«هَلَكَتِ الرِّجَالُ» أَيْ
فَعَلَتْ مَا يُؤَدِّيْ إِلَى الْهَلاَكِ «حِيْنَ أَطَاعَتِ النِّسَآءَ» (فيض القدير،
ج 6، ص 460)
Rasulullah SAW bersabda: “(Rusaklah kaum laki-laki) yaitu melakukan
perbuatan yang menyebabkan kerusakan (ketika mereka taat kepada kaum
perempuan)”. (Faidh al-Qodiir, juz 6, hlm. 460)
Secara harfiah, hadits ini menunjukkan bahwa jika laki-laki taat
pada (pemimpin) perempuan, maka kehancuranlah yang akan mereka dapatkan.
Namun, yang perlu dipahami disini adalah meski pada dasarnya
perempuan memiliki beberapa kekurangan dalam hal fisik, akal dan rasa malu yang
besar, yang mana hal-hal tersebut menyebabkan kursi kepemim-pinan lebih banyak
dikuasai oleh kaum pria. Bukan berarti jika laki-laki yang memimpin juga tidak
bisa menyebabkan pada kehancuran. Siapapun yang menjadi pemimpin baik laki-laki
atau perempuan, jika pemimpin tersebut salah dalam mengambil keputusan, yang
mana keputusan tersebut menye-babkan mereka terjerumus dalam kehancuran. Atau,
jika memang pemimpin tersebut tidak memiliki kemampuan dan tidak layak untuk
dijadikan pemimpin, maka sudah tentu hal ini akan menyebabkan orang-orang yang
dipimpin terjerumus dalam kehancuran.
Jadi, yang perlu digaris bawahi adalah siapapun orangnya, baik
laki-laki atau perempuan, jika memang memiliki kemampuan untuk memimpin,
mengatur, dan mengayomi, maka dia juga berhak untuk menduduki kursi
kepemimpinan.
Pemimpin bisa disamakan dengan hakim, karena keduanya sama-sama
memiliki kewenangan untuk memberikan keputusan. Dalam hal ini, para ahli fiqih
berpendapat tentang hak perempuan untuk menjadi hakim (pemimpin):
1. Menurut
Imam Maliki, Syafi’i dan Hanbali, tidak sah seorang perempuan menjadi hakim
(pemimpin).
2. Menurut
Imam Hanafi, seorang perempuan menjadi hakim sah hukumnya, sebagaimana sahnya
persaksian perempuan, kecuali dalam masalah pidana.
3. Menurut
Imam Muhammad Ibnu Jarir at-Thabari, perempuan boleh menjadi hakim dalam hal
apapun.
Imam Hanafi dan Imam Muhammad Ibnu Jarir at-Thabari berpendapat
demikian karena menjadi hakim atau pemimpin intinya adalah untuk ber-amar
ma’ruf dan nahi munkar (menyuruh pada kebajikan, dan mencegah dari kemunkaran)
yang didalamnya tidak disyaratkan tentang keharusan dari jenis laki-laki atau
perempuan.
وَمِنْ ذَلِكَ قَوْلُ اْلأَئِمَّةِ الثَّلاَثَةِ
أَنَّهُ لاَ يَصِحُّ تَوْلَيَّةُ الْمَرْأَةِ الْقَضَاءَ مَعَ قَوْلِ أَبِيْ حَنِيْفَةَ
أَنَّهُ يَصِحُّ أَنْ تَكُوْنَ قَاضِيَةً فِيْ كُلِّ شَيْءٍ تُقْبَلُ فِيْهِ شَهَادَةٌ.
