MISTERI KEHIDUPAN NABI KHIDIR: HIDUP KEKAL ATAU SUDAH TIADA?
LATAR BELAKANG
Perdebatan ini sering disajikan secara hitam-putih: mana yang benar dan mana yang salah, atau antara kelompok yang dianggap berpegang pada dalil kuat dengan yang dianggap percaya pada hal-hal mistis. Karena itu, di masa sekarang penting untuk mengkaji ulang topik ini agar bisa dilihat sebagai dialog yang membangun antara dua cara berpikir dalam Islam yaitu cara berpikir yang berdasarkan dalil dan akal, serta cara berpikir yang berdasarkan pengalaman spiritual dan intuisi.
Tujuannya adalah untuk mencari titik tengah yang bisa menghargai kekuatan argumen dari kedua pihak, tanpa menganggap salah satunya paling benar. Pendekatan ini berusaha mempertemukan dua cara berpikir yang sering dianggap berlawanan.
PEMBAHASAN
Argumentasi Wafatnya Nabi Khidir
Pendapat yang menyatakan bahwa nabi Khidir telah wafat didukung oleh sejumlah ulama besar dan bersandar pada argumen-argumen yang kuat secara dalil-dalil Naqli. Adapun argumen-argumen tersebut diantaranya:
Hadits tentang Batas Seratus Tahun:
Abu Bakar an-Naqqasy (W 330 H) dalam tafsirnya meriwayatkan dari ‘Ali bin Musa ar-Ridha (W 203 H) dan dari Muhammad bin Ismail al-Bukhari (W 256 H) bahwa nabi khidir telah wafat. Pada saat al-Bukhari ditanya tentang keberlangsungan hidup nabi khidir, beliau menolak pendapat tersebut dan berdalil dengan sebuah hadis:
«إِنَّ عَلَى رَأْسِ مِائَةِ سَنَةٍ لَا يَبْقَى عَلَى وَجْهِ الْأَرْضِ، مِمَّنْ هُوَ عَلَيْهَا أَحَدٌ»
“Sesungguhnya pada penghujung seratus tahun (dari sekarang), tidak akan tersisa seorang pun di muka bumi ini (dari yang hidup hari ini).”
Imam Al-Bukhari (W 256 H) sendiri, ketika ditanya tentang kehidupan nabi Khidir, secara tegas mengingkarinya dan berhujjah dengan hadis ini. Logikanya, jika nabi Khidir hidup di zaman Nabi, ia termasuk dalam keumuman hadits ini dan pasti telah wafat sebelum atau pada tahun 100 H.
نَقَلَ أَبُو بَكْرٍ النَّقَّاشُ فِي تَفْسِيرِهِ: عَنْ عَلِيِّ بْنِ مُوسَى الرِّضَا، وَعَنْ مُحَمَّدِ بْنِ إِسْمَاعِيلَ الْبُخَارِيِّ: أَنَّ الْخِضْرَ مَاتَ. وَأَنَّ الْبُخَارِيَّ سُئِلَ عَنْ حَيَاةِ الْخِضْرِ، فَأَنْكَرَ ذَلِكَ، وَاسْتَدَلَّ بِالْحَدِيثِ: «إِنَّ عَلَى رَأْسِ مِائَةِ سَنَةٍ لَا يَبْقَى عَلَى وَجْهِ الْأَرْضِ، مِمَّنْ هُوَ عَلَيْهَا أَحَدٌ.» وَهَذَا أَخْرَجَهُ هُوَ فِي الصَّحِيحِ عَنِ ابْنِ عُمَرَ، وَهُوَ عُمْدَةُ مَنْ تَمَسَّكَ بِأَنَّهُ مَاتَ، وَأَنْكَرَ أَنْ يَكُونَ بَاقِيًا. [الزهر النضر في حال الخضر: ص ١٢١]
Abu Bakr an-Naqqasy menukil dalam tafsirnya dari ‘Ali bin Musa ar-Ridha dan dari Muhammad bin Ismail al-Bukhari bahwa nabi khidir telah wafat. Disebutkan bahwa al-Bukhari pernah ditanya tentang keberlangsungan hidup nabi Khidir, maka beliau menolak/mengingkari hal itu, serta berdalil dengan hadits: “Sesungguhnya pada penghujung seratus tahun (dari sekarang), tidak akan ada seorang pun yang masih hidup di muka bumi dari mereka yang hidup pada masa ini.” Hadits ini diriwayatkan oleh al-Bukhari sendiri dalam kitab Shahihnya dari Ibnu ‘Umar, dan hadis inilah yang menjadi sandaran utama bagi mereka yang berpendapat bahwa nabi khidir telah wafat, serta menolak adanya keyakinan bahwa ia masih hidup hingga kini. (al-Zahr al-Nadhar fi Hal al-Khidhir, 121).
Kewajiban Beriman, Bai’at dan Berjihad
Sekelompok ulama, seperti Abu Hayyan (W 745 H), Al-Qadhi Abu Bakar bin Al-‘Arabi (543 H), dan Ibnu Al-Jauzi (W 597 H), berargumen bahwa seandainya nabi Khidir hidup di zaman Nabi Muhammad saw, maka ia pasti memiliki kewajiban untuk datang, beriman, berbaiat, dan berjihad di bawah kepemimpinan nabi muhammad. Mereka berhujjah dengan hadits:
عَن جَابِرٍ رَضِيَ اللّهُ عَنْهُ اَنَّ رَسُولَ اللّهِ - قَالَ: «وَالَّذِيْ نَفْسِي بِيَدِهِ، لَو أَنَّ مُوسَى كَانَ حَيًّا مَا وَسَعَهُ إِلَّا أَنْ يَتْبَعَنِيْ».
“Demi Zat yang jiwaku berada di tangan-Nya, seandainya Musa as hidup (di zamanku), niscaya tidak ada pilihan baginya kecuali mengikutiku.”
Jika Musa, seorang Nabi Ulul Azmi, berkewajiban demikian, maka nabi Khidir yang menurut sebagian pendapat adalah nabi tentu lebih utama. Ketidakhadirannya di Madinah menjadi bukti kuat bahwa ia telah tiada.
