HATI SALIK DI TENGAH DERU NOTIFIKASI
PENDAHULUAN
Ungkapan "deru notifikasi" adalah frasa yang merujuk pada: "Deru" (bunyi gemuruh, suara keras yang berkelanjutan, atau riuh). "Notifikasi" (pemberitahuan atau peringatan dari perangkat digital seperti ponsel, komputer, atau aplikasi). akan tetapi notifikasi disini kami artikan sebagai khotir (terlintas di hati) dimana yang kami maksud adalah sebuah ungkapan kesibukan hati seorang salik di tengah hiruk pikuk kesibukan pekerjaan duniawi, bukan hanya dari dhohir saja melainkan juga dari batin.
Dalam realitas kehidupan modern, pekerjaan duniawi telah menempati posisi sentral dalam orientasi aktivitas manusia. Rutinitas profesional, target pencapaian, tekanan produktivitas, serta kompetisi yang ketat menjadikan dunia kerja sebagai ruang yang signifikan dalam membentuk pola pikir, emosi, dan bahkan spiritualitas manusia. Di tengah arus kerja yang menuntut kecepatan, efisiensi, dan keterlibatan total, manusia modern kerap terjebak dalam pusaran kesibukan lahiriah yang menyebabkan keterputusan dari kesadaran batiniah.
Dalam perspektif tasawuf, kondisi ini menggambarkan tantangan mendasar bagi seorang salik (penempuh jalan spiritual menuju Allah). Bagi seorang salik, kehidupan dunia dan aktivitas kerja tidak dimaksudkan untuk dihindari, tetapi untuk dijalani dengan kesadaran penuh. Spiritualitas Islam tidak menolak keterlibatan dalam dunia, melainkan menuntut agar setiap aktivitas duniawi dilakukan dengan Hudhur al-Qalb dan Muraqabah. Kedua dimensi ini merupakan fondasi ruhani yang harus dijaga dalam setiap keadaan dan di setiap tempat.
Namun, tantangan utama bagi manusia modern terletak pada bagaimana mempertahankan dua keadaan spiritual tersebut di tengah padatnya aktivitas dunia kerja. Pekerjaan duniawi, dengan segala tuntutan dan distraksinya, sering kali melahirkan keadaan Ghaflah (kelalaian hati dari ingatan kepada Allah). Keterikatan berlebihan terhadap target material dapat menjauhkan manusia dari dimensi batin.
Tradisi sufistik menjawab tantangan tersebut melalui konsep al-Khalwah fi al-Jalwah, yakni kemampuan untuk menjaga kesunyian batin (khalwah) di tengah keramaian aktivitas (jalwah). Prinsip ini menegaskan bahwa spiritualitas sejati adalah hasil dari kemampuan menghadirkan Allah dalam setiap gerak kehidupan. Dalam konteks pekerjaan modern, jalwah mencakup seluruh dinamika pekerjaan yang menuntut interaksi, respons cepat, dan fokus yang terbagi. Oleh karena itu, seorang salik dituntut untuk mengubah orientasi pekerjaannya dari sekadar upaya duniawi menjadi bentuk pengabdian (‘ibadah) yang dilandasi kesadaran ilahiah.
RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang di atas, pertanyaan reflektif yang menjadi fokus utama kajian ini adalah: Bagaimana seorang salik dapat mengimplementasikan konsep al-Khalwah fi al-Jalwah untuk mempertahankan Hudhur al-Qalb dan Muraqabah dari Ghaflah di tengah tekanan dan distraksi aktivitas dunia kerja modern?
TUJUAN PENULISAN
Dengan demikian, pendahuluan ini bertujuan untuk membangun landasan pemahaman mengenai relasi dialektis antara tuntutan spiritual seorang salik dan tekanan pekerjaan duniawi dalam kehidupan modern. Kajian ini akan menyoroti bagaimana nilai-nilai hudhur al-qalb dan muraqabah dapat diintegrasikan ke dalam aktivitas profesional sehari-hari, sehingga pekerjaan duniawi tidak menjadi penghalang, tetapi justru menjadi sarana penyucian diri dan pendekatan kepada Allah. Melalui perspektif ini, dunia kerja modern dapat dipahami bukan sebagai ancaman terhadap spiritualitas, melainkan sebagai medan latihan ruhani bagi seorang salik untuk mencapai kehadiran Ilahi di tengah dinamika kehidupan kontemporer.
