LATAR BELAKANG
Dalam ajaran Islam, doa memiliki kedudukan yang sangat mulia. Doa bukan hanya permintaan seorang hamba kepada Tuhannya, melainkan juga bentuk ibadah yang menunjukkan kerendahan hati dan pengakuan akan kelemahan manusia. Allah SWT., bahkan memerintahkan hamba-Nya untuk berdoa dengan janji bahwa doa tidak akan sia-sia di sisi-Nya. Namun, disisi lain setiap muslim juga wajib beriman bahwa seluruh peristiwa dalam hidupnya telah ditetapkan melalui takdir Allah SWT.
Akan tetapi, ada sebagian hamba yang merasa bahwa ketika berdoa seakan-akan mereka tidak rida dengan apa yang telah diberikan Allah SWT., pemikiran seperti inilah yang menjadikan sebagian orang bimbang, sehingga perspektif ini harus dipahami lebih dalam agar kita sebagai seorang hamba dapat berada pada pemahaman yang benar dan menjadi hamba Allah SWT., yang mencintai sekaligus dicintai Allah SWT., dengan rida akan semua ketetapan Allah SWT.
Apakah hamba tersebut termasuk hamba yang menolak akan takdir Allah SWT., ataukah justru menjadi hamba yang paling dekat dengan Allah SWT.?
PEMBAHASAN
Pengertian Qadha’ dan Qadar
Dijelaskan oleh Syekh Muhammad Amin al-Kurdi dalam kitab Tanwir al-Qulub. Bahwasannya antara qadha' dan qadar ulama tidak memiliki perbedaan pendapat, karena keduanya merupakan bagian dari aqidah yang wajib untuk diimani. Maka, kita sebagai orang beriman wajib untuk mempercayai secara utuh terhadap semua yang telah ditakdirkan kepada kita melalui seluruh peristiwa-peristiwa yang kita alami.
وَأَمَّا الْقَضَاءُ فَهُوَ تَعَلُّقُ إِرَادَةِ اللّٰهِ بِالْأَشْيَاءِ فِي الْأَزَلِ عَلَى مَا هِيَ عَلَيْهِ فِيْمَا لَا يَزَالُ عَلَى وَفْقِ عِلْمِهِ، فَهُوَ مِنْ صِفَاتِ الذَّاتِ، وَأَمَّا اْلقَدَرُ فَهُوَ إِيْجَادُ اللّٰهِ الْأَشْيَاءَ عَلَى قَدَرٍ مَخْصُوْصٍ وَوَجْهٍ مُعَيَّنٍ أَرَادَهُ اللّٰهُ تَعَالَى، فَهُوَ مِنْ صِفَاتِ الْأَفْعَالِ، فَالْقَضَاءُ قَدِيْمٌ وَالْقَدَرُ حَادِثٌ، وَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا نَزَاعَ بَيْنَ أَهْلِ الْحَقِّ فِيْ أَنَّ الْقَضَاءَ وَالْقَدَرَ مِنَ الْعَقَائِدِ الَّتِيْ يَجِبُ الْإِيمَانُ بِهَا، فَيَجِبُ أَنْ تَعْتَقِدَ أَنَّ عِلْمَهُ تَعَالَى وَإِرَادَتَهُ تَعَلَّقَا فِي الْأَزَلِ بِالْأَشْيَاءِ عَلَى مَا هِيَ عَلَيْهِ فِيْمَا لَا يَزَالُ، وَأَنَّ قُدْرَتَهُ تَعَلَّقَتْ بِالْأَشْيَاءِ فِيْمَا لَا يَزَالُ عَلَى وَفْقِ تَعَلُّقِ الْعِلْمِ وَالْإِرَادَةِ بِهَا فِي اْلأَزَلِ، فَلَا حَادِثَ خَيْرًا كَانَ أَوْ شَرًّا إِلَّا وَهُوَ صَادِرٌ عَنْ إِرَادَتِهِ وَقُدْرَتِهِ عَلَى وَفْقِ عِلْمِهِ. (تنوير القلوب، ص ١٤٦-١٤٧)
“Qadha' adalah keterkaitan kehendak Allah terhadap segala sesuatu sejak azali sesuai dengan bagaimana keadaan sesuatu itu dalam kelangsungan (kejadian-kejadian yang terus berlangsung) sejalan dengan ilmu-Nya dan ini merupakan sifat dzat. Sedangkan qadar adalah perwujudan sesuatu dengan ukuran tertentu dan arah tertentu yang dikehendaki oleh Allah SWT., dan ini merupakan sifat af'al. Qadha' bersifat qadim, sedangkan qadar bersifat hadits. Tidak ada perbedaan pendapat di antara ahli kebenaran tentang kenyataan qadha' dan qadar sebagai bagian dari akidah yang wajib diimani. Karena itu, kita wajib meyakini bahwa ilmu dan kehendak Allah SWT. berhubungan di zaman azali dengan segala sesuatu apa adanya dalam kesinambungan. Kita juga harus yakin bahwa kuasa Allah SWT., berhubungan dengan segala sesuatu dalam kesinambungan sesuai hubungan ilmu dan iradah-Nya dengan segala sesuatu itu di zaman azali. Dengan demikian, tidak ada hal baru (apa pun yang selain Dia), entah yang baik maupun yang buruk, melainkan keluar dari kehendak dan kuasa-Nya yang selaras dengan ilmu-Nya.” (Tanwir al-Qulub, 146-147)
Rida Sebagai Bentuk Tanda Cinta
