Sufi dan Politik: Antara Warak dan Kekuasaan

SUFI DAN POLITIK: ANTARA WARAK DAN KEKUASAAN

PENDAHULUAN

Latar Belakang

      Salah satu prinsip terpenting dalam ajaran tasawuf dan tarekat adalah sifat warak. Kata warak sendiri dalam kamus KBBI adalah patuh dan taat kepada Allah SWT. Istilah warak secara sederhana dapat dipahami sebagai sikap hati-hati, penuh kewaspadaan, serta menjauhi hal-hal yang meragukan dalam kehidupan sehari-hari, khususnya yang berkaitan dengan urusan duniawi. Dalam tradisi sufistik klasik, warak tidak hanya berarti menghindari perkara yang jelas-jelas haram, tetapi juga menjauhi hal-hal yang syubhat atau samar hukumnya, agar seseorang tidak terjerumus ke dalam keburukan. Dengan begitu, warak sering dipandang sebagai benteng serta pondasi spiritual yang menjaga hati para ulama atau sufi agar tetap bersih, tidak ternodai oleh kepentingan dunia, serta fokus pada tujuan tertinggi yaitu mendekatkan diri kepada Allah SWT.

      Dalam perspektif klasik, banyak tokoh sufi yang mempraktikkan warak dengan cara menjauhkan diri dari hiruk-pikuk dunia. Mereka memilih jalan uzlah (mengasingkan diri untuk fokus ibadah kepada Allah SWT) atau berdiam di tempat-tempat tertentu yang disebut zawiyah, ribath, atau khalwat. Tempat-tempat tersebut menjadi sarana bagi mereka untuk fokus sepenuhnya pada ibadah, dzikir, tafakur, dan latihan spiritual lainnya. Sikap ini lahir dari keyakinan bahwa keterlibatan berlebihan dengan urusan dunia—baik harta, jabatan, maupun kekuasaan—berpotensi merusak kesucian hati dan melemahkan konsentrasi seorang salik (penempuh jalan spiritual) dalam mencapai makrifatullah. Oleh karena itu, dunia dipandang sebagai sesuatu yang harus dijaga jaraknya agar tidak menodai kesungguhan ibadah.

      Namun, seiring berjalannya waktu dan perubahan situasi sosial-politik, muncul fenomena baru dalam sejarah tasawuf. Sebagian kalangan ulama atau sufi mulai terlibat dalam ranah sosial dan politik. Hal ini menandai pergeseran orientasi dari sikap warak yang semula diidentikkan dengan menarik diri dari dunia, menjadi bentuk keterlibatan aktif dalam kehidupan masyarakat luas. Tentu saja, keterlibatan ini menimbulkan polemik. Di satu sisi, ada pandangan bahwa langkah tersebut merupakan bentuk tanggung jawab sosial para sufi dalam menghadirkan nilai-nilai moral, etika, dan spiritual di tengah kehidupan publik, termasuk dalam urusan pemerintahan. Tetapi di sisi lain, sebagian pengamat melihat hal ini sebagai bentuk penyimpangan dari tradisi warak, sebab dunia politik kerap dipenuhi intrik, kepentingan, dan perkara syubhat yang dapat mengikis kesucian spiritual seorang sufi.

PEMBAHASAN

Pengertian Warak

Fenomena yang terjadi saat ini menunjukkan adanya dinamika dalam pemaknaan sifat warak. Bila dahulu warak lebih dipahami secara individual—yakni menjaga diri dari keterlibatan dengan hal-hal duniawi—maka dalam konteks modern, sebagian kalangan berusaha menafsirkan ulang warak dengan pendekatan yang lebih sosial. Mereka berpendapat bahwa warak tidak berarti menjauh total dari dunia, melainkan menjaga integritas, kehati-hatian, dan ketulusan niat dalam setiap bentuk keterlibatan, termasuk ketika memasuki wilayah politik. Dengan kata lain, inti dari warak tetap terjaga: melindungi hati dari keserakahan, kemunafikan, dan cinta berlebihan terhadap dunia. Hanya saja bentuk penerapannya bisa berbeda sesuai dengan tantangan zaman. Berikut beberapa pendapat ulama tentang sifat warak:

Imam al-Qusyairi menuliskan hadis Nabi Muhammad SAW dalam kitabnya tentang meninggalkan sesuatu merupakan bagian dari kesempurnaan islam, yang mana hadis tersebut sebagaimana berikut:

عَنْ أَبِي ذَرٍّ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "مِنْ حُسْنِ إِسْلَامِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لَا يَعْنِيهِ" (الرِّسَالَةُ الْقُشَيْرِيَّةُ: ص ١٠٩)

Abu Dzar Al-Ghiffari berkata: Rasulullah Saw bersabda: “Sebagian dari kesempurnaan islam seseorang adalah meninggalkan sesuatu yang tidak berarti." (Risalah al-Qusyairiyah, hlm 109).

Lalu Imam al-Qusyairi juga menuliskan pendapat Abu Bakar Ash-Shiddiq RA yang menjelaskan hadis Nabi Muhammad SAW tentang anjuran menjadi orang warak sebagaimana berikut:

وَقَالَ أَبُو بَكْرٍ الصِّدِّيقُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: "كُنَّا نَدَعُ سَبْعِينَ بَابًا مِنَ الْحَلَالِ مَخَافَةَ أَنْ نَقَعَ فِي بَابٍ مِنَ الْحَرَامِ"، وَقَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِأَبِي هُرَيْرَةَ: "كُنْ وَرِعًا تَكُنْ أَعْبَدَ النَّاسِ" (الرِّسَالَةُ الْقُشَيْرِيَّةُ: ص ١١٠)

Abu Bakar Ash-Shiddiq r.a. berkata, "Kita telah meninggalkan tujuh puluh persoalan yang berkaitan dengan hal yang halal karena takut terkait dengan persoalan yang haram." Nabi Muhammad Saw. pernah menasehati Abu Hurairah r.a.: ‘Jadilah orang yang warak, engkau akan menjadi orang yang paling ahli ibadah di antara manusia’.” (Risalah al-Qusyairiyah, hlm 110).