PEMBAHASAN
Pengertian Hudhur al-Qalb
Hudhur aL-qalb adalah ketika hati kosong dari hal-hal yang bukan menjadi perhatiannya, sehingga ilmu dan amal bersatu dalam hati, dan pikiran tidak berkeliaran di luar keduanya.
فَاْلأَوَّلُ : حُضُوْرُ الْقَلْبِ: وَنَعْنِيْ بِهِ : أَنْ يَفْرُغَ الْقَلْبُ عَنْ غَيْرِ مَا هُوَ مُلَابِسٌ لَهُ وَمُتَكَلِّمٌ بِهِ، فَيَكُوْنُ الْعِلْمُ بِالْفِعْلِ وَالْقَوْلِ مَقْرُوْنًا بِهِمَا، وَلَا يَكُوْنُ الفِكْرُ جَائِلًا فِيْ غَيْرِهِمَا، وَمَهْمَا انْصَرَفَ فِيْ الْفِكْرِ عَنْ غَيْرِ مَا هُوَ فِيْهِ، وَكَانَ فِيْ قَلْبِهِ ذِكْرٌ لِمَا هُوَ فِيْهِ، وَلَمْ يَكُنْ فِيْهِ غَفْلَةٌ عَنْ كُلِّ شَيْءٍ.. فَقَدْ حَصَلَ حُضُوْرُ القَلْبِ. (أبو حامد محمد بن محمد الغزالي الطوسي، إحياء علوم الدين: ج١، ص٥٩٨)
"Adapun yang pertama adalah kehadiran hati (fokus/khusyuk), dan yang kami maksud dengannya adalah bahwa hati itu kosong dari selain apa yang dihadapi dan apa yang ia ucapkan. Maka ilmu (kesadaran) terhadap perbuatan dan ucapan harus menyertai keduanya, dan pikiran tidak berkelana pada selain keduanya. Kapan saja pikiran berpaling dari selain apa yang ia sedang ada padanya, dan di dalam hatinya ada ingatan (zikir) terhadap apa yang ia sedang hadapi, dan ia tidak lalai terhadap segala sesuatu, maka sungguh telah tercapai kehadiran hati (fokus/khusyuk)." (Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali al-Thusi, Ihya' Ulumuddin: Jilid 1, halaman 598).
Konsep hudhur al-qalb merupakan salah satu inti ajaran dalam tasawuf. Ia menandai keadaan ketika hati seorang hamba tidak tercerai dari kesadarannya akan Allah, meskipun ia tengah beraktivitas di dunia. Dalam pandangan para sufi, kehadiran hati bukan berarti meninggalkan dunia, melainkan menghadirkan Allah di tengah dunia menjadikan setiap gerak dan ucapan sebagai manifestasi kesadaran Ilahi.
Imam al-Ghazali dalam Ihya’ ‘Ulum al-Din menekankan bahwa hudhur al-qalb adalah syarat sahnya ibadah, karena tanpa kehadiran hati, ibadah hanya menjadi gerak tubuh tanpa ruh. Namun lebih jauh dari itu, para sufi menegaskan bahwa hudhur al-qalb juga berlaku dalam segala aktivitas, bukan hanya ibadah ritual. Ketika seorang pekerja, guru, atau pemimpin melaksanakan tugasnya dengan kesadaran bahwa Allah menyertainya dan memperhatikan setiap amalnya, maka ia sedang menjalankan ibadah batiniah yang tidak kalah mulia dibanding ibadah formal.