وَقَالَ أَبُو حَيَّانَ فِي تَفْسِيرِهِ: «الْجُمْهُورُ عَلَى أَنَّهُ مَاتَ؛ وَنَقَلَ عَنِ [ابْنِ] أَبِي الْفَضْلِ الْمُرْسِيِّ أَنَّ الْخِضْرَ صَاحِبَ مُوسَى مَاتَ، لِأَنَّهُ لَوْ كَانَ حَيًّا لَزِمَهُ الْمَجِيءُ إِلٰى النَّبِيِّ - وَالْإِيمَانُ بِهِ، وَاتِّبَاعُهُ. قَدْ رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ - قَالَ: لَوْ كَانَ مُوسَى حَيًّا مَا وَسِعَهُ إِلَّا اتِّبَاعِيْ. " وَأَشَارَ إِلٰى أَنَّ الْخِضْرَ هُوَ غَيْرُ صَاحِبِ مُوسَى. وَقَالَ غَيْرُهُ: لِكُلِّ زَمَانٍ خِضْرٌ، وَهِيَ دَعْوَى لَا دَلِيلَ عَلَيْهَا …
… ٥٥ - وَذَكَرَ ابْنُ الْجَوْزِيِّ فِي جُزْئِهِ الَّذِي جَمَعَهُ فِي ذٰلِكَ، عَنْ أَبِي يَعْلَى بْنِ الْفَرَّاءِ الْحَنْبَلِيِّ، قَالَ: سُئِلَ بَعْضُ أَصْحَابِنَا عَنِ الْخِضْرِ، هَلْ مَاتَ؟ فَقَالَ: نَعَمْ! .. [قَالَ] وَبَلَغَنِي مِثْلُ هٰذَا عَنْ أَبِي طَاهِرَ بْنِ الْعَبَّادِيِّ، وَكَانَ يَحْتَجُّ بِأَنَّهُ لَوْ كَانَ حَيًّا، لَجَاءَ إِلَى النَّبِيِّ -. [قُلْتُ: وَمِنْهُمْ أَبُو الْفَضْلِ بْنُ نَاصِرٍ، وَالْقَاضِي أَبُو بَكْرِ بْنِ الْعَرَبِيِّ، وَأَبُو بَكْرِ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ الْحُسَيْنِ النَّقَّاشِ] …
… ٥٧ - ثُمَّ اسْتَدَلَّ بِمَا أَخْرَجَهُ أَحْمَدُ مِنْ طَرِيقِ مُجَالِدٍ، عَنِ الشَّعْبِيِّ، عَنْ جَابِرٍ رَضِيَ اللّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللّهِ - قَالَ: «وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ، لَوْ أَنَّ مُوسَى كَانَ حَيًّا مَا وَسِعَهُ إِلَّا أَنْ يَتَّبِعَنِي». قَالَ: فَإِذَا كَانَ هٰذَا فِي حَقِّ مُوسَى، فَكَيْفَ لَمْ يَتَّبِعْهُ الْخِضْرُ لَوْ كَانَ حَيًّا، فَيُصَلِّي مَعَهُ الْجُمُعَةَ وَالْجَمَاعَةَ، وَيُجَاهِدُ تَحْتَ رَايَتِهِ. كَيْفَ ثَبَتَ أَنَّ عِيسَى يُصَلِّي خَلْفَ إِمَامِ هٰذِهِ الْأُمَّةِ. [الزهر النضر في حال الخضر: ص ١٢١-١٢٥]
Abu Hayyan dalam tafsirnya berkata: “Mayoritas ulama (al-jumhur) berpendapat bahwa nabi Khidir telah wafat. Ia menukil dari [Ibnu] Abi al-Fadl al-Mursi bahwa nabi khidir yang menjadi sahabat Nabi Musa telah meninggal dunia. Karena, seandainya ia masih hidup, niscaya wajib baginya untuk datang kepada Nabi Muhammad saw, beriman kepadanya, dan mengikutinya. Diriwayatkan dari Nabi saw bahwa beliau bersabda: “Seandainya Musa masih hidup, niscaya tidak akan ada jalan lain baginya kecuali mengikuti aku.” Abu Ḥayyan kemudian menyinggung bahwa nabi Khidir yang disebut oleh sebagian orang mungkin bukanlah orang yang sama dengan sahabat Musa. Sebagian ulama lain berkata: Setiap zaman memiliki seorang Khidir. Namun, Abu Ḥayyan menegaskan bahwa itu hanyalah klaim tanpa dasar dan tidak memiliki dalil …
… Ibnu al-Jauzi dalam risalah khusus yang ia susun mengenai hal ini meriwayatkan dari Abu Ya‘la bin al-Farra’ al-Hanbali berkata: “Sebagian sahabat kami pernah ditanya: apakah al-Khidir telah meninggal?” Maka ia menjawab: “Ya, benar!” Ia juga berkata: “Aku mendengar hal yang sama dari Abu Tahir bin al-‘Abbadi, dan beliau berdalil bahwa jika al-Khidir masih hidup, tentu ia akan datang kepada Nabi Muhammad saw.” Abu Hayyan menambahkan: “Diantara ulama yang berpendapat demikian adalah Abu al-Fadl bin Nasir, al-Qadhi Abu Bakr bin al-‘Arabi, dan Abu Bakr bin Muhammad bin al-Husayn an-Naqqasy.” …
… “Ibnu al-Jauzi berdalil dengan hadis yang diriwayatkan oleh Imam Aḥmad dari jalur Mujalid, dari asy-Sya‘bi, dari Jabir ra., bahwa Rasulullah saw bersabda: “Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, seandainya Musa masih hidup, niscaya tidak ada pilihan baginya kecuali mengikutiku.’ Ibnu al-Jauzi berkata: “Jika hal itu berlaku untuk Nabi Musa, maka bagaimana mungkin nabi Khidir tidak mengikuti beliau (Nabi Muhammad) jika memang ia masih hidup? Bukankah seharusnya ia hadir untuk salat Jumat dan berjamaah bersama Nabi, serta berjihad di bawah panji beliau? Sedangkan telah tetap dalam riwayat bahwa Nabi ‘Isa kelak akan salat di belakang imam dari umat ini ( Nabi Muhammad).” (al-Zahr al-Nadhar fi Hal al-Khidhir, 121-125).
Kritik Sanad dan Matan Riwayat Kehidupan:
Menurut ulama hadits, seperti Abu Al-Husain bin Al-Munadi (W 270 H), melakukan kajian terhadap semua riwayat yang menceritakan bahwa nabi khidir masih hidup sampai sekarang. Mereka menyimpulkan bahwa riwayat-riwayat tersebut “wahin” (lemah), “saqim al-matn” (matannya bermasalah), dan “munkar”.
Abu Al-Husain bin Al-Munadi (W 270 H) juga secara keras menyatakan bahwa klaim-klaim tentang kehidupan nabi Khidir adalah dusta para perawinya. beliau menolak riwayat-riwayat yang ada karena kelemahan sanadnya dan karena bersumber dari Israiliyat yang tidak dapat dipertanggungjawabkan.
٥٩ - وَقَالَ أَبُو الْحُسَيْنِ بْنُ الْمُنَادِي: بَحَثْتُ عَنْ تَعْمِيرِ الْخِضْرِ، وَهَلْ هُوَ بَاقٍ أَمْ لَا؟ فَإِذًا أَكْثَرُ الْمُغَفِّلِينَ مُفْتَرُونَ بِأَنَّهُ بَاقٍ مِنْ أَجْلِ مَا رُوِيَ فِي ذٰلِكَ! قَالَ: وَالْأَحَادِيثُ الْمَرْفُوعَةُ فِي ذٰلِكَ وَاهِيَةٌ؛ وَالسَّنَدُ إِلٰى أَهْلِ الْكِتَابِ سَاقِطٌ لِعَدَمِ ثِقَتِهِمْ وَخَبَرُ مُسْلِمَةَ بْنِ مُصْلَقَةَ كَالْخُرَافَةِ وَخَبَرُ رِيَاحٍ كَالرِّيحِ.