Terdapat beberapa tingkatan warak dalam ilmu tasawuf. Imam al-Ghazali menjelaskan terdapat 4 tingkatan warak dalam kitabnya sebagaimana berikut:

أَمَّا الدَّرَجَةُ الْأُولَى وَهِيَ وَرَعُ الْعُدُولِ ... وَأَمَّا الدَّرَجَةُ الثَّانِيَةُ ... كَمَا سَيَأْتِي أَنَّ هَذَا لَيْسَ بِحَرَامٍ وَلَكِنْ تَرْكُهُ مِنْ وَرَعِ الصَّالِحِينَ ... أَمَّا الدَّرَجَةُ الثَّالِثَةُ وَهِيَ وَرَعُ الْمُتَّقِينَ ... أَمَّا الدَّرَجَةُ الرَّابِعَةُ وَهُوَ وَرَعُ الصِّدِّيقِينَ (إِحْيَاءُ عُلُومِ الدِّينِ، ج ٢: ص ٩٦-٩٨)

“Adapun derajat pertama adalah warak-nya orang-orang yang adil (al-‘udul) … Adapun derajat kedua … Sebagaimana akan disebutkan bahwa hal ini bukanlah sesuatu yang haram, tetapi meninggalkannya termasuk bagian dari warak-nya orang-orang saleh (al-Shalihin) … Adapun derajat ketiga adalah warak-nya orang-orang bertakwa (al-Muttaqīn) … Adapun derajat keempat adalah warak-nya orang-orang ṣiddīq (al-siddiqin).” (Iḥya’ ‘Ulum al-Din, Juz 2, hlm 96-98).

Pandangan Negatif Ulama yang Berpolitik

Politik pada dasarnya dipenuhi dengan kompromi dan kepentingan. Ketika seorang ulama terjun ke dalamnya, ada risiko kehilangan independensi karena harus bernegosiasi dengan pihak lain atau mengikuti arah partai. Hal ini membuat suara ulama tidak lagi murni menyampaikan kebenaran, melainkan tercampur dengan kepentingan politik praktis. Selama ini ulama atau sufi dihormati karena kedalaman spiritualnya, namun ketika mereka masuk ke ranah politik yang penuh intrik, fitnah, dan perebutan kekuasaan, citra tersebut bisa tercoreng. Masyarakat pun berpotensi melihat ulama bukan lagi sebagai teladan rohani, melainkan bagian dari elit politik biasa.

Dunia politik juga sarat dengan hal-hal yang samar hukumnya (syubhat) seperti proses lobbying, hingga manipulasi dan korupsi yang telah jelas hukumnya. Ulama yang tidak mampu menjaga integritas berisiko terjerumus dalam praktik tersebut, sehingga bertentangan dengan prinsip warak yang menjadi dasar ajaran tasawuf. Selain itu, keterlibatan ulama dalam politik biasanya disertai dengan afiliasi pada partai tertentu. Kondisi ini dapat memecah umat, karena masyarakat terbagi berdasarkan pilihan politik, bukan lagi pada persatuan iman. Dengan demikian, peran ulama yang seharusnya menjadi perekat umat justru bisa berubah menjadi faktor perpecahan.

Hal diatas telah diterangkan dalam beberapa kitab, salah satunya pendapat Syaikh Nawawi al-Jawi dalam kitabnya menuliskan sebagaimana berikut:

وَأَمَّا الرَّجُلَانِ فَاحْفَظْهُمَا عَنْ أَنْ تَمْشِيَ بِهِمَا إِلَى حَرَامٍ، كَالْمَشْيِ لِأَجْلِ غِيبَةٍ أَوْ لِتَجَسُّسِ عَوْرَاتِ الْمُسْلِمِينَ، أَوْ تَسْعَى أَيْ تَذْهَبُ بِهِمَا إِلَى بَابِ سُلْطَانٍ ظَالِمٍ، مَعَ الرِّضَا بِظُلْمِهِ كَذَا قَالَهُ ابْنُ حَجَرٍ، فَإِنَّ الْمَشْيَ إِلَى السَّلَاطِينِ الظَّلَمَةِ (بِفَتَحَاتٍ) مِنْ غَيْرِ ضَرُورَةٍ أَيْ حَاجَةٍ شَرْعِيَّةٍ وَإِرْهَاقٍ (بِالرَّاءِ) أَيْ إِتْيَانِ مَعْصِيَةٍ كَبِيرَةٍ (شَرْحُ مُرَاقِي الْعُبُودِيَّةِ عَلَى مَتْنِ بِدَايَةِ الْهِدَايَةِ: ص ٧٣)

Adapun kedua kakimu, maka jagalah agar jangan engkau gunakan untuk berjalan menuju sesuatu yang haram, seperti berjalan untuk melakukan ghibah atau untuk memata-matai aib kaum muslimin. Atau engkau berjalan dengan keduanya menuju pintu penguasa yang zalim disertai kerelaan terhadap kezalimannya — sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Hajar. Sesungguhnya berjalan menuju para penguasa yang zalim tanpa adanya kebutuhan yang bersifat syar‘i (keperluan agama yang dibenarkan) atau tanpa adanya keterpaksaan adalah dosa besar (Syarah Maroqi al-Ubudiyah ‘ala Matan Bidayah al-Nihayah, hlm 73).

Kemudian menurut Imam al-Ghazali, seorang ulama harus berhati-hati ketika bersosial dengan penguasa. Bahkan seorang ulama harus menjauhkan diri dari penguasa yang berada di dunia politik. Pendapat tersebut dijelaskan sebagaimana berikut:

وَمِنْهَا أَنْ يَكُونَ مُسْتَقْصِيًا عَنِ السَّلَاطِينِ فَلَا يَدْخُلُ عَلَيْهِمْ أَلْبَتَّةَ مَا دَامَ يَجِدُ إِلَى الْفِرَارِ عَنْهُمْ سَبِيلًا، بَلْ يَنْبَغِي أَنْ يَحْتَرِزَ عَنْ مُخَالَطَتِهِمْ وَإِنْ جَاءُوا إِلَيْهِ؛ فَإِنَّ الدُّنْيَا حُلْوَةٌ خَضِرَةٌ وَزِمَامُهَا بِأَيْدِي السَّلَاطِينِ (إِحْيَاءُ عُلُومِ الدِّينِ، ج ١: ص ٦٧)

"Di antaranya (ulama) adalah bahwa ia harus menyelidiki para sultan dan tidak boleh memasuki mereka sama sekali selama ia menemukan cara untuk melarikan diri dari mereka. Sebaliknya, ia harus berhati-hati untuk tidak bergaul dengan mereka bahkan jika mereka datang kepadanya, karena dunia ini manis dan hijau dan kendalinya ada di tangan para sultan.” (Iḥya’ ‘Ulum al-Din, Juz 1, hlm 67).

Lebih lanjut lagi, Imam al-Ghazali juga menuliskan perbandingan antara ulama zaman sekarang dengan ulama Bani Israil tentang kedekatan kepada penguasa sebagaimana berikut:

وَعُلَمَاءُ زَمَانِنَا شَرٌّ مِنْ عُلَمَاءِ بَنِي إِسْرَائِيلَ يُخْبِرُونَ السُّلْطَانَ بِالرُّخَصِ وَبِمَا يُوَافِقُ (إِحْيَاءُ عُلُومِ الدِّينِ، ج ١: ص ٦٨)

“Ulama pada zaman kita lebih buruk daripada ulama Bani Israil, karena mereka memberi tahu penguasa tentang (hukum-hukum) yang meringankan dan hal-hal yang sesuai dengan keinginannya.” (Iḥya’ ‘Ulum al-Din, Juz 1, hlm 68).

