Wahdatul Wujud Dalam Dialektika Islam

 

WAHDATUL WUJUD DALAM DIALEKTIKA ISLAM

LATAR BELAKANG

Dalam sejarah pemikiran Islam, terdapat konsep metafisis yang menimbulkan perdebatan dalam urusan teologis seperti paham Hulul, Ittihad, Wahdatus Syuhud dan Wahdatul Wujud. Adapun  Hulul dan Ittihad menurut Imam Suyuti (W 911 H) dalam al-Hawi li al-Fatawa bersumber dari ajaran kaum nasrani sehingga dihukumi kufur oleh semua ulama. Sedangkan dalam Wahdatus Syuhud menurut beliau berasal dari kondisi fana’ seorang sufi yang terperangah oleh keagungan Allah, sehingga dia tidak dapat melihat apapun selain Allah. Istilah Wahdatus Syuhud diciptakan oleh Imam Ahmad Sirhindi (W 1034 H). Paham ini tidak bertentangan dengan akidah islam karena ucapan nyeleneh yang keluar dari sufi tersebut dihukum sebagai ucapan orang yang tidak mukallaf. Adapun wahdatul Wujud berasal dari pemikiran Muhyiddin Ibn ‘Arabi (W. 638 H) terhadap hakikat Wujud sehingga memunculkan paham bahwa yang benar-benar wujud hanyalah Allah Semata. Akan tetapi paham ini sering diartikan sebagai kesatuan wujud antara Tuhan dan makhluk atau ada yang menyamakan dengan paham Pantheisme Yunani yang menganggap bahwa alam semesta dan tuhan itu sama. Dalam budaya masyarakat jawa hal itu, lebih dikenal dengan manunggaling kawula gusti yang banyak dikaitkan dengan Syekh Siti Jenar (W 922 H) padahal dalam hal ini syekh siti jenar dalam keadaan fana' yang mana lebih cocok dengan istilah Wahdatus Syuhud. Oleh karena itu, Hukum Wahdatul Wujud menurut para ulama berbeda-berbeda bergantung pada pemaknaan pada paham tersebut. Sebagian Ulama ada yang menghukumi kufur pada makna pertama dan ada juga yang tidak, akan tetapi tidak boleh diikuti oleh orang Awam. Adapun pada makna kedua semua ulama menghukumi kufur tanpa ada khilaf sama sekali.

kajian pada Konsep ini fokus pada pemahaman pro kontra pada makna Wahdatul Wujud yang pertama. Paham ini bagi sebagian kalangan, dianggap sebagai puncak pencapaian mistik dalam tasawuf falsafi, karena mengekspresikan pengalaman spiritual yang mendalam antara manusia dan Sang Pencipta. Namun, disisi lain, paham tersebut sering dinilai berpotensi bertentangan dengan prinsip tauhid yang menegaskan perbedaan mutlak antara Khaliq dan makhluk. Ketegangan inilah yang melahirkan dua arus pemikiran besar dalam khazanah keilmuan Islam: kelompok pendukung (pro) yang memandangnya sebagai ekspresi spiritual tingkat tinggi, dan kelompok penolak (kontra) yang menilai konsep tersebut menyimpang dari kemurnian ajaran akidah.

Oleh karena itu, diperlukan suatu kajian muqaran (perbandingan pendapat) untuk memahami posisi Wahdatul Wujud Secara adil. Kajian ini tidak hanya berupaya membandingkan pandangan pro dan kontra, tetapi juga menempatkan paham tersebut dalam konteks epistemologi tasawuf dan teologi Islam yang lebih objektif. Dengan pendekatan ini, diharapkan muncul pemahaman yang lebih adil dan proporsional: bahwa Wahdatul Wujud Bukan semata paham yang harus ditolak mentah-mentah, namun juga bukan kebenaran absolut tanpa kritik. 

Kajian semacam ini penting dilakukan agar diskursus tentang Wahdatul Wujud menjadi jelas, sehingga umat islam tidak terjebak dalam pemahaman yang salah dan tidak menjadi orang yang kufur sebab pemahaman yang keliru terhadap Wahdatul Wujud. Penulis dalam hal ini fokus pada dua pandangan ulama yaitu ulama yang pro Wahdatul Wujud Diwakili oleh Syekh Abdul Ghani al-Nabulusi (W 1143 H) dan ulama yang kontra Wahdatul Wujud Diwakili oleh Syekh Sa’id Foudah. Pemilihan dua ulama tersebut bagi penulis sangat layak karena dua ulama tersebut dikenal pakar dalam bidang keilmuan  masing-masing. 

PEMBAHASAN WAHDATUL WUJUD

Pengertian Wahdatul Wujud Menurut Syekh ‘Abdul Ghani al-Nabulusi (W 1143 H)

Syekh ‘Abdul Ghani al-Nabulusi (W 1143 H) menjelaskan bahwa makna Wahdatul Wujud tidaklah bertentangan dengan ajaran para imam Islam. Paham ini justru sejalan dengan apa yang telah disepakati oleh seluruh kalangan, baik orang awam maupun ulama, dan termasuk sesuatu pengetahuan agama yang bersifat primer (ma‘lum min ad-din bi al-Dharurah), bahkan tidak ada penolakan sedikit pun dari orang mukmin maupun kafir, karena akal yang sehat tidak mungkin mengingkarinya. (al-Nabulusi, 1969 : 8)

Menurut Syekh ‘Abdul Ghani al-Nabulusi (W 1143 H) Wahdatul Wujud adalah suatu paham yang menyatakan bahwa seluruh alam semesta, dengan segala ragam dan individunya, ada dari ketiadaan dan adanya karena Wujud Allah SWT, bukan karena dirinya sendiri. Alam senantiasa terjaga keberadaannya setiap saat karena Wujud Allah, bukan karena daya atau zatnya. Maka, wujud yang dengannya alam ini ada pada setiap waktu tidak lain adalah Wujud Allah SWT, bukan wujud lain yang berdiri sendiri di luar-Nya. Sebagaimana ungkapan beliau dalam kitab Idhah al-Maqsud min Wahdah al-Wujud hal. 8: 

إِنَّ جَمِيعَ الْعَوَالِمِ كُلَّهَا عَلَى اخْتِلَافِ أَجْنَاسِهَا وَأَنْوَاعِهَا وَأَشْخَاصِهَا مَوْجُودَةٌ مِنَ الْعَدَمِ بِوُجُودِ اللهِ تَعَالَى لَا بِنَفْسِهَا، مَحْفُوظَةٌ عَلَيْهَا الْوُجُودُ فِي كُلِّ لَحْظَةٍ بِوُجُودِ اللهِ تَعَالَى لَا بِنَفْسِهَا، وَإِذَا كَانَتْ كَذٰلِكَ فَوُجُودُهَا الَّذِي هِيَ مَوْجُودَةٌ بِهِ فِي كُلِّ لَحْظَةٍ، هُوَ وُجُودُ اللهِ تَعَالَى، لَا وُجُودَ آخَرَ غَيْرَ وُجُودِ اللهِ تَعَالَى. (إيضاح المقصود من وحدة الوجود، ص ٨)

Sesungguhnya seluruh alam semesta ini, dengan segala macam jenis, ragam, dan individunya, Maujud (ada) dari ketiadaan karena wujud Allah SWT, bukan karena dirinya sendiri. Ia (alam) tetap terjaga keberadaannya di setiap saat (setiap kedipan mata) karena wujud Allah SWT, bukan karena dirinya sendiri. Maka, ketika demikian keadaannya, wujud yang dengannya alam ini ada di setiap waktu tidak lain adalah Wujud Allah SWT, bukan wujud lain yang terpisah dari-Nya. (Idhah al-Maqsud min Wahdah al-Wujud: 8)

Dengan demikian, dapat dipahami bahwa seluruh alam dari sisi dirinya sendiri adalah tiada, karena asalnya memang ketiadaan. Namun, dari sisi Wujud Allah, ia ada karena keberadaan-Nya. Maka, Wujud Allah SWT dan wujud alam yang dengannya alam itu ada merupakan satu wujud yang sama, yaitu Wujud Allah semata. Alam tidak memiliki wujud hakiki dari dirinya. Adapun maksud dari ungkapan “wujudnya alam adalah wujud Allah” bukanlah bahwa zat dan rupa alam adalah Dzat Allah, melainkan maknanya adalah dengan Wujud Allah-lah segala sesuatu tetap ada dalam kenyataan. Hal ini disepakati oleh para ulama dan orang berakal. Sedangkan jika alam dilihat dari sisi dirinya sendiri tanpa kaitan dengan Allah yang mewujudkannya, maka ia sama sekali tidak memiliki keberadaan hakiki. (al-Nabulusi, 1969 : 9)

Adapun ulama kalam yang membedakan antara wujud qadim dan wujud hadits, sesungguhnya yang mereka maksud dengan wujud hadits adalah hakikat zat dan bentuk makhluk itu sendiri. Oleh karena itu, mazhab Imam al-Asy‘ari menjelaskan bahwa wujud setiap sesuatu adalah hakikat zatnya sendiri. Namun, wujud yang membuat segala sesuatu itu ada, tidak diragukan lagi adalah Wujud Allah SWT, sebagaimana disepakati seluruh orang berakal. (al-Nabulusi, 1969 : 9)

Dalam permasalahan ini, para ahli hakikat (al-muhaqqiqin min ahlillah) berbicara tentang wujud yang satu ini. wujud yang dengannya segala sesuatu menjadi ada, bukan tentang wujud yang merupakan hakikat zat makhluk. Karena itu, perbedaan dalam menolak atau menerima Wahdatul Wujud sebenarnya bergantung pada penentuan makna “wujud”. barang siapa memaknai wujud sebagai keberadaan yang dengannya segala sesuatu ada, maka ia akan menerima dan membenarkan paham Wahdatul Wujud, serta meyakininya sebagai kebenaran, karena Wujud Allah-lah yang dengannya setiap sesuatu menjadi ada, berdasarkan kesepakatan semua orang berakal. Maka, perbedaan pendapat dalam hal ini hanyalah bersifat verbal (lafzi), yang kembali kepada perbedaan dalam menafsirkan maksud dari kata “wujud” .(al-Nabulusi, 1969 : 10)