Rida juga menjadi tanda cinta seorang hamba kepada Allah SWT. Orang yang mencintai tidak pernah merasa keberatan menerima pemberian dari kekasihnya. Begitu pula seorang mukmin, semakin besar cintanya kepada Allah SWT., semakin lapang dadanya dalam menerima qadha' dan qadar. Dalam praktik sehari-hari, rida bukan berarti pasrah buta tanpa usaha. Seorang hamba tetap berikhtiar, tetap berdoa, tetap bekerja namun hasil akhirnya ia serahkan sepenuhnya kepada Allah SWT. Inilah keseimbangan antara ikhtiar manusia dan penyerahan diri kepada kehendak Tuhan. Dengan rida, seorang hamba mencapai ketenangan yang sejati. Hatinya tidak terguncang oleh perubahan dunia, tidak kecewa saat kehilangan dan tidak sombong saat mendapat keberhasilan. Sebab ia tahu, semua berasal dari Allah SWT., dan kembali kepada-Nya. Hendaklah kita mengetahui bahwa ketika cinta kepada Allah SWT., tertanam pada diri seseorang dan kemudian ia merasa asyik dan tenggelam dalam cintanya itu, maka jelas dalam hal ini bahwa cintalah yang mengakibatkan ia rida terhadap segala perbuatan yang dicintai. hal ini sesuai dengan perkataan Imam al-Ghazali:
فَلَا يَخْفَى أَنَّ الْحُبَّ يُورِثُ الرِّضَا بِأَفْعَالِ الحَبِيْبِ (إحياء علوم الدين:ج ٤،ص ٣٤٤)
“Bahwa tidak bisa dipungkiri/disembunyikan bahwa cinta menumbuhkan keridaan terhadap perbuatan kekasih.” (Ihya’ 'Ulum al-Din, 4:344)
Dalam perjalanan hidup, manusia tidak lepas dari berbagai ujian: kesedihan, kehilangan, kegagalan dan hal-hal yang tidak sesuai harapan. Namun, dibalik semua itu Islam mengajarkan sebuah sikap mulia yang menjadi kunci ketenangan hati yaitu rida terhadap qadha' dan qadar Allah SWT.
Rida pada Kejahatan/Maksiat
Adapun kejahatan dan perbuatan maksiat, maka keduanya tidak termasuk perkara yang dituntut untuk diridai dari sisi zat dan perbuatannya. Seorang hamba tidak diperintahkan untuk rida terhadap maksiat, karena maksiat pada hakikatnya adalah sesuatu yang dibenci dan dilarang oleh Allah SWT. Namun yang dituntut untuk diridai adalah ketetapan (qadha’) Allah atas terjadinya peristiwa tersebut, bukan kejahatan atau maksiat itu sendiri. hal ini selaras dengan perkataan Imam al-Ghazali dalam kitab beliau Minhaj al-'Abidin yang menjelaskan bahwasannya rida adalah rela, tidak mengeluh terhadap apapun keputusan (takdir) Allah SWT., serta tidak membandingkan qadha' Allah SWT., dengan yang lainnya. Sedangkan qadha' yang buruk itu bukanlah keburukan, akan tetapi hal yang dapat memunculkan qadha' itulah yang disebut keburukan. Sehingga hal ini bukan berarti rida pada keburukan.
فَإِنْ قُلْتَ: أَلَيْسَ الشُّرُوْرُ وَالْمَعَاصِيْ بِقَضَاءِ اللّٰهِ تَعَالَى وَقَدَرِهِ، فَكَيْفَ يَرْضَى الْعَبْدُ بِالشَّرِّ وَيَلْزَمُهُ ذَلِكَ؟ فَاعْلَمْ أَنَّ الرِّضَا إِنَّمَا يَلْزَمُ بِالْقَضَاءِ، وَقَضَاءُ الشَّرِّ لَيْسَ بِشَرٍّ، وَإِنَّمَا الشَّرُّ هُوَ الْمَقْضِيُّ، فَلَا يَكُونُ رِضًا بِالشَّرِّ. وَقَدْ قَالَ شُيُوْخُنَا رَحِمَهُمُ اللّٰهُ تَعَالَى: إِنَّ الْمَقْضِيَّاتِ أَرْبَعَةٌ: نِعْمَةٌ، وَشِدَّةٌ، وَخَيْرٌ، وَشَرٌّ. (منهاج العابدين: ص٥٤)
“Ada pertanyaan: bukankah kejahatan dan maksiat juga terjadi dengan qadha' Allah SWT. dan qadar-Nya? lalu bagaimana seorang hamba akan ikhlas menerima kejahatan dan maksiat? Maka ketahuilah, bahwasanya rida itu hanya diwajibkan terhadap ketetapan (qadha'), dan ketetapan terhadap sesuatu yang buruk itu bukan berarti keburukan itu sendiri. Sesungguhnya keburukan itu hanya terjadi pada perbuatannya, bukan ketetapannya. Maka tidak disebut rida terhadap keburukan, melainkan rida terhadap ketetapan Allah SWT.. Dan telah berkata mursyid-mursyid kami: bahwa hal-hal yang ditetapkan itu ada empat macam: nikmat, kesulitan, kebaikan, dan keburukan.” (Minhaj al-’Abidin, 54)
Dalam kitab Siraj al-Thalibin syarah Minhaj al-’Abidin, Syekh Ihsan menjelaskan lebih rinci mengenai ibarot diatas menjelaskan bahwa qadha’ atas keburukan maksudnya adalah kehendak Allah SWT., pada zaman azali bukanlah sesuatu yang buruk, yang buruk itu hanya perbuatannya (pelaksanaanya), maka tidaklah yang dimaksud rida terhadap apa yang ditetapkan itu berarti rida terhadap keburukan. Amal seorang hamba terbagi menjadi tiga macam: ketaatan, perkara-perkara mubah, dan maksiat. Maka ketaatan diridai secara mutlak. Maksiat tidak diridai secara mutlak. Adapun perkara-perkara mubah, sebagian darinya condong kepada ketaatan, dan sebagian lainnya condong kepada maksiat. Bangkitnya hati untuk berdzikir kepada Allah SWT., menjadikan hal tersebut ketaatan. Sedangkan hal-hal yang menyibukkan hati dari dzikir kepada Allah dan mendorong kepada kelalaian, maka ia menjadi serupa dengan maksiat dalam hal tidak layak untuk diridai.