Dalam konteks pekerjaan duniawi modern, konsep ini memiliki relevansi yang sangat mendalam. Dunia kerja masa kini sering menjerumuskan manusia ke dalam fragmentasi kesadaran pikiran yang terus melompat dari satu tugas ke tugas lain, dari satu pesan ke pesan berikutnya. Dalam keadaan ini, manusia kehilangan kemampuan untuk hadir sepenuhnya, baik dalam pekerjaannya maupun dalam kesadarannya kepada Allah.
Prinsip hudhur al-qalb mengajarkan bahwa kehadiran sejati bukan terletak pada kecepatan atau produktivitas, melainkan pada kesatuan antara pikiran, tindakan, dan kesadaran ruhani. Seorang salik yang bekerja dengan hati yang hadir tidak sekadar menjalankan rutinitas profesional, tetapi menghadirkan nilai-nilai ilahiah dalam setiap geraknya. Ia sadar bahwa bekerja bukanlah tujuan, melainkan wasilah untuk mendekat kepada Allah melalui pengabdian, amanah, dan niat yang ikhlas.
Dengan demikian, hudhur al-qalb menjadi penawar spiritual bagi ketercerabutan manusia modern dari dirinya sendiri. Ia menuntun seseorang agar tidak larut dalam “kegaduhan dunia kerja”, tetapi menjadikan setiap aktivitas duniawi sebagai kesempatan untuk mengenal Allah melalui kesadaran yang utuh. Seorang salik yang menegakkan hudhur al-qalb ditengah kesibukan dunia telah menemukan bentuk khalwah fi al-jalwah kesunyian batin di tengah hiruk pikuk dunia.
Pengertian Muraqabah
Muraqabah dalam bahasa berarti pengawasan atau penjagaan, dan maknanya berdekatan dengan memelihara dan menunggu dengan penuh perhatian.
Adapun menurut istilah para ahli hakikat (sufi), muraqabah adalah kesinambungan kesadaran seorang hamba bahwa Allah senantiasa memperhatikannya dalam setiap keadaan dan geraknya.
وَأَمّاَحَقِيْقَةُ الْمُرَاقَبَةِ فَهِيَ فِيْ الْلُغَةِ : الْمُرَاصَدَةُ وَهِيَ قَرِيْبَةٌ مِنْ مَعْنَى الْحِفْظِ وَالْاِنْتِظَارِ، وَفِيْ اصْطِلَاحِ أَهْلِ الْحَقِيْقَةِ : الْمُرَاقَبَةُ اسْتِدَامَةُ عِلْمِ العَبْدِ بِإِطْلَاعِ الرَبِّ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى عَلَيْهِ فِيْ جَمِيْعِ أَحْوَالِهِ. وَقِيْلَ : هِيَ مُرَاعَاةُ السِّرِّ لِمُلَاحَظَةِ الْحَقِّ مَعَ كُلِّ خَطْرَةٍ، وَقِيْلَ : هِيَ تَسْلِيْطُ هَيْبَةِ حُضُوْرِ الْحَقِّ وَنَظْرِهِ عَلَى الْقَلْبِ وَسَائِرِ الْأَعْضَاءِ فِيْ حَرَكَاتِهَا وَسَكَنَاتِهَا، (الشيخ النسك ضياء الدين أحمد مصطفى الكمشخانوي النقشبندى المجددي الخالدي، جامع الأصول في الأولياء ويليه متممات كتاب جامع الأصول في الأولياء وأنواعهم: ص۳٤۰)
"Muraqabah (Pengawasan Diri): Secara bahasa (etimologi) adalah pengintaian atau pengamatan, dan maknanya dekat dengan makna menjaga (al-hifzh) dan menanti (al-intizhar). Adapun secara terminologi (istilah) ahli hakikat (Sufi), muraqabah adalah melanggengkan pengetahuan seorang hamba bahwa Tuhannya Yang Maha Suci dan Maha Tinggi, selalu mengawasinya dalam segala keadaannya. Dikatakan pula, muraqabah adalah menjaga rahasia (hati) untuk senantiasa memperhatikan (mengingat) kebenaran (Allah) pada setiap bisikan hati. Dikatakan pula, muraqabah adalah memberikan pengaruh penguasaan terhadap hati, kepada semua anggota tubuh baik dalam gerak maupun diamnya." (Syekh Dhiya' al-Din Ahmad bin Musthafa al-Kamasykhanawi al-Naqsyabandi al-Mujaddidi al-Khalidi, Jami’ al-Ushul fi al-Auliya’ wa yalihi Mutammimat Kitab Jami’ al-Ushul fi al-Auliya’ wa anwa’ ihim : hlm 340 ).