Pandangan Positif Ulama yang Berpolitik

Akan tetapi terdapat pandangan yang berbeda dari penjelasan diatas, ulama yang mendalami ajaran agama dan tasawuf berpotensi menghadirkan nilai-nilai keadilan, kejujuran, kasih sayang, serta amanah ke dalam politik yang kerap kehilangan arah moral. Kehadiran mereka dapat menjadi pengingat bagi para penguasa agar tidak hanya mengejar kekuasaan, tetapi juga memperhatikan aspek etika. Politik sendiri merupakan ruang pengambilan keputusan yang berdampak pada kehidupan banyak orang. Dengan terjun ke dunia tersebut, ulama dapat memperjuangkan kepentingan umat secara langsung, baik dalam bidang sosial, pendidikan, ekonomi, maupun hukum, sehingga hal itu menjadi bagian dari tanggung jawab sosial-keagamaan.

Seorang ulama yang berpegang pada sikap warak, zuhud, dan ikhlas bisa menjadi teladan kepemimpinan yang berlandaskan hati nurani, bukan sekadar dorongan hawa nafsu. Kepemimpinan yang berakar pada spiritualitas juga mampu menginspirasi masyarakat untuk mengutamakan kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi. Sebaliknya, bila ulama sama sekali menjauh dari politik, maka ruang tersebut berisiko dikuasai oleh kelompok yang abai terhadap nilai agama dan moralitas. Oleh karena itu, keterlibatan ulama dapat berperan sebagai penyeimbang agar arah kebijakan politik tidak semata pragmatis dan materialistis. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Imam Muslim:

عَنْ تَمِيمٍ الدَّارِيِّ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "الدِّينُ النَّصِيحَةُ" قُلْنَا: لِمَنْ؟ قَالَ: "لِلَّهِ وَلِكِتَابِهِ وَلِرَسُولِهِ وَلِأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ وَعَامَّتِهِمْ" (صَحِيحُ مُسْلِمٍ: ص ٤٩)

“Dari Tamim ad-Dari RA bahwa Nabi SAW bersabda: ‘Agama itu adalah mengharapkan kebaikan.’ Kami bertanya, ‘Untuk siapa, wahai Rasulullah?’, Beliau menjawab: ‘(Mengarapkan kebaikan) untuk Allah, untuk kitab-Nya, untuk Rasul-Nya, untuk para pemimpin kaum Muslimin, dan untuk seluruh umat Islam’.” (Shahih Muslim, hlm 166)

Imam al-Nawawi (dalam Syarah al-Nawawi ‘ala Shohih Muslim) memberikan penjelasan hadis diatas sebagaimana berikut:

وَأَمَّا النَّصِيحَةُ لِأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ فَمُعَاوَنَتُهُمْ عَلَى الْحَقِّ، وَطَاعَتُهُمْ فِيهِ، وَأَمْرُهُمْ بِهِ، وَتَنْبِيهُهُمْ وَتَذْكِيرُهُمْ بِرِفْقٍ وَلُطْفٍ، وَإِعْلَامُهُمْ بِمَا غَفَلُوا عَنْهُ وَلَمْ يَبْلُغْهُمْ مِنْ حُقُوقِ الْمُسْلِمِينَ، وَتَرْكُ الْخُرُوجِ عَلَيْهِمْ، وَتَأَلُّفُ قُلُوبِ النَّاسِ لِطَاعَتِهِمْ 

(شَرْحُ النَّوَوِيِّ عَلَى مُسْلِمٍ: ص ١٦٦)

“Adapun mengharap kebaikan kepada para pemimpin kaum Muslimin adalah membantu mereka dalam menjalankan kebenaran, ketaatan dalam kebenaran, menyuruh mereka kepada kebenaran, mengingatkan dan menasehati mereka dengan lemah lembut dan penuh kasih, memberitahu mereka tentang hak-hak kaum Muslimin yang mungkin mereka lalaikan atau belum mereka ketahui, tidak memberontak terhadap mereka, serta membangun kedekatan hati masyarakat agar taat kepada mereka.” (Syarah al-Nawawi ‘ala Muslim, hlm 166).

Kemudian terdapat pendapat Imam Muhammad bin Allan tentang hadis Nabi Muhammad yang menjelaskan bahwa memberi saran positif kepada pemimpin merupakan termasuk bagian dari jihad, penjelasan tersebut sebagaimana berikut:

الْحَادِيَ عَشَرَ: عَنْ أَبِي سَعِيدٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ قَالَ: "أَفْضَلُ الْجِهَادِ" (مِنَ الْفَضْلِ زِيَادَةِ الثَّوَابِ) "كَلِمَةُ عَدْلٍ" (أَيْ: حَقٍّ) "عِنْدَ سُلْطَانٍ" (أَيْ: ذِي أَمْرٍ) "جَائِرٍ" (سَيَأْتِي شَرْحُهُ فِي الْحَدِيثِ بَعْدَهُ) (رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ وَالتِّرْمِذِيُّ وَقَالَ: حَدِيثٌ حَسَنٌ)

(دَلِيلُ الْفَالِحِينَ لِطُرُقِ رِيَاضِ الصَّالِحِينَ: ص ٢٢٧-٢٢٨)

(Kesebelas, Dari Abu Sa‘id ra. dari Nabi Muhammad Saw, beliau bersabda: “Jihad yang paling utama” — yakni jihad yang memiliki keutamaan dan pahala lebih besar — “adalah mengucapkan kalimat kebenaran” — yakni ucapan yang benar dan adil — “di hadapan penguasa” — yakni orang yang memiliki kekuasaan dan wewenang — “yang zalim” — Penjelasannya dalam hadis berikutnya. Hadis ini diriwayatkan oleh Abu Dawud dan al-Tirmidzi, dan al-Tirmidzi berkata: “Hadis ini hasan.” (Dalil al-Falihin Lituruqi Riyadh al-Sholihin, hlm 227-228).

