TRANSAKSI SYAHADAH KEMURSYIDAN
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Thariqah umumnya memiliki silsilah atau rantai guru yang berkesinambungan hingga sampai kepada Nabi Muhammad SAW melalui jalur para sahabat dan ulama sufi. Seorang pengikut (murid atau salik) dibimbing oleh seorang mursyid dalam melaksanakan amalan-amalan seperti zikir, wirid, serta adab tertentu yang diwariskan dalam thariqah tersebut. Dalam ajaran tasawuf (sufisme) islam, mursyid (المرشد) diartikan sebagai guru pembimbing rohani, yaitu seseorang yang berperan menuntun murid (salik) dalam menempuh perjalanan spiritual (thariqah) menuju kedekatan dengan Allah SWT. Secara etimologis, kata mursyid berasal dari akar kata مرشد yang bermakna petunjuk, bimbingan, atau kelurusan jalan, sehingga mursyid dapat dimaknai sebagai orang yang memberi petunjuk menuju jalan yang benar.
Seiring dengan perkembangan zaman, berbagai hal kerap kali dikaitkan dengan urusan yang bersifat transaksional. Tidak hanya terjadi dalam bentuk transaksi jabatan di lingkup pemerintahan atau transaksi nasab maupun silsilah palsu dalam urusan keluarga, tetapi juga muncul praktik transaksi kedudukan atau maqam kemursyidan dalam dunia tasawuf. Fenomena ini menimbulkan kerancuan dalam pemahaman terhadap keilmuan tasawuf atau tarekat, mengingat kemursyidan merupakan hal yang bersifat abstrak. Akibatnya, muncul pandangan yang tidak rasional terkait dengan praktik transaksi kemursyidan tersebut.
PEMBAHASAN
Pengertian Mursyid
Secara etimologi, kata mursyid berasal dari bahasa Arab dan merupakan ism fa’il kata kerja arsyada-yursyidu yang berarti “membimbing, menunjuki (jalan yang lurus)”, terambil dari kata rasyad (hal memperoleh petunjuk/kebenaran) atau rusyd dan rasyada (hal mengikuti jalan yang benar/lurus). Sedangkan secara epistemologi, mursyid adalah “orang yang membimbing atau menunjuki jalan yang lurus”. Dalam wacana tasawuf atau thariqah, mursyid sering digunakan dengan kata Arab Syaikh; kedua-duanya dapat diterjemahkan dengan “guru”.
Seorang mursyid/syaikh dalam pandangan tasawuf adalah seorang guru ruhani yang telah mencapai makrifatullah, memahami jalan spiritual menuju Allah SWT, dan diberi kemampuan oleh Allah SWT untuk membimbing murid dalam penyucian jiwa dan pendekatan diri kepada-Nya. Menurut al-Kamshikhānawī al-Naqshabandī al-Khālidī, syaratnya menjadi seorang syaikh terdapat 5 perkara, yang mana diikuti oleh 5 perkara yang dapat menjadikan seseorang tidak sah menjadi seorang syaikh. Penjelasan tersebut sebagaimana berikut:
وَشُرُوطُ الشَّيْخِ الَّذِي يُلْقِي الْمُرِيدُ إِلَيْهِ نَفْسَهُ خَمْسَةٌ: ذَوْقٌ صَرِيحٌ، وَعِلْمٌ صَحِيحٌ، وَهِمَّةٌ عَالِيَةٌ، وَحَالَةٌ مَرْضِيَّةٌ، وَبَصِيرَةٌ نَافِذَةٌ.
فَمَنْ فِيهِ خَمْسَةٌ لَا تَصِحُّ مَشْيَخَتُهُ: مَشْيَخَةُ الْجَهْلِ بِالدِّينِ، وَإِسْقَاطُ حُرْمَةِ الْمُسْلِمِينَ، وَدُخُولُ مَا لَا يَعْنِي، وَاتِّبَاعُ الْهَوَى فِي كُلِّ شَيْءٍ، وَسُوءُ الْخُلُقِ مِنْ غَيْرِ مُبَالَاةٍ. (جامِعُ الأُصُولِ فِي الأَوْلِياءِ، ص ٥١)
“Syarat-syarat seorang syekh (pembimbing ruhani) yang kepadanya seorang murid menyerahkan diri untuk dibimbing ada lima: rasa spiritual yang jernih, ilmu yang benar, tekad yang tinggi, keadaan batin yang diridai, dan pandangan batin yang tajam.