Sebagian ulama berkata, Muraqabah ialah penjagaan rahasia hati agar senantiasa memandang (menyadari) kehadiran Allah dalam setiap lintasan pikiran dan perasaan. Dikatakan pula, Muraqabah adalah menetapkan rasa keagungan dan kehadiran Allah di dalam hati, sehingga pengaruhnya memancar ke seluruh anggota tubuh dalam setiap gerakan dan diamnya.
Konsep muraqabah menempati posisi yang sangat penting dalam perjalanan spiritual (suluk). Jika hudhur al-qalb menekankan kehadiran hati di hadapan Allah, maka muraqabah menekankan kesadaran bahwa Allah selalu hadir dan memperhatikan diri kita. Dengan kata lain, hudhur adalah kehadiran hamba bersama Allah, sedangkan muraqabah adalah kesadaran hamba atas kehadiran Allah bersamanya.
Dalam ajaran tasawuf, muraqabah merupakan tahap pengawasan diri yang melahirkan ihsan, sebagaimana sabda Nabi SAW. :
"الإِحْسَانُ أَنْ تَعْبُدَ اللّٰهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ، فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ"(متن الأربعين النووية: ص٢٣)
Ihsan adalah engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihatnya; dan jika engkau tidak melihatnya, maka sesungguhnya Dia melihatmu. (Matan al-Arbain al-Nawawi: hlm 23 )
Hadits tersebut dijelaskan oleh Muhammad Abdul al-Rauf al-Manawi dalam karyanya Faidh al-Qodir Syarh al-Jami’ al-Shaghir Min Ahadits al-Basyri al-Nadziri, bahwasannya Ihsan adalah sebuah sifat (sajiyah) yang mulia di dalam jiwa, yang dimaknai sebagai pilar keagamaan tertinggi setelah Islam dan Iman. Ihsan didefinisikan secara umum sebagai mengikhlaskan ibadah dan menguasainya (itqan al-'ibadah) dengan senantiasa menjaga hak Allah, mengawasi (muraqabah) dan menghadirkan keagungan-Nya, baik di awal maupun sepanjang ibadah.
Ihsan dibagi menjadi dua tingkatan utama yang saling melengkapi:
Tingkatan Pertama Musyahadah (Penyaksian)
Ini adalah tingkatan Ihsan yang paling sempurna (al-akmal), di mana hati hamba didominasi oleh pengalaman menyaksikan (musyahadah) kehadiran Allah.
Ilustrasinya Yaitu "Engkau beribadah kepada Allah seolah-olah Engkau melihat-Nya"
Pengaplikasiannya Hamba beradab dan beribadah seolah-olah hatinya benar-benar melihat Tuhan, sehingga ia tidak meninggalkan sedikitpun dari potensi kesempurnaan ibadahnya.
Ciri Tingkatan ini mencapai syuhud al-akbar (penyaksian terbesar) dan menghimpun muraqabah (pengawasan) di setiap keadaan dan ikhlas di semua amal perbuatan.
Tingkatan Kedua Muraqabah (Pengawasan)
Ini adalah tingkatan bagi hamba yang belum mampu mencapai penyaksian langsung (musyahadah), tetapi ia wajib mencapai kesadaran bahwa ia sedang diawasi oleh Allah.
Ilustrasinya Yaitu "Maka jika engkau tidak melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu".
Pengaplikasiannya Hamba harus memastikan dirinya mencapai keyakinan dan kesadaran bahwa ia berada dalam pengawasan Allah, tidak ada hal tersembunyi yang samar bagi-Nya, dan Dia mengawasi setiap jiwa atas apa yang ia kerjakan, baik dalam gerak maupun diamnya.
