FEODALISME JAWA DAN PESANTREN
LATAR BELAKANG
Pesantren adalah lembaga pendidikan yang dipimpin oleh seorang kiai yang memiliki ilmu mumpuni serta teladan bagi santri dengan memberikan pendidikan dan pengajaran berlandaskan Al-Qur’an, hadis dan kitab kuning. Tradisi penghormatan terhadap guru merupakan esensi yang tidak bisa dipisahkan dari nilai-nilai adab dalam islam. Rasululah saw. secara jelas menegaskan pentingnya penghormatan kepada guru, yang disatir oleh Syekh Jalaluddin bin Kamaluddin al-Suyuthi:
مَنْ اَكْرَمَ عَالِمًا فَقَدْ أَكْرَمَنِيْ، وَمَنْ أَكْرَمَنِيْ فَقَدْ أَكْرَمَ اللّهَ ( شرح فصوص الحكم لابن عربي: ص ٢٣٦ )
“Barangsiapa memuliakan seorang alim (guru), sungguh ia telah memuliakan aku. Dan barangsiapa memuliakan aku, sungguh ia telah memuliakan Allah.” (HR. al-Khatib al-Baghdadi dalam Syarah Fushush al-Hikam li Ibni ‘Arobi, hal:236).
Tetapi walaupun demikian, praktik penghormatan ini sering mendapat kritik karena sistemnya yang menempatkan kiai sebagai figur sentral yang diagungkan serta secara kultural memiliki otoritas yang nyaris tak tergapai kritik. Sehingga, dalam dinamikanya pesantren dipandang sebagai lembaga yang memiliki model feodal. Lantas, jika pesantren dianggap sebagai lembaga yang feodal, dalam kerajaan jawa kita juga akan menemukan model yang persis dengan asumsi orang-orang mengenai struktur feodal ini.
Seperti santri yang berstatus khodim (pelayan) kiai yang dihadapkan dengan dua pilihan sulit antara perintah kiai untuk nderekaken tindak di jam berlangsungnya kegiatan belajar pesantren atau mengikuti kegiatan belajar. Kegiatan nderekaken tindak, khodim akan melayani penuh kiai seperti, membawakan barang-barang milik kiai, menjaga dzurriyah pesantren, membukakan pintu mobil. Hal ini sering dikaitkan bahwasannya tidak mengindahkan perintah kiai merupakan bentuk perilaku tidak patuh. Apa yang dilakukan oleh khodim kiai adalah sama dengan apa yang dilakukan oleh abdi ndalem kerajaan jawa, yaitu melayani raja kemanapun raja pergi serta melayani penuh rajanya.
Pertanyaan: Apakah penghormatan terhadap kiai di pesantren merupakan bentuk pelanggengan feodalisme?
PEMBAHASAN
Tentang Feodalisme
Menurut Drs. Marbangun Hardjowirogo, 1983, dalam bukunya yang berjudul “Manusia Jawa” menyebutkan feodalisme sebagai suatu mental attitude, sikap mental terhadap sesama dengan mengadakan sikap khusus karena adanya perbedaan dalam usia atau kedudukan. Dalam budaya Jawa feodalisme ini sangat terperinci. Seperti dalam menghadapi seseorang yang lebih tua dalam usia, orang Jawa menggunakan kata-kata berlainan dengan menghadapi seseorang yang lebih muda. Perbedaan perbendaharaan kata ini terdapat pula karena adanya perbedaan dalam tingkat kebangsawanan. Maka, bahasa yang digunakan seorang pangeran bila berbicara dengan orang biasa akan berbeda dengan bahasa yang dipakai orang biasa bila ia berbicara dengan seorang pangeran. Konsekuensi dari sistem feodal sering kali menyebabkan pengabaian nilai-nilai kemanusiaan, di mana kekuasaan dan posisi sosial yang tinggi dapat menenggelamkan keadilan dan hak individu.
Persepsi Penyamaan Feodalisme dalam Pesantren
Dalam konteks pesantren, fenomena penghormatan tinggi kepada kiai dan keluarganya oleh santri sering kali dianggap memiliki kemiripan dengan sistem feodal. Bertolak dari asumsi bahwa pesantren dianggap memiliki sistem feodal, manusia Jawa justru diasumsikan lebih dulu memiliki tradisi dan tata gaul feodalistik di dalam tatanan masyarakatnya. Menurut Hardjowirogo (1983) “Manusia Jawa begitu terikat oleh tradisi dan tata gaul feodalistik, sehingga ia belum bisa bersikap dan berbicara bebas di dalam masyarakatnya”. Contohnya, ketika ingin melalui ruangan yang ramai, di mana secara kebetulan duduk juga paman atau kepala kantornya, orang Jawa tidak akan berani berjalan biasa. Ia akan otomatis membungkuk hormat dan tersenyum sambil mengisyaratkan dengan tangan kanannya bahwa ia ingin berlalu. Tradisi ini disebut dengan sungkem dalam budaya Jawa.