Dan barang siapa memiliki lima hal berikut, maka tidak sah (tidak layak) baginya menjadi seorang syekh: kebodohan terhadap agama, meremehkan kehormatan kaum muslimin, mencampuri urusan yang tidak penting baginya, mengikuti hawa nafsu dalam segala hal, serta berakhlak buruk tanpa merasa peduli.” (Jami’ al-Ushul fi al-Auliya’ hlm. 51)
Mursyid yang Memberikan Syahadah Kemursyidan
Kemursyidan merupakan amanah ruhani yang bersifat abstrak karena berlandaskan pada tingkat kedekatan seseorang kepada Allah SWT. Kedekatan ini tidak dapat diukur atau diketahui oleh orang lain selain guru dari mursyid itu sendiri. Oleh karena itu, ukuran untuk menetapkan seseorang layak menerima kemursyidan tidak bisa ditentukan secara pasti, apalagi dijadikan objek transaksi. Hal ini dikarenakan transaksional bersifat duniawi, sedangkan kemursyidan adalah tanggung jawab spiritual. Selain itu, untuk menjadi seorang mursyid juga terdapat sejumlah syarat yang harus dipenuhi, salah satunya adalah tidak mengharapkan harta yang dimiliki oleh murid. Penjelasan tersebut disampaikan oleh Syaikh Muḥammad Amīn al-Kurdī al-Naqsyabandī sebagaimana berikut:
أَنْ يَتَنَزَّهَ عَنْ مالِ الْمُريدينَ وَلَا يَطْمَعَ في شَيْءٍ مِمَّا في أَيْدِيهِمْ (تنويرُ القلوبِ، ص ٥٢٥)
Bersih hati terhadap hati para murid dan tidak tamak terhadap harta yang mereka miliki. (Tanwir al-Qulub hlm. 525)
Dari penjelasan syarat mursyid tersebut, maka hendaknya setiap mursyid tidak tamak terhadap harta benda yang dimiliki oleh muridnya. Karena seyogyanya seorang mursyid telah bersih dari berbagai macam penyakit hati dan mengetahui cara untuk menjaga dirinya dari keburukan hawa nafsu. Penjelasan itu juga termasuk syarat mursyid yang disampaikan oleh Syaikh Muḥammad Amīn al-Kurdī al-Naqsyabandī dalam kitabnya yang tertertulis:
أَنْ يَكُونَ عَارِفًا بِكَمَالَاتِ الْقُلُوبِ وَآدَابِهَا وَآفَاتِ النُّفُوسِ وَأَمْرَاضِهَا وَكَيْفِيَّةِ حِفْظِ صِحَّتِهَا وَاعْتِدَالِهَا. (تنويرُ القلوبِ، ص ٥٢٥)
Mengenal berbagai kesempurnaan hati, etika-etikanya, wabah dan berbagai penyakit jiwa, serta cara menjaga kesehatan dan kestabilannya. (Tanwir al-Qulub hlm. 525)
Dari penjelasan syarat mursyid tersebut, maka hendaknya setiap mursyid bersih hatinya. Jika seorang mursyid masih memiliki penyakit hati seperti sifat tamak, maka dalam proses membimbing murid masih dipertanyakan sifat keikhlasan dari mursyid. Sedangkan seorang mursyid yang sedang menuntun perjalanan spiritual murid haruslah berlandaskan rasa ikhlas. Pendapat tentang ikhlas dijelaskan dalam kitab Jami’ al-Ushul fi al-Auliya’ sebagaimana berikut:
وَأَمَّا الإِخْلَاصُ فَقَالُوا: نُورٌ مِنْ نُورِ اللهِ اسْتَوْدَعَهُ اللهُ قَلْبَ عَبْدِهِ الْمُؤْمِنِ، فَقَطَعَهُ بِهِ عَنْ غَيْرِهِ، فَذٰلِكَ هُوَ أَصْلُ الإِخْلَاصِ, ثُمَّ يَتَشَعَّبُ إِلَى أَرْبَع :إِرَادَةُ الإِخْلَاصِ فِي الْعَمَلِ عَلَى التَّعْظِيمِ لَهُ, إِرَادَةُ الإِخْلَاصِ عَلَى التَّعْظِيمِ لِأَمْرِ اللهِ ,إِرَادَةُ الإِخْلَاصِ لِطَلَبِ الْأَجْرِ وَالثَّوَابِ, إِرَادَةُ الإِخْلَاصِ فِي تَصْفِيَةِ الْعَمَلِ عَنِ الشَّوَائِبِ، إِنْ لَا يُرَاعَى فِيهِ غَيْرُ ذٰلِكَ. (جامِعُ الأُصُولِ فِي الأَوْلِياءِ، ص ١٤٩)
Adapun ikhlas, para ulama berkata: Ikhlas adalah cahaya dari cahaya Allah yang Allah titipkan ke dalam hati hamba-Nya yang beriman, dengan cahaya itu Allah memutuskan (hubungan hati hamba tersebut) dari selain-Nya. Maka itulah hakikat dasar dari ikhlas. Kemudian ikhlas bercabang menjadi empat: Keinginan untuk berikhlas dalam amal karena memuliakan Allah, Keinginan untuk berikhlas karena mengagungkan perintah Allah, Keinginan untuk berikhlas demi mengharap pahala dan ganjaran, dan Keinginan untuk berikhlas dalam menyucikan amal dari berbagai syubhat dan kekeruhan, sehingga dalam amal itu tidak diperhatikan selain Allah semata. (Jami’ al-Ushul fi al-Auliya’ hlm. 149)
Menurut keterangan diatas, seseorang yang ikhlas akan menyucikan amal perbuatannya dari hal yang syubhat dan keruh. Dengan begitu alam perbuatan yang dilakukan tidak ingin diperhatikan oleh selain Allah SWT serta amal yang dilakukan pun juga semata-mata karena memuliakan Allah SWT. Jika masih terdapat seorang mursyid yang memberikan syahadah kemursyidan dengan berlandaskan urusan duniawi, maka dengan begitu perbuatannya masih belum suci dari selain Allah SWT dan tidak berdasarkan memuliakan Allah SWT.
Murid yang Menginginkan Syahadah Kemursyidan
Pemberian syahadah atau sanad kemursyidan adalah hak dan tanggung jawab seorang mursyid, guna memastikan kesinambungan mata rantai kemursyidan. Pemberian tersebut dilakukan dengan pertimbangan bahwa murid yang bersangkutan telah memenuhi kriteria dan pantas untuk menjadi mursyid. Meskipun proses penyerahan syahadah atau sanad kemursyidan terkadang melibatkan proses transaksi, apabila murid dianggap layak, maka mursyid memiliki hak sekaligus kewajiban untuk mengangkatnya sebagai mursyid.