Ciri Hamba tidak boleh lalai atau mengurangi kualitas ibadahnya pada tingkatan ini, karena ia sadar bahwa pengawasan Allah itu mutlak.
٣٠٤٢ - (الإِحْسَانُ) أَي المَذْكُوْرُ فِيْ نَحْوِ {لِلْذِّيْنِ أَحْسَنُوْا الحُسْنَى} [يونس : ٢٦] {إِنَّ اللهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِيْنَ} {هَلْ جَزَاءُ الْإِحْسَانِ إِلَّا الْإِحْسَانُ} [الرحمن : ٦٠] فَــ[أَلْ] فِيْهِ لِلْعَهْدِ الذِّهْنِيِّ قِيْلَ، وَحَقِيْقَتُهُ سَجِيَّةٌ فِيْ النَّفْسِ تَحْمِلُ عَلَى مُجَازاةِ المُسِيْءِ بِجَوَائِزِ المُحْسِنِ، وَقِيْلَ: هُوَ مَعْرِفَةُ الرُّبُوبِيَّةِ وَالْعُبُودِيَّةِ مَعًا، وَقِيلَ: إِنْفَاقُ المَعْنَى عَلَى العِيَانِ وَالإِحْسَانُ لِمَنْ أَسَاءَ كَائِنًا مَنْ كَانَ، وَقِيلَ: هُوَ إِتْقَانُ العِبَادَةِ بِإِيقَاعِهَا عَلَى وَجْهِهَا مَعَ رِعَايَةِ حَقِّ الحَقِّ وَمُرَاقَبَتِهِ وَاسْتِحْضَارِ عَظَمَتِهِ ابْتِدَاءً وَدَوَامًا. وَهُوَ نَحْوَانِ: أَحَدُهُمَا غَالِبٌ عَلَيْهِ مُشَاهَدَةُ الحَقِّ، كَمَا قِيْلَ: (أَنْ تَعْبُدَ اللهُ )، مِنْ عَبَدَ أَيْ أَطَاعَ، وَالتَّعَبُّدُ التَّنَسُّكُ، وَالعُبُودِيَّةُ الخُضُوْعُ وَالذِّلَّةُ. (كَأَنَّكَ تَرَاهُ): بِأَنْ تَتَأَدَّبَ فِيْ عِبَادَتِهِ كَأَنَّكَ تَنْظُرُ إِلَيْهِ؛ فَجَمَعَ مَعَ الإِيجَازِ بَيَانَ المُرَاقَبَةِ فِيْ كُلِّ حَالٍ، وَالإِخْلَاصِ فِيْ سَائِرِ الأَعْمَالِ، وَالحَثَّ عَلَيْهِمَا، بِحَيْثُ لَوْ فُرِضَ أَنَّهُ عَايَنَ رَبَّهُ لَمْ يَتْرُكْ شَيْئًا مِن مُمْكِنِهِ. وَالثَّانِيْ: مَنْ لَا يَنْتَهِي إِلَى هَذِهِ الحَالِ، وَلَكِنْ عَلَيْهِ أَنْ يُحَقِّقَ أَنَّ الحَقَّ مُطَّلِعٌ وَمُشَاهِدٌ لَهُ، وَقَدْ بَيَّنَهُ بِقَوْلِهِ: (فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ) أَي: فَإِنْ لَمْ يَنْتَهِ اليَقِيْنُ وَالحُضُوْرُ إِلَى تِلْكَ الرُّتْبَةِ، فَإِلَى أَنْ تُحَقِّقَ مِنْ نَفْسِكَ أَنَّكَ بِمَرْأًى مِنْهُ تَقَدَّسَ، لَا يَخْفَى عَلَيْهِ خَافِيَةٌ، قَائِمٌ عَلَى كُلِّ نَفْسٍ بِمَا كَسَبَتْ، مُشَاهِدٌ لِكُلِّ أَحَدٍ مِنْ خَلْقِهِ فِيْ حَرَكَتِهِ وَسُكُونِهِ فَكَمَا أَنَّهُ لَا يُقَصِّرُ فِيْ الحَالِ الأَوَّلِ لَا يُقَصِّرُ فِيْ الحَالِ الثَّانِي، لِاسْتِوَائِهِمَا بِالنِّسْبَةِ إِلَى اطِّلَاعِ اللهُ . وَقَوْلُهُ فَإِنْ لَمْ ... إِلْخ: تَعْلِيْلٌ لِمَا قَبْلَهُ؛ فَإِنَّ العَبْدَ إِذَا أُمِرَ بِمُرَاقَبَةِ اللهِ فِيْ عِبَادَتِهِ وَاسْتِحْضَارِ قُرْبِهِ مِنْهُ حَتَّى كَأَنَّهُ يَرَاهُ، شَقَّ عَلَيْهِ، فَيَسْتَعِيْنُ عَلَيْهِ بِإِيمَانِهِ بِأَنَّ اللهَ مُطَّلِعٌ عَلَيْهِ، لَا يَخْفَى عَلَيْهِ مِنْهُ شَيْءٌ، فَيَسْهُلُ عَلَيْهِ الِانْتِقَالُ إِلَى ذَلِكَ المَقَامِ الأَكْمَلِ الَّذِي هُوَ مَقَامُ الشُّهُودِ الأَكْبَرِ.(م ٣) عَن عُمَرَ بْنِ الخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، (حَم، ق هـ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ) وَفِيْ البَابِ عَنْ غَيْرِهِ أَيْضًا. (محمد عبدالرّؤوف المناوي، فيض القدير شرح الجمع الصغير من أحاديث البشير النذير: ص٢٢٢)