Sungkem dalam Budaya Jawa memiliki sejarah yang panjang sehingga dapat sampai menjadi sebuah budaya yang melekat dalam tradisi penghormatan di pesantren. Sejarah ini berawal dari perkembangan struktur kekuasaan feodal di Indonesia, khususnya di Jawa yang bermula dari sistem masyarakat agraria awal yang didasarkan pada hak kepemilikan tanah. Pada masa pra-Hindu-Buddha, penguasaan tanah secara turun-temurun diberikan kepada siapa saja yang membuka hutan untuk tempat tinggal dan bercocok tanam. Masyarakat saat itu terikat oleh hukum adat yang ketat, diwarnai oleh sistem religi animisme-dinamisme.
Abdul Rachman Masyhudi, 2000, menyebutkan dalam penelitian skripsinya, bahwa masuknya pengaruh Hindu-Budha membawa perubahan fundamental, di mana raja-raja Jawa mulai dikeramatkan sebagai pusat penjelmaan dewa di dunia. Agama kemudian menjadi dasar utama untuk mendukung kekeramatan dan wibawa istana. Konsep ini menuntut ketaatan mutlak rakyat terhadap raja, tidak hanya dalam urusan duniawi tetapi juga ukhrawi, dan secara efektif membagi masyarakat menjadi dua strata utama: priyayi (kaum bangsawan atau elite) dan wong cilik (rakyat kecil).
Pada masa penjajahan Belanda, stratifikasi ini berlanjut namun mengalami pergeseran peran. Kedudukan priyayi menjadi semakin penting dan menonjol seiring memudarnya pengaruh langsung keraton. Tugas seorang priyayi bertambah, tidak hanya memegang kekuasaan politik tetapi juga membawa pengaruh sosial yang besar. Birokrasi modern yang diperkenalkan oleh Belanda mengubah sedikit tatanan ini, memungkinkan posisi priyayi diisi oleh seseorang yang memiliki keahlian tertentu, tidak harus dari keturunan bangsawan. Meskipun demikian, karena akses pendidikan formal kala itu hanya terbuka bagi kalangan ningrat, posisi priyayi tetap sulit dicapai oleh rakyat biasa. Rakyat biasa cenderung menyekolahkan anak-anaknya di pondok pesantren.
Kelompok priyayi, yang menguasai jabatan pada administrasi pemerintahan dalam negeri, secara otomatis mempertahankan pemerintahan yang bersifat feodal dan hubungan patrimonial dengan rakyat. Mereka menjadi pewaris penguasa tradisional yang gigih memelihara dan mengembangkan etiket keraton yang halus, kesenian yang kompleks seperti tarian, musik, dan sastra, serta mistisisme Hindu. Oleh karena kelompok ini adalah penguasa sebelumnya, tingkah laku dan pandangan hidup mereka menjadi ukuran ideal bagi masyarakat umum.
Namun, hantaman budaya luar yang dahsyat di masa kolonial dan sesudahnya mulai merusak seluruh struktur kekuasaan di tingkat desa maupun nasional, terutama karena banyaknya pihak priyayi yang mulai berinteraksi dan terpengaruh oleh pihak luar. Di tengah guncangan ini, hanya satu lingkungan yang tetap teguh dan tidak terpengaruh, yaitu lingkungan pesantren. Meskipun struktur kaum priyayi sebagai penerus tradisi kerajaan Jawa banyak yang terpengaruh budaya luar, pesantrenlah yang secara efektif tetap menjadi penerus dan penjaga tradisi keraton hingga saat ini. Pada akhirnya, budaya pesantren yang berlangsung hingga saat ini, seperti sungkem, yaitu tradisi Jawa yang merupakan bentuk penghormatan dan bakti yang sering dilakukan dengan cara menundukkan badan atau bersimpuh sambil mencium tangan orang yang lebih tua tidak dapat dipisahkan dari sejarah bagaimana budaya Jawa sebagai awal berangkatnya perilaku ini.
Kemiripan budaya penghormatan di pesantren akhirnya memiliki kemiripan dengan feodalistik manusia Jawa yaitu pada bagaimana perilaku santri kepada kiai di pesantren. Santri akan otomatis membungkukkan badan dengan menunduk hingga berhenti di tempat ketika kiai berjalan melewatinya atau sedang berdiri maupun duduk di dekatnya. Kemiripan perilaku orang yang di bawah kepada orang di atasnya dalam budaya orang jawa dan di pesantren membentuk persepsi masyarakat bahwasannya budaya yang terjadi di pondok pesantren merupakan budaya yang feodal. Padahal, harus kita akui bersama, adab sungkem seperti yang ada dalam budaya pesantren bukan berasal dari ajaran Islam, melainkan murni berasal dari budaya Jawa yang dilestarikan dalam lingkungan keraton. Sehingga, budaya feodal pesantren seperti yang telah disebutkan di atas tidak terjadi di seluruh pesantren, melainkan hanya pesantren berbudaya Jawa saja yang memiliki tradisi tersebut.