Syekh Abdul Ghani juga menjelaskan bahwa para muhaqqiqin (para ahli hakikat) dalam masalah wujud, termasuk golongan orang yang menempati derajat tertinggi (a’la ‘Illiyyin), sedangkan perkataan selain mereka dalam masalah ini berasal dari golongan “asfal safilīn” (tingkatan derajat paling bawah). Para ahli hakikat memahami bahwa yang dimaksud dengan “wujud” adalah sesuatu yang dengannya setiap yang ada menjadi ada, baik yang qadim (dahulu) maupun yang hadits (baru). Pemahaman tersebut adalah pemahaman yang paling dekat dengan kebenaran dan penelitian yang tepat. Sebab, tidak mungkin ada sesuatu yang mumkin (makhluk) yang terlepas sama sekali dari wujud qadim (yakni wujud Allah). Maka wujudnya makhluk itu sebenarnya adalah wujud Allah, namun zat dan bentuk makhluk itu sendiri bukanlah Dzat al-Mujid (Sang Pencipta) yang qadim. (al-Nabulusi, 1969 : 10)

Khaliq dan makhluq memang berbeda dalam zat dan sifat, namun keduanya tampak ada melalui satu wujud yang sama. Allah ada dengan Dzat-Nya sendiri (bi dzatihi), sedangkan makhluk ada dengan selain dirinya, yaitu dengan Allah. Wujud yang satu itu dalam diri Allah bersifat mutlak dan sempurna, sedangkan dalam makhluk bersifat terbatas sesuai dengan kodratnya, lebih rendah daripada wujud mutlak yang pertama. (al-Nabulusi, 1969 : 11)

Untuk memperjelas, Syekh al-Nabulusi (W 1143 H) memberikan perumpamaan tentang bintang di langit yang tampak kecil dari bumi padahal pada hakikatnya besar. Kecilnya hanyalah karena jarak pandang, bukan karena bintang itu berubah. Begitu pula Wujud Allah yang mutlak: ketika tampak pada makhluk yang terbatas, ia terlihat seolah-olah menjadi wujud yang terikat (muqayyad), padahal hakikatnya tidak berubah dari kemutlakannya. (al-Nabulusi, 1969 : 11)

Perubahan hanya terjadi pada zat-zat makhluk dan bentuk-bentuknya, bukan pada wujud Allah. Allah-lah yang mengubah dan memindahkan makhluk dari ketiadaan menuju keberadaan, dan wujud baru itu hakikatnya adalah wujud Allah sendiri. Makhluk berpredikat “ada” dengan Wujud Allah, sebagaimana sebelumnya ia “ada” dalam ilmu Allah, tanpa berarti Wujud Allah terbagi atau berubah.

Hal ini dijelaskan dengan perumpamaan air jernih yang tampak berwarna ketika dicampur sesuatu. Air tetaplah air dan kejernihannya tidak berubah, meski tampak hitam atau merah karena pengandaian adanya zat lain di dalamnya. Dalam kenyataannya, hanya air yang benar-benar ada, sedangkan warna atau zat tambahan itu tidak memiliki wujud hakiki, melainkan sekadar meminjam keberadaan air yang menjadi tempat pengandaian. (al-Nabulusi, 1969 : 11)

Demikian pula dengan alam semesta. Makhluk tidak memiliki keberadaan hakiki di hadapan Wujud Allah, melainkan hanya tampak ada karena keberadaan-Nya. Tidak ada penyatuan antara Allah dan makhluk, tidak ada percampuran, tidak ada perubahan pada Dzat Allah. Yang ada hanyalah satu wujud yang mutlak Wujud Allah SWT yang menampakkan diri-Nya dalam bentuk berbagai ciptaan tanpa kehilangan keesaan dan kemutlakan-Nya sedikit pun. (al-Nabulusi, 1969 : 12)

Dengan demikian, Wahdatul Wujud bukanlah penyamaan antara Allah dan makhluk, tetapi penegasan Hakikat tauhid, bahwa tidak ada yang benar-benar ada kecuali Allah. Alam hanyalah penampakan, bayangan, atau tajalli dari Wujud Mutlak. Maka, inti dari Wahdatul Wujud adalah kesadaran eksistensial bahwa “la mawjuda illa Allah”  tiada yang memiliki keberadaan hakiki selain Allah SWT.


Konsep atau Gambaran Wahdatul Wujud 

Setiap orang yang berusaha memahami pemikiran Syaikh al-Akbar Ibnu ‘Arabi pasti akan berhadapan dengan satu persoalan besar, yaitu bagaimana menjelaskan keberagaman wujud (al-kathrah al-wujudiyyah). Sebagian peneliti menemukan kunci rahasia ini dalam penafsiran al-Qasyani terhadap surah al-Insyirah, khususnya ayat Allah:

“فَإِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا”

“Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan.”

Ayat ini diulang dua kali secara berurutan. Para mufassir yang menafsirkan ayat berdasarkan makna lahiriah biasanya memahami pengulangan tersebut sebagai bentuk penegasan semata. Namun al-Qasyani menafsirkan secara batiniah dan mengaitkannya dengan dua fase perjalanan spiritual Nabi saw: fase naik (ash-shu‘ud) dan fase turun (an-nuzul). Menurutnya, setiap wali yang ingin mencapai maqam al-warith al-kamil (pewaris sejati Nabi Muhammad) harus merealisasikan kedua fase tersebut. Dan inilah pula pengalaman yang dialami oleh Ibnu ‘Arabi. (Haidar, 2025 : 12)

Pada fase pendakian spiritual, seorang salik termasuk Nabi Saw mula-mula terhijab oleh kesadaran terhadap banyaknya makhluk. Ini disebut al-‘usr al-awwal (kesulitan pertama). Ketika kesadaran itu diangkat dan ia memperoleh pengetahuan tentang Yang Esa (al-Wahid), maka tibalah ia pada al-yusr al-awwal (kemudahan pertama). Akan tetapi, pada tahap ini muncul hijab baru: pengetahuan tentang Allah menutupi kesadaran terhadap makhluk. Inilah hijab kedua yaitu hijab dengan al-Haqq dari al-khalq, atau tenggelam dalam ketuhanan hingga terputus dari ciptaan. Dalam keadaan seperti itu, seseorang belum mampu menanggung beban kenabian dan tanggung jawab terhadap dunia. (Haidar, 2025 : 12-13)

Kemudian Allah melapangkan dada Nabi Saw sebagaimana isyarat dalam ayat أَلَمْ نَشْرَحْ لَكَ صَدْرَكَ dengan mengangkat hijab kedua (al-‘usr ats-tsanī). Maka beliau memperoleh al-yusr ats-tsani (kemudahan kedua): kemampuan untuk menghimpun pengetahuan tentang Yang Esa dan yang banyak sekaligus. Pada tingkat inilah beliau mampu menampung kesadaran terhadap al-Haqq dan al-khalq secara bersamaan. Kondisi ini disebut al-Qasyani sebagai al-wujud al-mawhub al-haqqani eksistensi anugerah Ilahi yang sejati. (Haidar, 2025 : 12)

Pengetahuan Nabi saw di tahap ini bersifat sempurna:

  • Ia mengetahui yang banyak tanpa melepaskan pengetahuan tentang Yang Satu;

  • Ia mengetahui Yang Satu tanpa menafikan yang banyak.

  • Ia menyadari keduanya dalam satu kesatuan yang menyeluruh.

Inilah pengetahuan al-warith al-kamil, manusia sempurna yang dapat memadukan dua sisi realitas tanpa menafikan salah satunya. Dari sinilah dapat dipahami makna Wahdatul Wujud dalam pemikiran Ibnu ‘Arabī sebagaimana tampak dalam Fusus al-Hikam dan karya-karya lainnya. (Haidar, 2025 : 12)

Sementara itu, Syekh Abdul Ghani an-Nabulusi (W 1143 H) menafsirkan Wahdatul Wujud dengan menitikberatkan pada konsep al-wujud al-Haqiqi (keberadaan yang hakiki). Menurutnya, segala sesuatu yang bersifat mungkin (al-mumkinat) tidak memiliki keberadaan yang mandiri; keberadaan mereka sepenuhnya bergantung kepada al-Haqq. Dengan demikian, hanya Allah yang memiliki wujud sejati, sedangkan makhluk memperoleh keberadaan mereka melalui keberadaan Allah. (Haidar, 2025 : 12)

Syekh Abdul Ghani An-Nabulusi (W 1143 H) menjelaskan hal ini dengan mengaitkannya pada nama Allah al-Qayyum Yang Maha Berdiri Sendiri dan Menegakkan segala sesuatu. Allah sebagai al-Qayyum adalah sumber yang membuat seluruh ciptaan dapat berdiri. Segala makhluk tidak memiliki keberadaan dari dirinya sendiri. mereka hanya eksis karena ditopang oleh wujud Ilahi. Maka, pada hakikatnya, keberadaan itu satu: Wujud al-Haqqi (wujud hakiki), yang dengannya segala yang mungkin memperoleh eksistensinya. (Haidar, 2025 : 12)

Oleh karena itu, istilah Wahdatul Wujud jika dipakai untuk menjelaskan pandangan Ibnu ‘Arabi harus dipahami sebagai hasil dari realisasi tauhid yang paling dalam. Bagi Syaikh al-Akbar, tauhid bukan sekadar pernyataan teologis bahwa “Tiada Tuhan selain Allah”, tetapi pengalaman ontologis yang mengungkap bahwa tidak ada yang benar-benar wujud kecuali Dia. Tauhid dalam arti ini bukan semata teori filsafat, dan juga bukan hasil ekstase emosional. Ia adalah hasil penyaksian sadar seorang arif yang telah melalui berbagai maqam tauhid, hingga mencapai tauhid al-musyahid as-sahi yaitu tauhid orang yang menyaksikan dengan kesadaran penuh. (Haidar, 2025 : 12)

Karena itu, perjalanan spiritual dan intelektual Ibnu ‘Arabī tidak bisa dikategorikan secara sempit sebagai murni filosofis atau semata mistik. Ia bukan hanya seorang pemikir yang menyusun teori tentang wujud, dan bukan pula seorang sufi yang tenggelam dalam fana’ hingga kehilangan kesadaran rasionalnya. Sebaliknya, beliau berhasil menghimpun dua keadaan sekaligus: fana’ (lebur dalam Allah) dan baqa’ (tetap bersama Allah). Kesempurnaan inilah yang menjadikan Ibnu ‘Arabi sebagai figur al-insan al-kamil, manusia yang memadukan penyaksian spiritual dan pemahaman intelektual dalam satu kesatuan harmoni.