Disisi lain, murid yang hendak menginginkan syahadah kemursyidan juga perlu menilai dirinya sendiri sesuai dengan syarat-syarat menjadi mursyid. Karena pada hakikatnya, kedudukan mursyid adalah amanah rohani yang tidak bisa diperoleh semata-mata atas keinginan pribadi. Oleh sebab itu, murid yang hendak menjadi mursyid seharusnya memiliki niat yang tulus dan kesadaran penuh bahwa peran tersebut merupakan tanggung jawab spiritual yang suci. Sebagaimana telah disampaikan oleh Syaikh Muḥammad Amīn al-Kurdī al-Naqsyabandī:
أَنْ يَكُونَ مُسْتَسْلِمًا مُنْقَادًا رَاضِيًا لِتَصَرُّفَاتِ الشَّيْخِ بِالْمَالِ وَالْبَدَنِ، لِأَنَّ جَوْهَرَ الإِرَادَةِ وَالْمَحَبَّةِ لَا يَتَبَيَّنُ إِلَّا بِهٰذَا الطَّرِيقِ، وَوَزْنَ الصِّدْقِ وَالإِخْلَاصِ لَا يُعْلَمُ إِلَّا بِهٰذَا الْمِيزَانِ. (تنويرُ القلوبِ، ص ٥٢٨)
Hendaknya seorang murid bersikap pasrah, patuh, dan rela terhadap segala tindakan gurunya, serta melayaninya dengan harta dan tenaga, karena hakikat dari kemauan dan kecintaan tidak akan tampak kecuali melalui jalan ini, dan timbangan untuk mengukur kejujuran dan keikhlasan tidak dapat diketahui kecuali dengan ukuran (ujian) semacam ini. (Tanwirul Qulub hlm. 528)
Dari pendapat tersebut, maka hendaknya seorang murid haruslah ikhlas atas segala tindakan gurunya. Jika seorang murid mendapati diberikan kemursyidan maupun tidak diberikan, maka sudah seyogyanya sikap murid harus ikhlas menerimanya. Karena jika tidak ada rasa ikhlas, maka akan menimbulkan berbagai penyakit hati, salah satunya ialah riya’. Penyakit hati timbulnya juga halus dan terkadang tidak dapat dirasakan. Seperti halnya riya’, hanyalah orang yang ikhlas yang dapat mengetahui tentang riya’. Keterangan tersebut terdapat dalam kitab al-Risalah al-Qusyairyah sebagaimana berikut:
وَقَالَ سَهْلٌ: لَا يَعْرِفُ الرِّيَاءَ إِلَّا مُخْلِصٌ (الرِّسَالَةُ الْقُشَيْرِيَّةُ، ص ٢٠٩)
“Sahl (al-Tustarī) berkata: Tidak ada yang mengetahui (dan mengenali) riya’ kecuali orang yang ikhlas.” (al-Risalah al-Qusyairiyyah, hlm 209)
Masih dalam kitab yang sama, tolak ukur amal seseorang yang riya’ maupun tidak, dapat diukur dengan bagaimana dia berperilaku. Sebagaimana dijelaskan di bawah ini:
وَقَالَ الفُضَيْلُ: تَرْكُ العَمَلِ لِأَجْلِ النَّاسِ هُوَ الرِّيَاءُ، وَالعَمَلُ لِأَجْلِ النَّاسِ هُوَ الشِّرْكُ (الرِّسَالَةُ الْقُشَيْرِيَّةُ، ص ٤٢٥)
“Al-Fudhail (ibn ‘Iyadh) berkata: Meninggalkan amal karena manusia adalah riya’, dan beramal karena manusia adalah syirik.” (al-Risalah al-Qusyairiyyah, hlm 425)
Kemudian Imam al-Ghazali menjelaskan perincian tentang riya’ dalam kitabnya (Ihya’ ‘Ulum al-Din) sebagaimana berikut:
اِعْلَمْ أَنَّ بَعْضَ أَبْوَابِ الرِّيَاءِ أَشَدُّ وَأَغْلَظُ مِنْ بَعْضٍ، وَاخْتِلَافَهُ بِاخْتِلَافِ أَرْكَانِهِ وَتَفَاوُتِ الدَّرَجَاتِ فِيهِ، وَأَرْكَانُهُ ثَلَاثَةٌ: الْمُرَاءَى بِهِ، وَالْمُرَاءَى لِأَجْلِهِ، وَنَفْسُ قَصْدِ الرِّيَاءِ. الرُّكْنُ الْأَوَّلُ: نَفْسُ قَصْدِ الرِّيَاءِ، وَذٰلِكَ لَا يَخْلُو إِمَّا أَنْ يَكُونَ مُجَرَّدًا دُونَ إِرَادَةِ عِبَادَةِ اللهِ تَعَالَى وَالثَّوَابِ، وَإِمَّا أَنْ يَكُونَ مَعَ إِرَادَةِ الثَّوَابِ، فَإِنْ كَانَ كَذٰلِكَ فَلَا يَخْلُو إِمَّا أَنْ تَكُونَ إِرَادَةُ الثَّوَابِ أَقْوَى وَأَغْلَبَ، أَوْ أَضْعَفَ، أَوْ مُسَاوِيَةً لِإِرَادَةِ الْعِبَادَةِ، فَتَكُونُ الدَّرَجَاتُ أَرْبَعًا. (إِحْيَاءُ عُلُومِ الدِّينِ، ج ٣، ص٢٩٣-٢٩٤)