Selanjutnya imam Hasan ibn Muhammad al-Naqsyabandy al-Syadzily menjelaskan kewenangan para penguasa serta kewajiban para ulama dalam mengubah kemungkaran yang terjadi, penjelasan tersebut sebagaimana berikut:

وَقَالَ فِيهِ أَيْضًا: "وَقَدْ جَعَلَ الشَّارِعُ لِتَغْيِيرِ الْمُنْكَرِ ثَلَاثَةَ طُرُقٍ: الْيَدَ وَاللِّسَانَ وَالْقَلْبَ. وَكَانَ سَيِّدِي عَلِيٌّ الْخَوَّاصُ رَحِمَهُ اللَّهُ يَقُولُ: تَغْيِيرُ الْمُنْكَرِ بِالْيَدِ لِلْوُلَاةِ الَّذِينَ إِنْ ضَرَبُوا الْعَاصِيَ لَا يُقْدَرُ ضَرْبُهُمْ، وَتَغْيِيرُهُ بِاللِّسَانِ لِلْعُلَمَاءِ الْعَامِلِينَ، فَيَأْمُرُونَ النَّاسَ وَيَنْهَوْنَهُمْ فَيَمْتَثِلُونَ قَوْلَهُمْ، وَتَغْيِيرُهُ بِالْقَلْبِ لِكُمَّلِ الْعَارِفِينَ، فَيَتَوَجَّهُ الْعَارِفُ إِلَى اللَّهِ فِي كَسْرِ جَرَّةِ الْخَمْرِ؛ فَتَنْفَلِقُ نِصْفَيْنِ بِنَفْسِهَا، وَإِلَى الظَّالِمِ فَتَيْبَسُ يَدُهُ الَّتِي يَضْرِبُ بِهَا ذَلِكَ الْمَظْلُومَ" (تَنْبِيهُ السَّالِكِينَ إِلَى غُرُورِ الْمُتَشَيِّخِينَ: ص ١١١-١١٢)

Beliau (Imam al-Sya’roni) juga berkata di dalamnya (Kitab Lawaqih al-Anwar): Syariat telah menetapkan tiga cara untuk mengubah kemungkaran, yaitu dengan tangan, dengan lisan, dan dengan hati. Sayyid ‘Alī al-Khawwaṣ raḥimahullāh berkata:“Mengubah kemungkaran dengan tangan adalah kewenangan para penguasa; sebab apabila mereka memukul orang yang durhaka, orang itu tidak mampu membalas pukulan mereka. Mengubah kemungkaran dengan lisan adalah kewajiban para ulama yang mengamalkan ilmunya; mereka memerintahkan manusia kepada kebaikan dan melarang mereka dari kemungkaran, dan masyarakat pun menaati perkataan mereka. Adapun mengubah kemungkaran dengan hati adalah kedudukan para ‘ārifīn (orang-orang yang mengenal Allah) yang telah mencapai kesempurnaan. Seorang ‘ārif, ketika ia menghadap kepada Allah, maka kendi khamar (minuman keras) itu dapat terbelah menjadi dua dengan sendirinya; dan ketika ia menghadap kepada Allah terhadap orang yang zalim, maka tangan orang zalim itu akan menjadi kaku dan kering, sehingga tidak lagi mampu memukul orang yang dizaliminya.” (Tanbih al-Salikin ila Ghurur al-Mutasyayyikhin, hlm 111-112)

Lebih lanjut lagi, imam Hasan ibn Muhammad al-Naqsyabandy al-Syadzily berpendapat bahwa amar ma’ruf nahi munkar ulama tidaklah lagi fardhu kifayah (kewajiban kolektif), melainkan telah menjadi fardhu ‘ain (kewajiban individu). Penjelasan tersebut dituliskan dalam kitabnya sebagaimana berikut:

وَفِي ابْنِ حَجَرٍ فِي كِتَابِ (السَّيْرِ) تَنْبِيهٌ: ظَاهِرُ كَلَامِهِمْ أَنَّ الْأَمْرَ وَالنَّهْيَ بِالْقَلْبِ مِنْ فُرُوضِ الْكِفَايَةِ، وَفِيهِ نَظَرٌ ظَاهِرٌ، بَلِ الْوَجْهُ أَنَّهُ فَرْضُ عَيْنٍ، لِأَنَّ الْمُرَادَ مِنْهُمَا بِهِ الْكَرَاهَةُ وَالْإِنْكَارُ بِهِ، وَهَذَا لَا يُتَصَوَّرُ فِيهِ أَنْ يَكُونَ إِلَّا فَرْضَ عَيْنٍ، فَتَأَمَّلْهُ فَإِنَّهُ مُهِمٌّ نَفِيسٌ (تَنْبِيهُ السَّالِكِينَ إِلَى غُرُورِ الْمُتَشَيِّخِينَ: ص ١١٢)

Dalam kitab as-Siyar, Ibnu Hajar memberikan sebuah penjelasan penting: Makna lahiriah dari ucapan para ulama menunjukkan bahwa amar ma‘ruf dan nahi munkar dengan hati termasuk fardhu kifayah. Namun, menurut beliau, pandangan itu perlu dikaji ulang, karena yang lebih tepat adalah bahwa hal tersebut merupakan fardhu ‘ain. Sebab, yang dimaksud dengan amar ma‘ruf dan nahi munkar dengan hati adalah membenci dan mengingkari kemungkaran dalam hati, dan hal ini tidak mungkin kecuali sebagai kewajiban yang harus dilakukan oleh setiap individu. Maka renungkanlah hal ini, karena perkara ini sangat penting dan bernilai tinggi. (Tanbih al-Salikin ila Ghurur al-Mutasyayyikhin, hlm 112)

Kemudian terdapat ulama sufi yaitu Muhammad ibn ‘Ali  al-Sanusi (pendiri Tarekat Sanusiyah), yang selain berdakwah ‘amar ma’ruf nahi munkar, beliau mendekat kepada berbagai kalangan untuk menggalang pergerakan tarekat yang lebih progresif. Kisah beliau dituliskan dalam kitab Tarikh al-Harakah al-Sanusiyah fi Afriqiya sebagaimana berikut:

وَاسْتَطَاعَ أَثْنَاءَ تَحَرُّكِهِ بِدَعْوَتِهِ أَنْ يَخْتَارَ مِنْ بَيْنِ الْمُسْلِمِينَ مَجْمُوعَةً خِيَرَةً مِنَ الْعُلَمَاءِ وَالْفُقَهَاءِ وَالدُّعَاةِ، مِمَّنِ اتَّصَفُوا بِالتَّمَيُّزِ الْإِيمَانِيِّ، وَالتَّفَوُّقِ الرُّوحِيِّ، وَالرَّصِيدِ الْعِلْمِيِّ، وَالزَّادِ الثَّقَافِيِّ، وَرَجَاحَةِ الْعَقْلِ، وَقُوَّةِ الْحُجَّةِ، وَرَحَابَةِ الصَّدْرِ، وَسَمَاحَةِ النَّفْسِ، وَأَصْبَحُوا مِنْ أَعْمِدَةِ الْحَرَكَةِ السَّنُوسِيَّةِ أَثْنَاءَ حَيَاتِهِ وَبَعْدَ وَفَاتِهِ (تَارِيخُ الْحَرَكَةِ السَّنُوسِيَّةِ فِي أَفْرِيقِيَا: ص ٦٢)