(Ihsan) yaitu yang disebutkan dalam firman-Nya seperti: "{Bagi orang-orang yang berbuat baik (ahsanu) ada (pahala) yang terbaik (al-Husna)" [Yunus: 26], "{Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berbuat baik (al-Muhsinin)" [Ali 'Imran: 134], "{Tidak ada balasan kebaikan (al-Ihsan) kecuali kebaikan (al-Ihsan) (pula)" [Ar-Rahman: 60]. Maka alif dan lam (al) pada kata al-Ihsan adalah untuk al-'ahd adz-dzihni (merujuk pada makna yang sudah dipahami dalam pikiran). Dikatakan bahwa hakikatnya adalah watak di dalam jiwa (sajiyyah) yang mendorong untuk membalas orang yang berbuat buruk (al-musi’) dengan hadiah (jawa’iz) orang yang berbuat baik (al-muḥsin). Dikatakan pula, Ihsan adalah mengetahui rububiyyah (ketuhanan) dan 'ubudiyyah (kehambaan) secara bersamaan. Dikatakan pula, Ihsan adalah membelanjakan makna (al-ma'na) di atas penyaksian (al-'iyan) dan berbuat baik kepada siapapun yang berbuat buruk. Dikatakan pula, Ihsan adalah menyempurnakan ibadah (itqan al-'ibadah) dengan melaksanakannya sebagaimana mestinya, disertai dengan menjaga hak Allah, mengawasi (muraqabah) Dia, dan menghadirkan keagungan-Nya, baik di awal maupun sepanjang (ibadah). Ihsan itu dua macam (naw'an): Salah satunya adalah yang didominasi oleh penyaksian terhadap Kebenaran (Allah) (musyahadah al-Haqq), sebagaimana sabda beliau: "Engkau beribadah kepada Allah"kata 'abada (beribadah) berarti menaati, dan ta'abbud (beribadah secara mendalam) adalah tanassuk (beribadah dengan tekun), dan 'ubudiyyah (kehambaan) adalah ketundukan dan kerendahan diri "(seolah-olah engkau melihat-Nya)". Yaitu engkau beradab dalam ibadah-Nya seolah-olah engkau melihat-Nya. Ini menghimpun, bersamaan dengan ringkasnya, penjelasan tentang pengawasan diri (muraqabah) dalam setiap keadaan dan keikhlasan dalam seluruh amal perbuatan, serta dorongan atas keduanya, sehingga andaikata diasumsikan ia melihat Tuhannya secara langsung, ia tidak akan meninggalkan sedikitpun dari (kesempurnaan) yang mungkin ia lakukan. Yang kedua adalah orang yang belum mencapai keadaan ini (penyaksian), tetapi ia wajib menyadari bahwa Allah senantiasa Maha Mengetahui dan Maha Menyaksikan dirinya. Hal ini dijelaskan oleh sabda beliau: "(Maka jika engkau tidak melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu)." (1) Artinya: Maka jika keyakinan dan kehadiran hati belum mencapai tingkatan tersebut (penyaksian), maka (beribadahlah) sampai engkau meyakini sepenuhnya dalam dirimu bahwa engkau berada dalam pandangan (bi-mar’a) Allah, Dia Maha Suci, tidak ada yang tersembunyi