Dikisahkan terdapat pertemuan antara Nabi Musa As., dan Nabi Adam As., yang membahas tentang perdebatan yang mempersoalkan dikeluarkannya Adam as. dari surga akibat dosa yang telah diperbuatnya. Nabi Musa As., protes kepada Nabi Adam As., karena akibat dari perilaku Nabi Adam As., ini yang kemudian dikeluarkan dari surga dan keturunanya ikut menanggung sengsara. menurut Nabi Musa As., seandainya saja Nabi Adam As., tidak melakukan kesalahan di surga, manusia tidak akan pernah merasakan kesusahan dan pasti hidup bahagia dialam yang kekal. Namun, Nabi Adam As., berargumen yang membuat Nabi Musa as. bungkam tak lagi berkata-kata. Dan Rasulullah Saw., pun bersaksi akan kekuatan hujah Nabi Adam As., dan kekalahan Nabi Musa As.
حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ عَبْدِ اللهِ، حَدَّثَنَا سُفْيَانُ، قَالَ: حَفِظْنَاهُ مِنْ عَمْرٍو، عَنْ طَاوُسٍ، سَمِعْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ، عَنِ النَّبِيِّ ﷺ قَالَ «احْتَجَّ آدَمُ وَمُوسَى، فَقَالَ لَهُ مُوسَى: يَا آدَمُ أَنْتَ أَبُونَا خَيَّبْتَنَا، وَأَخْرَجْتَنَا مِنَ الْجَنَّةِ. فَقَالَ لَهُ آدَمُ: يَا مُوسَى، اصْطَفَاكَ اللهُ بِكَلَامِهِ، وَخَطَّ لَكَ بِبِيَدِهِ، أَتَلُومُنِي عَلَى أَمْرٍ قَدَّرَهُ اللهُ عَلَيَّ قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَنِي بِأَرْبَعِينَ سَنَةً؟ فَحَجَّ آدَمُ مُوسَى، فَحَجَّ آدَمُ مُوسَى ثَلَاثًا». قَالَ سُفْيَانُ: حَدَّثَنَا أَبُو الزِّنَادِ، عَنِ الْأَعْرَجِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، عَنِ النَّبِيِّ ﷺ مِثْلَهُ. (صحيح البخاري:ج ٤، ص ٢٧٧)
“Ali bin Abdullah meriwayatkan kepada kami: Sufyan berkata: (Kami menghafalnya dari ‘Amr, dari Thawus, dari Abu Hurairah, dari Nabi saw, beliau bersabda: (Adam dan Musa saling berdebat). Musa berkata: “Wahai Adam, engkaulah bapak kami. Engkau telah mengecewakan kami dan mengeluarkan kami dari surga”. Adam menjawab: (Wahai Musa, Allah telah memilihmu dengan firman-Nya dan menulis (Taurat) untukmu dengan tangan-Nya. Apakah engkau mencelaku atas suatu perkara yang Allah telah tetapkan atasku empat puluh tahun sebelum Dia menciptakanku?). Maka Adam memenangkan hujjah atas Musa. Adam mengalahkan Musa (dalam hujjah itu) sebanyak tiga kali). Sufyan berkata: Abu al-Zinad meriwayatkan kepada kami, dari al-A‘raj, dari Abu Hurairah, dari Nabi saw semakna dengan hadis tersebut.” (Shohih al-Bukhari, 4:277)
Dari hadis diatas walaupun Nabi Adam As., menyebut takdir dalam perdebatan ini, Nabi Adam As., tidak sedang membenarkan maksiatnya, karena Nabi Adam As., sudah bertaubat, dan taubatnya diterima dan Allah SWT., sudah menetapkan sebelumnya bahwa manusia akan turun ke bumi. Maka, pelajaran pentingnya tidak boleh seseorang mengatakan, “Ini sudah takdir saya” ketika ia sedang melakukan maksiat.