Bentuk Penghormatan Terhadap Ilmu
Namun, menyamakan sistem feodal dengan bentuk penghormatan kiai di pesantren bukanlah sesuatu yang tepat karena tradisi di pesantren tumbuh dari tradisi keilmuan islam klasik yang memang mengagungkan guru sebagai pusat pembentukan karakter (al-Tarbiyyah al-Thobi’iyah). “Sehingga, penghormatan tersebut bukanlah ekspresi ketundukan sosial yang irasional, melainkan bentuk penghormatan guru sebagai pewaris nabi” (Hamdani, 2025) Namun, dalam konteks epistemologis pesantren, hubungan kiai dengan santri bukanlah relasi kuasa yang eksploitatif. Lebih tepatnya, merupakan relasi spiritual yang dibangun atas dasar penghormatan terhadap ilmu dan pemilik ilmu. Sebagaimana disebutkan dalam kitab klasik Ta’lim al-Muta’allim karya Syaikh Al-Zarnuji:
اِعْلَمْ بأَنَّ طَالِبَ الْعِلْمِ لاَ يَنَالُ الْعِلْمَ وَلاَ يَنْتَفِعُ بِهِ إِلاَّ بِتَعْظِيمِ الْعِلْمِ وَأَهْلِهِ وَتَعْظِيمِ الأُسْتَاذِ وَتَوْقِيْرِهِ (شرح تعليم المتعلم، ص: ٥٥)
“Ketahuilah, sesungguhnya seorang pelajar tidak akan memperoleh kesuksesan sebuah ilmu dan kemanfaatan dari ilmu itu, terkecuali dengan mengagungkan ilmu, ahli ilmu serta harus mengagungkan guru” (Ta’lim al-Muta’allim, hal:55).
Berharap Keberkahan atau Menjilat atasan
Feodalisme Jawa juga identik dengan mahirnya mereka untuk membuat atasan senang. Seorang bawahan Jawa akan selalu berusaha membuat atasannya senang. Hal ini termasuk keahlian seorang abdi ndalem bawahan keraton untuk ngunjuki atau mengorbankan sesuatu yang ia miliki agar membuat atasannya senang, hal ini berlaku dalam hubungan resmi dan tidak resmi dalam tata gaul keraton. Perkara membuat senang atasan ini tidak hanya berbentuk memberi apapun yang dimiliki oleh si bawahan namun juga dalam bentuk pujian-pujian lembut kepada atasan, misalnya atas kinerjanya yang bagus meskipun nyatanya mungkin tidak. Dengan demikian, dia mungkin akan berhasil menyelamatkan kedudukannya sebagai kepala desa misalnya untuk sekian tahun mendatang. Hingga pernah terjadi pada Gubernur Jawa Timur Soenandar Prijosoedarmo di tahun 1981 mengeluarkan instruksi yang melarang digunakannya bahasa ngoko terhadap pak lurah (Hardjowirogo,1983)
Berbeda dengan tradisi santri dalam menghormati kiai, ini merupakan bentuk mengharap berkah dari sang guru karena telah memberinya ilmu dengan mengabdi. Santri memahami konsep ungkapan Sayyidina Ali bin Abi Thalib yang berbunyi:
أَنَا عَبْدُ مَنْ عَلَّمَنِيْ حَرْفًا وَاحِدًا(تعليم المتعلم، ص:٥٥)
“Aku adalah budak (hamba) bagi siapa saja yang mengajarku satu huruf.” (Ta’lim Al-Muta’allim, hal: 16)
Ungkapan ini mencerminkan penghormatan yang mendalam terhadap kiai dan ilmu. Dalam konteks pesantren, menjadi budak adalah bentuk pengabdian santri yang dapat ditemui dalam bermacam-macam perilaku, misalnya membalikkan sandal dan membawakan barang kiai tanpa diperintah serta membukakan pintu jauh sebelum kiai melewatinya. Contoh di samping merupakan bentuk santri menyenangkan kiai. Di samping itu, seorang santri juga berbicara lembut kepada kiai dengan nada bicara rendah dan menggunakan bahasa krama. Hal ini dilakukan bukan untuk menginginkan kedudukan ataupun mencari muka, namun sebuah keharusan yang dilakukan oleh santri karena seorang guru telah mengajarkannya banyak ilmu. Hal ini diterangkan pada kitab Ithafu al-Akbar fi Sirah Manaqib al-Imam Muhyiddin Abdu al-Qodir al-Jailani:
وَمِنْ آدَابِ اْلمُرِيْدِ أَنْ لَا يَرْفَعَ صَوْتَهُ بِحَضْرَةِ شَيْخِهِ (إتحاف الأكابر في سيرة مناقب الإمام محي الدين عبد القادر الجيلانى، ص: ٢٨٦)
“(murid) tidak meninggikan suaranya di hadapan gurunya” (Ithafu al-Akbar fi Sirah Manaqib al-Imam Muhyiddin Abdu al-Qodir al-Jailani, hal: 286)