bagi-Nya, Dia berdiri tegak atas setiap jiwa dengan apa yang ia usahakan, dan Dia menyaksikan setiap seorang dari makhluk-Nya, baik dalam geraknya maupun dalam diamnya. Maka sebagaimana ia tidak akan mengurangi (amal) pada keadaan yang pertama, ia juga tidak akan mengurangi (amal) pada keadaan yang kedua, karena keduanya setara dalam hal kesadaran akan Pengawasan Allah (Ittila'ullah). Sabda beliau "maka jika tidak, dan seterusnya" adalah penjelasan (ta'lil) bagi kalimat sebelumnya, karena seorang hamba ketika diperintahkan untuk mengawasi Allah dalam ibadahnya dan menghadirkan kedekatan-Nya seolah-olah ia melihat-Nya akan terasa sulit baginya. Maka ia memohon pertolongan atas hal itu dengan keimanannya bahwa Allah mengawasi dirinya, tidak ada satu pun darinya yang tersembunyi bagi-Nya, yang akan memudahkan transisinya menuju Maqam al-Akmal (tingkatan yang lebih sempurna), yaitu Maqam asy-Syuhud al-Akbar (tingkatan penyaksian terbesar). (Diriwayatkan oleh Muslim (M. 3) dari Umar bin Khattab r.a., dan oleh Ahmad (Hm), Qaf, Ha’ dari Abu Hurairah r.a.), dan hadis ini juga diriwayatkan dari selain keduanya. (Muhammad Abdul al-Rauf al-Munawi, Faidu al-Qodir Syarh al-Jami’ al-Shaghir Min Ahadits al-Basyri al-Nadziri, Juz 3, hlm 222).
Implementasi Spiritual di Tengah Deru Pekerjaan
Hudhur al-Qalb (Kehadiran Hati) diterapkan dengan cara menciptakan "Waqfat" (jeda sesaat) sebelum setiap tindakan yang dipicu notifikasi. Daripada langsung bereaksi, salik harus secara sadar mengosongkan hati (yafragha al-qalb) dari gangguan sebelumnya dan mengisi hati dengan niat yang murni dan dzikir yang relevan (seperti Basmalah atau Istighfar). Tujuannya adalah memastikan bahwa pikiran tidak berkelana (la yakunu al-fikr ja'ilan) pada selain yang sedang dihadapi, sehingga terjadi persatuan antara kesadaran (ilmu) dan tindakan (amal). Praktik ini disebut Khalwah fi al-Jalwah (kesunyian batin di tengah keramaian).
Muraqabah (Kesadaran Diawasi) diterapkan sebagai filter batin dan kendali kualitas tertinggi. Salik harus senantiasa memegang teguh keyakinan pada tingkatan Ihsan kedua: "Maka jika engkau tidak melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu". Kesadaran ini harus ditancapkan ke dalam hati (taslit haibah al-hudhur) untuk memastikan bahwa setiap pekerjaan seperti membalas email, menyusun laporan, atau mengambil keputusan dilakukan dengan amanah, itqan (kesempurnaan), dan tanpa kelalaian. Kesadaran bahwa Allah Maha Mengawasi (Al-Raqib) dalam setiap gerak dan diamnya menjadikan amal duniawi sebagai ibadah yang dijamin kualitasnya dan terhindar dari syirik tersembunyi (syirk al-khafi).