Dan ia (Imam al-Sanusi) mampu, dalam pergerakan dakwahnya, memilih dari kalangan kaum Muslimin sekelompok pilihan dari para ulama, fuqaha, dan dai, yaitu mereka yang memiliki keunggulan iman, keluhuran spiritual, kekayaan ilmu, bekal budaya, kejernihan akal, kekuatan hujah, kelapangan dada, serta keluhuran jiwa. Mereka kemudian menjadi pilar-pilar utama gerakan Sanusiyah semasa hidupnya dan setelah wafatnya. (Tarikh al-Harakah al-Sanusiyah fi Afriqiya, hlm 62)

Dari pilar-pilar yang dikumpulkan oleh Imam Sanusi, tarekat Sanusi bergerak aktif dalam bidang politik-religius. Pergerakan Imam Sanusi diwariskan kepada putranya yaitu Muhammad al-Mahdi al-Sanusi, yang mana beliau mendekatkan diri kepada para penguasa Negara Utsmani untuk mencapai tujuan besar islam. Keterangan tersebut disebutkan sebagaimana berikut:

إِنَّ ابْنَ السُّنُوسِيِّ اسْتَطَاعَ أَنْ يَصِلَ إِلَى أَهْدَافِهِ، وَأَنْ يُوَسِّعَ نُفُوذَ دَعْوَتِهِ، وَيَكْسَبَ مُعَاضَدَةَ الدَّوْلَةِ الْعُثْمَانِيَّةِ لَهُ، سَوَاءً عَنْ طَرِيقِ بَاشَوَاتِهَا فِي لِيبْيَا أَوِ السَّلَاطِينِ الْعُثْمَانِيِّينَ فِي إِسْطَنْبُولَ. فَقَدِ اسْتَطَاعَ أَنْ يَتَّحِدَ مَعَ الدَّوْلَةِ الْعُثْمَانِيَّةِ فِي السَّعْيِ الدُّؤُوبِ مِنْ أَجْلِ تَحْقِيقِ أَهْدَافِ الْإِسْلَامِ الْكُبْرَى. وَقَدْ نَظَرَ ابْنُ السُّنُوسِيِّ إِلَى دَوْلَةِ الْخِلَافَةِ كَوَاقِعٍ مَوْجُودٍ لَا تَسْمَحُ الظُّرُوفُ بِتَغْيِيرِهِ، بَلِ الصَّوَابُ الْعَمَلُ عَلَى الْحِفَاظِ عَلَيْهِ وَعَدَمِ الِاصْطِدَامِ بِهِ، لِذَلِكَ جَعَلَ عِلَاقَتَهُ بِهَا طَيِّبَةً. (تَارِيخُ الْحَرَكَةِ السَّنُوسِيَّةِ فِي أَفْرِيقِيَا: ص ١١٦)

Sesungguhnya Ibnu Sanusi telah berhasil mencapai tujuan-tujuannya, memperluas pengaruh dakwahnya, dan memperoleh dukungan dari Negara Utsmani, baik melalui para gubernurnya di Libya maupun para sultan Utsmani di Istanbul. Ia mampu menjalin persatuan dengan Negara Utsmani dalam upaya yang sungguh-sungguh untuk mewujudkan tujuan-tujuan besar Islam. Ibnu Sanusi memandang Negara Khilafah sebagai suatu realitas yang ada, yang kondisi-kondisi saat itu tidak memungkinkan untuk diubah. Oleh karena itu, yang paling benar adalah menjaga keberadaannya dan tidak berkonfrontasi dengannya. Atas dasar itulah ia menjadikan hubungannya dengan negara tersebut sebagai hubungan yang baik. (Tarikh al-Harakah al-Sanusiyah fi Afriqiya, hlm 116)

Putra dari Muhammad al-Mahdi al-Sanusi (Cucu Imam Sanusi), yaitu Muhammad Idris bin Muhammad al-Mahdi al-Sanusi kelak menjadi Raja Idris I di Libya pada tahun 1951. Adanya revolusi ini tidak lepas dari peran pergerakan Tarekat Sanusiyah yang didirikan oleh Imam Sanusi. Hal ini membuktikan bahwa peran sufi tidak hanya dalam urusan spiritual saja, melainkan sosio-politik pun bisa dipengaruhi oleh sosok ulama sufi.


Pemimpin yang Tidak Warak

Pemimpin Islam yang tidak memiliki sifat wara’ pada hakikatnya sedang menempatkan kekuasaan di atas nilai-nilai spiritual yang seharusnya menjadi fondasi kepemimpinan. Ketika seorang pemimpin tidak lagi berhati-hati terhadap perkara syubhat, mudah berkompromi dengan kebatilan, serta menghalalkan segala cara demi kepentingan politik dan kekuasaan, maka ia telah menjauh dari prinsip etika Islam yang menuntut kebersihan hati dan kejujuran niat. Ketidakwarakan ini sering tampak dalam sikap permisif terhadap ketidakadilan, penyalahgunaan amanah, dan pemanfaatan agama sebagai alat legitimasi, bukan sebagai pedoman moral. Akibatnya, kepemimpinan yang semestinya menjadi sarana menegakkan kemaslahatan umat justru berubah menjadi sumber kerusakan, karena hilangnya rasa takut kepada Allah SWT dan lemahnya kesadaran akan pertanggungjawaban akhirat. Berikut beberapa contoh pemimpin yang tidak warak dalam sejarah islam:

  1. Khalifah Yazid bin Muawiyah

Khalifah Umayyah ke-2, menggantikan ayahnya Mu‘āwiyah bin Abī Sufyān pada tahun 60 H (680 M). Pengangkatannya menimbulkan polemik karena Mu‘āwiyah sebelumnya menjanjikan bahwa urusan khalifah akan kembali kepada musyawarah kaum muslimin. Banyak umat Islam menolak legitimasi Yazīd, termasuk Ḥusain bin ‘Ali, cucu Nabi Muhammad SAW. Yazid bin Muawiyah memerintahkan gubernurnya di Kufah (Ubaidullah bin Ziyād) untuk mencegah Ḥusain. Pada 10 Muḥarram, Ḥusain beserta keluarga dan sahabatnya (sekitar 70 orang) dibantai oleh pasukan Yazīd yang berjumlah ribuan.

