf di Dunia Pendidikan
Penerapan nilai-nilai tasawuf di lingkungan pendidikan menuntut metode dan strategi pembelajaran yang mampu menyentuh dimensi batin peserta didik secara berkelanjutan. Karena nilai tasawuf tidak hanya bersifat kognitif, tetapi juga afektif dan spiritual, proses implementasinya harus melampaui penyampaian materi semata menuju pembiasaan, keteladanan, serta latihan pengendalian diri. Melalui metode yang tepat, nilai-nilai tasawuf dapat diinternalisasi secara efektif sehingga berdampak nyata terhadap perubahan sikap, pembentukan akhlak, dan perkembangan kepribadian siswa secara utuh, termasuk melalui integrasi nilai-nilai tersebut dalam kurikulum dan praktik pembelajaran sehari-hari.
Dalam tradisi tasawuf, pembentukan karakter dipandang sebagai proses panjang yang memerlukan latihan, kesungguhan, dan pembiasaan berkesinambungan. Karakter tidak hanya terbentuk dari pemahaman kognitif, tetapi melalui riyaḍah al-nafs (latihan spiritual), disiplin diri, dan penginternalan nilai moral secara konsisten. Melalui latihan ini, peserta didik mengembangkan kepribadian yang matang secara emosional, stabil secara spiritual, dan beradab dalam interaksi sosial.
Pada tingkat personal, tasawuf menanamkan kesadaran diri melalui introspeksi (muhasabah) untuk menilai niat, ucapan, dan tindakan. Kesadaran ini membantu siswa menahan diri dari perilaku negatif dan menumbuhkan sifat sabar, rendah hati, dan jujur. Di tingkat sosial, nilai sufistik membimbing siswa membangun hubungan harmonis, saling menghormati, serta peduli terhadap sesama, sehingga tercipta budaya sekolah yang tenang, harmonis, dan produktif. Sementara pada tingkat kelembagaan, sekolah dapat menghadirkan lingkungan kondusif bagi pembinaan spiritual, melalui kegiatan dzikir, doa, retret rohani, dan praktik sosial yang menanamkan nilai sufistik secara nyata.
Selain membentuk karakter, tasawuf juga berperan penting dalam kesehatan mental siswa. Dalam kehidupan modern yang serba cepat dan penuh tekanan, prinsip ketulusan (ikhlaṣ), penerimaan (riḍa), kesabaran (ṣabr), dan kebergantungan total kepada Allah (tawakkul) membantu siswa menghadapi masalah dengan hati tenang, mengendalikan emosi, dan tidak mudah terbawa dinamika sosial negatif. Dengan demikian, tasawuf tidak hanya membentuk akhlak, tetapi juga menjadi fondasi stabilitas mental dan spiritual yang sangat relevan bagi peserta didik masa kini.
Menurut Al-Ghazali pendidikan akhlak dilakukan melalui pembiasaan dan bukan dengan pembelajaran. Kalau kita ingin menjadikan orang melakukan suatu hal, maka Imam al-Ghazali mengharuskan ia melakukan perbuatan orang seperti yang ia inginkan. Jadi kalau dia ingin menjadi faqih, maka dia harus melakukan apa yang dilakukan faqih, sampai dia menjadi faqih. Kalau ingin menjadi orang sabar, dia harus berbuat seperti orang sabar, meskipun dia susah melakukan itu.
Al-Risalah al-Qusyairiyyah menukil pernyataan Imam al-Junaid al-Baghdadi bahwa tasawuf pada hakikatnya adalah akhlak, sehingga kualitas tasawuf seseorang sejalan dengan kualitas akhlaknya.
وَقَالَ الْكِتَّانِيُّ: التَّصَوُّفُ خُلُقٌ، فَمَنْ زَادَ عَلَيْكَ فِي الْخُلُقِ فَقَدْ زَادَ عَلَيْكَ فِي الصَّفَاءِ (الرسالة القشيرية, ج:٢، ص:٤٤٢)
““Dan al-Kittani berkata: Tasawuf itu adalah akhlak; maka siapa yang melebihimu dalam akhlak, sungguh ia telah melebihimu dalam kejernihan (kesucian).” (Al-Risalah al-Qusyairiyyah, jilid 2, hal: 442)
Semakin akhlaknya bagus, pasti ruhaninya tambah bersih. tasawuf itu bukan keterampilan, bukan juga ilmu. Kalau tasawuf itu keterampilan, maka pasti bisa dicapai dengan mujahadah (training). Seandainya tasawuf adalah ilmu, pasti dia bisa diperoleh melalui belajar (ta'lum). Tapi tasawuf itu sesungguhnya adalah takhalluq bi akhlaqillah, bagaimana mengakhlakkan batin ruhani ini menjadi baik, sehingga tampil diluar menjadi baik, sebagai refleksi batin. Itu sebabnya menurut pandangan ini, sumber karakter (akhlaq) adalah al-qalb, al-ruh, al-nafs.