Sehingga, bukan dikategorikan eksploitasi karena santri melakukannya dengan sukarela dan melakukannya karena menghormati kiai sebagai sumber ilmu pengetahuan. Pengabdian seorang santri atau biasa disebut dengan khidmah tentu dilakukan dengan dasar yang jelas, yaitu untuk mendapatkan berkahnya ilmu, seperti perkataan Prof. Dr. Sayyid Muhammad Al-Maliki bin ‘Alawi bin ‘Abbas bin ‘Abdul Aziz al-Maliki Al-Hasani yang umum digunakan di kalangan santri:
العِلْمُ بِالتَّعَلُّمِ وَ اْلبَرَكَةُ بِاْلخِدْمَةِ
“ilmu diperoleh dengan belajar, dan keberkahan ilmu diperoleh dengan khidmah (mengabdi)”
Berbeda dengan feodalisme, dalam sistem ini bawahan berperilaku manipulatif untuk mendapatkan keuntungan pribadi. Bawahan menunjukkan kesetiaan yang buta dan patuh secara berlebihan karena semuanya semata-mata hanya untuk kemajuan pangkat.
Santri Dapat Menyampaikan Pendapat yang Benar
Dalam hubungan pekerjaan beban feodalistik manusia Jawa akan lebih terasa. Di hadapan atasan seorang bawahan Jawa tidak pernah mau mengatakan “tidak” dan selalu menyatakan penolakan secara halus dengan senyum agar tidak mengecewakan dan menyakiti hati pihak yang ditolak tawarannya. Padahal kata inggih (ya) di lingkungan keraton dalam kenyataannya belum berarti iya. Di sini orang tak mengenal bantahan dan hanya ada persetujuan. Dengan demikian, iya bisa berarti tidak dan tidak yang diucapkan ragu-ragu bisa berarti iya.
Santri dalam rumornya juga tidak dapat menyampaikan pendapat, kemauan, maupun penolakan kepada kiai, nyatanya santri sangatlah diperbolehkan untuk menyampaikan pendapat hingga menolak kiai. Seperti dalam kegiatan bahtsul masail yang identik dengan menyampaikan jawaban dari asilah (permasalahan) yang telah ditentukan dengan dalil-dalil yang shohih. Santri memiliki kesempatan untuk menyampaikan pendapat yang benar berdasarkan dalil dari kitab kuning, hadits, maupun Al-Quran. Dalam bahtsul masail santri diberi kebebasan untuk mengutarakan pendapat dihadapan perumus atau mushohih yang notabene biasanya adalah seorang kiai atau gus. Kebebasan santri dalam mengutarakan pendapat ini, tercantum dalam kitab ’Awariful Ma’arif karya Imam al-Arif Syihab al-Din Abi Hafsh Umar al-Sahhururdi:
أَنَّ اْلمُرِيْدَ إِذَا كَانَ لَهُ كَلَامٌ مَعَ الشَّيْخِ فِيْ شَىْءٍ مِنْ أَمْرِ دِيْنِهِ اَوْ أَمْرِ دُنْيَاهُ لَا يَسْتَعْجِلُ بِالِْإقْدَامِ عَلىَ مُكَالَمَةِ الشَّيْخِ وَالْهُجُوْمِ عَلَيْهِ، حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَهُ مِن حَالِ الشَّيْخِ أَنَّهُ مُسْتَعِدُّ لَهُ وَلِسِمَاعِ كَلَامِهِ وَقَوْلُهُ مُتَفَرِّغٌ، فَكَمَا أَنَّ لِلدُّعَاءِ أَوْقَاتًا وَآدَبًا وَشُرُوطًا - لِأَنَّهُ مُخَاطَبَةٌ لِلّهِ تَعَالَى - فَلِلقَوْلِ مَعَ الشَّيْخِ اَيْضًا آدَابٌ وَشُرُوْطٌ، لِأَ نَّهُ مِنْ مُعَامَلَةِ الله تَعَالىَ (عوارف المعارف، ص:٤١٣)
“Dan di antara adab terhadap seorang Syaikh adalah seorang murid apabila ia memiliki urusan yang ingin dibicarakan dengan Syaikh mengenai sesuatu, baik urusan agamanya maupun urusan dunianya, hendaknya ia tidak tergesa-gesa untuk memulai pembicaraan. meremehkan kedudukan Syaikh dan menyerbu beliau hingga keadaan syaikh siap untuk melakukan pembicaraan. Maka, sebagaimana doa memiliki waktu-waktu, adab-adab, dan syarat-syarat karena doa adalah bermunajat (berbicara) kepada Allah swt. maka berbicara dengan Syekh (guru) juga memiliki adab dan syarat, karena hal tersebut termasuk dari muamalah (berinteraksi) dengan Allah swt.” (‘Awarif al-Ma’arif, hal: 413)
