HUKUM MENGAKU SINGLE UNTUK KEPENTINGAN ENDORSE
Mengaku single demi kepentingan endorse berarti tindakan seorang tokoh publik (public figure) yang sengaja menyembunyikan atau mengaku single diruang digital yang pada kenyataanya ia sudah menikah secara sah. Tujuan dari tindakan ini adalah untuk mendapatkan keuntungan komersial, seperti menaikkan engagement, atau memenuhi permintaan brand yang ingin menampilkan citra tertentu. Contohnya, Seorang influencer laki-laki yang sebenarnya sudah menikah dan memiliki popularitas tinggi di instagram sering mendapat tawaran endorse dengan syarat mempertahankan citra “jomblo idaman”, dan tetap mengaku single selama kontrak endorse karena brand menuntut citra remaja atau belum berkomitmen. Dalam konten publik Ia membangun narasi fiktif, berinteraksi dengan followers perempuan seperti masih jomblo, menghapus foto pasangan, tidak memakai cincin nikah, hingga mengaku masih lajang dalam sebuah konten, Q&A, maupun podcast untuk meningkatkan engagement. Ketika pernikahan tersebut akhirnya terungkap, muncul berbagai dampak, pengikut merasa ditipu, reputasi influencer menurun, kepercayaan publik hilang, dan sejumlah kontrak kerja pun dibatalkan.
Pertanyaan :
Bagaimana hukum seseorang yang sengaja menyembunyikan status pernikahan dengan tujuan mempertahankan atau mendapatkan endorse, misalnya mengaku single untuk mendapatkan banyak followers?
Apakah pemalsuan itu mempengaruhi keabsahan pernikahannya?
Jawaban :
Hukum seseorang yang sengaja menyembunyikan status pernikahan dengan tujuan mempertahankan atau mendapatkan endorse
A. Haram
Karena berpura-pura single demi menarik followers atau memenuhi tuntutan brand tidak termasuk kebohongan yang diberi keringanan oleh syariat. Dalam konteks ini endorse dapat dilakukan tanpa kebohongan. Tindakan ini merugikan publik, brand, dan pasangan, serta tidak termasuk kebohongan yang dibolehkan di antara suami dan istri seperti untuk menjaga keharmonisan rumah tangga atau kondisi darurat.
فَنَقُوْلُ : الْكَلَامُ وَسِيْلَةٌ إِلَى الْمَقَاصِدِ ؛ فَكُلُّ مَقْصُوْدٍ مَحْمُوْدٍ يُمْكِنُ التَّوَصُّلُ إِلَيْهِ بِالصِّدْقِ وَالْكَذِبِ جَمِيْعًا . . فَالْكَذِبُ فِيْهِ حَرَامٌ ، (إحياء علوم الدين: ج ١، ص ٤٨٨)
“Maka kami katakan: Ucapan (perkataan) adalah perantara (sarana) menuju tujuan. Maka setiap tujuan terpuji yang dapat dicapai, baik melalui kejujuran maupun kebohongan sekaligus (dua-duanya mungkin), maka kebohongan (dusta) di dalamnya adalah haram.” (Ihya’ ‘Ulum al-Din, Juz 1, Halaman 488)
يَعْنِيْ : لِأَنَّ حَدَّ (١) الْكَذِبِ هُوَ الْإِخْبَارُ عَنِ الشَّيْءِ عَلَى خِلَافِ مَا هُوَ، عَمْدًا كَانَ أَوْ سَهْوًا، قَالَ الشَّيْخُ (٢) - وَلَا يُرِيْدُ الْمُتَكَلِّمُ بِهِ الْإِخْبَارَ عَنْ ظَاهِرِ لَفْظِهِ ، (النكت الوفية بما في شرح الألفية: ج ١، ص ٦٦٣)
“Maksudnya, kebohongan itu adalah menyampaikan suatu informasi yang tidak sesuai dengan kenyataan, baik dilakukan dengan sengaja maupun tidak sengaja, sebagaimana dijelaskan oleh seorang ulama. Sedangkan dalam ucapan seperti ini, orang yang berbicara tidak bermaksud menyampaikan arti lahiriah dari kata-katanya, melainkan ada maksud lain di balik lafaz tersebut.” (Al-Nukat al-Wafiyyah bima fī Syarh al-Alfiyyah, Juz 1, Halaman 663)
B. Mubah (boleh)
Jika endorse menjadi satu-satunya sumber nafkah suami. Karena hukum suami menafkahi istri adalah wajib, dan aktivitas ini termasuk usaha mencari nafkah yang dibolehkan selama profesional dan tindakan pemalsuan yang dilakukan tidak nyata misalnya dengan hanya tidak meng-upload foto istri atau tidak menampilkan kehidupan pribadi. Yang dilarang adalah mengingkari status pernikahan secara jelas, seperti berpura-pura single dalam ucapan atau penampilan publik.