Wahdatul wujud berbeda dengan Wahdatus Syuhud

Seringkali kali ketika seseorang mencoba mempelajari paham wahdatul wujud timbul suatu pertanyaan “Apakah yang dimaksud oleh Ibnu ‘Arabi adalah Wahdatul Wujud (Kesatuan Wujud) atau Wahdatul Syuhud (Kesatuan Penyaksian)? Pertanyaan ini muncul karena kedua istilah tersebut, meskipun berbeda dalam dimensi pengalaman dan pendekatan, tampak berujung pada kesimpulan yang sama, yaitu bahwa hakikat wujud yang sejati hanyalah satu yakni Allah, Tuhan semesta alam. Namun, titik perbedaan di antara keduanya terletak pada jalan dan cara pandang yang mengantarkan seseorang menuju kesimpulan itu.

Para peneliti yang mendalami pemikiran Ibnu ‘Arabi umumnya bersepakat bahwa apa yang dimaksud olehnya bukanlah Wahdatul Syuhud, melainkan Wahdatul Wujud. Alasannya, karena pemikiran Ibnu ‘Arabi tidak lahir dari luapan pengalaman spiritual yang bersifat emosional semata, melainkan merupakan hasil perenungan intelektual yang dalam, lahir dari logika metafisis yang tertata dan sistematis. Pandangan Ibnu ‘Arabi tentang wujud bukan merupakan seruan hati seorang sufi yang mabuk cinta, tetapi refleksi seorang filsuf yang menyusun bangunan konseptual tentang realitas secara rasional dan sadar. sebagaimana yang telah dijelaskan dalam kitab Izalah al-Hasud fi Taudhih Wahdah al-Wujud hal. 10:

كَثِيرًا مَا يَتَوَقَّفُ الْبَاحِثُ أَمَامَ نَتَائِجِ ابْنِ عَرَبِيٍّ مُتَسَائِلًا: أَوَحْدَةُ وُجُودٍ عِنْدَهُ أَمْ وَحْدَةُ شُهُودٍ؟ ثُمَّ لَا يَلْبَثُ أَنْ يُقَرِّرَ أَنَّهَا وَحْدَةُ وُجُودٍ مِنْ حَيْثُ أَنَّهَا لَمْ تَبْرُزْ فِي صَيْحَةِ وُجْدٍ بَلْ كَانَتْ نَتِيجَةً بَارِدَةً لِتَفْكِيرٍ نَظَرِيٍّ. وَيَعُودُ تَرَدُّدُ الْبَاحِثِ بَيْنَ الْوَحْدَتَيْنِ إِلَى أَنَّهُمَا يَتَطَابَقَانِ فِي النَّتِيجَةِ، فَكِلْتَاهُمَا تَرَيَانِ: إِنَّ الْوُجُودَ الْحَقِيقِيَّ وَاحِدٌ، وَهُوَ اللّهُ. وَلَكِنْ صَاحِبُ وَحْدَةِ الشُّهُودِ يَقُولُهَا فِي غَمْرَةِ الْحَالِ، عَلَى حِينٍ يُدَافِعُ عَنْهَا ابْنُ عَرَبِيٍّ فِي صَحْوِ الْعُلَمَاءِ وَبُرُودِ النَّظَرِيِّينَ. (إزالة الحسود في توضيح وحدة الوجود: ص ١۰)

Sering kali seorang peneliti berhenti di hadapan hasil-hasil pemikiran Ibnu ‘Arabi sambil bertanya-tanya: Apakah menurutnya itu Wahdatul Wujud (Kesatuan Wujud) atau Wahdatul Syuhūd (Kesatuan Penyaksian)? Tidak lama kemudian ia pun menetapkan bahwa yang dimaksud adalah Wahdatul Wujud, karena pandangannya tidak muncul dari luapan pengalaman spiritual, melainkan merupakan hasil dingin dari suatu pemikiran teoritis dan rasional. Keraguan para peneliti antara dua istilah ini (Wahdatul Wujud dan Wahdatul Syuhud) muncul karena keduanya sama dalam kesimpulan akhirnya: keduanya berpendapat bahwa hakikat wujud yang sejati hanyalah satu, yaitu Allah. Namun, pengusung Wahdatul Syuhūd mengucapkannya dalam keadaan ekstase spiritual (saat mabuk dalam penyaksian Ilahi), sedangkan Ibnu ‘Arabi membelanya dalam keadaan sadar penuh, dengan ketenangan seorang ilmuwan dan pendinginan seorang pemikir rasional. (Izalah al-Hasud fi Taudhih Wahdah al-Wujud: 10)

Dengan kata lain, Ibnu ‘Arabi tidak hanya mengalami kehadiran Ilahi dalam luapan spiritual sebagaimana dialami oleh para sufi yang mencapai fana’ (lebur dalam penyaksian Allah), tetapi ia juga mengolah pengalaman tersebut ke dalam bentuk konsepsi filosofis yang rasional. Ia berbicara tentang “Wahdatul Wujud” bukan sebagai keadaan batin, melainkan sebagai kebenaran ontologis yang bersifat universal.

Faktor-Faktor Penolakan terhadap Paham Wahdatul Wujud

Persoalan Wahdatul Wujud Atau Kesatuan Wujud merupakan salah satu tema yang paling banyak dibicarakan dalam khazanah pemikiran Islam, baik oleh ulama klasik maupun kontemporer. Gagasan ini telah melahirkan perdebatan panjang antara kalangan yang menolak dan yang menerima, dengan masing-masing memiliki dasar epistemologis dan argumentatif tersendiri.

Menurut Syekh Abdurrahman al-Nabulusi (W 1143 H) Kelompok yang menolak konsep Wahdatul Wujud Umumnya berasal dari kalangan yang berpegang kuat pada pendekatan tekstual dan rasional murni, tanpa memasuki wilayah pengalaman batin. Penolakan mereka sering kali berangkat dari kesalahpahaman terhadap makna istilah tersebut, sehingga yang mereka tolak sebenarnya bukanlah hakikat Wahdatul Wujud itu sendiri, melainkan gambaran keliru yang terbentuk dalam persepsi mereka. Dengan kata lain, penolakan tersebut lebih bersumber pada kesalahan interpretasi terhadap maksud para penganutnya, bukan pada substansi ajaran yang sebenarnya. sebagaimana pernyataan beliau dalam kitab Idhah al-Maqsud min Wahdah al-Wujud hal. 6-7:

اِعْلَمْ أَنَّ هٰذِهِ الْمَسْأَلَةَ، وَهِيَ مَسْأَلَةُ وَحْدَةِ الْوُجُودِ، قَدْ كَثُرَ الْعُلَمَاءُ فِيهَا الْكَلَامَ قَدِيمًا وَحَدِيثًا، وَرَدَّهَا قَوْمٌ قَاصِرُونَ غَافِلُونَ مَحْجُوبُونَ، وَقَبِلَهَا قَوْمٌ آخَرُونَ عَارِفُونَ مُحَقِّقُونَ، وَمَنْ رَدَّهَا لِعَدَمِ فَهْمِ مَعْنَاهَا عِندَ الْقَائِلِينَ بِهَا، وَتَوَهَّمَ مِنْهَا الْمَعْنَى الْفَاسِدَ، فَلَا الْتِفَاتَ لِرَدِّهِ كَائِنًا مَنْ كَانَ، لِصَدِّهِ عَنِ الْحَقِّ، وَإِنَّمَا رَدَّهُ فِي الْحَقِيقَةِ لِأَمْرٍ وَاقِعٍ عَلَى فَهْمِهِ مِنَ الْمَعْنَى الْفَاسِدِ، لَا عَلَى هٰذِهِ الْمَسْأَلَةِ، فَهُوَ الَّذِي صَوَّرَ الضَّلَالَ وَرَدَّهُ. (إيضاح المقصود من وحدة الوجود: ص ٦-٧)

Ketahuilah bahwa persoalan ini — yakni masalah Wahdatul Wujud (Kesatuan Wujud) — telah banyak dibicarakan oleh para ulama, baik dahulu maupun sekarang. Sebagian orang menolak paham ini. mereka adalah golongan yang terbatas pemahamannya, lalai, dan tertutup hatinya. Sementara sebagian yang lain menerimanya; mereka adalah orang-orang arif dan ahli hakikat. Adapun orang yang menolak karena tidak memahami makna sebenarnya dari istilah ini sebagaimana yang dimaksud oleh para penganutnya, lalu ia menyangka makna yang rusak, maka tidak perlu diperhatikan penolakannya, siapapun dia, karena penolakannya berpangkal pada kesalahpahaman terhadap kebenaran. Sesungguhnya ia menolak bukan terhadap hakikat masalah ini, melainkan terhadap makna yang keliru yang dibayangkan dalam pikirannya. Jadi, dialah yang telah membentuk gambaran kesesatan lalu menolaknya.  (Idhah al-Maqsud min Wahdah al-Wujud: 6-7)

