Sumber Gambar: pinterest.id
HUKUM MENGONSUMSI MAKANAN YANG BERADA DI RESTORAN NON-MUSLIM
Dalam kehidupan sehari-hari, umat muslim sering menghadapi situasi di mana mereka harus memilih makanan di restoran, termasuk restoran yang dikelola oleh non-muslim. Restoran-restoran ini sering menyajikan makanan yang terlihat halal, seperti ayam, ikan, atau sayuran. Namun, tidak adanya kepastian mengenai kehalalan makanan tersebut kerap menimbulkan keraguan. Hal ini biasanya disebabkan oleh ketidaktahuan tentang proses penyembelihan hewan, kemungkinan penggunaan bahan haram seperti alkohol atau babi, dan peluang kontaminasi dengan benda-benda najis.
Ketika makanan yang disajikan tidak memiliki jaminan halal yang jelas, umat muslim sering kali bingung dalam mengambil keputusan. Restoran non-muslim biasanya tidak memberikan informasi rinci tentang cara pengolahan makanan atau asal-usul bahan yang digunakan. Bahkan jika makanan tersebut tampak bersih dan halal secara kasat mata, ada kemungkinan makanan itu tercemar oleh bahan atau proses yang tidak sesuai dengan syariat Islam. Hal ini tentu menimbulkan kekhawatiran, terutama bagi umat muslim yang berusaha menjalankan ajaran agama dengan baik.
Bagaimana hukum mengonsumsi makanan yang berada di restoran non-muslim?
Haram
Haram hukumnya mengonsumsi makanan di restoran non-muslim jika ada kepastian bahwa makanan tersebut terkontaminasi najis atau haram.
Makruh
Makruh hukumnya mengonsumsi makanan dari tempat yang kemungkinan besar terkena najis, meskipun tidak ada bukti pasti bahwa makanan tersebut najis.
Boleh
Boleh hukumnya mengonsumsi makanan di restoran non-muslim selama tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa makanan tersebut najis.
( مَسْئَلَةٌ ) خُذْ قَاعِدَةً يَنْبَغِي اْلِاعْتِنَاءُ بِهَا لِكَثْرَةِ فُرُوْعِهَا وَنَفْعِهَا وَهِىَ كُلُّ عَيْنٍ لَمْ تُتَيَقَّنْ نَجَاسَتُهَا لَكِنْ غَلَبَتْ النَّجَاسَةُ فِي جِنْسِهَا كَثِيَابِ الصِّبْيَانِ وَجَهْلَةِ الْجَزَارِيْنَ وَالْمُتَدِّيْنِيْنَ مِنَ الْكُفَّارِ بِالنَّجَاسَةِ كَاَ كْلَةِ الْخَنَازِيْرِ اَرْجَحُ الْقَوْلَيْنِ فِيْهَا الْعَمَلُ بِالْاَصْلِ وَهُوَ الطَّهَارَةُ نَعَمْ يُكْرَهُ اِسْتِعْمَالُ كُلُّ مَا اِحْتَمَلَ النَّجَاسَةُ عَلَى قُرْبٍ وَكُلِّ عَيْنٍ تَيَقَّنَّا نَجَاسَتُهَا وَلَوْ بِمُغَلَّظٍ ثُمَّ احْتَمَلَ طَهَارَتُهَا وَلَوْ عَلَى بَعْدٍ لَاتَنَجَّسُ مَالَاقَتُهُ فَحِيْنَئِذٍ لَايُحْكَمُ بِنَجَاسَةٍ دَكَّاكِيْنِ الْجَزَّارِيْنَ وَالْحُوْتَيْنِ وَزَوَّارَتِهِمْ الَّتِى شُوْهِدَتْ الْكِلَابُ تَلْحَسُهَا اَوَّلًا يُحْكَمُ بِنَجَاسَةِ اللَّحْمِ اَوِ الْحُوْتِ الْمَوْضُوْعِ عَلَيْهَا وَمَا لَاقَاهُ مِنْ اَبْدَانِ النَّاسِ اِلَّا اَنْ شُوْهِدَ مُلَاقَتُهَا لِلنَّجَاسَةِ فَتَكُوْنُ الْبُقْعَةُ الَّتِى لِحِسِهَا الْكَلْبُ نَجَسَةً وَكَذَا مَا لَاقَاهَا يَقِيْنًا بِمُشَاهَدَةٍ اَوْ اَخْبَارٍ عَدْلٍ مَعَ الرُّطُوْبَةِ قَبْلَ احْتِمَالِ طَهْرِهَا بِمُرُوْرِ سَبْعِ جَرَيَاتٍ بِمَاءٍ بِتُرَابٍ طَهُوْرٍ (بغية المسترشدين: ص ١٤-١٥)
