PERILAKU ISRAF DAN KEMUNGKINAN BERBUAT WARA'
LATAR BELAKANG
Di masa kini, kecenderungan untuk bersikap israf (berlebihan) kian marak menjadi tren, sikap ini seringkali dipicu oleh gaya hidup mewah dengan keinginan untuk pamer, takalluf (memaksakan diri), serta pencitraan diri guna mengikuti tren yang berkembang. Hal ini memunculkan pertanyaan penting dalam tasawuf: apakah seseorang yang terbiasa hidup israf masih bisa mencapai wara', yaitu kehati-hatian dalam menjauhi perkara syubhat, mubah, hingga haram?. Fenomena ini menunjukkan adanya kesenjangan antara perilaku konsumtif manusia saat ini dengan ajaran tasawuf klasik yang menekankan kesederhanaan dan pengendalian diri. Dengan wara', yaitu meninggalkan perkara syubhat, mubah, dan haram. Imam Ghazali juga menekankan bahwa wara' mencakup kemampuan menahan diri dari hal mubah yang berlebihan demi menjaga kejernihan hati. Maka, meskipun seseorang pernah terjebak dalam arus israf yang diakibatkan tekanan tren masa kini, ia tetap berpeluang meraih wara' selama ia serius dalam proses penyucian jiwa. Tasawuf membuktikan bahwa perubahan spiritual tetap terbuka bagi siapa pun yang bertekad kembali kepada Allah dengan kesungguhan (al-shiddiq) dan latihan rohani (riyadhoh).
PEMBAHASAN
Israf
Dalam kitab Ihya' ‘Ulum al-Din karya Imam Ghazali, konsep israf (berlebihan dalam pengeluaran dan kemewahan) dijelaskan sebagai penyimpangan dari sikap moderat. Imam Ghazali menjelaskan bahwa sikap ideal dalam perbekalan adalah pertengahan (iqtiṣhad), bukan kikir (taqtir) dan bukan pula berlebihan (israf).
Beliau menyatakannya pada kitab Ihya' ‘Ulum al-Din juz 1, hal 247 sebagai berikut:
اَلثَّالِثُ التَّوَسُّعُ فِي الزَّادِ وَطِيبِ النَّفْسِ بِالْبَذْلِ وَالْإِنْفَاقِ مِنْ غَيْرِ تَقْتِيرٍ وَلَا إِسْرَافٍ بَلْ عَلَى اقْتِصَادٍ وَأَعْنِي بِالْإِسْرَافِ التَّنَعُّمَ بِأَطْيَبِ الْأَطْعِمَةِ وَالتَّرَفُّهِ بِشُرْبِ أَنْوَاعِهَا عَلَى عَادَةِ الْمُتْرِفِينَ. (إحياء علوم الدين: ج ١، ص ٢٤٧)
Yang ketiga adalah kelapangan (meluaskan) dalam perbekalan, dan kelapangan jiwa (kerelaan hati) untuk memberi dan berinfak tanpa kikir (taqtir) dan tanpa berlebihan (israf), melainkan secara pertengahan (iqtiṣhad). Dan yang dimaksud dengan israf (berlebihan) adalah menikmati makanan yang paling lezat dan bersenang-senang dengan meminum berbagai macam jenisnya, sesuai kebiasaan orang-orang yang bermewah-mewahan (mutrafin). (Ihya' ‘Ulum al-Din, 1:247)
Berdasarkan definisi di atas, israf muncul ketika seseorang menuruti hawa nafsu, bukan kebutuhan atau tujuan spiritual. Imam Ghazali menyebutkan bahwa israf fi al-nafaqah (berlebih dalam pengeluaran dan kemewahan) merupakan bentuk kelalaian terhadap Allah. Hal ini karena israf berasal dari dorongan nafsu ammarah, yaitu kecenderungan mengikuti syahwat perut dan pandangan mata. Adapun iqtishad merupakan kondisi dimana seseorang mengeluarkan hartanya sesuai kebutuhan, kewajiban, tanpa ada pengeluaran yang tidak diperlukan, sedang taqtir didapati pada seseorang yang terlalu hemat dan pelit terhadap harta yang dikeluarkan disertai sikap takut akan kemiskinan yang menimpa apabila harta tersebut berkurang.