Sementara itu, kelompok yang menerima dan meyakini konsep Wahdatul Wujud adalah para ulama hakikat dan kaum arifin yang dikenal memiliki kedalaman spiritual, kejernihan hati, dan kekuatan penyaksian batin (kasyf wa ‘iyan). Mereka memperoleh pengetahuan bukan semata-mata melalui akal dan bacaan teks, tetapi melalui pengalaman ruhani dan penyucian jiwa yang menyingkap hakikat keberadaan. Di antara tokoh-tokoh besar yang dikenal sebagai pendukung ajaran ini adalah Syekh al-Akbar Muhyiddin Ibn ‘Arabi, Syekh Syarifuddin Ibn al-Faridh, al-‘Afif at-Tilimsani, Syekh ‘Abd al-Haqq Ibn Sab‘in, dan Syekh ‘Abdul Karim al-Jili. Mereka adalah figur-figur yang telah diakui keilmuannya dalam dunia tasawuf dan dianggap sebagai representasi tertinggi dari epistemologi ma‘rifat. (al-Nabulusi, 1969 : 18)

Bagi para arifin tersebut, Wahdatul Wujud Bukanlah doktrin yang menafikan keberadaan makhluk atau meniadakan Tuhan, melainkan penyaksian hakikat bahwa seluruh wujud bergantung sepenuhnya kepada Wujud Mutlak (Allah SWT). Dalam pandangan ini, yang ada secara hakiki hanyalah Allah, sementara selain-Nya tidak memiliki keberadaan mandiri, melainkan hanya “bayangan” dari keberadaan-Nya. Dengan demikian, paham ini tidak bertentangan dengan akidah Ahlussunnah wal Jama‘ah selama dipahami dalam kerangka penyaksian ruhani, bukan dalam arti penyamaan antara Tuhan dan makhluk. (al-Nabulusi, 1969 : 18)

Ilmu para arifin dibangun atas dasar penyingkapan batin (kasyf) dan penyaksian langsung terhadap realitas ilahi (‘iyan). Pengetahuan mereka bersumber dari pancaran cahaya ilahi, bukan dari rekayasa nalar atau spekulasi logis semata. Oleh sebab itu, awal perjalanan mereka bukan dari bacaan dan diskusi, melainkan dari ketaqwaan, tazkiyah (penyucian jiwa), dan amal saleh. Tujuan akhirnya pun bukan pengakuan atau status sosial, melainkan penyaksian terhadap Tuhan Yang Maha Hidup lagi Maha Berdiri Sendiri (al-Hayyu al-Qayyum).

Membedakan Antara Wahdatul Wujud yang Sesat dan Wahdatul Wujud yang Benar perspektif syekh Abdul Ghani al-Nabulusi (W 1143 H)

Para ulama Zhahir  yaitu mereka yang berpegang teguh pada syariat lahir memiliki hak sepenuhnya untuk mengecam orang-orang bodoh, lalai, dan zindik yang mengaku menganut paham Wahdatul Wujud namun menyimpang dari ajaran Islam. Mereka adalah golongan yang menyeleweng dengan menyatakan bahwa wujud mereka sendiri adalah wujud Allah, sifat-sifat mereka adalah sifat Allah, dan bahwa tidak ada perbedaan antara makhluk dan Khaliq. Akibat keyakinan ini, mereka menjadikan konsep Wahdatul Wujud sebagai alasan untuk menolak hukum-hukum syariat, membatalkan ajaran Nabi Muhammad saw, serta menghapus kewajiban agama dari diri mereka. (al-Nabulusi, 1969 : 17)

Celaan terhadap kelompok semacam ini adalah benar dan terpuji, bahkan para sufi sejati atau ulama hakikat (al-‘arifun al-muhaqqiqun) juga sepakat dalam mengecam mereka. Syekh ‘Abd al-Karim al-Jili, dalam Syarḥ al-Khalwah, menegaskan bahwa golongan ini bukanlah ahli tasawuf sejati, melainkan orang-orang sesat yang meniru penampilan kaum sufi tanpa memiliki iman, tidak berpegang pada syariat, dan menafsirkan risalah para rasul dengan cara yang menyimpang. Beliau bahkan memperingatkan agar tidak bergaul atau tinggal di tempat yang dihuni oleh golongan ini karena bahayanya bagi iman. (al-Nabulusi, 1969 : 17)

Adapun para imam dan ‘arif sejati, kitab dan karya mereka penuh dengan pernyataan tegas maupun isyarat tentang adanya wujud makhluk yang baru (hadits), yang mereka bedakan dengan jelas dari wujud qadīm (Allah). Mereka, meskipun terkadang berbicara tentang Wahdatul Wujud, kadang sedang dalam keadaan dikuasai oleh kesaksian terhadap Wujud Hakiki (Allah) yang dengan-Nya segala sesuatu menjadi ada. Maka mereka berkata bahwa selain Allah itu hanyalah bayangan, khayalan, fatamorgana, dan sesuatu yang lenyap serta fana, tidak memiliki wujud hakiki. Dan mereka benar dalam hal ini, sebab segala sesuatu selain Allah memang hanya memiliki wujud yang bersifat i‘tibārī (sekadar diandaikan dan bergantung kepada Allah), karena ia makhluk, dan keberadaannya hanyalah pemberian dan penetapan dari Allah. Sedangkan wujud yang hakiki dan mutlak hanyalah milik Allah semata, Sang Pencipta, yakni Dzat yang menetapkan dan menakdirkan wujud bagi segala sesuatu, atau dengan kata lain: yang mengadakan sesuatu melalui ketetapan dan takdir-Nya. Dan tidak pantas ada orang yang berkata, “Kalau segala sesuatu hanyalah wujud yang ditetapkan (bukan hakiki), maka mengapa ia bisa tampak nyata, dapat dirasakan, dan diakui keberadaannya?” Hal tersebut dibantah oleh syekh Abdul ghani dengan mengatakan:

فَرْضُ اللّهِ وَتَقْدِيرُهُ الْوُجُودَاتِ الْأَشْيَاءَ فِي أَعْيَانِهَا، لَيْسَ كَفَرْضِنَا نَحْنُ وَتَقْدِيرِنَا لِلشَّيْءِ الْمَعْدُوْمِ، وَقَدْ جَعَلَ اللّهُ تَعَالَى مَا نَفْرِضُهُ وَنُقَدِّرُهُ أَنْزَلَ رُتْبَةً مِنَّا، لِيَكُونَ ذٰلِكَ فِينَا مِثَالًا لِمَا يَفْرِضُهُ اللّهُ تَعَالَى وَيُقَدِّرُهُ مِنْ وُجُودَاتِ الْأَشْيَاءِ الْمَعْدُومَةِ، وَأَنَّهَا أَنْزَلُ مِنْهُ تَعَالَى فِي الْوُجُودِ. (إيضاح المقصود من وحدة الوجود، ص ١٩)

Penetapan dan penciptaan Allah terhadap sesuatu bukanlah seperti penetapan kita terhadap hal-hal yang tidak ada. Allah menjadikan apa yang kita pandang sebagai penetapan hanyalah contoh yang rendah dari penetapan-Nya yang agung. Penetapan Allah atas makhluk-makhluk-Nya adalah pemberian wujud pada tingkat lebih rendah dari wujud-Nya sendiri. (Idhah al-Maqsud min Wahdah al-Wujud: 19)

Namun, kesalahan besar terjadi ketika sebagian ulama Zhahir melampaui batas dan menyamaratakan kecaman tersebut kepada seluruh kaum sufi, termasuk para ‘arif sejati yang berbicara tentang Wahdatul Wujud dalam makna yang benar. (al-Nabulusi, 1969 : 18) Para ulama hakikat yang sejati, dalam karya dan ucapan mereka, menegaskan bahwa makhluk memiliki wujud baru (hadits) yang berbeda hakikatnya dari wujud Allah yang qadim. Ketika mereka berkata bahwa selain Allah hanyalah bayangan atau fatamorgana, maksudnya bukan menafikan keberadaan makhluk secara mutlak, melainkan menegaskan bahwa keberadaan makhluk bersifat bergantung wujudnya hanya ada karena diberi dan ditetapkan oleh Allah. (al-Nabulusi, 1969 : 18-19)

Karena itu, tidak pantas seseorang mencela para sufi sejati, meskipun ucapan mereka sulit dipahami oleh orang awam. Kebodohan seseorang terhadap makna hakikat dan rahasia tasawuf bukanlah alasan yang sah untuk mengingkari mereka. Justru kewajibannya adalah belajar dan memahami terlebih dahulu sebelum berani menilai. Barang siapa mengingkari kebenaran yang dibawa oleh ahlul-haqq, padahal ia tidak memahami maksudnya, maka ia telah terjerumus dalam dosa besar, bahkan bisa tergelincir ke dalam kekufuran. (al-Nabulusi, 1969 : 19-20) Allah berfirman:

وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهٖ عِلْمٌۗ اِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ اُولٰۤىِٕكَ كَانَ عَنْهُ مَسْـُٔوْلًا ۝٣

Janganlah engkau mengikuti sesuatu yang tidak kamu ketahui. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati nurani, semua itu akan diminta pertanggungjawabannya. (QS. Al-Isrā’: 36).

Adapun orang bodoh yang tidak memahami ilmu rasa (adz-dzauq) dan hanya mengetahui dari buku-buku tanpa pengalaman ruhani, maka ia tidak memiliki hujjah untuk menolak atau mengingkari para ‘arif. Yang seharusnya ia lakukan adalah berbaik sangka kepada Allah dan kepada para kekasih-Nya. Ia harus mengakui bahwa para ‘ārif lebih mengenal Allah daripada dirinya sendiri, serta menyadari keterbatasan ilmunya. (al-Nabulusi, 1969 : 20)

Syekh Abdul Ghani menegaskan seandainya hendak dijelaskan dalil-dalil tentang kebenaran Wahdatul Wujud dalam makna yang benar baik dari ayat-ayat Al-Qur’an, hadis Nabi saw, maupun perkataan para ulama Zhahir dan Bathin tentu pembahasannya akan sangat panjang. Namun, uraian ini sudah mencukupi untuk menjelaskan perbedaannya secara garis besar.