Hadis tersebut juga dijelaskan oleh Syekh Muhammad Nawawi bin Umar al-Jawi dalam kitab beliau Fath al-Majid menerangkan bahwa Nabi Adam As., adu argumen dengan Nabi Musa As., Dimana, Nabi Musa As., protes karena Nabi Adam As., melakukan kesalahan di surga yang imbasnya dirasakan oleh semua anak cucunya. Nabi Musa As., menegur Nabi Adam As., karena sebagai bapak manusia, Nabi Adam As., menghalang-halangi manusia dari surga, karena kesalahannya tersebut. Akan tetapi, Nabi Adam As., membalas argumen Nabi Musa As., dengan berkata "Hai Musa. Allah SWT., telah memilihmu dengan Kalam-Nya. Allah SWT., telah menuliskan untukmu lembaran-lembaran Taurat dengan qudrah-Nya. Dan Allah SWT., telah menurunkan Taurat kepadamu di atas papan-papan dari intan zabarjud. Apakah kamu akan mencelaku atas perkara yang telah diqudrahkan oleh Allah atasku di 40 tahun jauh sebelum Allah menciptakanku?" Nabi Adam As., menegaskan bahwa peristiwa tersebut, turunnya ke bumi dan seluruh rangkaian kejadian telah ditakdirkan Allah SWT., puluhan tahun sebelum penciptaan. Karena Nabi Adam As., berargumen dengan takdir yang telah ditetapkan Allah SWT., sebelum ia diciptakan, maka argumen Nabi Adam As., lebih kuat sehingga ia menang dalam perdebatan sebagaimana dinyatakan dalam hadis sahih. Dari cerita perdebatan Nabi Adam As., dan Nabi Musa As., Imam Nawawi menjelaskan bahwa berargumen (berhujjah) dilakukan setelah melakukan dosa dengan tujuan agar tidak dijelek-jelekan maka berargumen (berhujjah) yang demikian ini diperbolehkan. Sebaliknya, apabila berargumen (berhujjah) dilakukan sebelum melakukan dosa agar berargumen (berhujjah) tersebut menjadi perantara untuk melakukan dosa, maka berargumen (berhujjah) yang demikian ini tidak diperbolehkan dan apabila berargumen (berhujjah) dilakukan setelah melakukan dosa dengan tujuan agar terhindar dari konsekuensi hukuman sebab dosanya, seperti had atau takzir, maka berargumen (berhujjah) yang demikian ini juga tidak diperbolehkan.
Imam Mawardi dalam tafsirnya menjelaskan surat al-Taghabun ayat 11 juz 28 bahwa, yang dimaksud dengan “Allah SWT., akan memberi petunjuk kepada hatinya” adalah bahwa Allah SWT., tanamkan dalam hatinya ketenangan dan rida atas takdir tersebut. Rida menjadikan hati tidak gelisah, tidak marah dan tidak berburuk sangka kepada Allah SWT. Hamba yang rida justru semakin dekat dengan Allah SWT., semakin kuat doanya dan semakin mantap tawakalnya. Ia tidak mempersoalkan “mengapa” terhadap takdir, tapi bertanya pada dirinya sendiri: “Apa yang Allah SWT., ingin ajarkan dari ini semua?”
﴿مَآ اَصَابَ مِنْ مُّصِيْبَةٍ﴾ مِنْ نَفْسٍ أَوْ مَالٍ أَوْ قَوْلٍ أَوْ فِعْلٍ يَقْتَضِيْ هَمًّا أَوْ يُوْجِبُ عِقَابًا عَاجِلًا أوْ آجِلًا. ﴿إِلَّا بِإذْنِ اللّٰهِ﴾ فِيْهِ وَجْهَانِ: أَحَدُهُمَا: إِلَّا بِأَمْرِ اللّٰهِ.الثَّانِيْ: إِلَّا بِحُكْمِ اللّٰهِ تَسْلِيْمًا لَِأمْرِهِ وَانْقِيَادًا لِحُكْمِهِ. ﴿وَمَنْ يُؤْمِنْ بِاللّٰهِ يَهْدِ قَلْبَهُ﴾ فِيْهِ أَرْبَعَةُ تَأْوِيْلَاتٍ: أَحَدُهَا: مَعْنَاهُ يَهْدِيْ قَلْبَهُ اللّٰهُ تَعَالَى. الثَّانِيْ: أَنَّهُ يَعْلَمُ أَنَّهُ مِنْ عِنْدِ اللّٰهِ وَيَرْضَى وَيُسَلِّمُ، قَالَهُ بِشْرٌ. الثَّالِثُ: أَنْ يَسْتَرْجِعَ فَيَقُوْلَ: إنَّا لِلّٰهِ وَإِنَّا إلَيْهِ رَاجِعُوْنَ. الرَّابِِعُ: هُوَ إِذَا ابْتُلِيَ صَبَرَ، وَإِذَا أَنْعَمَ عَلَيْهِ شَكَرَ وَإِذَا ظُلِمَ غَفَرَ، قَالَهُ الْكَلْبِيُّ. (النكت والعيون تفسير المواردي: ج ٦ ص ٢٣)
“(Tidak ada suatu musibah pun yang menimpa,) yakni baik berupa musibah pada jiwa, harta, ucapan, maupun perbuatan yang menimbulkan kesedihan, kekhawatiran atau menyebabkan hukuman, baik di dunia maupun di akhirat. (melainkan dengan izin Allah.) Mengenai hal ini terdapat dua pendapat: pertama, maknanya: melainkan dengan perintah Allah. Kedua, maknanya: melainkan dengan keputusan dan hukum Allah, sebagai bentuk kepasrahan terhadap perintah-Nya dan ketundukan terhadap ketetapan-Nya. (Dan barang siapa beriman kepada Allah, niscaya Allah memberi petunjuk kepada hatinya.) Tentang bagian ini terdapat empat penafsiran (ta’wil): Pertama: maknanya, Allah-lah yang memberi petunjuk kepada hatinya. Kedua: bahwa ia mengetahui bahwa musibah itu datang dari Allah, lalu ia ridha dan berserah diri kepada-Nya ini pendapat Bisyr. Ketiga: bahwa ketika tertimpa musibah, ia mengucapkan istirja‘, yaitu: “Inna lillahi wa inna ilaihi raji‘un” (Sesungguhnya kami milik Allah dan kepada-Nya kami akan kembali). Keempat: bahwa apabila diuji, ia bersabar; apabila diberi nikmat, ia bersyukur; dan apabila dizalimi, ia memaafkan ini pendapat Al-Kalbi.” (al-Nukat wa al-‘Uyun Tafsir al-Mawardi, 6:23 )
Diceritakan dalam satu hadis, bahwasannya ketika Rasulullah Saw., menanyakan kabar para sahabat-sahabat beliau, para sahabat menjawab mereka bersabar dalam segala ujian, bersyukur dalam keadaan suka (menerima nikmat) dan rida terhadap qadha' Allah SWT.”