Jadi, kebebasan santri untuk menyampaikan pendapatnya dalam forum bathsul masail maupun konsultasi secara langsung diperbolehkan. Karena dalam forum batshul masail peserta mengusulkan pendapatnya di waktu yang memang telah disediakan dalam sesi bathsul masail. Sedangkan, dalam keadaan konsultasi secara langsung seorang murid perlu untuk memahami kapan seorang kiai sedang lapang untuk diajak bercengkrama. Seorang murid melakukan perbincangan dengan kiai adalah dengan tujuan li irsyad (untuk mencari petunjuk) oleh karena itu, kedudukan kiai di sini adalah seseorang yang memberi jawaban, keputusan, atau petunjuk. Dalam hal ini, seorang kiai dapat disamakan dengan al-qodi (hakim) yaitu menentukan keputusan. Sehingga, seorang murid dapat menghindari keadaan yang sama dengan seorang hakim untuk mengambil keputusan, yaitu dalam keadaan:
Marah
Lapar
Haus
Dikuasai oleh syahwat
Sedih
Senang berlebihan
Sakit
Menahan buang air besar atau air kecil
Mengantuk
Sedang sangat dingin atau sangat panas
وَيَجْتَنِبُ اْلقَضَأَ فِيْ عَشْرَةِ مَوَاضِعَ عِنْدَ اْلغَضَبِ وَاْلجُوْعِ وَاْلعَطْشِ وَشِدَّةِ الشَّهْوَةِ وَاْلحُزْنِ وَاْلفَرْحِ الْمُفْرِطِ وَعِنْدَ اْلمَرَضِ وَمُدَافَعَةِ اْلأَخْبَثَيْنِ وَعِنْدَ النُعَاسِ وَشِدَّةِ اْلحَرِّ وَاْلبَرَدِ (فتح القريب، ص:٣٢٨)
“Dan seseorang qadli hendaknya menghindari untuk memutuskan hukum pada sepuluh tempat, yaitu ketika marah, saat lapar dan kekenyangan, haus, birahi memuncak, sangat sedih dan sangat gembira, saat sakit, saat menahan dua hal yang menjijikkan, saat ngantuk, saat cuaca terlalu panas dan terlalu dingin.” (Fath al-Qarib: hal 328)
Dalam keadaan selain di atas, maka murid diperbolehkan untuk bercengkrama dengan kiai. Juga anggapan mengenai santri di pesantren tidak diperkenankan dalam menyampaikan pendapatnya di depan kiai/gurunya merupakan hal yang tidak benar. Santri diperbolehkan menyampaikan pendapatnya di depan kiai mengenai sesuatu baik urusan dunia maupun akhirat diperbolehkan dengan tetap mengedepankan adab yaitu melihat situasi dan kondisi bahwa kiai sedang lapang dalam mendengarkan perkataan santri.
Santri Tetap Menjaga Kemuliaan Kiai Dengan Selalu Menjaga Adab dalam Forum Kajian Ilmiah
Bahtsul Masail sebagai benteng tradisi keilmuan islam, di mana proses transfer ilmu melalui musyawarah ْbukan hanya sekedar penyampaian materi, melainkan juga penanaman karakter, di mana mereka mengimplementasikan adab yang selama ini mereka pelajari. Bagaimana adab menyampaikan pendapat yang baik di hadapan kiai dengan tetap menjaga kemuliaan dan kehormatannya. Tetap menjaga adab dalam forum kajian ilmiah ini diterangkan dalam kitab al-Adzkar al-Nawawiyah dan Syarah al-Futuhat al-Rabbaniyyah ‘Ala al-Adzkar al-Nawawiyyah:
اِعْلَمْ أَنَّهُ يُسْتَحَبُّ لِلتَّابِعِ إِذَا رَأَى مِنْ شَيْخِهِ وَغَيْرِهِ مِمَّنْ يُقْتَدَى بِهِ شَيْئاً فِيْ ظَاهِرِهِ مُخَالَفَةٌ لِلْمَعْرُوْفِ أَنْ يَسْأَلَهُ عَنْهُ بِنِيّةِ الاِسْتِرْشَادِ، فَإِنْ كَانَ قَدْ فَعَلَهُ نَاسِياً تَدَارَكَهُ، وَإِنْ كَانَ فَعَلَهُ عَامِداً وَهُوَ صَحِيْحٌ فِيْ نَفْسِ اْلأَمْرِ، بَيَّنَهُ لَهُ فَقَدْ رَوَيْنَا فِىْ صَحِيْحَيْ اْلبُخَرِى وَمُسْلِمٍ عَنْ أُسَامَةَ بْنِ زَيْدٍ رَضِىَ اللُه عَنْهُمَا قَالَ دَفْعَ رَسُوْلُ اللهِ مِنُ عَرَفَةَ حَتَّى إِذَا كَانَ بِا الشَّعْبِ نَزَلَ فَبَالَ ثُمَّ تَوَضَّأَ. (الأذكار النووية، ص: ٢٨٧)
"Ketahuilah, dianjurkankan bagi seorang pengikut apabila melihat gurunya atau orang lain yang dijadikan panutan melakukan sesuatu yang secara zahir bertentangan dengan yang lazim (ma'ruf), agar bertanya kepadanya dengan niat mencari petunjuk (istirsyad). Jika ia melakukannya karena lupa, maka gurunya akan memperbaikinya. Dan jika ia melakukannya dengan sengaja, tetapi perbuatan itu pada hakikatnya benar , maka gurunya akan menjelaskannya kepadanya. Sungguh kami telah meriwayatkan di dalam dua kitab Shahih Al-Bukhari dan Muslim, dari Usamah bin Zaid radhiyallahu 'anhuma, ia berkata: "Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bertolak dari Arafah, hingga ketika sampai di Syi'ib (sebuah lembah, celah), beliau turun lalu buang air kecil kemudian berwudhu."