Syekh Abdul Ghani telah melihat banyak risalah ulama mutaakhkhir yang membahas Wahdatul Wujud secara benar dan membuktikan keshahihannya. Beliau berharap, siapa pun yang menelaah apa yang telah kami sampaikan disini dengan bimbingan ilham dan taufik Allah, akan memahami maksud sebenarnya dari ucapan para ulama Zhahir dan Bathin mengenai persoalan ini. Bahkan beliau meyakini sesungguhnya Wahdatul Wujud dalam makna yang benar merupakan dasar agung dari hakikat keimanan para salihin dan isyarat halus dari para ahli kasyf dan yakin. Ia adalah bentuk tauhid syar‘i yang sejati inti dari seluruh amal orang-orang ikhlas. Adapun Wahdatul Wujud dalam makna yang rusak adalah kesesatan dan syirik tersembunyi (khafī), yang menjadi dasar amal orang-orang lalai dan menyesatkan mereka dari jalan tauhid yang murni. (al-Nabulusi, 1969)

KRITIK PAHAM WAHDATUL WUJUD

Syaikh Sa'id Foudah tentang Urgensi dan Metodologi Pembahasan Wahdatul Wujud

Menurut pendekatan teologis dan epistemologis Syaikh Sa'id Foudah, persoalan Wahdatul Wujud (Kesatuan Wujud) merupakan salah satu isu yang paling sensitif dan rumit dalam khazanah pemikiran Islam. Kerumitannya bukan hanya karena sifatnya yang sangat halus (daqiq) dan bersinggungan langsung dengan pokok-pokok akidah, tetapi juga karena banyaknya kerancuan istilah dan penyelewengan makna yang terjadi di kalangan pengusungnya. Oleh sebab itu, perdebatan mengenai konsep ini terus berulang dalam sejarah pemikiran Islam antara ahli tauhid, kalangan sufi, filosof, dan mutakallimīn masing-masing dengan landasan epistemologis yang berbeda. (Foudah, 2013 : 5)

Syaikh Sa'id Foudah menegaskan pentingnya membahas kembali persoalan ini di masa kini, karena telah muncul klaim dari sebagian kalangan yang menyandarkan ajaran Wahdatul Wujud kepada Ahlus Sunnah wal-Jama‘ah. Padahal, menurut telaah teologis yang mendalam, klaim tersebut tidak memiliki dasar yang kuat. Sebagian orang menerimanya secara mutlak tanpa takwil, sebagian lain menafsirkannya dengan makna Wahdat asy-Syuhud (Kesatuan Kesaksian), dan sebagian lainnya berusaha menakwilkannya secara positif dengan alasan husnuzan terhadap tokoh-tokoh sufi. Syaikh Sa'id Foudah memandang kecenderungan semacam ini berbahaya karena mengaburkan batas antara akidah yang lurus dan penyimpangan metafisis yang tidak dapat dipertanggungjawabkan secara rasional maupun naqli. (Foudah, 2013 : 5)

Dalam menghadapi persoalan seperti ini, Syaikh Sa'id Foudah menolak pendekatan intuitif yang mendasarkan pemahaman pada pengalaman spiritual semata. Ia memilih metode analitis-argumentatif (manhaj tahlili istidlali) yang bertumpu pada telaah kritis terhadap teks-teks para tokoh yang berbicara tentang Wahdatul Wujud. Hal ini karena setiap kelompok terutama para sufi dan filsuf memiliki istilah dan simbolisme tersendiri yang perlu dipahami melalui konteks dan terminologi mereka, bukan melalui klaim mistik yang kabur. (Foudah, 2013 : 5)

Beliau mencontohkan bahwa para ulama besar seperti Imām Sa‘d al-Din al-Taftazani, al-‘Adud al-Iji, dan as-Sayyid asy-Syarif al-Jurjani telah membahas pandangan para penganut Wahdatul Wujud secara rasional dan tekstual. Mereka memahami ucapan para tokoh sufi dalam kerangka disiplin ilmu kalam, tanpa perlu mengandalkan kasyf atau ilham. Oleh karena itu, klaim bahwa makna ucapan kaum sufi hanya bisa dipahami melalui jalan kasyf dan ilham dianggap oleh Syaikh Sa'id Foudah sebagai pernyataan tanpa dasar dan tidak memiliki nilai ilmiah. (Foudah, 2013 : 6)

Lebih jauh lagi, Syaikh Sa'id Foudah menegaskan bahwa seseorang tidak berhak menilai benar atau salah terhadap pembahasan Wahdatul Wujud bila ia tidak memahami teks dan istilah yang digunakan. Penilaian yang sah hanya dapat dilakukan setelah memahami substansi ucapan dengan akal dan dalil, bukan dengan klaim spiritualitas yang tidak dapat diverifikasi. (Foudah, 2013 : 6)

Beliau juga menegaskan bahwa pembahasan mendalam tentang Wahdatul Wujud memang memerlukan landasan filosofis dan teologis yang panjang. Namun, yang terpenting pada tahap awal adalah menunjukkan posisi para ulama yang tidak sepakat pada paham Wahdatul Wujud, seperti as-Sayyid asy-Syarif al-Jurjani, yang dalam banyak karyanya menolak paham tersebut dan menjelaskannya dengan kritik ilmiah yang tajam. (Foudah, 2013 : 6)

Pada akhirnya, Syaikh Sa'id Foudah menegaskan bahwa tidak semua kaum sufi menganut ajaran Wahdatul Wujud. Justru sebagian besar dari mereka terutama para sufi yang berpegang teguh pada prinsip Ahlus Sunnah menolak dan menjauh dari paham ini. Mereka tidak rela jika ajaran tasawuf yang murni dikotori oleh pandangan yang berpotensi menyalahi tauhid dan tanzih Allah dari segala bentuk penyatuan dengan makhluk. Syekh Sa’id mengatakan hal tersebut dalam muqaddimah kitab Fath al-Wadud hal 6:

وَمِمَّا يُمْكِنُ الْجَزْمُ بِهِ هُنَا أَنَّهُ لَيْسَ جَمِيعُ الصُّوفِيَّةِ قَائِلِينَ بِمَذْهَبِ وَحْدَةِ الْوُجُودِ، بَلْ أَكْثَرُهُمْ – عَلَى مَا نَزْعُمُ – مُعْرِضُونَ عَنْهُ، رَافِضُونَ لَهُ، غَيْرُ رَاضِينَ بِمَا يُقَرِّرُهُ أَصْحَابُ هٰذَا الْمَذْهَبِ، وَسَوْفَ نُشِيرُ إِلَىٰ ذٰلِكَ بِإِشَارَاتٍ كَافِيَةٍ لِلطَّالِبِينَ. (فتح الودود بشرح رسالة الشريف الجرجاني في وحدة الوجود، ص ٦)

Dapat dipastikan pula bahwa tidak semua kaum sufi berpendapat dengan paham Wahdat al-Wujud; bahkan mayoritas mereka menurut dugaan kami bersikap menjauh darinya, menolaknya, dan tidak rela dengan apa yang diyakini oleh penganut paham tersebut. Kami akan memberikan beberapa isyarat yang cukup bagi para pencari ilmu tentang hal ini. (Fath al-Wadud bi Syarh Risalah al-Syarif al-Jurjani fi Wahdat al-Wujud: 6)

Dengan demikian, bagi Syaikh Sa'id Foudah, pembahasan Wahdatul Wujud harus ditempatkan dalam kerangka ilmiah yang jernih: membedakan antara bahasa simbolik para sufi dengan klaim metafisis yang menyimpang, serta menjaga agar prinsip tanzih dan ta‘zim li al-haqq tetap menjadi pondasi utama dalam memahami segala pernyataan tentang wujud dan ketuhanan. 

Kritik Makna Wujud Menurut Syekh Sa'id Foudah dan Implikasinya terhadap Paham Wahdatul Wujud

Syekh Sa'id Foudah, seorang teolog kontemporer dari mazhab Asy‘ariyah, memberikan argumentasi rasional yang sangat mendalam untuk menjelaskan konsep wujud (eksistensi). Menurut beliau, ketika seseorang berkata “Ana maujud” (aku ada), maka baik pembicara maupun pendengar memahami bahwa pernyataan itu adalah penegasan terhadap keberadaan diri si pembicara. Artinya, akal secara langsung menangkap makna bahwa terdapat “aku” yang eksis, yang memiliki keberadaan yang nyata dan tersendiri. (Foudah, 2002 : 13)

Demikian pula ketika orang lain mengatakan hal yang sama “Ana maujūd”  akal sehat kembali memahami bahwa orang kedua ini pun memiliki eksistensi yang nyata. Dari sini, secara rasional kita memahami bahwa wujud orang pertama berbeda dengan wujud orang kedua. Kesadaran akal terhadap perbedaan ini merupakan fitrah rasional yang tidak memerlukan argumentasi filosofis yang rumit; ia muncul secara alami dari penalaran dasar manusia. (Foudah, 2002 : 13)

Maka, kata Syekh Foudah, tidak benar jika ada yang mengatakan bahwa wujud orang pertama dan wujud orang kedua adalah satu dan sama secara hakiki. Karena kesamaan hakiki meniadakan perbedaan, sementara kenyataannya kita dapat membedakan keduanya secara jelas dalam realitas. Seseorang mungkin berkata bahwa keduanya mirip dalam hal sama-sama “ada”, tetapi kemiripan tidaklah berarti kesatuan hakiki. Sebab, kemiripan hanya dapat terjadi jika antara dua hal terdapat perbedaan dasar yang memungkinkan perbandingan. (Foudah, 2002 : 13)