وَإِنَّمَا افْتَقَرَ الْقَلْبُ إِلَى هَذِهِ الْجُنُودِ مِنْ حَيْثُ افْتِقَارُهُ إِلَى الْمَرْكَبِ وَالزَّادِ لِسَفَرِهِ الَّذِي لِأَجْلِهِ خُلِقَ، وَهُوَ السَّفَرُ إِلَى اللَّهِ سُبْحَانَهُ وَقَطْعُ الْمَنَازِلِ إِلَى لِقَائِهِ، فَلِأَجْلِهِ خُلِقَتِ الْقُلُوبُ. قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: ﴿وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ﴾. وَإِنَّمَا مَرْكَبُهُ الْبَدَنُ، وَزَادُهُ الْعِلْمُ. (إحياء علوم الدين, ج :٣, ص: ٦)
“Hati membutuhkan pasukan-pasukan berupa anggota tubuh karena memerlukannya sebagai kendaraan dan bekal untuk perjalanan yang menjadi tujuan penciptaannya, yakni perjalanan menuju Allah Subhanahu wa Ta‘ala serta menempuh berbagai tahapan untuk mencapai perjumpaan dengan-Nya. Oleh karena itulah hati diciptakan. Allah Ta‘ala berfirman: “Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku.” Kendaraan hati adalah tubuh, sedangkan bekalnya adalah ilmu.” (Ihya’ ‘Ulum al-Din, Jilid 3, hal: 6)
Berdasarkan pemahaman ini, pentingnya pengintegrasian nilai-nilai sufistik dalam dunia pendidikan menjadi semakin jelas. Ilmu tidak hanya berfungsi sebagai bekal intelektual, tetapi juga sebagai sarana bagi hati untuk menempuh perjalanan spiritual menuju Allah. Dalam perspektif tasawuf, hati merupakan pusat pengenalan Ilahi, tubuh berperan sebagai kendaraan, dan ilmu sebagai bekal yang membimbing perjalanan itu. Dengan bekal ilmu yang tepat, peserta didik dapat menyeimbangkan kecerdasan intelektual dengan pertumbuhan batin, sehingga setiap langkah dalam proses pembelajaran tidak hanya meningkatkan kemampuan kognitif, tetapi juga memperkuat kualitas moral dan spiritual.
Agar perjalanan spiritual dan pendidikan karakter dapat ditempuh dengan baik, manusia memerlukan amal saleh sebagai sarana penyucian diri, serta pengendalian terhadap dorongan syahwat dan kecenderungan duniawi. Dunia dipahami sebagai tahap awal yang harus dilalui sebelum mencapai tujuan akhir, sehingga peserta didik perlu menjaga tubuhnya, memenuhi kebutuhannya secara seimbang, dan melindungi diri dari hal-hal yang merusak. Dengan demikian, pendidikan yang mengintegrasikan nilai-nilai tasawuf tidak hanya membentuk individu cerdas, tetapi juga manusia yang matang secara moral dan stabil secara spiritual.
Sejalan dengan hal tersebut, implementasi nilai-nilai tasawuf dalam pendidikan tidak berhenti pada pemahaman teoritis, melainkan memerlukan pengintegrasian yang sistematis dalam kurikulum, metode pembelajaran, dan teladan guru, sehingga pembentukan karakter spiritual dapat berjalan secara menyeluruh dan efektif.
Integrasi nilai tasawuf ke dalam kurikulum menjadi langkah strategis untuk memastikan pendidikan tidak hanya menekankan kecerdasan akademik, tetapi juga membentuk karakter mulia. Dengan orientasi sufistik, aspek batin ditempatkan sebagai pusat pembelajaran, sehingga materi pelajaran tidak sekadar dipahami secara kognitif, melainkan juga berfungsi sebagai sarana pembinaan diri. Kurikulum semacam ini bukan hanya menyajikan daftar materi ajar, tetapi juga menjadi media untuk menanamkan nilai moral, spiritual, dan etika yang selaras dengan prinsip-prinsip tasawuf.