٦٠ - وَقَالَ: وَمَا عَدَا ذٰلِكَ كُلُّهُ مِنَ الْأَخْبَارِ، كُلِّهَا وَاهِيَةُ الصُّدُورِ وَالْإِعْجَازِ، لَا يَخْلُوْ حَالُهَا مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ: إِمَّا أَنْ أُدْخِلَتْ عَلَى الثِّقَاتِ اسْتِغْفَالًا. أَوْ يَكُونُ بَعْضُهُمْ تَعَمَّدَ [ذٰلِكَ]. وَقَدْ قَالَ اللّهُ تَعَالَى: (وَمَا جَعَلْنَا لِبَشَرٍ مِنْ قَبْلِكَ الْخُلْدَ) .
٦١ - قَالَ: وَأَهْلُ الْحَدِيثِ مُتَّفِقُونَ عَلَى أَنَّ حَدِيثَ أَنَسٍ مُنْكَرُ السَّنَدِ، سَقِيمُ الْمَتْنِ، [وَأَنَّ الْخِضْرَ لَمْ يُرَاسِلْ نَبِيَّنَا وَلَمْ يَلْقَهُ] …
… ٦٥ - وَقَدْ ذَكَرْتُ الْأَخْبَارَ الَّتِي أَشَارَ إِلَيْهَا، وَأَضَفْتُ إِلَيْهَا أَشْيَاءَ كَثِيرَةً مِنْ جِنْسِهَا، وَغَالِبُهَا لَا يَخْلُوْ طَرِيقُهُ مِنْ عِلَّةٍ. وَاللّهُ الْمُسْتَعَانُ. [الزهر النضر في حال الخضر: ص ١٢٧-١٢٩]
(59) Abu al-Husain bin al-Munadi berkata: “Aku meneliti tentang umur panjang al-Khidhir apakah ia masih hidup atau tidak, maka ternyata kebanyakan orang yang lengah telah berdusta dengan mengklaim bahwa ia masih hidup, hanya karena riwayat-riwayat yang disebutkan tentang hal itu! Padahal hadits-hadits marfu‘ yang berkenaan dengan hal tersebut adalah lemah (wahiyah); sedangkan sanad yang bersumber dari Ahl al-Kitab gugur (tidak dapat diterima) karena mereka tidak dapat dipercaya. Adapun berita yang diriwayatkan dari Muslimah bin Muslaq, itu seperti dongeng belaka, dan berita dari Riyah sama lemahnya dengan angin yang berhembus (tidak ada nilai ilmiahnya).” (60) Ia juga berkata: “Selain itu, semua riwayat lain tentang masalah ini juga lemah dari segi sanad maupun matan-nya. Tidak lepas dari dua kemungkinan: pertama, riwayat-riwayat tersebut dimasukkan (disusupkan) kepada para perawi terpercaya karena kelengahan mereka; atau kedua, sebagian perawi memang sengaja melakukannya (yakni memalsukan). Allah SWT telah berfirman: Kami tidak menjadikan keabadian bagi seorang manusia pun sebelum engkau (wahai Muhammad)’ (QS. al-Anbiyā’: 34).” (61) Ia menambahkan: “Para ahli hadits sepakat bahwa hadits Anas tentang (kehidupan) al-Khidhir mungkar sanad-nya dan cacat matan-nya, serta bahwa al-Khidhir tidak pernah mengirim surat kepada Nabi kita dan tidak pernah bertemu dengannya.” … (65) “Aku telah menyebutkan riwayat-riwayat yang ia singgung itu, bahkan aku tambahkan banyak lagi riwayat sejenisnya; namun kebanyakan dari semuanya tidak lepas dari cacat sanad. Dan hanya Allah-lah tempat memohon pertolongan.” 1(al-Zahr al-Nadhar fi Hal al-Khidhir, 127-129).
Mitsaq para Nabi kepada nabi Muhammad saw untuk berjanji dan membela nabi muhammad, seandainya mereka mendapati zaman nabi Muhammad. Hal ini telah dijelaskan dalam al-Qur’an sebagaimana berikut:
إِذْ أَخَذَ اللّهُ مِيثَاقَ النَّبِيِّينَ لَمَا آتَيْتُكُمْ مِنْ كِتَابٍ وَحِكْمَةٍ…
“Dan (ingatlah) ketika Allah mengambil perjanjian dari para nabi: Sungguh, apa saja yang Aku berikan kepadamu berupa Kitab dan hikmah...” (QS. Ali ‘Imran [3]: 81).
Ibnu ‘Abbas (W 68 H) menafsirkan bahwa semua nabi telah berjanji setia untuk beriman dan membela Nabi Muhammad saw jika mereka mendapati zamannya. Kehadiran nabi Khidir akan menjadi sebab masuk Islamnya banyak Ahli Kitab yang mengenal kisahnya. Akan tetapi, Fakta bahwa hal ini tidak terjadi menguatkan pendapat kematiannya.
٥٨ - وَاسْتَدَلَّ أَيْضًا بِقَوْلِهِ تَعَالَى: (وَإِذْ أَخَذَ اللّهُ مِيثَاقَ النَّبِيِّينَ، لَمَا آتَيْتُكُمْ مِنْ كِتَابٍ وَحِكْمَةٍ ...) الْآيَةَ. قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ: «مَا بَعَثَ اللّهُ نَبِيًّا إِلَّا اخَذَ عَلَيْهِ الْمِيثَاقَ: لَئِنْ بُعِثَ مُحَمَّدٌ - وَهُوَ حَيٌّ - لَيُؤْمِنُنَّ بِهِ، وَلَيَنْصُرُنَّهُ» [فَلَوْ كَانَ الْخِضْرُ مَوْجُودًا فِي عَهْدِ النَّبِيِّ - لَجَاءَ إِلَيْهِ، وَنَصَرَهُ بِيَدِهِ، وَلِسَانِهِ، وَقَاتَلَ تَحْتَ رَايَتِهِ؛ وَكَانَ مِنْ أَعْظَمِ الْأَسْبَابِ فِي إِيْمَانِ مُعْظَمِ أَهْلِ الْكِتَابِ الَّذِينَ يَعْرِفُوْنَ قِصَّتَهُ مَعَ مُوسَى] . [الزهر النضر في حال الخضر: ص ١٢٦]
Beliau juga berdalil dengan firman Allah SWT: “Dan (ingatlah) ketika Allah mengambil perjanjian dari para nabi: ‘Sungguh, apa saja yang Aku berikan kepadamu berupa Kitab dan hikmah...’” (QS. Ali ‘Imran [3]: 81). Ibn ‘Abbas berkata: “Tidaklah Allah mengutus seorang nabi pun melainkan Dia telah mengambil perjanjian darinya, bahwa jika Muhammad diutus sementara ia (nabi tersebut) masih hidup, niscaya ia akan beriman kepadanya dan menolongnya.”[Maka, seandainya al-Khidhir benar-benar masih ada (hidup) pada masa Nabi saw, tentu ia akan datang kepadanya, menolong beliau dengan tangan dan lisannya, serta berperang di bawah panjinya. Dengan demikian, keberadaannya akan menjadi sebab terbesar bagi keimanan sebagian besar Ahli Kitab yang mengetahui kisahnya bersama Nabi Musa.](al-Zahr al-Nadhar fi Hal al-Khidhir, 126).