(بَابُ مَا يَقُوْلُهُ التَّابِعُ لِلْمَتْبُوْعِ إِذَا فَعَلَ) أَيْ اْلمَتْبُوْعِ (ذَلِكَ) أَيْ مَا ظَاهِرُهُ غَيْرُ صَوَابٍ وَهُوَ صَوَابٌ فِيْ نَفْسِ اْلأَمْرِ (أَوْ نَحْوِهِ) أَيْ مَا ظَاهِرُهُ مَكْرُوْهٌ أَوْ خِلَافُ اْلأَوْلىَ وَلَيْسَ كَذَلِكَ فِيْ نَفْسِ اْلأَمْرِ وَهَذَا عَلَى سَبِيْلِ التَّذْكِيْرِ وَاسْتِبَانَةِ اْلأَمْرِ لَا عَلَى وَجْهِ اْلاِعْتِرَاضِ وَامْتِحَانِ نَحْوِ اْلأُسْتَاذِ فَإِنَّهُ قَبِيْحٌ. قَوْلُهُ: (فِيْ ظَاهِرِهِ مُخَالَفَةٌ لِلْمَعْرُوْفِ) أَيْ بِأَنْ يَكُوْنَ ظَاهِرُهُ مُحَرَّمًا أَوْ مَكْرُوْهًا وَلَيْسَ كَذَلِكَ فِيْ اْلحَقِيْقَةِ. قَوْلُهُ: (بِنِيَّةِ اْلِاسْتِرْشَادِ) أَيْ بِأَنْ يُرْشِدَهُ اْلأُسْتَاذُ لِبَيَانِ مَا خَفَى عَلَيْه وَجْهُهُ. قَوْلُهُ: (فَإِنْ كَانَ قَدْ فَعَلَهُ نَاسِيًا الخ) وَوَجْهُ اْلِإرْشَادِ فِيْ هَذِهِ اللإِعْلَامِ أَنَّ مَا فَعَلَهُ اْلأُسْتَاذُ لَيْسَ مِنَ اْلمَشْرُوْعِ حَتَّى يَقْتَدِيَ بِهِ فِيْهِ الطَّالِبُ بَلْ إِنَّمَا صَدَرَ عَلىَ سَبِيْلِ النِّسْيَاِن الَّذِيْ لَا يَكَادُ يَخْلُوْ مِنْهُ إِنْسَانٌ. قَوْلُهُ: (بَيَّنَهُ وَلَهُ) أَيْ بَيَّنَ لَهُ مَا ذُكِرَ مِنْ صِحَّةِ اْلعِبَادَةِ فِيْ نَفْسِ اْلأَمْرِ وَذَلِكَ بِبَيَانِ الدَّلِيْلِ إِنْ كَانَ ذَلِكَ الْحُكْمُ لِلْعُمُوْمِ أَوْ بَيَانِ وَجْهِ الرُّخْصَةِ إِنْ كَانَ لِعُذْرِ بِهِ دَعَاهُ لِذَلِكَ (الفتوحات الربانية على الأذكار النواوية، ج ٦، ص:٢٨٧)
“Bab yang menjelaskan tentang apa yang dikatakan pengikut kepada yang diikut,i (jika yang diikuti melakukan) sesuatu yang zahirnya tidak benar, padahal itu benar pada hakikatnya, yaitu sesuatu zahirnya makruh atau menyalahi yang lebih utama, padahal pada hakikatnya tidak demikian. Ini adalah dalam rangka mengingatkan dan mencari kejelasan, bukan dalam rangka melawan (i’tirad) atau menguji, seperti menguji guru, karena hal itu adalah tercela. Perkataan beliau: “(yang) secara zahir bertentangan dengan yang lazim (ma’ruf), yaitu secara zahir tampak haram atau makruh, padahal pada hakikatnya tidak demikian.” Perkataan beliau: “(dengan niat mencari petunjuk), yaitu agar sang guru membimbingnya untuk menjelaskan sisi yang tersembunyi baginya.” Perkataan beliau: “Maka jika ia melakukannya karena lupa, dst.” Dan sisi bimbingan dalam hal ini adalah bahwa apa yang dilakukan guru itu bukanlah perbuatan yang disyariatkan sehingga murid bisa mengikutinya, melainkan perbuatan itu hanya terjadi karena lupa, yang hampir tidak ada manusia yang luput darinya. Perkataan beliau: ”maka ia akan menjelaskan kepadanya,” yaitu menjelaskan apa yang disebutkan mengenai keabsahan ibadah pada hakikatnya. Hal itu dengan menjelaskan dalil jika hukum tersebut berlaku untuk umum, atau menjelaskan sisi rukhsah (keringanan) jika hal itu disebabkan oleh uzur yang mendorong gurunya untuk melakukannya” (al-Futuhhat al-Rabbaniyyah ‘Ala al-Adzkar al-Nawawiyyah, Juz 6, hal:287)