Berdasarkan kerangka ini, pengintegrasian nilai-nilai sufistik dalam kurikulum dapat dilakukan melalui pendekatan yang saling melengkapi. Pendekatan substansial menekankan penyisipan nilai tasawuf ke dalam isi pelajaran, sehingga siswa memahami bahwa belajar tidak sekadar penguasaan materi, tetapi juga sarana penyucian akhlak dan pengembangan spiritual. Pendekatan metodologis menitikberatkan pada cara pembelajaran dilaksanakan, misalnya dengan mendorong refleksi batin, kesadaran diri, pengendalian jiwa, dan pemahaman tujuan hidup yang lebih tinggi, sehingga proses belajar tidak hanya menyentuh aspek kognitif, tetapi juga aspek emosional dan spiritual.
Sedangkan pendekatan keteladanan menempatkan guru sebagai figur moral yang menunjukkan akhlak sufistik melalui tindakan, tutur kata, dan perilaku sehari-hari, sehingga siswa meniru sikap dan nilai-nilai baik secara alami. Jika ketiga pendekatan ini diterapkan secara konsisten, lingkungan belajar yang tercipta tidak hanya berfokus pada peningkatan pengetahuan, tetapi juga membentuk karakter spiritual yang kuat dan kepribadian peserta didik yang utuh.
Dalam kerangka pendidikan yang mengintegrasikan nilai-nilai tasawuf, menuntut ilmu tidak hanya sekadar memperoleh pengetahuan, tetapi juga menjaga dan membina kedudukan spiritual di hadapan Allah. Hal ini ditegaskan oleh Umar radhiyallahu ‘anhu yang menyatakan:
قَالَ عُمَرُ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ: يَا أَيُّهَا النَّاسُ، عَلَيْكُمْ بِالْعِلْمِ، فَإِنَّ لِلَّهِ سُبْحَانَهُ رِدَاءً يُحِبُّهُ، فَمَنْ طَلَبَ بَابًا مِنَ الْعِلْمِ رَدَاهُ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ بِرِدَائِهِ، فَإِنْ أَذْنَبَ ذَنْبًا اسْتَعْتَبَهُ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ لِئَلَّا يَسْلُبَهُ رِدَاءَهُ ذَلِكَ، وَإِنْ تَطَاوَلَ بِهِ ذٰلِكَ الذَّنْبُ حَتَّى يَمُوتَ. (إحياء علوم الدين, ج: ١, ص: ١٦)
“Umar radhiyallahu ‘anhu menekankan bahwa Allah Subhanahu wa Ta‘ala memiliki jubah kemuliaan yang dicintai-Nya. Barangsiapa menempuh satu pintu ilmu, Allah akan menutupi dan memeliharanya dengan jubah tersebut. Jika orang itu berbuat dosa, dosa itu akan diampuni sebanyak tiga kali agar kemuliaan yang diberikan Allah melalui jubah-Nya tidak dicabut darinya. Namun, jika dosa terus menumpuk hingga ajal menjemput, kemuliaan jubah itu dapat hilang. (Ihya’ ‘Ulum ad-Din juz 1, hal:16)
Ibaroh tersebut menjadi pengingat bahwa menuntut ilmu bukan hanya untuk menguasai pengetahuan, tetapi juga untuk membimbing hati, menyucikan akhlak, dan memelihara posisi spiritual seseorang di hadapan Allah.
Dalam tradisi tasawuf, pembentukan karakter dipandang sebagai proses panjang yang memerlukan latihan, kesungguhan, dan pembiasaan berkesinambungan. Karakter tidak hanya terbentuk dari pemahaman kognitif, tetapi melalui riyaḍah al-nafs (latihan spiritual), disiplin diri, dan penginternalan nilai moral secara konsisten. Melalui latihan ini, peserta didik mengembangkan kepribadian yang matang secara emosional, stabil secara spiritual, dan beradab dalam interaksi sosial.