Firman Allah tentang tidak ada manusia yang hidup abadi:
Allah berfirman: "Dan Kami tidak menjadikan hidup abadi bagi seorang manusia pun sebelum kamu (Muhammad)..." (QS. Al-Anbiya’: 34). Ayat ini dijadikan dalil oleh jumhur ulama bahwa Khidir as telah wafat dan tidak hidup hingga kini. Sebab, Khidir adalah manusia, baik ia dianggap sebagai wali, nabi, maupun rasul, tetap termasuk dalam ketentuan umum firman Allah tersebut.
يَقُولُ تَعَالَى: ﴿وَمَا جَعَلْنَا لِبَشَرٍ مِنْ قَبْلِكَ﴾ أَيْ: يَا مُحَمَّدُ، ﴿الْخُلْدَ﴾ أَيْ: فِي الدُّنْيَا بَلْ ﴿كُلُّ مَنْ عَلَيْهَا فَانٍ وَيَبْقَى وَجْهُ رَبِّكَ ذُوْ الْجَلَالِ وَالإكْرَامِ﴾ [الرَّحْمَنِ:٢٦، ٢٧] . وَقَدِ اسْتَدَلَّ بِهَذِهِ الْآيَةِ الْكَرِيمَةِ مَنْ ذَهَبَ مِنَ الْعُلَمَاءِ إِلٰى أَنَّ الْخَضِرَ، عَلَيْهِ السَّلَامُ، مَاتَ وَلَيْسَ بِحَيٍّ إِلَى الْآنِ؛ لِأَنَّهُ بَشَرٌ، سَوَاءٌ كَانَ وَلِيًّا أَوْ نَبِيًّا أَوْ رَسُولًا وَقَدْ قَالَ تَعَالَى: ﴿وَمَا جَعَلْنَا لِبَشَرٍ مِنْ قَبْلِكَ الْخُلْدَ﴾. [تفسير القرآن العظيم: ج ٥، ص ٣٤١]
Allah SWT berfirman: “Kami tidak menjadikan keabadian bagi seorang manusia pun sebelum engkau (wahai Muhammad)” yakni: Wahai Muhammad, Kami tidak memberikan keabadian di dunia bagi siapapun sebelum engkau. Bahkan Allah juga berfirman: “Segala yang ada di atas bumi ini akan binasa, dan hanya wajah Tuhanmu yang memiliki keagungan dan kemuliaan yang tetap kekal.” (QS. ar-Raḥmān [55]: 26–27). Para ulama yang berpendapat bahwa al-Khidir as telah wafat dan tidak hidup hingga kini berdalil dengan ayat mulia ini. Sebab, al-Khidhir adalah manusia, baik ia dianggap sebagai wali, nabi, maupun rasul, tetap termasuk dalam ketentuan umum firman Allah: “Kami tidak menjadikan keabadian bagi seorang manusia pun sebelum engkau.” (Tafsir al-Qur’an al-Adzim, 5:341)
Argumen tentang Nabi Khidir belum wafat
Para ulama Sufi dan ahli tasawuf menolak pendapat di atas dengan sejumlah bantahan dan argumen:
Klarifikasi Makna Ayat
Ulama sufi membantah penggunaan ayat Al-Anbiya: 34 dengan membedakan antara "al-khuld" (keabadian mutlak tanpa kematian) dan "thul al-‘umr" (usia panjang yang diikuti kematian). Klaim kehidupan Nabi Khidir adalah yang kedua, bukan yang pertama. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Syekh Ibnu ‘Atha'illah (W 709 H).
قَالَ سَيِّدِيْ ابْنُ عَطَاءِ اللّهِ فِي كِتَابِهِ لَطَائِفِ الْمِنَنِ فِي مَنَاقِبِ الشَّيْخِ أَبِي الْعَبَّاسِ الْمُرْسِيِّ وَشَيْخِهِ الشَّاذِلِيِّ أَبِي الْحَسَنِ: وَاعْلَمْ رَحِمَكَ اللّهُ أَنَّ مَنْ أَنْكَرَ وُجُودَ الْخَضِرِ فَقَدْ غَلِطَ، أَوْ مَنْ قَالَ إِنَّهُ غَيْرُ خَضِرِ مُوسَى، أَوْ مَنْ قَالَ إِنَّ لِكُلِّ زَمَانٍ خَضِرًا، وَأَنَّ الْخَضِرِيَّةَ رُتْبَةٌ يَقُومُ بِهَا رَجُلٌ بَعْدَ رَجُلٍ فِي كُلِّ زَمَانٍ. وَالْمُنْكِرُ لِوُجُودِ الْخَضِرِ مُعْتَرِفٌ عَلَى نَفْسِهِ بِأَنَّ مَنَّةَ اللّهِ بِلِقَاءِ الْخَضِرِ لَمْ تُوَاجِهْهُ، وَلَيْتَهُ إِذْ فَاتَهُ الْوُصُولُ إِلَيْهَا لَا يَفُوْتُهُ الْإِيمَانُ بِهَا. وَلَا تَغْتَرَّ بِمَا عَسَاكَ أَنْ تَقِفَ عَلَيْهِ مِنْ كَلَامِ أَبِي الْفَرَجِ ابْنِ الْجَوْزِيِّ فِي كِتَابٍ سَمَّاهُ عُجَالَةَ الْمُنْتَظِرِ فِي شَرْحِ حَالِ الْخَضِرِ، أَنْكَرَ فِيهِ وُجُودَ الْخَضِرِ، وَقَالَ: مَنْ قَالَ إِنَّهُ مَوْجُودٌ فَإِنَّمَا قَالَ ذٰلِكَ لِهَوَاجِسَ وَوَسَاوِسَ وَهَوَسٍ. وَاسْتَدَلَّ عَلَى عَدَمِ وُجُودِهِ بِقَوْلِهِ تَعَالَى: ﴿وَمَا جَعَلْنَا لِبَشَرٍ مِّن قَبْلِكَ الْخُلْدَ﴾. فَعَجَبًا لِهَذَا الرَّجُلِ كَيْفَ اسْتَدَلَّ بِهَذِهِ الْآيَةِ، وَلَا دَلِيلَ فِيهَا، لِأَنَّ الْخُلْدَ هُوَ بَقَاءٌ لَا مَوْتَ مَعَهُ، وَلَيْسَ هُوَ الْمُدَّعَى فِي الْخَضِرِ، إِنَّمَا الْمُدَّعَى طُولُ إِقَامَةٍ بِسُكُونِ الْمَوْتِ بَعْدَهَا. فَاعْجَبُوا رَحِمَكُمُ اللّهُ لِرَجُلٍ يُصَدِّقُ بِطُولِ بَقَاءِ إِبْلِيسَ وَيُنْكِرُ طُولَ بَقَاءِ الْخَضِرِ. [سيدي الخضر رأس الأولياء: ص ١٠-١١]