Beliau melanjutkan dengan memberikan perumpamaan yang sangat logis: wujud gunung dan wujud rumah. Keduanya sama-sama disebut “ada”, namun akal secara spontan memahami bahwa keberadaan gunung tidak identik dengan keberadaan rumah. Gunung memiliki wujud tersendiri, rumah pun demikian. Ketika kita mengatakan “Rumah itu ada”, maka kita menegaskan eksistensi bagi rumah, dan ketika kita mengatakan “Gunung itu ada”, kita pun menegaskan eksistensi bagi gunung dua realitas yang berbeda, meski sama-sama masuk dalam kategori “ada”. Hal ini dijelaskan oleh beliau dalam kitab Minah al-Wadud fi Madzhab Wahdat al-Wujud hal. 13-14:

وَكَذٰلِكَ فَوُجُودُ الْجَبَلِ مَفْهُومٌ، وَوُجُودُ هٰذَا الْبَيْتِ مَفْهُومٌ، وَلَا شَكَّ أَنَّ وُجُودَ الْجَبَلِ غَيْرُ وُجُودِ الْبَيْتِ. وَسَوْفَ أُوَضِّحُ ذٰلِكَ بِشَكْلٍ أَكْبَرَ: إِنَّنَا عِنْدَمَا نَقُولُ: «الْبَيْتُ مَوْجُودٌ»، فَإِنَّ مَعْنَى هٰذِهِ الْعِبَارَةِ يَتَضَمَّنُ إِثْبَاتَ كَوْنِ الْبَيْتِ مَوْجُودًا، وَهٰذَا لَا بُدَّ أَنْ يَسْبِقَهُ إِثْبَاتُ الْوُجُودِ لِلْبَيْتِ، بِمَعْنَى أَنَّهُ لِكَيْ يُشْتَقَّ اسْمٌ لِشَيْءٍ، يَجِبُ أَنْ يَكُونَ الشَّيْءُ مَوْصُوفًا بِأَصْلِ مَصْدَرِ هٰذَا الِاسْمِ، أَيْ أَصْلِ مَصْدَرِ الِاشْتِقَاقِ، وَبِعِبَارَةٍ أُخْرَى، فَلَا بُدَّ مِنْ إِثْبَاتِ كَوْنِ الْبَيْتِ لَهُ وُجُودٌ، فَالْقَوْلُ بِأَنَّ الْبَيْتَ مَوْجُودٌ، يَسْبِقُهُ الِاعْتِقَادُ بِإِثْبَاتِ الْوُجُودِ لِلْبَيْتِ. (منح الودود في بيان مذهب  وحدة الوجود، ص ١٣-١٤)

Demikian pula, keberadaan gunung dapat dipahami, dan keberadaan rumah ini juga dapat dipahami dan tidak diragukan lagi bahwa keberadaan gunung berbeda dari keberadaan rumah. Akan saya jelaskan hal ini dengan lebih rinci: Ketika kita mengatakan “rumah itu ada (rumah itu wujud)”, maka makna dari kalimat ini mengandung penetapan bahwa “rumah itu memiliki keberadaan”. Namun, hal ini harus didahului dengan penetapan adanya “keberadaan” bagi rumah itu sendiri. Artinya, agar suatu nama dapat disandarkan pada sesuatu, maka sesuatu itu harus sudah memiliki sifat asal dari nama tersebut  yaitu asal dari bentuk kata yang diturunkan (derivasi)-nya. Dengan kata lain, harus ada penetapan bahwa rumah itu memiliki wujud. Maka, ucapan “rumah itu ada” didahului oleh keyakinan atau pengakuan bahwa rumah tersebut memang memiliki keberadaan. (Minah al-Wadud fi Madzhab Wahdat al-Wujud hal. 13-14)

Namun, meskipun konsep “ada” yang terlintas di pikiran ketika menyebut keduanya mungkin sama dalam tataran makna universal (ma‘na kullī), tetapi realitanya tetap berbeda. Konsep “ada” yang satu tidak menyatu secara substansial dengan yang lain. Maka, kesamaan makna dalam akal tidak otomatis berimplikasi pada kesatuan realitas dalam wujud eksternal. (Foudah, 2002 : 14)

Inilah titik kunci yang ditegaskan Syekh Sa'id Foudah: bahwa Wahdatul Wujud bila dipahami sebagai kesatuan hakiki antara makhluk dan Khaliq bertentangan dengan penalaran akal yang paling dasar. Sebab, sebagaimana gunung dan rumah memiliki wujud yang berbeda meskipun sama-sama “ada”, maka terlebih lagi antara Allah dan makhluk-Nya mustahil memiliki wujud yang sama.

Dari sini, kita dapat melihat bahwa klaim sebagian kelompok sufi ekstrim, seperti pengikut ajaran Syekh Siti Jenar di Nusantara, yang memahami “Aku adalah Tuhan” (Ana al-Haqq) secara literal, adalah bentuk kekeliruan dalam memahami hubungan antara wujud al-Haqq (Wujud Allah) dan wujud al-khalq (wujud makhluk). Mereka menyangka bahwa kesadaran spiritual tertinggi adalah ketika seseorang melebur dan menyatu dengan Tuhan dalam arti ontologis — padahal secara rasional dan teologis, hal itu mustahil.

Selain itu, kita telah melihat bahwa perbedaan antara keberadaan yang terwujud di dunia nyata adalah sesuatu yang bersifat asal (pokok) dan juga merupakan hal yang langsung terlintas dalam pikiran. Oleh karena itu, kita mengatakan bahwa keberadaan gunung di dunia nyata berbeda dengan keberadaan rumah di dunia nyata  meskipun makna “keberadaan” bagi keduanya sama di dalam pikiran. Maka, kesamaan dalam konsep (makna) tidaklah mengharuskan kesamaan dalam kenyataan (objeknya). Perbedaan ini sangat penting dan harus diperhatikan dengan cermat.

Syekh Sa’id mengatakan bahwa apa yang telah dijelaskan sebelumnya merupakan uraian sederhana tentang pandangan Ahlussunnah serta kebanyakan para filsuf dan teolog (mutakallimin) mengenai persoalan ini. (Foudah, 2002 : 15)

Adapun kelompok lain berpendapat bahwa apa yang tampak bagi kita sebagai keragaman atau banyaknya wujud di alam nyata sebenarnya tidaklah demikian. Menurut mereka, hal itu hanyalah khayalan semata. Realitas yang sesungguhnya di luar sana hanyalah satu wujud saja, yang menampakkan diri dalam berbagai bentuk. Artinya, yang benar-benar ada hanyalah satu wujud hakiki yang tidak memiliki keberagaman dalam keberadaan. Sedangkan banyaknya bentuk dan variasi yang kita saksikan hanyalah keragaman semu, bersifat relatif atau konseptual (i‘tibarī). (Foudah, 2002 : 15)

Mereka inilah yang dikenal sebagai penganut paham Wahdatul Wujud (Kesatuan Wujud). Mazhab Wahdatul-Wujud berpandangan bahwa satu-satunya wujud yang benar-benar nyata hanyalah wujud wajib (Allah), dan bahwa tidak ada wujud bagi makhluk-makhluk yang mungkin (mumkinat) sama sekali. Artinya, keberadaan makhluk-makhluk yang mungkin itu mustahil secara hakiki di dunia nyata. Keberadaan makhluk hanyalah penampakan (tajalli) dari wujud wajib (Allah), yang tampil dengan sifat-sifat dan hukum-hukum yang dimiliki oleh yang mungkin. (Foudah, 2002 : 15)

Padahal, sebagaimana telah dijelaskan oleh Ahlussunnah, sesuatu disebut mumkin (mungkin) karena keberadaannya boleh ada dan boleh tidak ada akal dapat menisbatkan kepadanya keberadaan atau ketiadaan. Namun menurut paham Wahdatul Wujud, hal itu tidak mungkin, karena menurut mereka keberadaan bagi yang mungkin adalah mustahil secara mutlak akal tidak dapat menisbatkan wujud kepadanya. (Foudah, 2002 : 15)

Hakikat dari pendapat ini, menurut mereka, berpangkal pada keyakinan bahwa wujud tidak mungkin lenyap dan tidak mungkin muncul (baru). Artinya, tidak mungkin ada wujud yang diciptakan setelah sebelumnya tidak ada, dan tidak mungkin pula suatu wujud menjadi tidak ada setelah ada. Maka, menurut mereka, tidak ada yang disebut penciptaan dari ketiadaan (al-khalq min al-‘adam).

Bagi pengikut Wahdatul Wujud, penciptaan (al-khalq) hanyalah penentuan dan penggambaran (taqdir wa taswir) dari wujud yang sudah ada, dengan kadar dan sifat tertentu yang tampak sebagai “kemungkinan”. Maka, wujud yang tampak dengan sifat-sifat yang mungkin itu sebenarnya adalah wujud wajib itu sendiri, karena tidak ada wujud lain di luar-Nya. (Foudah, 2002 : 15)

Oleh sebab itu, mereka mengatakan bahwa Allah yang merupakan Wujud Wajib (keberadaan yang niscaya), menampakkan diri-Nya dengan sifat-sifat makhluk (al-mumkinat). Maka, yang benar-benar tetap menurut mereka hanyalah bentuk-bentuk, batasan, dan manifestasi dari Wujud Wajib, bukan makhluk-makhluk yang berdiri sendiri. Dengan demikian, dalam pandangan mereka, tidak ada dua jenis wujud yakni wujud wajib dan wujud mumkin  tetapi hanya ada satu wujud, yaitu Wujud Wajib semata. (Foudah, 2002 : 15)

Hal tersebut berlawanan dengan sudut pandang teologi Asy‘ariyah yang diutarakan oleh Syekh Sa’id Foudah bahwa Allah memiliki wujud yang qadim (tidak bermula) dan baqa’ (tidak berakhir), sedangkan makhluk memiliki wujud yang hadits (diciptakan, baru). Maka, dua wujud ini tidak mungkin bersatu, karena yang qadīm tidak mungkin berubah menjadi yang hadits, dan yang hadits tidak mungkin menyatu dengan yang qadīm. Pemahaman inilah yang menjaga batas antara tauhid dan ilhad (penyimpangan). 