Sifat israf yang cenderung menuruti hawa nafsu pada masa kini biasanya sering terlihat pada seseorang yang memiliki gaya hidup mewah. Sebagai contoh, terjadi israf dalam hal makanan. Seseorang dengan gaya hidup ini akan menghamburkan uang untuk makanan mewah serta berlebihan, semata-mata untuk mendapatkan status sosial yang dianggap sebagai sumber kebahagiaannya.
Wara'
Wara' adalah meninggalkan hal-hal yang syubhat dan yang tidak pasti (tidak dikehendaki), yakni meninggalkan hal-hal yang tidak berfaedah. Hal ini telah disebutkan dalam ibarah kitab al-Risalah al-Qusyairiyah hal 146 berikut :
عَنْ أَبِي ذَرّ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: مِنْ حُسْنِ إِسْلَامِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لَا يَعْنِيهِ. قَالَ الْأُسْتَاذُ الْإِمَامُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: أَمَّا الْوَرَعُ، فَإِنَّهُ: تَرْكُ الشُّبُهَاتْ. كَذَلِكَ قَالَ إِبْرَاهِيمُ بْنُ أَدْهَمَ: الْوَرَعُ تَرْكُ كُلِّ شُبْهَةٍ، وَتَرْكُ مَا لَا يَعْنِيكَ هُوَ تَرْكُ الْفُضَلَاتِ . وَقَالَ أَبُو بَكْرٍ الصِّدِّيقُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: كُنَّا نَدَعُ سَبْعِينَ بَابًا مِنَ الْحَلَالِ مَخَافَةً أَنْ نَقَعَ فِي بَابٍ مِنَ الْحَرَامِ. وَقَالَ لِأَبِي هُرَيْرَةَ: كُنْ وَرِعًا تَكُنْ أَعْبَدَ النَّاسِ (الرسالة القشيرية: ص ١٤٦)
“Dari Abu Dzar, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: Di antara kebaikan (kesempurnaan) Islam seseorang adalah meninggalkan hal-hal yang tidak bermanfaat baginya." al-Ustaz al-Imam radhiyallahu 'anhu (semoga Allah meridhoinya) berkata: Adapun wara' (sikap hati-hati), maka ia adalah meninggalkan hal-hal yang samar (syubhat). Demikian juga Ibrahim bin Adham berkata: wara' adalah meninggalkan setiap hal yang samar (syubhat), dan meninggalkan hal yang tidak bermanfaat bagimu adalah meninggalkan hal-hal yang berlebihan (fadhlat). Abu Bakar al-Shiddiq radhiyallahu 'anhu berkata: Kami biasa meninggalkan tujuh puluh pintu (macam) dari hal-hal yang halal karena takut terjatuh ke dalam satu pintu (macam) dari hal-hal yang haram. Dan beliau (Abu Bakar) berkata kepada Abu Hurairah: Jadilah engkau orang yang wara' (hati-hati), niscaya engkau akan menjadi manusia yang paling banyak ibadahnya." (al-Risalah al-Qusyairiyah, 146)
Konsep wara'(الورع) yang didefinisikan oleh para ulama. termasuk al-Ustaz al-Imam dan Ibrahim bin Adham yakni sebagai meninggalkan hal-hal yang samar, yaitu wilayah abu-abu yang tidak jelas halal atau haramnya. Sikap wara' ini merupakan kehati-hatian tingkat tertinggi, sebagaimana dicontohkan oleh Abu Bakar al-Shiddiq yang rela meninggalkan banyak pintu dari yang halal demi memastikan dirinya tidak terjatuh ke dalam satu pintu dari yang haram, dan karena keutamaan inilah beliau menasihati, "Jadilah engkau orang yang wara', niscaya engkau akan menjadi manusia yang paling banyak ibadahnya.”