Kisah diatas disebutkan dalam kitab al-Bidayah wa al-Nihayah, juz 8, bab Biografi Yazid bin Muawiyah, sebagaimana berikut:

فَقَالَ أَبُو عُبَيْدَةَ مَعْمَرُ بْنُ الْمُثَنَّى: إِنَّ يُونُسَ بْنَ حَبِيبٍ الْجَرْمِيَّ حَدَّثَهُ قَالَ: "لَمَّا قَتَلَ ابْنُ زِيَادٍ الْحُسَيْنَ وَمَنْ مَعَهُ بَعَثَ بِرُؤُوسِهِمْ إِلَى يَزِيدَ، فَسُرَّ بِقَتْلِهِ أَوَّلًا وَحَسُنَتْ بِذَلِكَ مَنْزِلَةُ ابْنِ زِيَادٍ عِنْدَهُ، ثُمَّ لَمْ يَلْبَثْ إِلَّا قَلِيلًا حَتَّى نَدِمَ!" (الْبِدَايَةُ وَالنِّهَايَةُ، ج ٨، ص ٣٢٧)

Abu Ubaidah Ma'mar bin al-Muthanna berkata: Yunus bin Habib al-Jarmi berkata kepadanya: Ketika Ibnu Ziyad membunuh al-Husain dan orang-orang yang bersamanya, ia mengirimkan kepala mereka kepada Yazid. Awalnya ia senang dengan pembunuhan itu, dan karena itu, kedudukan Ibnu Ziyad di sisinya membaik. Tak lama kemudian, ia menyesalinya! (al-Bidayah wa al-Nihayah, juz 8, hlm. 327)

Kemudian juga terdapat kisah yang menggambarkan perilaku tercela dari Yazid bin Muawiyah, keterangan tersebut sebagaimana berikut:

قُلْتُ: يَزِيدُ بْنُ مُعَاوِيَةَ أَكْثَرُ مَا نُقِمَ عَلَيْهِ فِي عَمَلِهِ شُرْبُ الْخَمْرِ، وَإِتْيَانُ بَعْضِ الْفَوَاحِشِ، فَأَمَّا قَتْلُ الْحُسَيْنِ فَإِنَّهُ كَمَا قَالَ جَدُّهُ سُفْيَانُ يَوْمَ أُحُدٍ لَمْ يَأْمُرْ بِذَلِكَ وَلَمْ يَسُؤْهُ (الْبِدَايَةُ وَالنِّهَايَةُ، ج ٨، ص ٣٢٧)

Aku berkata: "Hal yang paling tercela dari perbuatan Yazid bin Muawiyah adalah meminum khamar dan melakukan beberapa kemaksiatan. Adapun pembunuhan Husain, sebagaimana dikatakan kakeknya, Sufyan, pada hari Uhud, beliau tidak memerintahkannya dan hal itu tidak membuatnya marah." (al-Bidayah wa al-Nihayah, juz 8, hlm. 327)

  1. Khalifah al-Walid bin Yazid bin ‘Abd al-Malik

Al-Walid bin Yazid bin ‘Abd al-Malik (menjadi khalifah tahun 743–744 M) dari Dinasti Umayyah sering digambarkan oleh sejarawan klasik sebagai seorang khalifah yang menyalahgunakan kekuasaan. Kisah-kisah dalam kitab al-Bidayah wa al-Nihayah menuturkan bahwa ia dikenal gemar berfoya-foya, minum khamar (minuman keras), dan mengabaikan urusan rakyat.

Kisah diatas disebutkan dalam kitab al-Bidayah wa al-Nihayah, juz 10, bab Khilafah al-Walid bin Yazid bin ‘Abd al-Malik sebagimana berikut:

وَكَانَ سَبَبُ وِلَايَتِهِ أَنَّ أَبَاهُ يَزِيدَ بْنَ عَبْدِ الْمَلِكِ كَانَ قَدْ جَعَلَ الْأَمْرَ مِنْ بَعْدِهِ لِأَخِيهِ هِشَامٍ، ثُمَّ مِنْ بَعْدِهِ لِوَلَدِهِ الْوَلِيدِ هَذَا، فَلَمَّا وَلِيَ هِشَامٌ أَكْرَمَ ابْنَ أَخِيهِ الْوَلِيدَ حَتَّى ظَهَرَ عَلَيْهِ أَمْرُ الشَّرَابِ وَخُلَطَاءِ السُّوءِ وَمَجَالِسِ اللَّهْوِ (الْبِدَايَةُ وَالنِّهَايَةُ، ج ١٠، ص ٢١٢)

Alasan kekuasaannya adalah karena ayahnya, Yazid bin Abdul Malik, telah menyerahkan kekuasaan setelahnya kepada saudaranya, Hisyam, dan kemudian kepada putranya, Al-Walid. Ketika Hisyam mengambil alih kekuasaan, ia menghormati keponakannya, Al-Walid, hingga ia menyadari kebiasaan minum-minumnya, pergaulan yang buruk, dan hiburan yang dilakukannya. (al-Bidayah wa al-Nihayah, juz 10, hlm 212)

Kemudian juga dikisahkan perselisihan antara al-Walid bin Yazid bin Abd al-Malik dengan pamannya, Hisyam, dikarenakan perilaku al-Walid bin Yazid bin Abd al-Malik yang tidak sesuai dengan ajaran agama islam.

وَوَقَعَتْ بَيْنَ هِشَامٍ وَبَيْنَ الْوَلِيدِ بْنِ يَزِيدَ وُحْشَةٌ عَظِيمَةٌ بِسَبَبِ تَعَاطِي الْوَلِيدِ مَا كَانَ يَتَعَاطَاهُ مِنَ الْفَوَاحِشِ وَالْمُنْكَرَاتِ (الْبِدَايَةُ وَالنِّهَايَةُ، ج ١٠، ص ٢١٣)

Terjadilah keretakan yang hebat antara Hisyam dan Al-Walid bin Yazid karena keterlibatan Al-Walid dalam perbuatan cabul dan kekejian yang dilakukannya. (al-Bidayah wa al-Nihayah, juz 10, hlm 213)

Pemimpin yang Bersifat Warak

Pemimpin Islam yang warak adalah sosok yang menjadikan ketakwaan dan kehati-hatian spiritual sebagai landasan utama dalam setiap keputusan dan tindakannya. Ia tidak hanya menjauhi perkara yang jelas haram, tetapi juga bersikap sangat waspada terhadap hal-hal syubhat yang berpotensi merusak amanah dan kebeningan hati. Kekuasaan baginya bukan sarana memperkaya diri atau kelompok, melainkan tanggung jawab berat yang kelak akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah SWT. Dengan sifat wara’, pemimpin seperti ini menahan diri dari penyalahgunaan wewenang, menjaga keadilan, serta mengutamakan kemaslahatan umat di atas kepentingan pribadi dan politik, sehingga kepemimpinannya memancarkan keteladanan moral dan menghadirkan kepercayaan di tengah masyarakat. Berikut beberapa contoh pemimpin islam yang warak dalam sejarah islam:

  1. Khalifah Abu Bakar

Abu Bakar aṣ-Ṣhiddiq RA, yang bernama asli ʿAbdullāh bin Abī Quḥāfah, adalah sahabat terdekat Nabi Muhammad. Ia menjadi khalifah pertama setelah Rasulullah wafat, serta tokoh yang digelari aṣ-Ṣhiddīq karena selalu membenarkan sabda Rasulullah tanpa ragu. Beliau dikenal sebagai sosok yang lembut, dermawan, tegas dalam kebenaran, dan memiliki sifat warak yang sangat tinggi, yakni sikap berhati-hati dari perkara syubhat dan haram. Salah satu buktinya adalah ketika beliau tanpa ragu memuntahkan kembali makanan yang ternyata berasal dari sumber tidak jelas agar tidak ada sedikitpun barang haram masuk ke dalam tubuhnya. Sikap ini menunjukkan ketakwaannya yang mendalam, kesungguhan dalam menjaga kesucian diri, serta teladan nyata bagi umat islam dalam menjaga kehalalan dari apa yang dikonsumsi.