“Ketahuilah bahwa sebagian pintu-pintu riya’ itu lebih berat dan lebih keras (dosanya) dibanding sebagian yang lain. Perbedaannya tergantung pada perbedaan rukun-rukunnya serta tingkatan-tingkatan di dalamnya. Adapun rukun-riya’ ada tiga: sesuatu yang dipamerkan (objek riya’), pihak yang menjadi tujuan riya’, dan niat riya’ itu sendiri. Rukun pertama adalah niat riya’ itu sendiri. Niat ini tidak lepas dari dua keadaan: riya’ murni tanpa ada keinginan beribadah kepada Allah Ta‘ala atau mengharap pahala, atau riya’ disertai keinginan memperoleh pahala. Jika demikian, maka tidak lepas dari tiga kemungkinan: keinginan akan pahala lebih kuat dan dominan, keinginan akan pahala lebih lemah, atau keinginan akan pahala setara dengan keinginan untuk dipuji manusia. Maka tingkatan-tingkatan riya’ menjadi empat.” (Ihya’ ‘Ulum ad-Din, Juz 3, hlm 293-294)
Pembahasan mengenai riya’ dalam tulisan Imam Al-Ghazali tersebut menegaskan bahwa riya’ bukanlah satu bentuk penyakit hati yang sederhana, tetapi memiliki tingkatan dan kedalaman yang berbeda sesuai dengan unsur-unsur yang menyusunnya. Riya’ muncul karena adanya dorongan batin untuk memperlihatkan amal kepada manusia, dan kadar dosa atau kerusakannya bergantung pada seberapa kuat niat tersebut menguasai hati pelakunya. Di antara tiga rukun riya’ yang disebutkan, niat merupakan unsur yang paling penting, sebab dari sanalah lahir seluruh dorongan untuk mencari penilaian atau pujian manusia.
Selanjutnya, Imam al-Ghazali juga memberikan mendefinisikan macamnya riya’. Pendapat itu terdapat dalam kitabnya yang terakhir, yaitu Minhaj al-‘Abidin. Penjelasannya adalah sebagaimana berikut:
وَضِدُّ الإِخْلَاصِ الرِّيَاءُ، وَهُوَ إِرَادَةُ نَفْعِ الدُّنْيَا بِعَمَلِ الآخِرَةِ. ثُمَّ الرِّيَاءُ ضَرْبَانِ: رِيَاءٌ مَحْضٌ، وَرِيَاءُ تَخْلِيطٍ. فَالْمَحْضُ أَنْ تُرِيدَ بِهِ نَفْعَ الدُّنْيَا لَا غَيْرَ، وَالتَّخْلِيطُ أَنْ تُرِيدَهُمَا جَمِيعًا: نَفْعَ الدُّنْيَا وَنَفْعَ الآخِرَةِ، هٰذَا حَدُّهُمَا. (منهاج العابدين، ص ٣٤٣)
"Lawan dari keikhlasan adalah riya, yaitu menginginkan keuntungan dunia dengan amal akhirat. Riya ada dua macam: riya murni dan riya campuran. Riya murni adalah ketika seseorang menginginkan dengan amalnya itu manfaat dunia saja, tidak lebih. Sedangkan riya campuran adalah ketika seseorang menginginkan keduanya sekaligus: manfaat dunia dan manfaat akhirat. Inilah batasan (definisi) keduanya.” (Minhaj al-‘Abidin hlm. 343)
Penjelasan tersebut juga menjelaskan bahwa niat riya’ dapat muncul dalam berbagai bentuk. Ada riya’ murni, yaitu ketika seseorang beramal semata-mata untuk mendapatkan pengakuan manusia tanpa sedikit pun mengharap ridha atau pahala dari Allah. Inilah bentuk riya’ yang paling berat dan paling merusak amal. Namun, ada pula bentuk riya’ yang tercampur dengan keinginan beribadah dan meraih pahala. Pada tingkatan ini, kondisi hati seseorang sangat menentukan: apakah dorongan ibadah lebih kuat daripada keinginan dipuji, seimbang, atau bahkan lebih lemah. Setiap kondisi menghasilkan kadar riya’ yang berbeda, dan masing-masingnya menghadirkan celah bagi kerusakan keikhlasan.