Singkatnya, bagi salik, notifikasi pekerjaan duniawi bukanlah gangguan, melainkan pengingat (mudzakkir) untuk segera mengaktifkan Muraqabah, yang kemudian mengembalikan hati pada Hudhur al-Qalb. Dengan demikian, ia mencapai Maqam asy-Syuhud al-Akbar (tingkatan penyaksian terbesar) di tengah kesibukan dunia.
KESIMPULAN
Inti dari pembahasan mengenai Hudhur al-Qalb dan Muraqabah adalah untuk membekali seorang salik dengan pertahanan spiritual dalam menghadapi serangan ghaflah (kelalaian) yang ditimbulkan oleh derasnya notifikasi atau kesibukan kerja modern.
Untuk mengatasi ketercerabutan hati (idhthirab al-qalb) di tengah hiruk pikuk pekerjaan, seorang salik harus mengintegrasikan dua tingkatan Ihsan dalam setiap aktivitas duniawi:
Musyahadah (Penyaksian)
Ilustrasinya Yaitu "Engkau beribadah kepada Allah seolah-olah Engkau melihat-Nya"
Pengaplikasiannya Hamba beradab dan beribadah seolah-olah hatinya benar-benar melihat Tuhan, sehingga ia tidak meninggalkan sedikitpun dari potensi kesempurnaan ibadahnya.
Ciri Tingkatan ini mencapai syuhud al-akbar (penyaksian terbesar) dan menghimpun muraqabah (pengawasan) di setiap keadaan dan ikhlas di semua amal perbuatan.
Muraqabah (Pengawasan)
Ilustrasinya Yaitu "Maka jika engkau tidak melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu".
Pengaplikasiannya Hamba harus memastikan dirinya mencapai keyakinan dan kesadaran bahwa ia berada dalam pengawasan Allah, tidak ada hal tersembunyi yang samar bagi-Nya, dan Dia mengawasi setiap jiwa atas apa yang ia kerjakan, baik dalam gerak maupun diamnya.
Ciri Hamba tidak boleh lalai atau mengurangi kualitas ibadahnya pada tingkatan ini, karena ia sadar bahwa pengawasan Allah itu mutlak.
Penulis : Ahmad Mufti Falakh
Contact Person : 085974600167
e-Mail : amfalakh25@gmail.com
Perumus : Abidusy Syakur Almahbub
Mushohih : M. Faidlus Syukri, S.Pd
Daftar Pustaka
Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad al-Ghazali al-Thusy al-Thabarany al-Syafi’i (W. 505 H), Ihya’ Ulum al-Din, Dar al-Minhaj, Jeddah, Saudi Arabia, cet.Pertama, 2011 M / 1432 H, Sebanyak 10 Juz dalam 10 jilid.
Syekh Dhiya' al-Din Ahmad bin Musthafa al-Kamasykhanawi an-Naqsyabandi al-Mujaddidi al-Khalidi (W. 1311 H), Jami’ al-Ushul fi al-Auliya’ wa yalihi Mutammimat Kitab Jami’ al-Ushul fi al-Auliya’ wa Anwa’ihim, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, beirut, tanpa tahun, Sebanyak Satu jilid.
Abi Zakariyah Yahya bin Syarofi al-Nawawiyi al-Dimasyki (W. 676 H), Matan al-Arbain al-Nawawi, Dar al-ghoutsani Liddirosati al-Qur’aniyati, Damaskus, Suriah, tanpa tahun, Sebanyak Satu jilid


%20Ahmad%20Mufti%20Falakh%20(1).png)
%20Ahmad%20Mufti%20Falakh%20(2).png)
%20Ahmad%20Mufti%20Falakh%20(3).png)
%20Ahmad%20Mufti%20Falakh%20(4).png)
Posting Komentar untuk "Hati Salik Di Tengah Deru Notifikasi"