Kemungkinan berbuat wara' bagi orang yang israf
Perilaku israf (melampaui batas atau berlebihan) dan sifat wara' adalah dua sifat yang bertentangan dalam tasawuf. israf adalah wujud nyata yang terjadi karena hawa nafsu yang menguasai dan terwujud dalam bentuk tindakan, sementara wara' adalah puncak dari pengendalian diri. Maka penyelarasan keduanya yakni dengan menghilangkan sifat israf, hal ini dapat dilakukan melalui beberapa cara. Pertama, dengan menghindari sifat mubadzir (pemborosan), suatu sifat tercela yang disamakan dengan perbuatan setan. Kedua, dengan bersedekah, sedekah adalah wujud kesadaran bahwa dalam harta yang dimiliki masih terdapat hak orang lain. Kedua langkah ini efektif untuk menghilangkan sifat israf, sehingga pada akhirnya akan menanamkan rasa syukur yang didalamnya juga menumbuhkan sifat qana'ah (merasa cukup) dalam dirinya. Dijelaskan juga dalam kitab al-Risalah al-Qusyairiyah, hal 196, terkait anjuran berbuat wara' dan qana'ah untuk menghilangkan sifat israf:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ.قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: كُنْ وَرِعًا تَكُنْ أَعْبَدَ النَّاسِ، وَكُنْ قَنِعًا تَكُنْ أَشْكَرَ النَّاسِ، وَأَحِبَّ لِلنَّاسِ مَا تُحِبُّ لِنَفْسِكَ تَكُنْ مُؤْمِنًا، وَأَحْسِنْ مُجَاوَرَةَ مَنْ جَاوَرَكَ تَكُنْ مُسْلِمًا، وَأَقِلَّ الضَّحِكَ فَإِنَّ كَثْرَةَ الضَّحِكِ تُمِيتُ الْقَلْبَ . وَقِيلَ: الْفُقَرَاءُ أَمْوَاتٌ إِلَّا مَنْ أَحْيَاهُ اللَّهُ تَعَالَى بِعِزِّ الْقَنَاعَةِ.(الرسالة القشيرية: ص ١٩٦)
Ia (Abu Hurairah) berkata: Rasulullah SAW bersabda: "Jadilah engkau seorang yang berhati-hati (wara'), niscaya engkau menjadi manusia yang paling taat beribadah. Jadilah engkau seorang yang merasa cukup (qana'ah), niscaya engkau menjadi manusia yang paling bersyukur. Dan cintailah untuk manusia apa yang engkau cintai untuk dirimu sendiri, niscaya engkau menjadi seorang mukmin. Dan perbaikilah pergaulan (berbuat baiklah) terhadap orang yang bertetangga denganmu, niscaya engkau menjadi seorang muslim. Dan kurangilah tertawa, karena sesungguhnya banyak tertawa akan mematikan hati." Dan dikatakan: "Orang-orang fakir (miskin) itu adalah mayat, kecuali orang yang dihidupkan oleh Allah Ta'ala dengan kemuliaan qana'ah (merasa cukup)."(al-Risalah al-Qusyairiyah: 196)
Berikut ini ibarah israf dalam kitab Ihya' ‘Ulum al-Din juz 3, hal 314:
فَإِذَا انْقَسَمَتِ الْأَحْوَالُ نَزَلَ قَوْلُ عِيسَى عَلَيْهِ السَّلَامُ عَلَى بَعْضِ الْأَحْوَالِ، وَهُوَ أَنَّ قَوْلَهُ: خُيَلَاءَ الْقَلْبِ يَعْنِي قَدْ تَوَرَّثَ خُيَلَاءُ فِي الْقَلْبِ، وَقَوْلُ نَبِيِّنَا ﷺ: إِنَّهُ لَيْسَ مِنَ الْكِبْرِ يَعْنِي أَنَّ الْكِبْرَ لَا يُوجِبُهُ، وَيَجُوزُ أَنْ لَا يُوجِبَهُ الْكِبْرُ ثُمَّ يَكُونُ هُوَ مُوَرَّثًا لِلْكِبْرِ. وَبِالْجُمْلَةِ؛ فَالْأَحْوَالُ تَخْتَلِفُ فِي مِثْلِ هَذَا، وَالْمَحْبُوبُ الْوَسَطُ مِنَ اللِّبَاسِ الَّذِي لَا يُوجِبُ شُهْرَةً بِالْجَوْدَةِ وَلَا بِالرَّدَاءَةِ,وَقَدْ قَالَ: كُلُوا وَاشْرَبُوا وَالْبَسُوا وَتَصَدَّقُوا فِي غَيْرِ سَرَفٍ وَلَا مَخِيلَةٍ. (إحياء علوم الدين: ج ٣، ص ٣١٤)
Maka, jika berbagai keadaan terbagi (berbeda-beda), ucapan Isa As. (tentang kesombongan) berlaku pada sebagian keadaan, yaitu sabdanya: "kesombongan hati," maksudnya bahwa (perhiasan/pakaian indah tersebut) telah mewariskan kesombongan dalam hati. Sedangkan sabda Nabi kita SAW: "Sungguh, itu bukanlah kesombongan," maksudnya bahwa (pakaian indah tersebut) tidak menyebabkan kesombongan, dan dimungkinkan bahwa kesombongan tidak menyebabkannya, namun ia (pakaian indah) menjadi pewaris (penyebab) bagi kesombongan. Secara umum, keadaan-keadaan berbeda dalam masalah seperti ini. Dan, yang disukai adalah pakaian yang sedang-sedang saja (tidak berlebihan), yaitu pakaian yang tidak menyebabkan kemasyhuran karena kualitas yang sangat baik (mewah) maupun karena kualitas yang sangat buruk (lusuh). Dan sungguh, Nabi telah bersabda: 'Makanlah, minumlah, berpakaianlah, dan bersedekahlah tanpa berlebihan (israf) dan tanpa kesombongan (makhilah) (Ihya' ‘Ulum al-Din, 3:314)
Secara esensi, seorang musrif (pelaku israf) tidak mungkin dianggap wari’ (ahli wara') selama ia masih mempertahankan perilaku berlebihan. Namun, ajaran tasawuf membuka lebar jalan takhalli (pengosongan diri) bagi setiap musrif untuk bertaubat dan naik ke tingkatan wara'. Jalan perubahan dari israf menuju wara' mengharuskan upaya keras. wara' adalah kebalikan mutlaknya, yang dicapai melalui berhemat, syukur dan qana'ah (merasa cukup). Bahkan, pada tingkatan wara' yang tinggi (wara' al-Muttaqin), seorang Salik (penempuh jalan sufi) harus meninggalkan perkara yang mubah yang berlebihan (al-Fudhul) karena takut terjerumus dalam israf. Berikut ibarahnya dalam kitab Ihya' ‘Ulum al-Din juz 2,hal 17:
أَحْضَرَ إِبْرَاهِيمُ بْنُ أَدْهَمَ رَحِمَهُ اللَّهُ طَعَامًا كَثِيرًا عَلَى مَائِدَتِهِ، فَقَالَ لَهُ سُفْيَانُ :يَا أَبَا إِسْحَاقَ، أَمَا تَخَافُ أَنْ يَكُونَ هَذَا سَرَفًا. فَقَالَ إِبْرَاهِيمُ: لَيْسَ فِي الطَّعَامِ سَرَفٌ. فَإِنْ لَمْ تَكُنْ هَذِهِ النِّيَّةُ فَالـتَّكْثِيرُ تَكَلُّفٌ قَالَ ابْنُ مَسْعُودٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ.نُهِينَا أَنْ نُجِيبَ دَعْوَةَ مَنْ يُبَاهِي بِطَعَامِهِ، وَكَرِهَ جَمَاعَةٌ مِنَ الصَّحَابَةِ أَكْلَ طَعَامِ الْمُبَاهَاةِ