Setelah memahami pentingnya integrasi nilai-nilai tasawuf dalam pembentukan karakter, pembahasan selanjutnya akan menyoroti dampak konkret dari penerapan nilai sufistik di sekolah. Selain itu, akan dibahas pula solusi praktis untuk mengatasi berbagai tantangan yang muncul dalam implementasi pendidikan tasawuf, sehingga proses pembelajaran tidak hanya mencerdaskan akal, tetapi juga menyeimbangkan spiritualitas, moral, dan kesejahteraan emosional peserta didik secara menyeluruh.
Dampak dan Solusi Pendidikan Tasawuf
Meskipun nilai-nilai tasawuf memiliki relevansi yang sangat penting bagi pembentukan karakter dan pengembangan spiritualitas siswa, penerapannya dalam dunia pendidikan modern tidak selalu berjalan mulus. Tasawuf bukan sekadar ajaran moral, melainkan disiplin yang menuntut transformasi diri secara mendalam. Oleh karena itu, integrasi nilai-nilai sufistik dalam pendidikan harus mempertimbangkan kesiapan sistem pendidikan, kualitas lingkungan belajar, dan kompetensi para pendidik agar proses pembinaan batin dapat berjalan efektif.
Pemikiran Ibn ‘Abd al-Barr menekankan perbedaan antara ilmu yang diperoleh melalui penalaran (istidlal) dan analisis (nazhar) dengan ilmu yang bersifat daruri. Ilmu yang dekat dengan hal-hal daruri biasanya lebih mudah dipahami, sedangkan ilmu yang jauh darinya menuntut usaha intelektual dan kejernihan batin agar maknanya dapat ditangkap dengan baik. Hal ini menunjukkan bahwa kedalaman pemahaman tidak hanya ditentukan oleh kecerdasan kognitif, tetapi juga oleh kesiapan batin untuk menerima dan menghayati ilmu.
وَأَمَّا العِلْمُ المُكْتَسَبُ فَهُوَ مَا كَانَ طَرِيقُهُ الِاسْتِدْلَالَ وَالنَّظَرَ، وَمِنْهُ الخَفِيُّ وَالجَلِيُّ؛ فَمَا قَرُبَ مِنَ العُلُومِ الضَّرُورِيَّةِ كَانَ أَجْلَى، وَمَا بَعُدَ مِنْهَا كَانَ أَخْفَى. اهـ كلامُ ابنِ عبدِ البَرِّ.( جامع بيان العلم وفضله, ص: ٣٢)
“Adapun ilmu yang diperoleh (al-‘ilm al-muktasab) adalah ilmu yang jalannya melalui penalaran (istidlal) dan analisis (nazhar), baik yang tersembunyi maupun yang jelas; ilmu yang dekat dengan ilmu-ilmu daruri (penting/utama) biasanya lebih mudah dipahami, sedangkan ilmu yang jauh darinya cenderung lebih sulit ditangkap.” (Jami‘ Bayan al-‘Ilm wa Fadlih, hlm: 32)
Berdasarkan prinsip tersebut, penerapan nilai tasawuf dalam pendidikan harus menekankan pengalaman praktis, seperti latihan spiritual, refleksi diri, dan pembiasaan akhlak mulia. Dengan dukungan guru yang kompeten dan lingkungan belajar yang kondusif, nilai-nilai tasawuf tidak hanya dipahami secara teoritis, tetapi juga terinternalisasi dalam perilaku sehari-hari, sehingga memberikan dampak nyata pada pembentukan karakter, etika, dan keseimbangan spiritual peserta didik.
Oleh karena itu, penting untuk menganalisis lebih lanjut dampak penerapan nilai tasawuf serta strategi-solusi yang dapat mengoptimalkan implementasinya dalam pendidikan modern. Meskipun nilai-nilai tasawuf sangat relevan dalam membentuk karakter dan spiritualitas siswa, penerapannya dalam pendidikan modern menghadapi berbagai tantangan. Tasawuf menuntut transformasi batin yang mendalam, sehingga integrasinya harus memperhatikan kesiapan sistem pendidikan, lingkungan belajar, serta kompetensi pendidik. Tanpa hal ini, implementasi tasawuf hanya akan berhenti pada wacana normatif tanpa berdampak nyata pada pembentukan karakter peserta didik.