Ketahuilah bahwa siapa pun yang mengingkari keberadaan al-Khidir, maka sungguh ia telah keliru. Demikian pula orang yang mengatakan bahwa al-Khidir yang disebutkan bukanlah Khidir yang menjadi sahabat Nabi Musa, atau orang yang berpendapat bahwa setiap zaman memiliki seorang Khidir, dan bahwa ‘khidriyyah’ (kedudukan al-Khidir) adalah suatu martabat yang diwarisi dari satu orang ke orang lain di setiap zaman. Orang yang mengingkari keberadaan al-Khidir sejatinya sedang mengakui bahwa karunia Allah berupa pertemuan dengan al-Khidir belum pernah ia rasakan. Andai saja ia tidak mendapatkan kesempatan untuk berjumpa dengannya, semoga ia tidak sampai kehilangan keimanan terhadap keberadaannya. Janganlah tertipu oleh apa yang mungkin engkau temukan dalam perkataan Abu al-Faraj Ibn al-Jauzi dalam kitabnya ‘Ujalat al-Muntaẓir fi Syarh Hal al-Khidir, karena di dalamnya ia menolak keberadaan al-Khidir, dan berkata: “Barang siapa yang mengatakan bahwa al-Khidir itu masih ada, maka ia tidak mengatakan demikian kecuali karena bisikan, was-was, dan khayalan belaka.” Ia berdalil dengan firman Allah SWT: ‘Kami tidak menjadikan keabadian bagi seorang manusia pun sebelum engkau (wahai Muhammad).’ Sungguh mengherankan orang ini! Bagaimana mungkin ia menjadikan ayat tersebut sebagai dalil, padahal ayat itu sama sekali tidak menunjukkan makna yang dimaksud. Sebab, al-khuld (keabadian) berarti hidup kekal tanpa kematian, sementara yang diklaim tentang al-Khiḍir bukanlah hidup kekal tanpa mati, melainkan umur yang panjang dengan penundaan datangnya kematian setelah masa yang sangat lama. Maka aneh sekali orang yang membenarkan panjangnya usia Iblis, tetapi justru mengingkari panjangnya usia al-Khidir! (Sayyidi al-Khidhir Ra’s al-Auliya’, 10-11)
Bantahan tentang Hadits Seratus Tahun:
Ulama sufi berargumen bahwa keumuman hadits “tidak tersisa seorang pun” dikhususkan untuk manusia yang dikenal dan berinteraksi dengan masyarakat pada masa itu, bukan untuk makhluk yang hidup dalam keadaan tersembunyi (ghaib) yang mana pada saat itu berada di lautan. Sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Hajar dalam Syarh Shahih al-Bukhari menegaskan, “Hadits tersebut dikhususkan untuk selain Khidir, sebagaimana Iblis dikecualikan berdasarkan kesepakatan.” Khidir, Ilyas, dan Iblis adalah pengecualian dari keumuman ini.
Hal itu, didukung oleh banyak riwayat yang mengatakan bahwa memang ada manusia atau orang di zaman nabi muhammad yang diberi umur panjang, kematiannya ditangguhkan sampai muncul Dajjal untuk mendustakannya seperti hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dan al-Daruquthni. Imam Suyuthi dalam kitabnya as-Sawa‘iq ‘ala an-Nawa‘iq mengomentari hadits itu dengan berkata:
“Para ulama telah sepakat bahwa sabda Nabi saw tersebut hanya berlaku khusus bagi makhluk yang berada dalam ilmu gaib, seperti al-Khidir dan Ilyas jika keberadaan keduanya memang telah ditetapkan - juga Iblis dan sebagian makhluk dari golongan jin yang diberi umur panjang.”
Sedangkan Ibnu Shalah berkata:
“Hadis itu berlaku bagi orang-orang yang dapat disaksikan dan bergaul dengan manusia, bukan bagi makhluk seperti al-Khidir yang tidak demikian keadaannya.
Oleh karena itu, kemungkinan nabi khidir masih hidup sampai sekarang masih menjadi hal yang patut diyakini berdasarkan dalil-dalil tersebut.
قَالَ سَيِّدِي سُلَيْمَانُ الْحَوَّاتُ فِي كِتَابِهِ الرَّوْضَةُ الْمَقْصُودَةُ وَالْحُلَلُ الْمَمْدُودَةُ فِي مَآثِرِ بَنِي سَوْدَةَ: وَقَدِ اتَّفَقَ أَهْلُ الْكَشْفِ عَلَى وُجُودِهِ. قَالَ فِي الْفُتُوحَاتِ: «وَقَدْ وَرَدَ النَّقْلُ بِمَا ثَبَتَ فِي الْكَشْفِ مِنْ تَعْمِيرِ الْخَضِرِ عَلَيْهِ السَّلَامُ وَبَقَائِهِ وَكَوْنِهِ نَبِيًّا، وَأَنَّهُ يُؤَخَّرُ حَتَّى يُكَذِّبَ الدَّجَّالَ، وَأَنَّهُ فِي كُلِّ مِائَةِ سَنَةٍ يَصِيرُ شَابًّا، وَأَنَّهُ يَجْتَمِعُ مَعَ إِلْيَاسَ فِي كُلِّ مَوْسِمٍ كُلَّ عَامٍ». وَأَمَّا مَا وَرَدَ مِنْ حَدِيثِ ابْنِ عُمَرَ: «أَرَأَيْتُكُمْ لَيْلَتَكُمْ هَذِهِ، فَإِنَّ رَأْسَ مِائَةِ سَنَةٍ لَا يَبْقَى مِمَّنْ هُوَ الْيَوْمَ عَلَى ظَهْرِ الْأَرْضِ أَحَدٌ»، فَإِنَّ الْخَضِرَ حِينَئِذٍ كَانَ مِنْ سَاكِنِي الْبَحْرِ، فَلَمْ يَدْخُلْ فِي الْحَدِيثِ. وَمَعْنَى الْحَدِيثِ: لَا يَبْقَى مِمَّنْ تَرَوْنَهُ وَتَعْرِفُونَهُ، فَهُوَ عَامٌّ أُرِيدَ بِهِ الْخُصُوصُ. وَيَشْهَدُ لَهُ مَا أَخْرَجَهُ ابْنُ حِبَّانَ فِي صَحِيحِهِ مِنْ حَدِيثِ أَبِي عُبَيْدَةَ رَفَعَهُ فِي ذِكْرِ الدَّجَّالِ: «لَعَلَّهُ يُدْرِكُهُ بَعْضُ مَنْ رَآنِي أَوْ سَمِعَ كَلَامِي …» إِلَى آخِرِهِ، وَهُوَ دَلِيلٌ وَاضِحٌ مَخْصُوصٌ بِدَلَالَتِهِ عَلَى أَنَّ بَعْضَ الصَّحَابَةِ يُدْرِكُ الدَّجَّالَ. وَيُفَسِّرُهُ حَدِيثُ الدَّارَقُطْنِيِّ: «نُسِئَ الْخَضِرُ فِي أَجَلِهِ حَتَّى يُكَذِّبَ الدَّجَّالَ». وَقَالَ السُّيُوطِيُّ فِي كِتَابِهِ الصَّوَاعِقُ عَلَى النَّوَاعِقِ: «أَطْبَقُوا عَلَى أَنَّ هَذَا الْكَلَامَ خَاصٌّ بِمَنْ هُوَ فِي عِلْمِ الْغَيْبِ كَالْخَضِرِ وَإِلْيَاسَ إِنْ ثَبَتَ وُجُودُهُمَا، وَإِبْلِيسَ، وَمَنْ عَمَّرَ مِنَ الْجَانِّ». وَقَالَ ابْنُ الصَّلَاحِ: «الْحَدِيثُ فِيمَنْ يُشَاهِدُهُ النَّاسُ وَيُخَالِطُونَهُ، لَا فِيمَنْ لَيْسَ كَذَلِكَ كَالْخَضِرِ». وَقَالَ ابْنُ حَجَرٍ فِي شَرْحِ الْبُخَارِيِّ: «الْحَدِيثُ مَخْصُوصٌ لِغَيْرِ الْخَضِرِ كَمَا خُصَّ مِنْهُ إِبْلِيسُ بِالِاتِّفَاقِ». [سيدي الخضر رأس الأولياء: ص ١١-١٢]
Sayyidi Sulaiman al-Ḥawwat berkata dalam kitabnya ar-Rauḍah al-Maqsudah wa al-Hulal al-Mamdudah fi Maʾathir Bani Saudah: “Para ahli kasyf (orang-orang yang memiliki penyingkapan batin) telah sepakat tentang keberadaan al-Khidir. Dalam al-Futuhat al-Makkiyyah disebutkan: ‘Telah datang riwayat yang sesuai dengan apa yang ditetapkan melalui penyingkapan batin (kasyf), yaitu bahwa al-Khidir as berumur panjang, masih hidup hingga kini, dan bahwa ia adalah seorang nabi. Ia akan terus ditangguhkan (kehidupannya) sampai kelak mendustakan Dajjal. Setiap seratus tahun, Allah menjadikannya kembali muda, dan ia senantiasa bertemu dengan Nabi Ilyas setiap musim (ibadah haji) pada setiap tahun. Adapun hadits dari Ibnu ‘Umar yang berbunyi: “Tahukah kalian malam kalian ini? Sesungguhnya pada penghujung seratus tahun, tidak akan ada seorang pun yang masih hidup di muka bumi dari mereka yang hidup hari ini.” Akan tetapi, pada waktu itu al-Khidir termasuk di antara penghuni lautan, sehingga ia tidak termasuk dalam cakupan hadis tersebut. Makna hadits itu: “Tidak akan tersisa seorangpun dari mereka yang kalian lihat dan kenal sekarang.” Maka, lafadz hadits tersebut bersifat umum, tetapi maksudnya khusus. Dan hal ini diperkuat oleh hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dalam kitab Shahih-nya, dari hadits Abu ‘Ubaidah, yang meriwayatkan secara marfu‘ (sampai kepada Nabi saw) dalam pembahasan tentang Dajjal: “Mungkin saja sebagian dari orang yang pernah melihatku atau mendengar perkataanku akan menjumpai (masa keluarnya) Dajjal …” (hingga akhir hadits). Hadis ini merupakan dalil yang jelas, yang secara khusus menunjukkan bahwa sebagian sahabat Nabi saw akan hidup sampai menjumpai Dajjal. Hadis tersebut dijelaskan (diperkuat) oleh riwayat dari ad-Daraqutni: “Al-Khiḍir ditangguhkan ajalnya hingga ia mendustakan Dajjal.” Kemudian as-Suyuti dalam kitabnya as-Sawa‘iq ‘ala an-Nawa‘iq berkata: “Para ulama telah sepakat bahwa sabda Nabi saw tersebut hanya berlaku khusus bagi makhluk yang berada dalam ilmu gaib, seperti al-Khidir dan Ilyas jika keberadaan keduanya memang benar ada — juga Iblis dan sebagian makhluk dari golongan jin yang diberi umur panjang.” Sedangkan Ibnu Shalah berkata: “Hadis itu berlaku bagi orang-orang yang dapat disaksikan dan bergaul dengan manusia, bukan bagi makhluk seperti al-Khiḍir yang tidak demikian keadaannya.” Dan Ibnu Ḥajar dalam Syarah Shahih al-Bukhari menjelaskan: “Hadist tersebut dikhususkan tidak mencakup al-Khidir, sebagaimana Iblis juga dikecualikan dari keumuman hadits itu — dan hal ini telah menjadi kesepakatan ulama. (Sayyidi al-Khidhir Ra’s al-Auliya’, 11-12)
Kelemahan Dalil "Seandainya Hidup, Pasti Datang": Syekh Ibnu ‘Atha'illah (W 709 H) menyanggah hujjah ini dengan dua cara:
Riwayatnya Tidak Sahih: Menurutnya, riwayat “Seandainya Khidir hidup, niscaya ia akan menziarahiku” tidak ditetapkan keshahihannya oleh ahli hadits.
Tidak Semua Ilmu Harus Disampaikan: Ia mengutip sebuah riwayat bahwa Nabi diberi tiga jenis ilmu: ilmu yang diperintahkan untuk disebarkan, ilmu yang dilarang untuk disebarkan, dan ilmu yang diberi pilihan. Pertemuan dengan Nabi Khidir bisa jadi termasuk dalam perkara yang tidak wajib untuk diumumkan.