وَمِنْ ذَلِكَ كَانَ لَا يُرْفَعُ مِنْ بَيْنِ يَدَيْ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ فَضْلَةُ طَعَامٍ قَطُّ، لِأَنَّهُمْ كَانُوا لَا يُقَدِّمُونَ إِلَّا قَدْرَ الْحَاجَةِ، وَلَا يَأْكُلُونَ تَمَامَ الشِّبَع( إحياء علوم الدين: ج ٢، ص ١٧)
Ibrahim bin Adham (semoga Allah merahmatinya) menghidangkan makanan yang banyak di atas hidangannya. Lalu Sufyan berkata kepadanya, "Wahai Abu Isḥaq, tidakkah engkau takut ini termasuk israf (berlebihan)?" Ibrahim menjawab, "Tidak ada israf pada makanan. Akan tetapi, jika niat (baik) ini tidak ada, maka memperbanyak (makanan) adalah kepura-puraan/ memaksakan diri (takalluf). Ibnu Mas’ud raḍiyallahu 'anhu berkata, "Kami dilarang memenuhi undangan seseorang yang menyombongkan makanannya." Dan sekelompok Sahabat membenci memakan makanan yang bertujuan untuk menyombongkan diri (mubahah). Oleh karena itu, tidak pernah diangkat sisa makanan sedikit pun dari hadapan Rasulullah SAW karena mereka (para Sahabat) tidak menyajikan makanan melainkan sekadar kebutuhan, dan mereka tidak makan hingga benar-benar kenyang. (Ihya' ‘Ulum al-Din, 2:17)
Ibarah ini mengajarkan bahwa nilai sebuah jamuan sangat bergantung pada niat dibaliknya. Menghidangkan makanan dalam jumlah banyak tidak dianggap sebagai pemborosan (israf) jika tujuannya murni untuk memuliakan tamu (ikramud dhuyuf) dan berbagi kebahagiaan. Namun, tindakan tersebut berubah menjadi pemaksaan diri (takalluf) atau perbuatan tercela jika didasari oleh keinginan untuk pamer atau menyombongkan status sosial. Para sahabat Nabi SAW., memberikan teladan bahwa keberkahan makanan terletak pada kesederhanaan dan ketulusan, dimana mereka hanya menyajikan secukupnya agar tidak ada makanan yang terbuang sia-sia.
Dalam hal ini terdapat perbedaan antara perilaku berlebihan (israf) dan perilaku boros (tabdzir). Israf terjadi ketika seseorang menggunakan sesuatu yang halal namun melampaui batas kewajaran, seperti makan hingga terlalu kenyang. Sedangkan, tabdzir dimiliki pada seseorang yang menghamburkan hartanya pada hal yang tidak bermanfaat atau dilarang oleh agama. Maka dari itu orang yang berlebihan (musrif) masih berada di jalan yang benar namun melewati batas, sedangkan orang yang boros (mubadzir) telah menempatkan hartanya di jalan yang salah. Inilah pemahaman terkait batasan israf, serta ajakan untuk lebih bijak dalam mengelola rezeki agar tetap bernilai ibadah dan jauh dari sifat sombong.