وَعِنْدَهُ أَنَّ شَهَادَةَ النِّسَاءِ تُقْبَلُ فِيْ كُلِّ شَيْءٍ إِلاَّ الْحُدُوْدَ
وَالْجَرَاحَ فَإِنَّهَا لاَ تُقْبَلُ عِنْدَهُ. وَمَعَ قَوْلِ مُحَمَّدِ ابْنِ جَرِيْرٍ
الطَّبَرِيِّ يَصِحُّ أَنْ تَكُوْنَ الْمَرْأَةُ قَاضِيَةً فِيْ كُلِّ شَيْءٍ. فَاْلأَوَّلُ
مُشَدَّدٌ وَعَلَيْهِ جَرَى السَّلَفُ وَالْخَلَفُ. وَالثَّانِي فِيْهِ تَخْفِيْفٌ
وَالثَّالِثُ مُخَفَّفٌ فَرَجَعَ اْلأَمْرُ إِلَى مَرْتَبَتَيِ الْمِيْزَانِ، وَوَجْهُ
الثَّانِي وَالثَّالِثِ إِنْ فَصَلَ الْخُصُوْمَاتُ مِنْ بَابِ اْلأَمْرِ باِلْمَعْرُوْفِ
وَالنَّهْيِ عَنِ الْمُنْكَرِ وَلَمْ يُشْتَرَطُوْا فِيْ ذَلِكَ الذُّكُوْرَةُ. فَإِنَّ
الْمَعْمُوْلَ عَلَى الشَّرِيْعَةِ الْمُطَهَّرَةِ الثَّابِتَةِ فِي الْحُكْمِ لاَ
عَلَى الْحَاكِمِ بِهَا وَقَدْ قَالَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَنْ يُفْلِحَ
قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمْ اِمْرَأَةً. قَالَ ذَلِكَ لَمَّا وَلَّى جَمَاعَةٌ الْمَلِكَ
كِسْرَى اِبْنَتُهُ مِنْ بَعْدِهِ الْمُلْكَ. وَقَدْ أَجْمَعَ أَهْلُ الْكَشْفِ عَلَى
اشْتِرَاطِ الذُّكُوْرَةِ فِيْ كُلِّ دَاعٍ إِلَى اللهِ وَلَمْ يُبْلِغْنَا إِنَّ أَحَدًا
مِنْ نِسَاءِ السَّلَفِ الصَّالِحِ تَصَدَّرَتْ لِتَرْبِيَّةِ الْمُرِيْدِيْنَ أَبَدًا
لِنَقْصِ النِّسَاءِ فِي الدَّرَجَةِ. وَإِنْ وَرَدَ الْكَمَالُ فِيْ بَعْضِهِنَّ كَمَرْيَمَ
ابْنَةِ عِمْرَانَ وَآسِيَةَ امْرَأَةِ فِرْعَوْنَ. قَالَ فِي النِّسْبَةِ لِلتَّقْوَى
وَالدِّيْنِ لاَ بِالنِّسْبَةِ لِلْحُكْمِ بَيْنَ النَّاسِ وَسَلِيْكِهِمْ فِيْ مَقَامَاتٍ
(الميزان الكبرى ، ج 2، ص 189)
Menurut pendapat tiga imam (Maliki, Syafi’i dan Hambali), bahwa
tidak sah perempuan menduduki posisi hakim. Sedangkan Abu Hanifah mengesahkan
perempuan manjadi hakim dalam segala hal yang kesaksian wanita itu bisa
diterima dalam segala hal, kecuali yang berkaitan dengan masalah pidana. Imam
Muhammad Ibnu Jarir al-Thabari memperbolehkan perempuan menjadi hakim dalam hal
apapun.
Pendapat yang pertama (yang tidak memperbolehkan) merupakan pendapat
yang ketat/keras yang dianut ulama’ salaf dan khalaf. Sedangkan pendapat yang
kedua merupakan pendapat yang ringan/toleran. Pendapat yang ketiga merupakan
pendapat yang lebih ringan lagi. Alasan pendapat yang kedua dan yang ketiga,
bahwa sesungguhnya peleraian permusuhan termasuk bab al-amru bil ma’ruf
an-nahyu ‘anil munkar (menyuruh kebaikan dan melarang kemungkaran) yang dalam
hal ini para ulama’ tidak mensyaratkan jenis lelaki.
Rasulullah saw bersabda: “Tidak akan sukses sesuatu kaum yang
menyerahkan urusannya kepada perempuan”. Rasulullah SAW dalam bersabda tersebut
ketika masyarakat putri raja Persia sebagai ratu sesudahnya. Para ulama’
bersepakat tentang persyaratan jenis lelaki bagi semua mubaligh. Kita tidak
pernah mendengar bahwa salah seorang perempuan al salaf al shahih telah tampil
sebagai pendidik, karena perempuan derajatnya tidak sempurna, walaupun ada yang
sempurna di kalangan mereka, seperti Maryam putri Imran dan Asiyah istri
Fir’aun. Dikatakan kesempurnaan tersebut terkait dengan ketaqwaan dan agama dan
bukan tentang penetapan hukum di kalangan masyarakat. (al-Miizaan al-Kubraa,
juz 2, hlm. 189)
0 Response to "Perempuan Menjadi Pemimpin"
Posting Komentar