Dari penjelasan diatas, maka seorang murid/santri diizinkan untuk bertanya kepada guru mengenai hal yang tampak aneh, asalkan pertanyaan itu dilandasi dengan adab, kerendahan hati, dan niat mencari ilmu/petunjuk, bukan niat menentang atau menguji keilmuan sang guru. Ini menunjukkan keseimbangan santri dalam berpikir kritis di dalam forum kajian ilmiah dengan tetap menjaga penghormatan kepada ahli ilmu/kiai.
KESIMPULAN
Penghormatan terhadap kiai di pesantren tidak dianggap sebagai bentuk pelanggengan feodalisme secara murni. Meskipun terdapat kemiripan dalam struktur hierarki dan perilaku penghormatan (terutama pada pesantren berbudaya Jawa) yang sering disamakan dengan sikap mental feodal Jawa, esensi dari penghormatan di pesantren memiliki dasar yang berbeda dan spesifik, yaitu:
Persamaan prinsipal dengan feodalisme
Kemiripan perilaku kultural: Perilaku santri yang membungkuk, menunduk, atau berbicara dengan bahasa halus (krama) kepada kiai di pesantren berbudaya Jawa memang memiliki kemiripan visual dengan tata gaul feodalistik Jawa yang diikat oleh perbedaan usia atau kedudukan, sebagaimana dijelaskan oleh Hardjowirogo. Inilah yang memicu persepsi dari luar bahwa pesantren menganut sistem feodal.
المُحَافَظَةُ عَلَى اْلقَدِيْمْ الصَّالِحِ وَالْلأَخْذُ بِالْجَدِيْدِ الْأَصْلَحِ (الفكرة النهضية، ص:١٥)
“Melestarikan tradisi lama yang baik, dan mengambil hal baru yang lebih baik.” (Pedoman Berpikir Nahdlotul Ulama, hal:15)
Prinsip di atas adalah pegangan yang sering digunakan oleh pondok pesantren. Digaungkan oleh Syaikh Achmad Siddiq, prinsip tersebut menjadi maqolah yang tidak asing di kalangan santri dan menjadi dasar dalam mempertahankan budaya pesantren termasuk budaya penghormatan kepada kiai. Budaya ini sengaja diwariskan secara turun temurun yang dapat disebut dengan sanad adab. Rantai keteladanan yang diwariskan oleh guru ke murid, murid ke murid di generasi seterusnya. Budaya ini juga tetap dipertahankan karena suatu bentuk pengharapan berkah.
Perbedaan Kultural (Persepsi)
Bukan relasi kuasa eksploitatif, melainkan spiritual: Hubungan kiai dan santri dipandang sebagai relasi spiritual yang dibangun atas dasar penghormatan terhadap ilmu (ta’dzim) dan pemilik ilmu (ahl- al-’ilm), bukan dominasi kekuasaan atau status sosial semata. Tujuan mengharap keberkahan (barokah): Praktik pengabdian seperti melayani kiai, dilakukan santri secara sukarela dengan niat utama untuk mendapatkan keberkahan ilmu, bukan untuk mencari kedudukan atau keuntungan pribadi secara manipulatif. Ruang kritik dan pendapat: Berbeda dengan feodalisme Jawa yang identik dengan kepatuhan buta dan tidak berani menolak, santri diperbolehkan untuk menyampaikan pendapat dan bertanya, bahkan dalam forum ilmiah seperti Bathsul Masail maupun konsultasi secara langsung. Namun, hal ini harus dilakukan dengan adab dan kerendahan hati serta melihat situasi yang tepat, bukan untuk menentang atau menguji guru.