وَمَا يَرْوُونَهُ عَنْ رَسُولِ اللّهِ ﷺ: «لَوْ كَانَ الْخَضِرُ حَيًّا لَزَارَنِي»، فَلَمْ يُثْبِتْهُ أَهْلُ الْحَدِيثِ. فَإِنْ قَالُوا: لَوْ كَانَ ذَلِكَ لَنُقِلَ، فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَيْسَ كُلُّ شَيْءٍ أَطْلَعَ اللّهُ عَلَيْهِ رَسُولَ اللَّهِ يَلْزَمُهُ الْإِعْلَامُ بِهِ. كَيْفَ وَقَدْ رُوِيَ عَنْ رَسُولِ اللّهِ أَنَّهُ قَالَ: «عَلَّمَنِي رَبِّي ثَلَاثَةَ عُلُومٍ: عِلْمًا أَمَرَنِي بِإِفْشَائِهِ، وَعِلْمًا نَهَانِي عَنْ إِفْشَائِهِ، وَعِلْمًا خَيَّرَنِي فِي إِفْشَائِهِ». [سيدي الخضر رأس الأولياء: ص ١١]
Adapun apa yang diriwayatkan dari Rasulullah ﷺ: “Seandainya Khidir masih hidup, tentu ia akan datang menemuiku (menziarahiku),” maka para ahli hadits tidak menetapkan (kesahihan) hadis tersebut. Dan apabila mereka berkata: “Seandainya hal itu benar, tentu telah diriwayatkan (secara mutawatir),” maka ketahuilah bahwa tidak setiap perkara yang Allah perlihatkan kepada Rasul-Nya wajib beliau sampaikan kepada umatnya. Bagaimana tidak, padahal telah diriwayatkan dari Rasulullah saw bahwa beliau bersabda: “Tuhanku telah mengajarkanku tiga jenis ilmu: ilmu yang diperintahkan untuk aku sebarkan, ilmu yang dilarang untuk aku sebarkan, dan ilmu yang aku diberi pilihan untuk menyebarkannya atau tidak.” (Sayyidi al-Khidhir Ra’s al-Auliya’, 11)
Tanggapan mengenai status hadits, keberadaan, dan pertemuan dengan nabi khidir:
Ulama sufi berargumen bahwa cerita tentang keberadaan dan pertemuan dengan Khidir telah mencapai derajat "Mutawatir" (banyak jalur/cerita yang tidak dimungkinkan adanya dusta) secara spiritual. Seperti dikatakan Syekh Abdul Haq al-Badisi, “Telah banyak berita-berita tentang kehidupan Khidir, dan kisah-kisah para sufi dalam hal itu banyak dan masyhur. Menurut mereka, melihatnya adalah bagian dari kewalian.” Keyakinan ini bukan berdasarkan riwayat lemah semata, tetapi pada pengalaman langsung (dzauq) para wali yang diyakini kejujurannya spiritualnya (shidq). Al-Qusyairi (W 465 H), Abu Thalib al-Makki (W 386 H), dan banyak lainnya mencatat berbagai kesaksian para orang sholeh yang berjumpa dengannya.
al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani (W 856 H) seorang ahli hadits juga pernah meneliti tentang riwayat-riwayat tentang kehidupan nabi khidir yang mana beliau memiliki kesimpulan bahwa hal tersebut mencapai derajat mutawatir ma’nawi (berita yang diriwayatkan secara berulang dari banyak jalur dengan makna yang sama). Sehingga meskipun dari jalur sanad bermasalah tetapi dari sudut pandang matan memiliki derajat mutawatir. Dalam hal ini, beliau lebih condong terhadap pendapat bahwa nabi khidir masih hidup sampai sekarang.
قَالَ سَيِّدِي عَبْدُ الْحَقِّ الْبَادَسِيُّ فِي كِتَابِهِ الْمَقْصِدُ الشَّرِيفُ وَالْمَنْزَعُ اللَّطِيفُ فِي التَّعْرِيفِ بِصُلَحَاءِ الرِّيفِ: قَدْ تَضَافَرَتِ الْأَخْبَارُ بِحَيَاةِ الْخَضِرِ، وَحِكَايَاتُ الصُّوفِيَّةِ فِي ذَلِكَ كَثِيرَةٌ مَشْهُورَةٌ، وَعِنْدَهُمْ أَنَّ رُؤْيَتَهُ مِنَ الْوِلَايَةِ، وَكُلُّ مَنْ ذَكَرَ مِنْهُمْ أَنَّهُ رَآهُ فَإِنَّهُ يَرَاهُ عَلَى صِفَةٍ غَيْرِ الَّتِي يَرَاهُ عَلَيْهَا غَيْرُهُ. وَحَكَى الْقُشَيْرِيُّ، وَالْمَطْمُوعِيُّ، وَأَبُو طَالِبٍ الْمَكِّيُّ وَغَيْرُهُمْ، رُؤْيَةَ الصَّالِحِينَ لَهُ فِي مَوَاضِعَ كَثِيرَةٍ. [سيدي الخضر رأس الأولياء، ص ١١]
Syekh Abdul Ḥaqq al-Badisi berkata dalam kitabnya al-Maqsid asy-Syarif wa al-Manza‘ al-Latif fi at-Ta‘rif bi Sulaha’ ar-Rif: “Telah banyak riwayat yang saling menguatkan tentang kehidupan Nabi Khidir, dan kisah-kisah para sufi tentang hal itu sangat banyak serta masyhur. Di kalangan mereka (para sufi), diyakini bahwa melihat Nabi Khidir merupakan tanda kewalian (wilayah). Dan setiap orang di antara mereka yang menyatakan bahwa ia telah melihat Khidir, maka ia melihatnya dalam rupa yang berbeda dari rupa yang dilihat oleh orang lain. Al-Qusyairi, al-Matmu’i, Abu Talib al-Makki, dan selain mereka telah meriwayatkan kisah para shalihin yang melihat Khidir di banyak tempat.” (Sayyidi al-Khidhir Ra’s al-Auliya’, 11)
قَدْ جَمَعَ الْحَافِظُ رَحِمَهُ اللهُ تَعالَى وَنَفَعَنَا بِهِ فِي أَكْثَرِ مَا ذَكَرَهُ مِنْ ذَلِكَ مَا يَصِحُّ مِنْهُ وَمَا لَا يَصِحُّ، فَالظَّاهِرُ أَنَّ الْمُعْتَمَدَ عِنْدَهُ بَقَاءُ الْخَضِرِ عَلَيْهِ السَّلَامُ إِلَى الْآنَ، وَإِلَى مَا شَاءَ اللهُ مِنْ آخِرِ الزَّمَانِ، لِأَنَّهُ قَوْلُ الْأَكْثَرِينَ كَمَا تَقَدَّمَ عَنِ الإِمَامِ النَّوَوِيِّ، وَلَاسِيَّمَا وَقَدْ بَحَثَ ـ أَعْنِي الْحَافِظَ ـ فِيمَا مَرَّ مِنْ كَثْرَةِ الأَخْبَارِ أَنَّ ذَلِكَ مِنَ الْمُتَوَاتِرِ الْمَعْنَوِيِّ. [عناية المفتقر بما يتعلق بسيدنا الخضر، ٥٢]
al-Hafidz (semoga Allah merahmatinya dan memberi manfaat kepada kita melalui ilmunya) telah mengumpulkan dalam kebanyakan pembahasannya tentang hal ini (yakni tentang keberadaan Nabi Khidir as. berbagai riwayat baik yang sahih maupun yang tidak sahih. Maka, tampak bahwa pendapat yang dipegangnya dan dijadikan sandaran ialah bahwa Nabi Khidir as. masih hidup hingga sekarang dan akan tetap hidup hingga waktu yang Allah kehendaki di akhir zaman, karena inilah pendapat mayoritas ulama, sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya oleh Imam an-Nawawi. Terlebih lagi, al-Hafidz (yakni Ibnu Hajar al-‘Asqalani) telah meneliti banyaknya riwayat tentang hal itu dan menegaskan bahwa perkara tersebut termasuk dalam kategori mutawatir ma‘nawi (berita yang diriwayatkan secara berulang dari banyak jalur dengan makna yang sama). (Inayah al-Muftaqir bi Ma Yata’allaqu bi Sayyid al-Khidir: 52).