فَقَدْ رُوِيَ أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ سَأَلَ طَائِفَةً مِنْ أَصْحَابِهِ: مَا أَنْتُمْ؟ فَقَالُوا: مُؤْمِنُونَ. فَقَالَ: مَا عَلاَمَةُ إِيْمَانِكُمْ؟ فَقَالُوا: نَصْبِرُ عَلَى الْبَلَاءِ، وَنَشْكُرُ عِنْدَ الرَّخَاءِ، وَنَرْضَى بِمَوَاقِعِ القَضَاءِ. فَقَالَ ﷺ: مُؤْمِنُونَ وَرَبِّ الْكَعْبَةِ. (إحياء علوم الدين:ج ٤، ص ٣٤١)
“Pada suatu ketika, Rasulullah saw bertanya kepada sahabat-sahabatnya, “bagaimana keadaan kalian?” Mereka menjawab, “Kami orang yang beriman(mukmin)”. Beliau bertanya lagi, “Apa tanda-tanda keimanan kalian?”. Mereka menjawab pula, “kami bersabar atas segala ujian, bersyukur dalam keadaan suka (menerima kenikmatan) dan rida terhadap qadha' Allah SWT.". Lalu beliau bersabda, “ Demi yang memiliki ka’bah, Kalian adalah orang yang beriman.” (Ihya’ ‘Ulum al-Din, 4:341)
Faktor Rida pada yang Dicintai (Allah SWT.)
Dijelaskan oleh Imam Ghazali dalam Kitab Ihya’ 'Ulum al-Din, terdapat dua sebab yang mendasari seseorang rida terhadap apa saja yang berasal dari yang dicintai yaitu Allah SWT.
(Pertama) cinta terhadap Allah SWT., dapat menyingkirkan dan menghapus rasa payah, kesakitan fisik, kepedihan dan kesedihan hati. Ketika hati seseorang disibukan dengan cinta kepada Allah SWT., maka tidak akan ada rasa sakit atau luka yang dialami tubuhnya kecuali hanya rida dan ikhlas atas semua yang telah ditakdirkan lewat apa yang telah terjadi.
اِعْلَمْ أَنَّ مَنْ قَالَ لَيْسَ فِيمَا يُخَالِفُ الْهَوَى وَأَنْوَاعِ الْبَلَاءِ إِلَّا الصَّبْرُ، فَأَمَّا الرِّضَا فَلَا يَتَصَوَّرُ، فَإِنَّمَا أُتِيَ مِنْ نَاحِيَةِ إِنْكَارِ الْمَحَبَّةِ، فَأَمَّا إِذَا ثَبَتَ تَصَوُّرُ حُبِّ اللهِ تَعَالَى وَاسْتِغْرَاقُ الْهَمِّ بِهِ، فَلَا يَخْفَى أَنَّ الْحُبَّ يُورِثُ الرِّضَا بِأَفْعَالِ الْحَبِيبِ وَيَكُونُ ذٰلِكَ مِنْ وَجْهَيْنِ. أَحَدُهُمَا أَنْ يُبْطِلَ اْلإِحْسَاسَ بِاْلأَلَمِ حَتَّى يَجْرِيَ عَلَيْهِ المُؤْلِمُ وَلَا يَحِسَّ، وَتُصِيْبَهُ جَرَاحَةٌ وَلَا يُدْرِكَ أَلَمَهَا… (إحياء علوم الدين: ج ٤،ص ٣٤٤)
“Ketahuilah bahwa seseorang berkata: dalam segala sesuatu yang bertentangan dengan hawa nafsu dan berbagai bentuk cobaan itu tidak ada sikap selain sabar, adapun rida itu tidak mungkin digambarkan, ia sesungguhnya terjatuh dalam kekeliruan karena mengingkari adanya mahabbah (cinta kepada Allah). Adapun apabila telah tetap mungkin adanya gambaran cinta kepada Allah Ta‘ala dan tenggelamnya seluruh perhatian pada-Nya, maka tidaklah samar bahwa cinta itu melahirkan sikap ridha terhadap segala perbuatan Sang Kekasih. Dan hal itu terjadi dari dua sisi. Salah satu dari keduanya adalah meniadakan rasa terhadap sakit, hingga sesuatu yang menyakitkan menimpanya tanpa ia merasakannya ia terluka tetapi tidak menyadari rasa sakitnya.” (Ihya’ ‘Ulum al-Din, 4:344)
(Kedua) seseorang pecinta selalu rida sekalipun mereka merasakan kepedihan, bukan marah dan benci kepada kekasihnya. Jika suatu musibah dari Allah SWT., datang kepadanya dan ia memiliki keyakinan bahwa pahala atas musibah yang ditanggungnya jauh lebih besar dari kerugian yang dialami karena musibah itu, maka ia dianggap rida terhadap Allah SWT., dan bahkan ia bersyukur kepada-Nya atas musibah tersebut.
وَأَمَّا اْلوَجْهُ الثَّانِيْ فَهُوَ أَنْ يَحِسَّ بِهِ وَيُدْرِكَ أَلَمَهُ، وَلَكِنْ يَكُوْنَ رَاضِيًا بِهِ، بَلْ رَاغِبًا فِيْهِ، مُرِيْدًا لَهُ، أَعْنِيْ بِعَقْلِهِ، وَإِنْ كَانَ كَارِهًا بِطَبْعِهِ، كَالَّذِيْ يَلْتَمِسُ مِنَ الفَصَّادِ الفَصْدَ…(إحياء علوم الدين:ج ٤،ص ٣٤٤)
“Adapun yang kedua yaitu bahwa seseorang merasakan dan menyadari rasa sakitnya, namun ia ridha terhadapnya, bahkan menghendakinya dan menginginkannya, maksudnya dengan akalnya, meskipun secara tabiat (naluri jasmani) ia membencinya. Seperti orang yang meminta kepada tukang bekam untuk membekamnya.” (Ihya’ ‘Ulum al-Din, 4:344)
Umat islam sepakat bahwa mencintai Allah SWT., dan Rasul-Nya merupakan fardhu ‘ain (kewajiban setiap individu) manusia sebagai makhluk yang sangat bergantung pada Allah SWT., harus senantiasa mendekatkan diri pada sang khaliq baik dalam keadaan bahagia maupun sedih, seperti hal nya dengan berdoa. Karena dengan berdoa sebagai bentuk penghambaan seorang yang selalu butuh (ta'alluq) pada Allah SWT. Dalam surat Ibrahim ayat 7 juz 13 yang ditafsiri oleh Imam Mawardi dalam tafsirnya:
قَوْلُهُ عَزَّ وَجَلَّ: ﴿وَإذْ تَأذَّنَ رَبُّكُمْ﴾ فِيْهِ ثَلَاثَةُ تَأْوِيْلَاتٍ: أَحَدُهَا: مَعْنَاهُ وَإذْ سَمِعَ رَبُّكُمْ، قَالَهُ الضَّحَّاكُ. الثَّانِيْ: وَإِذَا قَالَ رَبُّكُمْ، قَالَهُ أَبُوْ مَالِكٍ. الثَّالِثُ: مَعْنَاهُ وَإِذْ أَعْلَمَكُمْ رَبُّكُمْ، وَمِنْهُ الأَذَانُ لِاَنَّهُ إِعْلَامٌ، قَالَ الشَّاعِرُ:
فَلَمْ نَشْعُرْ بِضَوْءِ الصُّبْحِ حَتَّى * سَمِعْنَا فِيْ مَجَالِسِنَا الِأذِيْنَا
﴿لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيْدَنَّكُمْ﴾ فِيْهِ ثَلَاثَةُ تَأْوِيْلَاتٍ: أَحَدُهَا: لَئِنْ شَكَرْتُمْ إنْعَامِيْ لَأَزِيْدَنَّكُمْ مِنْ فَضْلِيْ، قَالَهُ الرَّبِيْعُ. الثَّانِيْ: لَئِنْ شَكَرْتُمْ نِعْمَتِيْ لَأَزِيْدَنَّكُمْ مِنْ طَاعَتِيْ، قَالَهُ الْحَسَنُ وَأَبُوْ صَالِحٍ. الثَّالِثُ: لَئِنْ وَحَّدْتُمْ وَأَطَعْتُمْ لََأَزِيْدَنَّكُمْ، قَالَهُ ابْنُ عَبّاسٍ. وَيَحْتَمِلُ تَأْوِيْلًا رَابِعًا: لَئِنْ آمَنتُمْ لََأَزِيْدَنَّكُمْ مِنْ نَعِيْمِ الْآخِرَةِ إِلَى نَعِيْمِ الدُّنْيَا. وَسُئِلَ بَعْضُ الصُّلَحَاءِ عَلَى شُكْرِ اللّٰهِ تَعالَى. فَقَالَ: أَنْ لَا تَتَقَوَّى بِنِعَمِهِ عَلَى مَعَاصِيْهِ. وَحُكِيَ أنَّ دَاوُدَ عَلَيْهِ السَّلَامُ قَالَ: أيْ رَبِّ كَيْفَ أشْكُرُكَ وَشُكْرِيْ لَكَ نِعْمَةٌ مُجَدَّدَةٌ مِنْكَ عَلَيَّ؟ قَالَ: (يَا دَاوُدُ الْآنَ شَكَرْتَنِيْ) . ﴿وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إنَّ عَذَابِيْ لَشَدِيْدٌ﴾ وَعَدَ اللّٰهُ تَعَالَى بِالزِّيَادَةِ عَلَى الشُّكْرِ، وَبِالْعَذَابِ عَلى الْكُفْرِ. (النكت والعيون تفسير المواردي:ج ٣، ص١٢٣)
“Firman Allah ‘Azza wa Jalla: (Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu memaklumkan (menyatakan)) Tentang kalimat ini terdapat tiga penafsiran (ta’wil): Pertama: maknanya ketika Tuhanmu mendengar, sebagaimana dikatakan oleh Adh-Dhahhak. Kedua: maknanya ketika Tuhanmu berfirman, sebagaimana dikatakan oleh Abu Malik. Ketiga: maknanya ketika Tuhanmu memberitahukan kepada kalian, dan dari makna inilah muncul kata “adzan” karena adzan berarti pemberitahuan. Sebagaimana dikatakan oleh seorang penyair:
“Kami belum menyadari cahaya fajar * hingga kami mendengar di majelis kami suara adzan.”