Berikut ibarah lain dari kitab Minhaj al-‘abidin hal, 131:
أَنَّ فِي كَثْرَةِ الْأَكْلِ قِلَّةَ الْعِبَادَةِ؛ لِأَنَّهُ إِذَا أَكْثَرَ الْإِنْسَانُ الْأَكْلَ... ثَقُلَ بَدَنُهُ، وَغَلَبَتْهُ عَيْنَاهُ، وَفَتَرَتْ أَعْضَاؤُهُ؛ فَلَا يَجِيءُ مِنْهُ شَيْءٌ - وَإِنِ اجْتَهَدَ - إِلَّا النَّوْمُ كَالْجِيفَةِ الْمُلْقَاةِ.. (منهاج العابدين: ص ١٣١)
“keinginan untuk beribadah akan berkurang bila terlalu banyak makan. Tubuhnya akan terasa berat dan matanya akan mengantuk. Juga , anggota-anggota tubuh lainnya menjadi lemah, sehingga ia enggan melaksanakan ibadah, sekalipun ia berusaha untuk hal ini. Ia hanya bisa tidur seperti mayat yang tergeletak. (Minhaj al-‘abidin, 131)
Untuk mencapai wara', seorang musrif harus memulai dengan mengosongkan diri dari kebiasaan boros dan berlebihan, seperti halnya meninggalkan hal mubah yang berlebihan, terutama dalam hal harta dan konsumsi. Selanjutnya, ia wajib menghiasi diri (tahalli) dengan disiplin wara' melalui empat tingkatan, berikut ini ibarahnya dalam kitab Ihya' ‘Ulum al-Din juz 1, hal 25-26 :
وَلَكِنَّ الْوَرَعَ لَهُ أَرْبَعُ مَرَاتِبَ
الْأُولَى: الْوَرَعُ الَّذِي يُشْتَرَطُ فِي عَدَالَةِ الشَّهَادَةِ، وَهُوَ الَّذِي يَخْرُجُ بِتِرْكَةٍ الْإِنْسَانُ عَنْ أَهْلِيَّةِ الشَّهَادَةِ وَالْقَضَاءِ وَالْوِلَايَةِ، وَهُوَ الِاحْتِرَازُ عَنِ الْحَرَامِ الظَّاهِرِ.
الثَّانِيَةُ: وَرَعُ الصَّالِحِينَ، وَهُوَ التَّوَقِّي مِنَ الشُّبُهَاتِ الَّتِي يَتَقَابَلُ فِيهَا الِاحْتِمَالَاتُ. قَالَ ﷺ: دَعْ مَا يَرِيبُكَ إِلَى مَا لَا يَرِيبُكَ وَقَالَ ﷺ:الْإِثْمُ حَزَّازُ الْقُلُوبِ.
الثَّالِثَةُ: وَرَعُ الْمُتَّقِينَ، وَهُوَ تَرْكُ الْحَلَالِ الْمَحْضِ الَّذِي يُخَافُ مِنْهُ أَدَاؤُهُ إِلَى الْحَرَامِ. قَالَ ﷺ: لَا يَكُونُ الرَّجُلُ مِنَ الْمُتَّقِينَ حَتَّى يَدَعَ مَا لَا بَأْسَ بِهِ مَخَافَةَ مِمَّا بِهِ بَأْسٌ . وَذَلِكَ مِثْلُ التَّوَرُّعِ عَنِ التَّحَدُّثِ بِأَحْوَالِ النَّاسِ خِيفَةً مِنَ الِانْجِرَارِ إِلَى الْغِيبَةِ، وَالتَّوَرُّعِ عَنْ أَكْلِ الشَّهَوَاتِ خِيفَةً مِنْ هَيَجَانِ النَّشَاطِ وَالْبَطَرِ الْمُؤَدِّي إِلَى مُقَارَفَةِ الْمَحْظُورَاتِ.