Kesimpulan yang disampaikan oleh Syekh Sa'id Foudah menggambarkan perbedaan yang sangat mendasar antara pandangan Ahlussunnah khususnya dalam kerangka teologi Asy‘ariyah dengan paham Wahdatul Wujud. Dalam pandangan Ahlussunnah, “wujud” adalah sesuatu yang dapat dipahami secara spontan oleh akal manusia. Ketika kita mengatakan “gunung ada” dan “rumah ada”, maka keberadaan keduanya merupakan dua realitas yang berbeda, meskipun sama-sama termasuk dalam kategori “ada”. Kesamaan konsep “ada” dalam akal tidak berarti bahwa realitas keberadaannya sama. Akal mampu membedakan bahwa setiap wujud memiliki eksistensi tersendiri yang nyata di luar pikiran, dan perbedaan ini bersifat hakiki, bukan sekadar persepsi.

Inilah dasar berpikir yang dijaga oleh para teolog Ahlussunnah agar manusia tidak terjerumus dalam penyamaan antara Tuhan dan makhluk. Allah adalah wajib al-wujud, yang keberadaan-Nya mutlak dan tidak bergantung kepada apapun, sedangkan segala sesuatu selain-Nya adalah mumkin al-wujud, yaitu keberadaannya bersifat mungkin, bisa ada dan bisa tiada. Dengan demikian, alam semesta, manusia, dan seluruh makhluk tidak memiliki wujud secara mandiri, tetapi bergantung pada kehendak dan penciptaan Allah.

Penjelasan Syekh Sa'id Foudah menjadi penting dalam konteks ini, karena beliau berusaha mengembalikan pemahaman Wahdatul Wujud pada posisi rasional dan teologis yang benar. Ia menegaskan bahwa perbedaan antara konsep dan realitas wujud harus dijaga agar akal tidak tersesat dalam penyeragaman eksistensi. Kesalahan memahami “Wahdatul wujud” sering kali berujung pada keyakinan bahwa segala sesuatu adalah Tuhan, padahal hal itu menyalahi dasar tauhid yang diajarkan oleh para nabi dan dijelaskan dengan cermat oleh para ulama Ahlussunnah.

Kritik Syekh Sa’id Foudah dalam 6 Perkara yang menjadi pembeda antara Asy’ariyah dan Wahdatul Wujud

  1. Masalah Wujud Mumkin dan Wujud Wajib

Ahlus Sunnah berpendapat bahwa hakikat keberadaan (al-wujud) terbagi menjadi dua jenis utama.

 Pertama adalah wujud yang wajib (al-wujud al-wajib), yaitu keberadaan Allah. Wujud ini bersifat mutlak dan niscaya adanya tidak bergantung pada siapapun, tidak didahului oleh ketiadaan, dan mustahil bagi-Nya untuk tiada. Dialah sumber dan asal dari segala sesuatu yang ada.

Kedua adalah wujud yang mungkin atau boleh ada (al-wujud al-mumkin / al-wujud al-jaiz), yaitu keberadaan alam semesta dan seluruh makhluk selain Allah. Inilah yang dimaksud dengan takatsur al-wujud (banyaknya wujud) sebagaimana telah disinggung sebelumnya.

Menurut pandangan Ahlus Sunnah, wujud yang mungkin tidak akan pernah terwujud kecuali karena kekuasaan dan kehendak Allah. Ia disebut hadits (baru), sebab keberadaannya muncul setelah sebelumnya tidak ada ia “menjadi ada” setelah ‘adamihi (ketiadaan dirinya sendiri). Maka, segala sesuatu yang tergolong makhluk hanya ada karena diciptakan oleh Allah, bukan karena dirinya memiliki kemampuan untuk wujud secara mandiri.

Proses adanya makhluk merupakan perbuatan Allah (fi'il Allah), sedangkan keberadaan alam hanyalah atsar (dampak) dari perbuatan penciptaan tersebut. Sementara al-ijad (proses menjadikan) itu sendiri tidak berdiri sebagai sesuatu yang independen, melainkan hanyalah nisbah (relasi atau hubungan) antara Sang Pencipta dan ciptaan-Nya. Dengan demikian, antara Allah dan alam terdapat hubungan penciptaan, bukan kesatuan hakikat. (Foudah, 2002 : 17)

Adapun golongan yang berpandangan tentang “kesatuan wujud” (al-wahdah al-wujudiyyah), memiliki pandangan yang berseberangan dengan Ahlus Sunnah. Menurut mereka, tidak ada keberadaan yang hakiki kecuali satu, yaitu wujud yang wajib, yakni wujud Allah semata. Wujud itu tunggal tidak berbilang dan tidak menerima keragaman.

Mereka menolak adanya wujud yang berdiri sendiri bagi alam semesta. Menurut keyakinan mereka, alam bukanlah sesuatu yang diciptakan oleh Allah melalui suatu perbuatan ijad (penciptaan), melainkan ada dengan wujud Allah sendiri, bukan melalui tindakan “menjadikan”.

Dengan kata lain, seluruh makhluk dan segala sesuatu di alam raya ini hanyalah ṣurah (bentuk) dan mazhar (manifestasi) dari wujud Ilahi yang satu. Maka, keberadaan alam tidak benar-benar “baru” dalam arti muncul setelah sebelumnya tidak ada, sebagaimana pandangan Ahlus Sunnah.

Menurut kelompok ini, yang disebut “baru” hanyalah surah  al-‘alam yakni bentuk atau rupa alam yang sebelumnya belum tampak dalam tajallī Ilahi. Sementara wujud yang menampakkan bentuk-bentuk itu tetap satu, yakni wujud Allah sendiri. Seperti yang dinyatakan oleh Syekh Sa’id:

وَأَمَّا القَائِلُونَ بِالوَحْدَةِ، فَهُمْ يَعْتَقِدُونَ أَنَّهُ لَا وُجُودَ إِلَّا الوُجُودَ الوَاجِبَ، وَهُوَ وُجُودٌ وَاحِدٌ لَا يَتَعَدَّدُ وَلَا يَتَكَثَّرُ، وَأَمَّا العَالَمُ فَهُوَ مَوْجُودٌ بِنَفْسِ وُجُودِ اللهِ تَعَالَى، لَا بِإِيجَادِهِ، بِمَعْنَى أَنَّ العَالَمَ إِنَّمَا هُوَ صُورَةٌ وَمَظْهَرٌ لِلوُجُودِ الإِلٰهِـيِّ، وَلَمْ يَحْدُثْ وُجُودُ العَالَمِ بَعْدَ عَدَمِهِ، بَلِ الحَادِثُ عِندَهُمْ إِنَّمَا هُوَ صُورَةُ العَالَمِ بَعْدَ عَدَمِهَا، وَالصُّورَةُ عَيْنُ المَظْهَرِ الإِلٰهِـيِّ، وَلِذٰلِكَ يَقُولُونَ إِنَّ اللهَ تَعَالَى تَجَلَّى لِنَفْسِهِ. (منح الودود في بيان مذهب  وحدة الوجود، ص١٧)

Menurut mereka, alam semesta tidak memiliki wujud tersendiri, melainkan ada dengan wujud Allah sendiri, bukan dengan perbuatan penciptaan Allah. Dengan kata lain, alam hanyalah bentuk atau manifestasi dari wujud Ilahi itu sendiri. Jadi, menurut pandangan mereka, keberadaan alam bukanlah muncul setelah sebelumnya tiada, melainkan yang baru (hadits) hanyalah bentuk atau rupa alam itu sendiri setelah sebelumnya belum tampak. Bentuk atau rupa tersebut pada hakikatnya adalah manifestasi dari penampakan Ilahi (al-mazhar al-ilahi). Oleh sebab itu, mereka mengatakan bahwa Allah menampakkan diri-Nya (tajalli li-nafsihi). (Minah al-Wadud fi Madzhab Wahdat al-Wujud hal. 17)

Dengan demikian, yang disebut makhluk pada hakikatnya bukanlah sesuatu yang memiliki wujud tersendiri, melainkan bentuk penampakan (tajalli) dari wujud Allah yang azali. Oleh sebab itu, mereka berkata bahwa Allah menampakkan diri-Nya kepada diri-Nya sendiri (tajalli linafsihi) dan dari penampakan inilah muncul berbagai rupa keberagaman yang kita saksikan di alam.

  1. Wujud Mumkin tidak mustahil ada

Ahlus Sunnah menjelaskan bahwa seluruh wujud terbagi menjadi dua: yang wajib ada (wajib al-wujud), yaitu Allah, dan yang mungkin ada (mumkin al-wujud), yaitu makhluk. Sesuatu Yang “mungkin” berarti bisa ada dan bisa tidak ada. Jika sesuatu itu ada, ia dapat disifati dengan hal-hal yang berlawanan seperti bergerak dan diam, panjang dan pendek, atau sifat-sifat lain sesuai bentuknya. Bahkan makhluk non jasmani seperti malaikat pun tetap dapat berbeda dalam sifat dan bentuknya. (Foudah, 2002 : 18)

Namun, para pengikut Wahdatul Wujud menolak adanya “kemungkinan wujud” bagi selain Allah. Bagi mereka, sesuatu yang disebut “mumkin” tidak memiliki wujud hakiki, yang benar-benar ada hanyalah Allah semata. Makhluk hanyalah mahiyaat (unsur-unsur) yang tidak memiliki eksistensi sendiri, tetapi menjadi penampakan (tajalli) dari wujud Allah. Jadi, semua yang tampak di alam semesta hanyalah bentuk-bentuk manifestasi dari satu wujud tunggal yaitu al-wujud al-Ilahi. (Foudah, 2002 : 18)

Perumpamaannya seperti gambar di layar televisi: kita melihat beragam bentuk dan warna, tetapi yang sebenarnya ada hanyalah cahaya yang menampakkan diri dalam rupa-rupa gambar. Begitu pula, wujud alam hanyalah “pantulan” dari wujud Allah.