وَإِنْ أَمْكَنَ التَّوَصُّلُ إِلَيْهِ بِالْكَذِبِ دُوْنَ الصِّدْقِ . . فَالْكَذِبُ فِيْهِ مُبَاحٌ إِنْ كَانَ تَحْصِيْلُ ذٰلِكَ الْمَقْصُوْدِ مُبَاحًا ، وَوَاجِبٌ إِنْ كَانَ الْمَقْصُوْدُ وَاجِبًا ، (إحياء علوم الدين: ج ١، ص ٤٨٨)
Namun, jika tujuan tersebut hanya mungkin dicapai melalui kebohongan, bukan dengan kejujuran, maka kebohongan di dalamnya menjadi mubah (diperbolehkan) jika pencapaian tujuan itu adalah mubah; dan menjadi wajib jika tujuan yang dimaksudkan adalah wajib.” (Ihya’ Ulum al-din, Juz 1, Halaman 488)
وَإِنَّمَا قُدِّمَتْ نَفَقَةُ الزَّوْجَةِ عَلَى نَفَقَةِ الْقَرِيْبِ ، لِأَنَّهَا تَجِبُ لِحَاجَتِهِ إِلَيْهَا ، وَنَفَقَةُ الْقَرِيْبِ مُوَاسَاةٌ ، فَقُدِّمَتْ نَفَقَتُهَا عَلَيْهَا كَمَا تُقَدِّمُ نَفْسَهُ ، وَلِأَنَّ نَفَقَةَ الزَّوْجَةِ تَجِبُ بِحُكْمِ الْمُعَاوَضَةِ فَقُدِّمَتْ عَلَى نَفَقَةِ الْقَرِيْبِ كَمَا يُقَدَّمُ الدَّيْنُ ، فَإِنْ كَانَ مُكْتَسِبًا مَا يُنْفِقُ عَلَى نَفْسِهِ وَزَوْجَتِهِ وَيَفْضُلُ عَنْ قُوْتِ يَوْمِهِ وَلَيْلَتِهِ لَزِمَهُ أَنْ يُنْفِقَ عَلَى قَرَابَتِهِ ، لِأَنَّ الْكَسْبَ فِيْ الْإِنْفَاقِ يَجْرِيْ مَجْرَى الْغِنَى . (المجموع شرح المهذب تكملة المطيعي الأولى، ج ١٨ ص ٢٩٩)
“Dan nafkah istri didahulukan dari nafkah kerabat, karena nafkah istri itu wajib disebabkan kebutuhan (suami) kepadanya, sedangkan nafkah kerabat bersifat muwāsah (bantuan/kepedulian). Maka nafkah istri didahulukan atas nafkah kerabat, sebagaimana seseorang mendahulukan kebutuhan dirinya sendiri. Dan karena nafkah istri wajib berdasarkan mu‘āwadlah (hubungan timbal balik/akad perkawinan), maka nafkah istri lebih didahulukan daripada nafkah kerabat, sebagaimana utang didahulukan dari selainnya. Jika seseorang memiliki penghasilan untuk memenuhi kebutuhan dirinya dan istrinya, dan masih tersisa dari kebutuhan makanan sehari semalamnya, maka ia wajib menafkahi kerabatnya. Sebab kemampuan bekerja dalam konteks nafkah menempati kedudukan seperti (harta) kecukupan.” (al-Majmu‘ Syarh al-Muhadzdzab, Juz 18, Halaman 299)
Apakah pemalsuan itu mempengaruhi keabsahan pernikahannya?
Pernikahanya tetap sah, karena suami berusaha mencari nafkah untuk keluarganya dan tidak berniat mentalak istrinya dengan perbuatannya. Pengakuan suami dalam konteks ini termasuk kinayah, dan ucapan kinayah hanya bisa menjatuhkan talak jika disertai niat.