Pada akhirnya dapat dipahami bahwa keikhlasan adalah kualitas hati yang sangat halus, sementara riya’ sering menyelinap tanpa disadari. Karena itulah seseorang harus selalu mengawasi niatnya, membersihkan dorongan-dorongan tersembunyi dalam hati, dan terus memperbarui kesadarannya agar amalnya benar-benar tertuju kepada Allah semata. Oleh karena itu, seorang murid yang berkeinginan untuk menjadi mursyid melalui transaksi syahadah kemursyidan perlu dipertanyakan keikhlasannya. Karena niat yang baik pun masih terdapat unsur penyakit hati seperti riya’.
KESIMPULAN
Penulis : Iros Mandalla Robby Billah
Contact Person : 081239538595
e-Mail : irosmandala@gmail.com
Perumus : Abidul Masykur, S.Pd
Mushohih : M. Faidlus Syukri, S.Pd
Daftar Pustaka
Kitab/Buku
Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali (w. 505 H/1111 M). Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn. Imarotullah. Surabaya, Indonesia: tanpa tahun. Sebanyak 4 Jilid.
Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali (w. 505 H/1111 M). Minhaj Al-‘Abidin. Dar al-Basyair al-Islamiyah. Beirut, Lebanon: Cetakan Ketiga, 2001.
Abū al-Qāsim ‘Abdul Karīm bin Hawāzin al-Qusyairī (w. 465 H/1074 M). al-Risalah al-Qusyairiyyah fi ‘Ilm al-Tashawwuf. Haromain, Surabaya, Indonesia: tanpa tahun.
Aḥmad ibn Muṣṭafā al-Kamshikhānawī al-Naqshabandī al-Khālidī (w. 1311 H/1893 M). Jami’ al-Ushul fi al-Auliya. Al-Intishar Al-Arabi. Beirut, Lebanon: Cetakan Pertama, 1997.
Abū ‘Abdillāh Muhammad bin Qāsim bin Muhammad al-Ghazzī (w. 918 H/1512 M). Fath al-Qarib al-Mujib. AL-JAFFAN & AL-JABI. Limassol, Siprus: Cetakan Pertama, 2005. ISBN 9953-81-025-7.
Abū al-Hudā Muhammad Amīn ibn ‘Abdillāh al-Kurdī al-Irbīlī (w. 1332 H / 1914 M). Tanwīr al-Qulūb fī Mu‘āmalat ‘Allām al-Ghuyūb. Al-Hidayah. Surabaya, Indonesia: tanpa tahun.
%20IROS%20MANDALLA%20RB%20(22).jpg)
%20IROS%20MANDALLA%20RB%20(23).jpg)
%20IROS%20MANDALLA%20RB%20(24).jpg)
%20IROS%20MANDALLA%20RB%20(25).jpg)
%20IROS%20MANDALLA%20RB%20(26).jpg)
%20IROS%20MANDALLA%20RB%20(27).jpg)
%20IROS%20MANDALLA%20RB%20(28).jpg)
%20IROS%20MANDALLA%20RB%20(29).jpg)
%20IROS%20MANDALLA%20RB%20(30).jpg)
Posting Komentar untuk "Transaksi Syahadah Kemursyidan"