Salah satu tantangan utama adalah orientasi pendidikan yang terlalu akademis, di mana fokus pada nilai ujian dan capaian kognitif sering mengabaikan dimensi batin dan spiritual. Selanjutnya, pemahaman yang sempit tentang tasawuf membuat sebagian pendidik menafsirkannya sebagai ritual atau praktik mistik semata, sehingga nilai-nilai sufistik sulit diterapkan secara universal di sekolah. Selain itu, lingkungan sosial modern yang dipengaruhi budaya digital mendorong gaya hidup instan dan kompetitif, yang bertentangan dengan prinsip-prinsip kesabaran, qana‘ah, dan refleksi diri.
Keterbatasan kompetensi spiritual guru juga menjadi penghambat penting. Guru yang belum meneladani nilai sufistik dalam kehidupan sehari-hari hanya akan menyampaikan tasawuf secara teoritis, sehingga peserta didik sulit menginternalisasi nilai-nilai tersebut. Selain itu, dukungan kelembagaan dan kebijakan sekolah yang masih minim serta sistem evaluasi yang lebih menekankan aspek kuantitatif membuat pembinaan batin kurang terpantau dan terdokumentasi. Akibatnya, meskipun kemampuan akademik dapat dicapai, pembentukan karakter spiritual siswa tetap belum optimal.
Untuk mengatasi tantangan ini, diperlukan langkah strategis yang komprehensif. Guru harus dibekali pelatihan berkala tidak hanya tentang metode pengajaran, tetapi juga pembinaan spiritual agar mampu berperan sebagai pembimbing jiwa. Kurikulum perlu menekankan pembiasaan nilai dan pengalaman batin, bukan sekadar teori. Sekolah harus menciptakan budaya yang mendukung pengembangan spiritual melalui kegiatan rutin seperti refleksi, tadarus, kegiatan sosial, dan pembelajaran berbasis pengalaman.
Integrasi nilai tasawuf dengan pendekatan modern, seperti psikologi positif dan pembelajaran reflektif, penting untuk membuatnya relevan dengan konteks peserta didik. Partisipasi orang tua dan masyarakat juga menjadi faktor kunci agar nilai sufistik dapat diterapkan secara menyeluruh dalam kehidupan sehari-hari.
Dengan pendekatan yang menyeluruh dan konsisten ini, pendidikan berbasis tasawuf tidak hanya mengisi intelektual peserta didik, tetapi juga membentuk hati, moral, dan karakter spiritual secara nyata, sehingga tujuan pembinaan manusia seutuhnya dapat tercapai.
KESIMPULAN
Pendidikan berbasis tasawuf memiliki peran strategis dalam membentuk karakter peserta didik secara komprehensif, karena mengintegrasikan dimensi spiritual, moral, dan intelektual. Nilai-nilai tasawuf, seperti kesadaran spiritual (muraqabah), kasih sayang (raḥmah), tawadhu’, keadilan, dan tanggung jawab moral, selaras dengan prinsip-prinsip Pancasila dan tujuan pendidikan nasional yang menekankan pembentukan manusia yang beriman, bertakwa, berakhlak mulia, berilmu, dan berkepribadian kuat.
Dalam perspektif tasawuf, pembentukan karakter merupakan proses bertahap yang dimulai dari pembersihan diri dari sifat negatif (takhalli), penghiasan diri dengan akhlak mulia (tahalli), hingga mencapai kejernihan batin dan stabilitas spiritual (tajalli). Integrasi nilai sufistik dalam pendidikan modern menjadi relevan untuk menyeimbangkan kecerdasan intelektual dengan kedalaman spiritual, sehingga ilmu yang diperoleh bukan hanya bekal intelektual, tetapi juga sarana penyucian hati dan pengembangan moral.
Guru menempati posisi sentral sebagai pembimbing dan teladan spiritual, yang kualitas ilmunya, integritas moral, dan kedalaman spiritualnya menentukan efektivitas penanaman nilai tasawuf. Konsep mursyid dalam tasawuf klasik menjadi inspirasi bagi guru modern untuk menanamkan nilai moral, kebijaksanaan, dan keteladanan melalui interaksi sehari-hari.
Implementasi nilai-nilai tasawuf menuntut pendekatan substansial, metodologis, dan keteladanan, yang mencakup integrasi ke dalam kurikulum, latihan pengendalian diri, refleksi, serta pengalaman spiritual yang konsisten. Proses ini tidak hanya membentuk perilaku lahiriah, tetapi menumbuhkan kesadaran batin peserta didik sehingga karakter, moral, dan spiritual mereka berkembang secara utuh.