Tabel Persamaan dan Perbedaan Feodalisme Jawa dan Budaya Penghormatan Santri kepada Kiai.
Daftar Istilah:
Tindak : Secara harfiah diartikan sebagai "mengiringi perjalanan" atau "ikut pergi"
Ngunjuki : Memberi minum atasan sehingga membuatnya senang dan bahagia karena merupakan sanjungan dan pujian
Penulis : Nurul Ilmiyah, S.Psi
Contact Person : 081936078602
e-Mail : ilmmiah93@gmail.com
Perumus : Abidusy Syakur Almahbub
Mushohih : Ust. M. Faidlus Syukri, S.Pd
Daftar Pustaka
Syeikh Muhyiddin Ibnu Arabi (W. 638 H), Fusus Al-Hikam, Dar al-Kitab Al-Arobi, Beirut, Lebanon, 1434 H/2013 M
Marbangun Hardjowirogo (W. 1992 M), Manusia Jawa, PT. Inti Idayu Press, Jakarta, cet. Pertama, 1403 H/1983 M.
Abdul Rachman Masyhudi (2000), Feodalisme dan Pesantren (Studi tentang Unsur-unsur Feodalisme dalam Pesantren), Skripsi UIN Sunan Ampel Surabaya, Surabaya, 1421 H/2000 M.
D. Fardan Hamdani, S.Fiil, M.Ag. (2025). Feodalisme di Pesantren, Majalah Tebuireng, Tim Redaksi Majalah Tebuireng, Jombang, Indonesia, Ed. 98, 1446 H/2025 M https://books.google.com/books/about/Feodalisme_di_Pesantren.html?hl=id&id=a3lcEQAAQBAJ#v=onepage&q=feodalisme%20adalah&f=false
Imam Burhanuddin Az-Zarnuji (W. 593 H). Ta’lim Muta’allim, Dar Ibnu Katsir, Beirut, Lebanon, Cet. Ketiga, 1435 H/2014 M.
Abdul Majid bin Taha (W.1250 H) Ithafu al-Akabir fi Siroh Manaqib Syaikh Abdul Qodir al-Jailan al-Hasani al-Husaini, Dar al-Kotob al-Ilmiyah, Beirut, Lebanon, Ed. 2, 1430 H/2009 M.
Syihabuddin Abi Hafsh Umar Suhrawardi (W. 1234 M), Awarifu al-Maarif, Maktabah al-Iman, Kairo, Mesir Cet. Pertama, 1426 H/2005 M.
Syaikh Muhammad bin Qosim al-Ghozi (W. 918 H), Fath al-Qorib, Dar Ibnu Hazm, Beirut, Lebanon, Cet. Pertama, 1425 H/2005 M.
Abu Zakariya Yahya bin Syaraf an-Nawawi (W. 676 H), al-Adzkar an-Nawawiyah, Nurul Ilmi, Surabaya, Indonesia.
Syaikh Muhammad bin ‘Allan al-Siddiqi al-Syafi’i (W. 1057 H), al-Futuhat ar-Robbaniyah, Darul Ihya’ at-Tasts al-’azi, Beirut, Lebanon, 1440 H/2018 M, Sebanyak 6 jilid.
K.H. Achmad Siddiq (W.1991 M), al-Fikroh an-Nahdliyah (Pedoman Berpikir an-Nahdliyah), Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia, Indonesia, 1413 H/1992 M.
=============================================
%20Nurul%20Ilmiyah.png)
Mind Map
Marah
Lapar
Haus
Dikuasai oleh syahwat
Sedih
Senang berlebihan
Sakit
Menahan buang air besar atau air kecil
Mengantuk
Sedang sangat dingin atau sangat panas
Persamaan prinsipal dengan feodalisme
Perbedaan Kultural (Persepsi)
%20Nurul%20Ilmiyah.png)
%20Nurul%20Ilmiyah%20(1).png)
%20Nurul%20Ilmiyah%20(2).png)
%20Nurul%20Ilmiyah%20(3).png)
%20Nurul%20Ilmiyah%20(4).png)
%20Nurul%20Ilmiyah%20(5).png)
%20Nurul%20Ilmiyah%20(6).png)
%20Nurul%20Ilmiyah%20(7).png)
%20Nurul%20Ilmiyah%20(8).png)
%20Nurul%20Ilmiyah%20(9).png)
%20Nurul%20Ilmiyah%20(10).png)
%20Nurul%20Ilmiyah%20(11).png)
%20Nurul%20Ilmiyah%20(12).png)
Posting Komentar untuk "FEODALISME JAWA DAN PESANTREN"