الرَّابِعَةُ: وَرَعُ الصِّدِّيقِينَ، وَهُوَ الْإِعْرَاضُ عَمَّا سِوَى اللَّهِ تَعَالَى خَوْفًا مِنْ صَرْفِ سَاعَةٍ مِنَ الْعُمْرِ إِلَى مَا لَا يُفِيدُ زِيَادَةَ قُرْبٍ عِنْدَ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ، وَإِنْ كَانَ يَعْلَمُ وَيَتَحَقَّقُ أَنَّهُ لَا يُفْضِي إِلَى حَرَامٍ (إحياء علوم الدين: ج ١، ص ٢٥-٢٦ )
“Sikap wara' memiliki empat tingkatan: Tingkat Pertama: wara' yang disyaratkan dalam Keadilan Kesaksian. Ini adalah harta yang ditinggalkan, seseorang akan kehilangan kelayakan untuk memberikan kesaksian (syahadah), menjadi hakim (qadha'), dan memegang kekuasaan (wilayah). Yaitu menjauhi hal-hal yang jelas haram (terang-terangan). Tingkat Kedua: wara'nya Orang-orang Saleh, Yaitu menjauhi perkara-perkara syubhat (samar-samar), di mana terdapat kemungkinan-kemungkinan yang saling berlawanan (halal atau haram). Nabi SAW, bersabda: "Tinggalkanlah apa yang meragukanmu kepada apa yang tidak meragukanmu." Dan Nabi SAW bersabda: "Dosa adalah apa yang mengganjal di dalam hati. Tingkat Ketiga: wara'nya Orang-orang bertakwa, yaitu meninggalkan hal yang murni halal, namun dikhawatirkan dapat membawanya kepada yang haram. Nabi SAW bersabda: "Seseorang tidak akan menjadi bagian dari orang-orang yang bertakwa hingga ia meninggalkan sesuatu yang tidak mengapa (halal) karena khawatir terhadap sesuatu yang mengapa (haram)." Contohnya adalah: berhati-hati untuk tidak membicarakan keadaan orang lain karena khawatir terjerumus ke dalam ghibah (menggunjing), dan berhati-hati dalam mengkonsumsi makanan yang enak karena khawatir membangkitkan semangat dan sifat boros (sombong) yang dapat menjerumuskan kepada perbuatan yang dilarang. Tingkat Keempat: wara'nya Para Shiddiqin, Yaitu berpaling dari segala sesuatu selain Allah Ta'ala karena khawatir menyia-nyiakan satu jam dari umurnya untuk sesuatu yang tidak menambah kedekatan kepada Allah SWT, meskipun ia tahu dan yakin bahwa hal tersebut tidak akan menjerumuskan kepada yang haram. (ihya’ Ulum al-Din, 1:25-26)
KESIMPULAN
Jalan bagi seorang yang memiliki sifat israf (berlebihan) untuk mencapai derajat wara' (kehati-hatian spiritual) yakni dengan upaya disiplin yang dimulai dari mengosongkan diri (takhalli) dari segala bentuk perilaku boros dan mubadzir, terutama dalam harta dan konsumsi sebagai pondasi awal. Proses pengosongan ini kemudian dilanjutkan dengan menghiasi diri (tahalli) melalui penanaman 4 tahapan wara'. Serta secara tegas meninggalkan sikap membuang-buang harta dengan bersedekah karena menyadari bahwa sebagian harta adalah hak orang lain, yang nantinya dapat menumbuhkan syukur yang tulus. Rasa syukur inilah yang akan melahirkan sikap qana'ah (merasa cukup) yang akan jadi benteng terakhir untuk mengakhiri dorongan israf untuk hidup berlebihan, dan menggantinya menjadi sifat wara'.
Penulis : Iswatun Nisak
Contact Person : 085732264536
e-Mail : nisak140703@gmail.com
Perumus : M. Abidul Masykur, S.pd.
Mushohih : M. Faidlus Syukri, S.pd.
Daftar Pustaka
Abdul Karim bin Hawazin al-Qusyairi (W. 465 H), al-Risalah al-Qusyairiyah, Dar al-Kutub al-Ilmiah, Beirut, Lebanon, cet.Keempat, 2009 M.
Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad al-Ghazali al-Thusi (W. 505 H), Ihya' ‘Ulum al-Din, Dar al-kutub al-ilmiyah, Beirut, Lebanon, cet.keempat, 1426H/2005M, sebanyak 4 jilid.
Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad al-Ghazali al-Thusi (W. 505 H), Minhaj al-‘abidin, Dar al-Minhaj, Beirut, Lebanon, cet.pertama, 2006 M/1427 H.
=======================================


%20Iswatun%20Nisak%20(15).png)
%20Iswatun%20Nisak%20(14).png)
%20Iswatun%20Nisak%20(13).png)
%20Iswatun%20Nisak%20(12).png)
%20Iswatun%20Nisak%20(11).png)
%20Iswatun%20Nisak%20(10).png)
%20Iswatun%20Nisak%20(9).png)
%20Iswatun%20Nisak%20(8).png)
Posting Komentar untuk "Perilaku Israf dan kemungkinan berbuat Wara'"