Kisah kedermawanan yang tidak haus kekuasaan Khalifah Abu Bakar dituliskan dalam kitab al-Bidayah wa al-Nihayah, juz 6, bab Kekhalifahan Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu dan peristiwa-peristiwa yang terjadi selama masa kekhalifahan tersebut, sebagimana berikut:

ثُمَّ خَطَبَ أَبُو بَكْرٍ وَاعْتَذَرَ إِلَى النَّاسِ وَقَالَ: "وَاللَّهِ مَا كُنْتُ حَرِيصًا عَلَى الْإِمَارَةِ يَوْمًا وَلَا لَيْلَةً، وَلَا سَأَلْتُهَا اللَّهَ فِي سِرٍّ وَلَا عَلَانِيَةٍ"، فَقَبِلَ الْمُهَاجِرُونَ مَقَالَتَهُ (الْبِدَايَةُ وَالنِّهَايَةُ، ج ٧،ص ٧)

Kemudian Abu Bakar menyampaikan khotbah dan meminta maaf kepada orang-orang, seraya berkata, "Demi Allah, aku tidak menginginkan keamiran itu, baik sehari maupun semalam, dan aku tidak memohonnya kepada Allah, baik secara diam-diam maupun terang-terangan." Maka, para imigran pun menerima ucapannya. (al-Bidayah wa al-Nihayah, juz 7, hlm. 7)

Kemudian kisah sifat warak Khalifah Abu Bakar terdapat dałam kitab Shahih Bukhari Bab masa-masa jahiliyah, yang diceritakan sebagaimana berikut:

حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ، حَدَّثَنِي أَخِي، عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ بِلَالٍ، عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ الْقَاسِمِ، عَنِ الْقَاسِمِ بْنِ مُحَمَّدٍ، عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا، قَالَتْ: "كَانَ لِأَبِي بَكْرٍ غُلَامٌ يُخْرِجُ لَهُ الْخَرَاجَ، وَكَانَ أَبُو بَكْرٍ يَأْكُلُ مِنْ خَرَاجِهِ، فَجَاءَ يَوْمًا بِشَيْءٍ فَأَكَلَ مِنْهُ أَبُو بَكْرٍ، فَقَالَ لَهُ الْغُلَامُ: أَتَدْرِي مَا هَذَا؟ فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ: وَمَا هُوَ؟ قَالَ: كُنْتُ تَكَهَّنْتُ لِإِنْسَانٍ فِي الْجَاهِلِيَّةِ، وَمَا أُحْسِنُ الْكِهَانَةَ، إِلَّا أَنِّي خَدَعْتُهُ، فَلَقِيَنِي فَأَعْطَانِي بِذَلِكَ، فَهَذَا الَّذِي أَكَلْتَ مِنْهُ. فَأَدْخَلَ أَبُو بَكْرٍ يَدَهُ، فَقَاءَ كُلَّ شَيْءٍ فِي بَطْنِهِ" (صَحِيحُ الْبُخَارِيِّ،ج ٢،ص ٣٢٠)

Telah menceritakan kepada kami Isma'il telah menceritakan kepadaku saudaraku dari Sulaiman bin Bilal dari Yahya bin Sa'id dari 'Abdurrahman bin Al Qasim dari Al Qasim bin Muhammad dari 'Aisyah radliallahu 'anha berkata; "Dahulu, Abu Bakar mempunyai seorang pembantu yang bertugas mengambil pajak untuknya. Abu Bakar pernah memakan dari bagian pajak itu. Pada suatu hari pembantunya itu datang dengan membawa makanan, lalu Abu Bakar memakannya. Maka pembantunya itu berkata kepada Abu Bakr; "Tahukah kamu barang yang kamu makan itu?". Abu Bakar bertanya; "Apakah itu?". Pembantunya berkata; "Dahulu pada zaman jahiliyyah aku adalah orang yang pernah meramal untuk seseorang (sebagai dukun) dan aku tidak pandai dalam perdukunan kecuali aku menipunya, lalu orang itu mendatangiku dan memberikan sesuatu kepadaku. Itulah hasilnya yang tadi kamu makan". Maka Abu Bakar memasukkan jarinya ke dalam mulutnya hingga memuntahkan segala sesuatu yang ada di dalam perutnya. (Shahih Bukhori, Juz 2, hlm. 320)


  1. Khalifah Umar bin Abd al-Aziz

Khalifah ‘Umar bin ‘Abd al-‘Azīz (680–720 M / 61–101 H) adalah salah satu khalifah dari Bani Umayyah yang terkenal dengan sifat adil, zuhud, dan warak. Ia memerintah dari tahun 717–720 M sebagai khalifah kedelapan Dinasti Umayyah. Karena keadilannya, banyak ulama menyebutnya sebagai “Khalifah Rasyid kelima” setelah Khulafa’ al-Rasyidin.

وَكَانَ قَبْلَ الْخِلَافَةِ يُؤْتَى بِالْقَمِيصِ الرَّفِيعِ اللَّيِّنِ جِدًّا فَيَقُولُ: "مَا أَحْسَنَهُ لَوْلَا خُشُونَةٌ فِيهِ"، فَلَمَّا وَلِيَ الْخِلَافَةَ كَانَ بَعْدَ ذَلِكَ يَلْبَسُ الْقَمِيصَ الْغَلِيظَ الْمَرْقُوعَ، وَلَا يَغْسِلُهُ حَتَّى يَتَّسِخَ جِدًّا، وَيَقُولُ: "مَا أَحْسَنَهُ لَوْلَا لِينُهُ". وَكَانَ يَلْبَسُ الْفَرْوَةَ الْغَلِيظَةَ (الْبِدَايَةُ وَالنِّهَايَةُ، ج ١٠،ص ٢٩)

Sebelum kekhalifahan, sebuah kemeja yang sangat lembut dan tipis akan dibawakan kepadanya, dan ia akan berkata, "Betapa indahnya, seandainya tidak kasar!" Ketika ia menjabat sebagai khalifah, ia akan mengenakan kemeja kasar yang penuh tambalan dan tidak akan mencucinya sampai benar-benar kotor. Ia akan berkata, "Betapa indahnya, seandainya tidak lembut!" Ia juga mengenakan mantel bulu yang kasar. (al-Bidayah wa al-Nihayah, juz 10, hlm 29)