Meskipun terdapat tantangan, seperti orientasi pendidikan yang terlalu akademis, pemahaman tasawuf yang sempit, dan keterbatasan kompetensi guru, strategi yang komprehensif meliputi pembinaan guru, kurikulum berbasis pengalaman batin, budaya sekolah yang mendukung, integrasi dengan pendekatan modern, dan partisipasi masyarakat dapat mengoptimalkan pendidikan tasawuf.
Secara keseluruhan, pendidikan berbasis tasawuf membentuk peserta didik yang berakhlak mulia, stabil secara spiritual, dan matang secara emosional, serta menyiapkan individu yang mampu menghadapi tantangan kehidupan modern dengan hati yang tenang, pikiran yang jernih, dan perilaku yang bertanggung jawab. Dengan demikian, tasawuf tidak hanya menjadi pedoman spiritual, tetapi juga fondasi epistemologis, psikologis, dan praktis bagi pendidikan karakter yang holistik dan autentik.
Penulis : Siti Mukarromatussa’diyyah
Contact Person : 085807111081
e-Mail : karomah2021@gmail.com
Perumus : M. Abidul Masykur, S.Pd
Mushohih : M. Faidlus Syukri, S.Pd
Daftar Pustaka
Abd al‑Karim ibn Hawazin al‑Khudayr (l. 1374 H), Syarḥ al-Arbaʿin al‑Nawawiyyah (al-Riyaḍ al-Zakiyyah Sharḥ al-Arbaʿin al‑Nawawiyyah), cetakan daring, tersedia https://shamela.org/pdf/c2b2f36e44dfc8c823a859b8cc354fe5, sebanyak 198 halaman.
Muhammad Haqqi an-Nazili (w. 1884 M), Khazinat al-Asrar Jalilat al-Azhkar, al-Matbaʿah al-Khairiyyah, Mesir, 1310 H (1892 M), sebanyak 1 juz dalam 1 jilid.
Muhammad Amin al‑Kurdi al‑Irbili (w. 1332 H), Tanwir al‑Qulub fi Mu’amalati ‘Allam al‑Ghuyub, Dar al‑Qalam al-‘Arabi, cetakan ke‑1, 1411 H / 1991 M, sebanyak 1 jilid.
Abu al-Qasim ‘Abd al-Karīm ibn Hawazin al-Qushayrī (w. 465 H), al-Risālah al-Qushayrīyah fī ‘Ilm al-Taṣawwuf, Dār al-Kutub al-‘Ilmiyah (edisi Shamela), Juz 2, hal. 442.
Imam al-Qusyairi (w. 465 H), al-Risalah al-Qusyairiyyah, juz 1, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut, Lebanon, cetakan ke-2, 1990, sebanyak 1 juz dalam 1 jilid.
Husen, A., Hadiyanto, A., Rivelino, A., & Arifin, S. (2017). Pendidikan karakter berbasis spiritualisme Islam (tasawuf). Jurnal Studi Al-Qur’an, 10 (1), 1–19. https://journal.unj.ac.id/unj/index.php/jsq/article/view/4414
Abu Hamid al-Ghazali (w. 505 H), Iḥyaʾ ʿUlum al-Dīn, juz 1 & 3, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut, Lebanon, cetakan pertama, 1990, sebanyak 1 juz dalam 4 jilid.
Ibn ‘Abd al‑Barr, Yusuf bin ‘Abd Allah (w. 463 H), Jamiʿ Bayan al-ʿIlm wa Faḍlih, ed. Abu al-Ashbal al-Zuhairi, digital edition, Internet Archive, added 11 January 2020.
=============================================

.png)
%20Siti%20Mukarromatussa'diyyah%20(40).png)
%20Siti%20Mukarromatussa'diyyah%20(41).png)
%20Siti%20Mukarromatussa'diyyah%20(46).png)
%20Siti%20Mukarromatussa'diyyah%20(43).png)
%20Siti%20Mukarromatussa'diyyah%20(44).png)
%20Siti%20Mukarromatussa'diyyah%20(45).png)
Posting Komentar untuk "Implementasi Nilai-Nilai Tasawuf dalam Dunia Pendidikan guna membentuk karakter siswa"