Pendapat yang mengatakan nabi khidir masih hidup sampai sekarang didukung oleh banyak ulama dari kalangan Fuqaha’ seperti Imam Nawawi (W 676 H), Ibnu Hajar al-Haitami (W 973 H), Ushuliyyun dan Muhadditsin seperti Ibnu Hajar al-Asqalani (W 856 H) tidak hanya dari kalangan sufi. Oleh karena itu, argumentasi pada pendapat ini sangatlah kuat baik dilihat dari sudut pandang dalil naqli (riwayat) maupun dalil irfani (pengalaman spiritual).
وَمَا ذَكَرْتُهُ مِنْ حَيَاةِ الْخَضِرِ هُوَ الَّذِي قَطَعَ بِهِ الأَوْلِيَاءُ، وَرَجَّحَهُ الْفُقَهَاءُ وَالأُصُولِيُّونَ وَأَكْثَرُ الْمُحَدِّثِينَ، وَقَدِ اجْتَمَعَ بِهِ وَأَخْبَرَ عَنْهُ مَنْ لَا يُحْصَى مِنَ الصِّدِّيقِينَ وَالأَوْلِيَاءِ فِي كُلِّ زَمَانٍ. [عناية المفتقر بما يتعلق بسيدنا الخضر، ٥٣]
Apa yang telah aku sebutkan mengenai kehidupan Nabi Khidir as. inilah yang telah dipastikan (diyakini) oleh para wali, diperkuat oleh para fuqaha dan ahli ushul, serta kebanyakan para muhadditsin (ulama hadis). Bahkan, banyak sekali para shiddiqin dan para wali dalam setiap zaman telah bertemu dan meriwayatkan perjumpaan dengan beliau, hingga tak terhitung jumlahnya. (Inayah al-Muftaqir bi Ma Yata’allaqu bi Sayyid al-Khidir: 53).
KESIMPULAN
Berdasarkan penjelasan sebelumnya, bisa dipahami bahwa perdebatan tentang apakah Nabi Khidir masih hidup atau sudah wafat sebenarnya berakar pada perbedaan cara berpikir di kalangan ulama. Perbedaan ini bukan sekadar soal pendapat, tetapi menyangkut dua cara memahami ilmu: cara berpikir bayani dan cara berpikir ‘irfani.
Kelompok pertama yang berpendapat bahwa Nabi Khidir sudah wafat menggunakan pendekatan bayani, yaitu cara berpikir yang menekankan pada kajian al-Qur’an dan hadis dengan meneliti sanad dan isi riwayat, serta berpegang pada makna lahir dari teks. Bagi mereka, pendapat bahwa Nabi Khidir telah wafat dianggap lebih kuat dan bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Tokoh yang sering dikaitkan dengan pandangan ini adalah Imam al-Bukhari, seorang ahli hadis besar yang sangat berhati-hati dalam menilai keabsahan riwayat.
Sementara kelompok kedua menggunakan pendekatan ‘irfani, yaitu cara berpikir yang menekankan pengalaman spiritual. Mereka percaya bahwa pengetahuan tidak hanya datang dari teks, tetapi juga dari mukasyafah (penyingkapan batin hasil dari penyucian jiwa) dan pengalaman rohani para sufi. Ulama dalam kelompok ini tidak hanya mengandalkan pengalaman spiritual semata, namun juga mendukungnya dengan dalil Al-Qur’an, hadis, dan penalaran logis. Mereka meyakini bahwa kesaksian para sufi yang mengaku pernah bertemu Nabi Khidir merupakan bukti ruhani yang layak diakui. Dari sudut pandang ini, keyakinan bahwa Nabi Khidir masih hidup dinilai memiliki dasar spiritual dan ilmiah yang bisa diterima.
Kedua pandangan tersebut memiliki kelebihan masing-masing. Kelompok pertama berperan penting dalam menjaga kemurnian ajaran Islam dan menghindarkan umat dari keyakinan yang berlebihan terhadap hal-hal mistik. Sedangkan kelompok kedua memberi dimensi ruhani yang mengingatkan bahwa kekuasaan Allah tidak terbatas oleh akal manusia. Allah bisa memanjangkan usia siapa pun yang Dia kehendaki, sebagaimana halnya Nabi Isa as.
Karena itu, perbedaan pandangan ini sebaiknya tidak dijadikan bahan pertengkaran, melainkan dipandang sebagai bagian dari kekayaan pemikiran dan spiritualitas Islam. Kedua pendekatan ini bisa saling melengkapi: pendekatan bayani menjaga objektivitas dan ketelitian ilmiah, sedangkan pendekatan ‘irfani memperkaya kedalaman iman dan pengalaman spiritual.
Kesimpulannya, persoalan apakah Nabi Khidir masih hidup atau sudah wafat dikembalikan kepada individu masing-masing, seseorang boleh meyakini nabi khidir masih hidup atau sudah wafat, karena hal ini bukan masalah akidah. sehingga tidak ada ganjaran khusus bagi yang mempercayainya, dan tidak ada dosa bagi yang menolak pandangan tersebut. Yang lebih penting adalah mengambil hikmah dari kisah Nabi Khidir sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an bahwa kebijaksanaan Allah sering kali melampaui batas pengetahuan manusia.
Penulis : Muhammad Shofiyulloh
Contact Person : 085794851915
e-Mail : almutamakkin15@gmail.com
Perumus : Ust. Abidusy Syakur A
Mushohih : Ust. Faidhus Syukri
Daftar Pustaka
al-Hafidz Ahmad Ibn ‘Ali Ibn Hajar al-’Asqalany (W. 852 H), al-Zahr al-Nadhar fi Hal al-Khadir: Maktabah Ahl al-Atsar, Kuwait, 1425 H/2004 M.
Abi al-Fida’ Isma’il Ibn ‘Umar Ibn Katsir al-Dimasyqi (W. 774 H), Tafsir al-Qur’an al-’Adzim, Dar Tayyibah, Riyadh, Saudi, 1420 H/2000 M, Cet. Kedua, Sebanyak 8 Jilid.
Muhammad Ibn Muhammad al-Mahdi al-Timsmany, Sidi al-Khidir Ra’s al-Auliya’, Dar Kutub ‘Ilmiyah, Beirut, Lebanon 1429 H/2008 M.
Muhammad Mahfudz Ibn ‘Abdullah al-Tarmasy (W. 1338 H), ’Inayah al-Muftaqir bi Ma Yata’allaqa bi Sayyidina al-Khidir, al-Maktabah al-Ma’had al-Diny al-Anwar, Sarang, Rembang.
================================


.png)
.png)
.png)
.png)
.png)
.png)
.png)
.png)
.png)
.png)
.png)
.png)
.png)
Posting Komentar untuk "Misteri Kehidupan Nabi Khidir: Hidup Kekal Atau Sudah Tiada?"