Seiring perkembangan zaman,
aktifitas masyarakat semakin tinggi, tingkat kesibukan dan mobilitias pun naik.
Yang mana hal ini juga berpengaruh terhadap proses ritual ibadah. Salah satu
contoh, untuk mengumandangkan adzan di masjid, tidak jarang para takmir masjid
mencari petugas adzan (muadzin) untuk mengumandangkan adzan tiap waktu sholat
tiba, dan dalam tiap harinya sang muadzin diberi upah atau gaji yang diambil
dari uang kas masjid.
Dari permasalahan tersebut,
bagaimanakah pandangan agama tentang hukum meminta gaji atau bayaran dari
pekerjaan adzan (sebagai muadzin)?
a. Tidak boleh meminta gaji apabila tidak ada anggaran untuk gaji seorang
muadzin.
b. Boleh meminta gaji apabila memang
sudah dianggarkan. Sebagai-mana keterangan
dalam kitab al-Umm, hal. 103:
وَلاَ يَجُوزُ
لَهُ أَنْ يَرْزُقَهُ مِنَ الصَّدَقَاتِ شَيْءٌ وَيَحِلُّ لِلْمُؤَذِّنِ أَخْذُ
الرِّزْقِ إذَا رُزِقَ من حَيْثُ وُصِفَتْ أَنْ يَرْزُقَ وَلاَ يَحِلُّ لَهُ
أَخْذُهُ مِنْ غَيْرِهِ بِأَنَّهُ رِزْقٌ (الأم، ج 1، ص 103)
Tidak boleh bagi seorang
muadzin menerima gaji dari shodaqoh, dan halal bagi muadzin mengambil gaji jika
memang sudah dianggarkan, dan tidak halal mengambil gaji di luar anggaran.
(al-Umm, juz 1, hal. 103)
Perlu diperhatikan, meskipun pada umumnya para takmir masjid telah
menganggarkan gaji muadzin, seorang muadzin dalam menjalan-kan tugasnya
disunnahkan berniat ibadah sunnah, jikalau muadzin tidak berniat ibadah sunnah
maka muadzin tersebut boleh meminta gaji yang wajar dan sekedarnya saja, dan
imam (pengurus masjid atau musholla) sudah seharusnya memberikan gaji dari uang
kas. Hal ini sesuai dengan keterangan di bawah ini:
فَرْعٌ
يُسْتَحَبُّ لِلْمُؤَذِّنِ التَّطَوُّعُ بِاْلأَذَانِ فَإِنْ لَمْ يَتَطَوَّعْ
رَزَقَةُ اْلإِمَامُ مِنَ الْمَصَالِحِ وَهُوَ خَمْسُ خُمُسِ الْفَيْءِ
وَالْغَنِيْمَةِ وَكَذَا أَرْبَعَةُ أَخْمَاسِ الْفَيْءِ إِذَا قُلْنَا إِنَّهَا
لِلْمَصَالِحِ وَاِنَّمَا يَرْزُقُهُ عِنْدَ الْحَاجَةِ وَعَلَى قَدْرِهَا وَلَوْ
وَجَدَ فَاسِقًا يَتَطَوَّعُ وَأَمِيْنًا لاَ يَتَطَوَّعُ فَلَهُ أَنْ يَرْزُقَ
اْلأَمِيْنُ عَلىَ الصَّحِيْحِ وَلَوْ وَجَدَ أَمِيْنًا يَتَطَوَّعُ وَأَمِيْنًا
أَحْسَنَ مِنْهُ صَوْتًا لاَ يَتَطَوَّعُ فَهَلْ يَجُوْزُ أَنْ يَرْزُقَهُ
وَجْهَانِ قاَلَ اِبْنُ سُرَيْجٍ نَعَمْ وَالْقَفَّالُ لاَ (روضة الطالبين، ص 93)
Disunnahkan bagi muadzin berniat ibadah sunnah
dengan pekerjaan adzannya, jika tidak niat ibadah sunnah, maka imam (pimpinan
masjid) seharusnya memberikan gaji dari uang kas dengan ukuran gaji lima per
lima dari harta fai’ dan rampasan perang. Begitu juga empat per lima harta fai’
jika kita katakan sesungguhnya ini untuk kemaslahatan, dan sesungguhnya muadzin
itu digaji sesuai kebutuhan dan sekedarnya saja. Dan jika ditemukan orang fasik
berniat ibadah sunnah dan orang yang tidak fasik tidak berniat ibadah sunnah,
maka orang yang tidak fasiklah yang digaji. Dan jika yang ada itu orang yang
tidak fasik berniat ibadah sunnah dan orang yang tidak fasik suaranya lebih
bagus tidak niat ibadah sunnah, apakah boleh digaji? Jawabannya ada dua
pendapat: Ibnu Suraij mengatakan: Boleh digaji, dan Imam Qoffal mengatakan:
Tidak boleh digaji. (Raudhah at-Thalibin, hal. 93)
Posting Komentar untuk "Hukum Meminta Bayaran atau Gaji dari Adzan"