(Jika kalian bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepada kalian). Tentang ayat ini terdapat tiga penafsiran. Pertama: Jika kalian bersyukur atas nikmat-Ku, maka Aku akan menambah karunia-Ku kepada kalian (pendapat Ar-Rabi’) Kedua: Jika kalian bersyukur atas nikmat-Ku, maka Aku akan menambah kalian dalam ketaatan kepada-Ku. pendapat Al-Hasan dan Abu Shalih. Ketiga: Jika kalian mengesakan dan taat kepada-Ku, maka Aku akan menambah (nikmat) kepada kalian. pendapat Ibnu ‘Abbas. Dan ayat tersebut memuat makna keempat: Jika kalian beriman, niscaya Aku akan menambah bagi kalian kenikmatan akhirat diatas kenikmatan dunia. Diriwayatkan bahwa seseorang pernah bertanya kepada seorang saleh tentang makna syukur kepada Allah Ta‘ala. Ia menjawab: Syukur adalah ketika engkau tidak menggunakan nikmat-nikmat Allah untuk bermaksiat kepada-Nya. Dan dikisahkan bahwa Nabi Dawud as pernah berdoa: Wahai Tuhanku, bagaimana aku bisa benar-benar bersyukur kepada-Mu, sedangkan rasa syukurku itu sendiri adalah nikmat baru dari-Mu kepadaku? Maka Allah berfirman: Wahai Dawud, sekarang engkau telah bersyukur kepada-Ku. (Dan jika kalian kufur (tidak bersyukur), maka sesungguhnya azab-Ku amatlah pedih). Dengan demikian, Allah Ta‘ala menjanjikan tambahan nikmat bagi orang yang bersyukur, dan mengancam dengan azab yang berat bagi orang yang kufur.” (al-Nukat wa al-‘Uyun Tafsir al-Mawardi, 3:123 )
Dalam ayat ini Allah SWT., kembali mengingatkan hamba-Nya untuk senantiasa bersyukur atas segala nikmat yang telah dilimpahkan-Nya. Bila mereka melaksanakannya, maka nikmat itu akan ditambah lagi oleh-Nya. Sebaliknya, Allah SWT., juga mengingatkan kepada mereka yang mengingkari nikmat-Nya, dan tidak mau bersyukur bahwa Dia akan menimpakan azab-Nya yang sangat pedih kepada mereka. Mensyukuri rahmat Allah SWT., bisa dilakukan dengan berdoa sebagai bentuk komunikasi kita pada Tuhan Yang Maha Esa.
Doa dan Rida
Dalam kitab Ihya’ 'Ulum al-Din dijelaskan, bahwa sikap rida kepada Allah SWT., tidak berarti pasrah tanpa doa atau usaha. Berdoa bukanlah tanda/bentuk ketidakridaan, justru Allah SWT., sendiri memerintahkan doa dan para nabi yang paling sempurna ridanya pun tetap berdoa kepada Allah SWT. Begitu pula membenci maksiat, membenci sebab-sebabnya dan berusaha menghilangkannya melalui amar ma’ruf nahi munkar tidak bertentangan dengan rida. Kesalahan muncul pada sebagian orang yang tertipu, yang mengira bahwa karena maksiat dan kekufuran terjadi dengan qadha’ dan qadar Allah SWT., maka seseorang harus rida terhadapnya. Pemikiran seperti ini merupakan kekeliruan yang timbul karena tidak memahami hakikat takdir dan tidak menangkap rahasia syariat. Melalui penjelasan ini, dipahami bahwa rida bukan alasan untuk diam dari usaha dan perjuangan. Doa, ikhtiar dan penolakan terhadap kemungkaran merupakan bagian dari ketaatan yang justru menyempurnakan derajat rida itu sendiri.