Kemudian terdapat pendapat kisah sifat zuhud Khalifah Umar bin Abd al-Aziz sebagaimana berikut:

وَكَانَ يَأْكُلُ الْغَلِيظَ، وَلَا يُبَالِي بِشَيْءٍ مِنَ النَّعِيمِ، وَلَا يُتْبِعُهُ نَفْسَهُ وَلَا يَوَدُّهُ، حَتَّى قَالَ أَبُو سُلَيْمَانَ الدَّارَانِيُّ: "كَانَ عُمَرُ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ أَزْهَدَ مِنْ أُوَيْسٍ الْقَرَنِيِّ، لِأَنَّ عُمَرَ مَلَكَ الدُّنْيَا بِحَذَافِيرِهَا وَزَهِدَ فِيهَا، وَلَا نَدْرِي حَالَ أُوَيْسٍ لَوْ مَلَكَ مَا مَلَكَهُ عُمَرُ كَيْفَ يَكُونُ؟ لَيْسَ مَنْ جَرَّبَ كَمَنْ لَمْ يُجَرِّبْ" (الْبِدَايَةُ وَالنِّهَايَةُ، ج ١٠،ص ٣٠)

Ia menyantap makanan kasar dan tidak peduli dengan kemewahan apa pun, juga tidak mengejar atau menyukainya, sedemikian rupa sehingga Abu Sulaiman Al-Darani berkata: Umar bin Abdul Aziz lebih zuhud daripada Uwais Al-Qarni, karena Umar memiliki seluruh dunia dan zuhud di dalamnya, dan kita tidak tahu bagaimana jadinya Uwais jika ia memiliki apa yang dimiliki Umar? Orang yang telah mengalami tidak sama dengan orang yang belum mengalami. (al-Bidayah wa al-Nihayah, juz 10, hlm 30)

KESIMPULAN

        Dari berbagai pendapat yang ditemukan, dapat disimpulkan bahwa keterlibatan sufi dan ulama dalam ranah sosial-politik merupakan fenomena yang memiliki dua sisi. Di satu sisi, keterlibatan tersebut berpotensi menimbulkan perpecahan di tengah umat jika orientasinya lebih condong pada kepentingan politik praktis. Namun, di sisi lain, apabila ulama yang terjun ke dunia politik berpegang teguh pada nilai-nilai spiritual seperti wara’, zuhud, dan keikhlasan, maka mereka justru dapat menjadi kekuatan moral yang menuntun arah politik menuju keadilan, kejujuran, dan kemaslahatan bersama. Dengan demikian, kunci utama terletak pada integritas spiritual dan ketulusan niat ulama dalam mengabdi kepada masyarakat melalui jalur politik.

Penulis : Iros Mandalla Robby Billah

Contact Person : 081239538595

e-Mail : irosmandala@gmail.com 

Perumus : Abidul Masykur, S.Pd

Mushohih : Faidlus Syukri, S.Pd


Daftar Pustaka

Kitab/Buku

Abū 'Abdillāh Muḥammad bin Ismā'īl al-Bukhārī (w. 256 H/870 M). Ṣaḥīḥ al-Bukhārī, Nur Ilmu, Surabaya, Indonesia: tanpa tahun. Sebanyak 4 Jilid.

Abū al-Fidā’ Ismā‘īl bin ‘Umar bin Kathīr al-Qurasyī al-Dimasyqī (w. 774 H/1373 M). Al-Bidāyah wa al-Nihāyah. Dār Ibn Kathīr li al-Ṭibā‘ah wa al-Tawzī‘, Beirut, Lebanon: Cetakan ke-2, 2010. ISBN 978-9953-520-84-1. Sebanyak 21 Jilid.

Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali (w. 505 H/1111 M). Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn, Imarotullah, Surabaya, Indonesia: tanpa tahun. Sebanyak 4 Jilid.

Abū al-Ḥusain Muslim bin al-Ḥajjāj al-Qusyairī al-Naisābūrī (w. 261 H/875 M). Ṣaḥīḥ Muslim. Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut, Lebanon: 2021. Sebanyak 2 Jilid.

Abū al-Qāsim ‘Abdul Karīm bin Hawāzin al-Qusyairī (w. 465 H/1074 M). al-Risalah al-Qusyairiyyah fi ‘Ilm al-Tashawwuf. Haromain, Surabaya, Indonesia: tanpa tahun.

Abū Zakariyyā Yaḥyā bin Sharaf al-Nawawī (w. 676 H/1277 M). Riyāḍ al-Ṣāliḥīn min Kalām Sayyid al-Mursalīn. CV Pustaka Assalam, Surabaya, Indonesia: tanpa tahun.

Abū Zakariyyā Yaḥyā bin Sharaf al-Nawawī (w. 676 H/1277 M). Al-Minhāj Syarḥ Ṣaḥīḥ Muslim bin al-Ḥajjāj. Al-Maṭbaʻah Al-Miṣrīyah, Kairo, Mesir: Cetakan Pertama, 1347 H/1929 M. Sebanyak 9 Jilid.

ʿAlī Muḥammad Al-Ṣallābī. Tārīkh al-ḥarakah al-sanūsiyyah fī Afrīqiyā. Dār al-Maʿrifah, Beirut, Lebanon: Cetakan Pertama, 2009.

Hasan bin Muhammad Hilmi Al-Qahi al-Naqsyabandi al-Syadzili (w. 1356 H/1937 M). Tanbihus Sālikīn ilā Ghurūril Mutasyayyikhīn. al-Idārat al-Dīniyyah, Makhachkala, Dagestan: tanpa tahun.

Muḥammad ‘Alī bin Muḥammad bin ‘Allān al-Siddīqī al-Makkī al-Syāfi‘ī (w. 1057 H/1648 M). Dalīl al-Fāliḥīn li Ṭuruq Riyāḍ al-Ṣāliḥīn. Disunting oleh Khalīl Ma’mūn Syiḥā. Dār al-Ma‘rifah li al-Ṭibā‘ah wa al-Nasyr wa al-Tawzī‘, Beirut, Lebanon: Cetakan ke-4, 1425 H/2004 M. Sebanyak 8 Jilid.

Muhammad Nawawi bin Umar Al-Jawi Al-Bantani (w. 1314 H/1897 M). Marāqil 'Ubūdiyyah 'alā Matn Bidāyatil Hidāyah. Toko Kitab Imam, Surabaya, Indonesia: tanpa tahun.
=================================
























Posting Komentar untuk "Sufi dan Politik: Antara Warak dan Kekuasaan"