“Ambillah sebuah kaidah yang perlu diperhatikan karena banyak cabangnya dan manfaatnya. Yaitu, setiap benda yang tidak dipastikan kenajisannya, tetapi diperkirakan najis karena kebiasaan najis pada jenisnya, seperti pakaian anak-anak, pakaian tukang jagal, dan pakaian orang kafir yang tidak menjaga dari najis, seperti orang yang makan babi, maka menurut pendapat yang lebih kuat dari dua pendapat hukum asalnya adalah tetap suci. Namun, dimakruhkan menggunakan sesuatu yang kemungkinan besar terkena najis, terutama yang sangat dekat dengan kemungkinan tersebut. Adapun setiap benda yang telah dipastikan kenajisannya, bahkan meskipun najis berat, kemudian ada kemungkinan benda itu suci kembali walaupun kemungkinannya kecil, maka benda tersebut tidak menajiskan apa pun yang bersentuhan dengannya. Oleh karena itu, tidak dihukumi najis tempat seperti toko tukang jagal atau toko ikan dan para pengunjungnya yang terlihat dijilat anjing, kecuali diyakini bahwa daging atau ikan yang diletakkan di sana bersentuhan langsung dengan najis. Hal ini berlaku pula pada tubuh orang yang bersentuhan dengannya, kecuali jika terlihat secara langsung atau ada kesaksian dari orang terpercaya bahwa benda tersebut bersentuhan dengan najis. Maka, bagian yang dijilat anjing dihukumi najis, begitu pula benda yang bersentuhan dengannya secara yakin dengan adanya kelembaban, sebelum ada kemungkinan sucinya melalui tujuh kali basuhan dengan air dan satu kali basuhan dengan tanah suci. (Bughyah al-Mustarsyidin: 14-15)
وَهِيَ أَنَّ مَا أَصْلُهُ الطَّهَارَةُ وَغَلَبَ عَلَى الظَّنِّ تَنَجُّسُهُ لِغَلَبَةِ النَّجَاسَةِ فِي مَثَلِهِ فِيْهِ قَوْلَانِ مَعْرُوْفَانِ بِقَوْلَيِ الْأَصْلُ وَالظَّاهِرُ أَوِ الْغَالِبُ أَرْجَحُهُمَا أَنَّهُ طَاهِرٌ عَمَلًا بِالْأَصْلِ الْمُتَيَقَّنِ لِأَنَّهُ أَضْبَطُ مِنَ الْغَالِبِ الْمُخْتَلِفِ بِالْأَحْوَالِ وَالْأَزْمَانِ وَذَلِكَ كَثِيَابِ خَمَّارٍ وَحَائِضٍ وَصِبْيَانٍ وَأَوَانِيٍّ مُتَدَّيِّنِيْنَ بِالنَّجَاسَةِ وَوَرَقٍ يَغْلِبُ نَثْرُهُ عَلَى نَجَسٍ وَلُعَابِ صَبِيٍّ وَجُوْخٍ اِشْتَهَرَ عَمَلُهُ بِشَحْمِ الْخِنْزِيْرِ وَجُبْنٍ شَامِيٍّ اشْتَهَرَ عَمَلُهُ بِإِنْفَحَةِ الْخِنْزِيْرِ (فتح المعين بشرح قرة العين: ص ٨٣)
"Adapun sesuatu yang pada asalnya suci, namun kemudian diduga terkena najis karena seringnya najis ditemukan pada hal yang serupa, terdapat dua pendapat yang dikenal, yaitu pendapat asal dan pendapat yang kuat. Pendapat yang lebih kuat mengatakan bahwa benda tersebut tetap dianggap suci, kecuali jika terbukti secara nyata terkena najis. Contohnya adalah seperti pakaian wanita yang memakai khimar (penutup kepala), wanita haid, dan alat-alat milik orang yang terlibat dalam najis, serta kertas yang sering terkena najis, kertas yang umumnya berserakan pada najis, air liur anak kecil, kain wol yang terkenal dibuat dengan lemak babi, dan keju Syam yang terkenal dibuat dengan rennet (enzim) dari babi.” (Fath al-Mu’in bi Syarh Qurrah al-‘Ain : 83).
Penulis : Siti Makiyatul Madania
Perumus : Teguh Pradana, S. P
Mushohih : Gus Muhammad Agung Shobirin, M. Ag
Daftar Pustaka
Al-Malibari, Zainuddin Ahmad bin Abdul Aziz bin Zainuddin bin Ali bin Ahmad Al-Ma'bari Al-Hindi (W. 987 H), Fath al-Mu’in bi Syarh Qurrah al-‘Ain, Daar Ibn Hazm, Beirut, Lebanon : 1424 H - 2004 M
Rahman, Abdur bin Muhammad bin Husain bin 'Umar (W. 1320 H), Bughyah al-Mustarsyidin, al-Hidayah, Surabaya : tanpa tahun.
Posting Komentar untuk "HUKUM MENGONSUMSI MAKANAN YANG BERADA DI RESTORAN NON-MUSLIM"