بَيَانٌ أَنَّ الدُّعَاءَ غَيْرُ مُنَاقِضٍ لِلرِّضَا، وَلَا يُخْرِجُ صَاحِبَهُ عَنْ مَقَامِ الرِّضَا، وَكَذٰلِكَ كَرَاهَةُ الْمَعَاصِيْ وَمَقْتُ أَهْلِهَا وَمَقْتُ أَسْبَابِهَا، وَالسَّعْيُ فِي إِزَالَتِهَا بِالْأَمْرِ بِالمَعْرُوْفِ وَالنَّهْيِ عَنِ المُنْكَرِ لَا يُنَاقِضُهُ أَيْضًا. وَقَدْ غَلَطَ فِيْ ذٰلِكَ بَعْضُ اْلبَطَّالِيْنَ الْمُغْتَرِّيْنَ، وَزَعَمَ أَنَّ الْمَعَاصِيَ وَالفُجُوْرَ وَالْكُفْرَ مِنْ قَضَاءِ اللّٰهِ وَقَدَرِهِ، فَيَجِبُ الرِّضَا بِهِ، وَهٰذَا جَهْلٌ بِالتَّأْوِيْلِ وَغَفْلَةٌ عَنْ أَسْرَارِ الشَّرْعِ. فَأَمَّا الدُّعَاءُ فَقَدْ تَعَبَّدَنَا اللّٰهُ بِهِ، وَكَثْرَةُ دَعَوَاتِ رَسُولِ اللّٰهِ ﷺ وَسَائِرِ الأَنْبِيَاءِ، عَلَى مَا نَقَلْنَاهُ فِي كِتَابِ الدَّعَوَاتِ، تَدُلُّ عَلَيْهِ، وَلَقَدْ كَانَ رَسُولُ اللّٰهِ ﷺ فِيْ أَعْلَى الْمَقَامَاتِ مِنَ الرِّضَا. (إحياء علوم الدين:ج ٤،ص ٣٤٨)
“Penjelasan bahwa doa tidak bertentangan dengan sikap rida kepada ketentuan Allah, dan tidak pula mengeluarkan seseorang dari tingkatan (maqam) rida. Begitu juga, membenci perbuatan maksiat, membenci para pelakunya dan membenci sebab-sebab yang menjerumuskan kepada maksiat, serta berusaha menghilangkannya melalui amar ma‘ruf dan nahi munkar, semua itu tidak bertentangan dengan sifat rida. Namun, sebagian orang yang lalai dan tertipu telah salah paham dalam masalah ini. Mereka mengira bahwa maksiat, kekejian dan kekufuran termasuk bagian dari qadha’ dan qadar Allah, sehingga mereka berpendapat bahwa wajib rida terhadapnya. Pemahaman seperti itu merupakan bentuk kebodohan dalam menafsirkan (takdir) dan kelalaian terhadap hakikat dan rahasia syariat. Adapun berdoa Allah adalah bentuk penghambaan kita pada Allah dan banyaknya doa Rasulullah saw serta doa para nabi lainnya sebagaimana telah disebutkan dalam Kitab al-Da‘awat, merupakan bukti yang jelas tentang hal tersebut. Dan sesungguhnya Rasulullah saw berada pada derajat tertinggi dalam maqam rida.” (Ihya’ ‘Ulum al-Din, 4:348)
KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa seorang hamba memiliki kewajiban untuk beriman kepada qadha' dan qadar Allah SWT., serta wajib untuk rida atas segala sesuatu yang telah diberikan kepada kita melalui ketetapan-Nya. Akan tetapi disisi lain, kita juga diperintahkan untuk meminta (berdoa) hanya kepada Allah SWT. dan dari kedua hal tersebut tidaklah bertentangan. Berdoa adalah sebuah bentuk penghambaan kita pada Allah SWT., dan berdoa tidak menjadikan kita keluar dari maqam rida. Sehingga sudah seharusnya bagi kita sebagai seorang hamba yang selalu membutuhkan Allah SWT., untuk tidak lupa akan berdoa untuk mensyukuri atas segala nikmat yang telah diberikan, karena Allah SWT., telah berjanji siapa saja yang bersyukur akan pemberian-Nya Allah SWT., akan berikan tambahan kenikmatan-kenikmatan lainnya, karena disitulah sarana kita sebagai seorang hamba yang fana’ untuk berkomunikasi kepada Sang Pencipta.
Penulis : Wardatut Toyyibah
Contact Person : 085718245070
e-Mail : wardahdiana2912@gmail.com
Perumus : Muhammad Ulul Albab Munajaddallah
Mushohih : M. Faidlus Syukri
Daftar Pustaka
Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad al-Ghazali al-Thusi (W. 505 H). Ihya' ‘Ulum al-Din, Nurul Ilmi, Surabaya, Indonesia, tanpa tahun, sebanyak 4 jilid.
Syekh Muhammad Amin al-Kurdi (W. 1322 H). Tanwir al-Qulub, Dar al-Qolam al-‘Arabi, hilbi, Syiria: cetakan pertama (1411 H/1991 M).
Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad al-Ghazali al-Thusi (W. 505 H). Minhaj al-'Abidin, Maktabah Imam, Surabaya, Indonesia: tanpa tahun.
Abi al-Hasan Nur al-Din Muhammad bin 'Abdu al-Hadi al-Sanadi (W. 1138 H). Shohih al-Bukhari, hal. 288 juz 4 Dar al-Kitab al-'Ilmiyah, Beirut, Lebanon: cetakan ke 3 (2007). Sebanyak 4 jilid.
Abu Hasan ‘Ali bin Muhammad bin Habib al-Mawardi al-Bashri (W. 450 H). al-Nukat wa al-‘Uyun Tafsir al-Mawardi, Dar al-Kitab al-’Ilmiyah, Beirut, Lebanon, tanpa tahun, sebanyak 6 jilid.
%20Wardatut%20Toyyibah%20(1).png)
%20Wardatut%20Toyyibah%20(2).png)
%20Wardatut%20Toyyibah%20(3).png)
%20Wardatut%20Toyyibah%20(4).png)
%20Wardatut%20Toyyibah%20(5).png)
%20Wardatut%20Toyyibah%20(6).png)
%20Wardatut%20Toyyibah%20(7).png)
%20Wardatut%20Toyyibah%20(8).png)
%20Wardatut%20Toyyibah%20(9).png)
%20Wardatut%20Toyyibah%20(10).png)
Posting Komentar untuk "Doa: Antara Menolak Dan Rida Pada Takdir Allah Swt."