وَإِنْ قَالَ لَهُ رَجُلٌ : أَلَكَ زَوْجَةٌ ؟ فَقَالَ لَا، فَإِنْ لَمْ يَنْوِ بِهِ الطَّلَاقَ لَمْ تُطَلَّقْ ، لِأَنَّهُ لَيْسَ بِصَرِيْحٍ ، وَإِنْ نَوَى بِهِ الطَّلَاقَ وَقَعَ لِأَنَّهُ يَحْتَمِلُ الطَّلَاقَ ( المجموع شرح المهذب تكملة المطيعي الأولى: ج ١٧، ص ١٠٢)
“Dan apabila seorang laki-laki berkata kepadanya: ‘Apakah engkau punya istri?’ kemudian ia menjawab: ‘Tidak’, maka jika ia tidak berniat talak dengan ucapan itu, istrinya tidak tertalak, karena itu bukan lafadz yang sharih (jelas). Namun jika ia meniatkan talak, maka talaknya jatuh, karena ucapan tersebut masih mengandung kemungkinan makna talak.” (al-Majmu‘ Syarh al-Muhadzdzab, Juz 17, Halaman 102)
Catatan : Syariat memberi keringanan (rukhshah) untuk berbohong bukan secara mutlak, tetapi dalam kondisi darurat demi maslahat. Berdasarkan Sunnah, kebohongan dibolehkan hanya dalam tiga hal:
Mendamaikan dua pihak
Dalam peperangan
Ucapan suami kepada istri (dan sebaliknya) berupa janji, harapan, dan ungkapan kasih sayang untuk menjaga keharmonisan dan memperbaiki hubungan, bukan untuk menzalimi.
وَفِيْ رِوَايَةٍ قَالَ ابْنُ شِهَابٍ: «وَلَمْ أَسْمَعْ يُرَخَّصُ فِي شَيْءٍ مِمَّا يَقُولُ النَّاسُ كَذِبٌ إِلَّا فِيْ ثَلَاثٍ: الْحَرْبِ، وَالإِصْلَاحِ بَيْنَ النَّاسِ، وَحَدِيْثِ الرَّجُلِ امْرَأَتَهُ، وَحَدِيْثِ الْمَرْأَةِ زَوْجَهَا ».(الموسوعة الفقهية الميسرة في فقه الكتاب والسنة المطهرة: ج ٧، ص٧٥)
“Dalam riwayat lain, Ibnu Syihab berkata: Aku tidak pernah mendengar adanya keringanan terhadap sesuatu yang oleh manusia disebut sebagai dusta, kecuali dalam tiga hal: peperangan, mendamaikan manusia, perkataan seorang laki-laki kepada istrinya, dan perkataan seorang perempuan kepada suaminya.” (al-Mausu‘ah al-Fiqhiyyah al-Muyassarah fī Fiqh al-Kitab wa al-Sunnah al-Muthahharah, Juz 7, Halaman 75)
«خَطٌّ» : هٰذِهِ أُمُوْرٌ قَدْ يَضْطَرُّ الإِنْسَانُ فِيْهَا إِلَى زِيَادَةِ الْقَوْلِ وَمُجَاوَزَةِ الصِّدْقِ طَلَبًا لِلسَّلَامَةِ وَدَفْعًا لِلضَّرَرِ . وَقَدْ رُخِّصَ فِيْ بَعْضِ اْلأَحْوَالِ فِيْ الْيَسِيْرِ مِنَ الْفَسَادِ لِمَا يُؤْمَلُ فِيْهِ مِنَ الصَّلَاحِ . فَالْكَذِبُ فِيْ اْلإِصْلَاحِ بَيْنَ اثْنَيْنِ هُوَ أَنْ يُنَمِّيَ مِنْ أَحَدِهِمَا إِلَى صَاحِبِهِ خَيْرًا وَيُبَلِّغَهُ جَمِيْلًا وَإِنْ لَمْ يَكُنْ سَمِعَهُ مِنْهُ ، يُرِيْدُ بِذٰلِكَ الإِصْلَاحَ . وَالكَذِبُ فِيْ الحَرْبِ أَنْ يُظْهِرَ مِنْ نَفْسِهِ قُوَّةً ، وَيَتَحَدَّثَ بِمَا يُقَوِّيْ بِهِ أَصْحَابَهُ وَيَكِيْدَ بِهِ عَدُوَّهُ . وَقَدْ رُوِيَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : أَنَّهُ قَالَ : «الْحَرْبُ خُدْعَةٌ» وَأَمَّا كَذِبُ الرَّجُلِ عَلَى زَوْجَتِهِ فَهُوَ أَنْ يَعِدَهَا وَيُمَنِّيَهَا وَيُظْهِرَ لَهَا مِنَ الْمَحَبَّةِ أَكْثَرَ مِمَّا فِيْ نَفْسِهِ ، يَسْتَدِيْمُ بِذٰلِكَ صُحْبَتَهَا وَيَسْتَصْلِحُ بِهِ خُلُقَهَا . قَالَ سُفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَةَ : لَوْ أَنَّ رَجُلًا اعْتَذَرَ إِلَى رَجُلٍ يُحَرِّفُ الكَلَامَ وَيُحَسِّنُهُ لِيَرْضِيَهُ بِذٰلِكَ لَمْ يَكُنْ كَاذِبًا . وَقَوْلُهُ : «حَدِيثُ الرَّجُلِ امْرَأَتَهُ، وَحَدِيْثُ المَرْأَةِ زَوْجَهَا» فِيْ مَعْنَى حَدِيْثِ أَحَدِ الزَّوْجَيْنِ اْلآخَرَ ؛ لِيَسْتَقِيْمَ مَعَ قَوْلِهِ : «إِلَّا فِيْ ثَلَاثٍ» . (شرح المشكاة للطيبي الكاشف عن حقائق السنن: ج ١٠، ص ٣٢١١)
“Ini adalah perkara-perkara yang terkadang membuat seseorang terpaksa menambah ucapan atau sedikit keluar dari batas kejujuran demi menjaga keselamatan dan menolak bahaya. Dalam sebagian keadaan, syariat memberikan keringanan terhadap sedikit unsur yang tampak buruk karena diharapkan dapat menghasilkan maslahat. Adapun bohong dalam mendamaikan dua orang, yaitu dengan menyampaikan kepada salah satu dari keduanya perkataan baik atau pujian dari pihak yang lain meskipun sebenarnya ia tidak mendengarnya secara langsung dengan tujuan untuk menciptakan perdamaian. Sedangkan bohong dalam peperangan adalah seseorang menampakkan kekuatan dirinya, berbicara dengan sesuatu yang dapat menguatkan pasukannya dan melemahkan musuhnya. Diriwayatkan bahwa Nabi Saw. bersabda: “Perang itu adalah tipu daya.” Adapun kebohongan seorang suami kepada istrinya yaitu ketika ia menjanjikan sesuatu, memberi harapan, atau menampakkan rasa cinta yang lebih besar daripada yang ada dalam hatinya, dengan tujuan menjaga keharmonisan hubungan dan memperbaiki akhlak istrinya. Sufyan bin ‘Uyainah berkata: “Seandainya seseorang meminta maaf kepada orang lain dengan sedikit mengubah kata-kata dan memperindahnya agar orang tersebut ridha, maka hal itu tidak dianggap bohong. ”Adapun sabda Nabi Saw. : ‘Ucapan seorang laki-laki kepada istrinya, dan ucapan seorang perempuan kepada suaminya’ (yang tidak dianggap bohong), maksudnya adalah ucapan salah satu pasangan kepada pasangannya yang lain; agar selaras dengan sabdanya: kecuali dalam tiga hal.” (Syarh al-Misykat Li al-Thibi al-Kasyif ‘an Haqa’iq al-Sunan, Juz 10, Halaman 3211)
Penulis : Elok Maulidah
Contact Person : 081333577169
e-Mail : elokmaulidah1304@gmail.com
Perumus : Ustadz. Arief Rahman Hakim, M.Pd.
Mushohih : Ustadz. Arief Rahman Hakim, M.Pd.
Daftar Pustaka
Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad al-Ghazali (W. 505 H), Ihya’ ‘Ulum al-Din: Dar al-Minhaj li al-Nasyr wa al-Tauzi’, Jeddah, Arab Saudi: Cetakan Pertama, 1432 H / 2011 M, 5 jilid.
Burhan al-Din Ibrahim bin ‘Umar al-Biqa‘i (W. 885 H), Al-Nukat al-Wafiyyah bima fī Syarh al-Alfiyyah: Maktabah al-Rusyd, Arab Saudi, Riyadh: Cetakan Pertama, 1428 H / 2007 M, 2 jilid
Abi Zakariya Muhyiddin bin Syarif al-Nawawi (W. 676 H), al-Majmu‘ Syarh al-Muhadzdzab: Maktabah Salafiyyah, Madinah: Tanpa Tahun, 23 jilid.
Abu Muhammad al-Husain bin Mas’ud bin Muhammad bin al-Farra' al-Baghawi al-Syafi’i (W. 516 H), al-Tahdzib fi Fiqh al-Syafi’i: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut, Lebanon : Cetakan Pertama, 1418 H / 1997 M, 3 jilid.
Husain bin ‘Audah al-‘Awayisyah (W. 516 H), al-Mausu‘ah al-Fiqhiyyah al-Muyassarah fī Fiqh al-Kitab wa al-Sunnah al-Muthahharah: juz 7, hal. 75: Dar Ibn Hazm, Beirut, Lebanon : Cetakan Pertama, 1423 H / 2003 M, 7 jilid.
Syarifuddin al-Husain bin Abdullah al-Thibi (W. 743 H), Syarh al-Thibi ‘ala al-Misykat al-Mashabih bi al-Kasyif ‘an Haqa’iq al-Sunan: Maktabah Nizar Mushthafa al-Baz, Makkah al-Mukarramah, Riyadh : Cetakan Pertama, 1417 H / 1997 M, 13 jilid.








Posting Komentar untuk "Hukum Mengaku Single Untuk Kepentingan Endorse"