Maka menurut mereka, tidak ada wujud yang hakiki selain Allah. Alam semesta hanyalah bentuk-bentuk tampilan (quyud) dari wujud tunggal itu. Ketika seseorang berhasil menyingkap tabir bentuk-bentuk tersebut melalui mujahadah, ia akan sampai pada kesadaran bahwa hakikat semua yang ada hanyalah Allah semata. Sebagaimana keterangan berikut:

وَكَذٰلِكَ فَلَا حَقِيقَةَ وَرَاءَ المَوْجُودَاتِ المُتَكَثِّرَةِ إِلَّا حَقِيقَةً وَاحِدَةً، وَهِيَ الوُجُودُ الإِلٰهِيُّ، فَهُوَ الظَّاهِرُ فِي المَظَاهِرِ، وَلَا وُجُودَ خَاصٌّ لِنَفْسِ العَالَمِ، بَلِ الوُجُودُ كُلُّهُ اللهُ تَعَالَى، وَلٰكِنَّ اللهَ تَعَالَى أَظْهَرَ صُورَةَ العَالَمِ فِي ذَاتِهِ، أَيْ إِنَّهُ تَجَلَّى بِصُورَةِ العَالَمِ، وَتَحَلَّى بِصُورَةِ المُمْكِنَاتِ، وَهٰذِهِ الصُّوَرُ هِيَ الَّتِي يُسَمُّونَهَا بِالقُيُودِ، الَّتِي إِذَا تَجَرَّدَ الوَاحِدُ عَنْهَا وَتَخَلَّصَ مِنْهَا بِالمُجَاهَدَاتِ عَرَفَ أَنَّهُ هُوَ، لَا غَيْرُهُ، أَيْ إِذَا اسْتَطَاعَ الإِنسَانُ أَنْ يَتَجَرَّدَ مِنْ مُلَاحَظَةِ هٰذِهِ الصُّوَرِ، فَإِنَّهُ سَيَعْرِفُ أَنَّ حَقِيقَةَ وُجُودِهَا الَّذِي وُجِدَتْ هِيَ بِهِ، إِنَّمَا هُوَ عَيْنُ وُجُودِ اللهِ تَعَالَى، لَا غَيْرَ وُجُودِ اللهِ تَعَالَى. (منح الودود في بيان مذهب  وحدة الوجود، ص١٧-١٨)

Demikian pula halnya dengan realitas wujud menurut paham Wahdatul Wujud: Tidak ada hakikat yang benar-benar ada di balik keberagaman alam semesta, kecuali hakikat tunggal yaitu wujud Ilahi. Dialah yang tampak dalam segala bentuk keberadaan (al-zahir fi al-mazahir). Dengan demikian, alam semesta tidak memiliki wujud khusus; seluruh wujud hakikatnya adalah Allah sendiri, yang menampakkan rupa alam di dalam Diri-Nya sendiri, yakni Allah menampakkan diri dalam rupa alam dan berhias dengan bentuk segala kemungkinan (mumkinat). Bentuk-bentuk inilah yang disebut oleh para sufi sebagai “quyud” (batasan-batasan atau ikatan). Apabila seseorang mampu melepaskan diri dari keterikatan dengan bentuk-bentuk tersebut melalui latihan spiritual (mujahadah), maka ia akan mengetahui bahwa hakikat wujud segala sesuatu itu tidak lain dan tidak bukan adalah wujud Allah semata. (Minah al-Wadud fi Madzhab Wahdat al-Wujud hal. 17-18).

  1. Wujud ‘Ain dan ‘Aradh

Para teolog Ahlussunnah membagi makhluk yang diciptakan (al-mawjudat al-haditsah) menjadi dua: a‘yan dan a‘rad.

A‘yan adalah zat yang dapat berdiri sendiri tanpa membutuhkan wadah lain, seperti benda berwujud (jisim). Ia disebut qā’im bi nafsihi karena eksistensinya tidak bergantung pada sesuatu yang lain. (Foudah, 2002 : 19)

Sementara A‘rad adalah sifat-sifat atau keadaan yang keberadaannya bergantung pada selainnya, misalnya warna, yang tidak bisa ada kecuali dalam benda berwarna. Dengan kata lain, sifat tidak memiliki wujud mandiri di alam luar, melainkan hanya sebagai perubahan yang terjadi pada zat. Keberadaannya bersifat tab‘i (bergantung), bukan asli (hakiki). (Foudah, 2002 : 19)

Perbedaan mendasar antara keduanya ialah zat tidak membutuhkan tempat untuk ada, hanya membutuhkan pencipta (fa‘il), sedangkan sifat membutuhkan keduanya pencipta dan tempat (mahal). Karena itu, ketergantungan sifat jauh lebih kuat daripada zat. Selain itu, Ahlus Sunnah juga menetapkan bahwa satu zat tidak bisa berdiri di atas zat lain, dan tidak mungkin zat menjadi wadah bagi zat lainnya. Zat hanya dapat menjadi tempat bagi sifat, bukan bagi zat lain. (Foudah, 2002 : 19)

Menurut paham Wahdatul Wujud, seluruh pembagian ini tidaklah menunjukkan keberadaan wujud-wujud yang berbeda. Mereka berpendapat bahwa hakikat wujud hanya satu  yaitu wujud Allah, Wajib al-Wujud. Segala sesuatu yang tampak di alam semesta, baik berupa zat maupun sifat, hanyalah penampakan (tajalli) dan bayangan (Suwar) dari wujud Ilahi yang berdiri dengan Dzat-Nya sendiri. (Foudah, 2002 : 20)

Sebagaimana Malaikat Jibril pernah menampakkan diri kepada Nabi Muhammad saw dalam rupa manusia tanpa berubah hakikatnya, demikian pula menurut mereka Allah menampakkan diri melalui bentuk-bentuk alam semesta. Alam hanyalah citra (Surah), sedangkan Allah adalah wujud hakiki (mahd al-wujud). Karena itu, hakikat alam tidak lain adalah manifestasi dari wujud Allah sendiri.

Meski demikian, pengikut Wahdatul Wujud tetap membedakan antara zat dan sifat, namun pembedaan itu bukan karena perbedaan wujud yang berdiri sendiri, melainkan karena perbedaan tajalli dalam satu wujud tunggal yang sama.

  1. Wujud hakiki

keyakinan para penganut paham Wahdatul Wujud meyakini bahwa seluruh alam semesta ini tidak memiliki wujud hakiki yang berdiri sendiri. Apa yang tampak di hadapan kita hanyalah citra, bayangan, dan tajallī (penampakan) dari wujud Allah. Dengan kata lain, setiap bentuk keberadaan di alam hanyalah manifestasi dari wujud Ilahi yang tunggal dan mutlak. Maka, menurut mereka, tidak ada sesuatu pun yang benar-benar memiliki wujud selain Allah Dialah satu-satunya yang benar-benar “ada”, sedangkan yang lain hanyalah bentuk penampakan dari keberadaan-Nya. Karena itu, mereka menegaskan bahwa “yang tampak” adalah Allah dalam bentuk ciptaan-Nya, bukan makhluk yang memiliki wujud mandiri. Maha Suci nama-Nya dari segala kekurangan dan pembatasan. (Foudah, 2002 : 20)

Adapun Ahl al-Haqq (golongan yang benar) yaitu para ulama Ahlus Sunnah wal Jama‘ah  berpendapat bahwa wujud itu memang beragam dan berbilang. Akan tetapi, keberagaman itu tidak berarti menyatukan antara wujud makhluk dengan wujud Khaliq (Pencipta). Wujud Allah  adalah wujud wajib (harus ada, tidak bergantung kepada apa pun), sedangkan wujud alam hanyalah wujud hadits (keberadaan yang baru dan bergantung pada Penciptanya). Tidak ada kesamaan hakikat antara keduanya kecuali dalam sekadar nama “wujud” saja  sebab kata “ada” yang disandarkan kepada Allah dan kepada makhluk hanya bersatu dalam lafaz, tetapi sepenuhnya berbeda dalam makna. Maka, bagaimana mungkin wujud yang baru yang bergantung dan fana itu disamakan dengan wujud yang qadīm, berdiri dengan diri-Nya sendiri, dan tidak membutuhkan siapa pun? (Foudah, 2002 : 21)

Dengan demikian, menurut pandangan Ahlussunnah, perbedaan antara wujud Allah dan wujud makhluk bukan hanya pada tingkat atau derajat, melainkan pada hakikat keberadaannya. Wujud Allah adalah asal dan sebab bagi segala wujud, sedangkan wujud makhluk hanyalah hasil ciptaan dan bergantung sepenuhnya kepada-Nya.

  1. Perbedaan Penetapan Hukum Syirik Dan Perbedaan Pemahaman Antara Wujud Hakiki dan Majazi  

Menurut para penganut paham Wahdatul Wujud, seseorang dianggap telah terjerumus ke dalam kemusyrikan apabila ia meyakini adanya wujud selain wujud Allah. Sebab, dalam pandangan mereka, hakikat Allah tidak lain adalah al-wujud itu sendiri  wujud murni yang mutlak dan tidak terbagi. Oleh karena itu, segala bentuk keberadaan selain Allah hanyalah penampakan semu dan tidak memiliki hakikat eksistensi. Mereka meniadakan keberadaan hakiki dari seluruh makhluk dan menganggap bahwa penyandaran “wujud” kepada alam semesta hanyalah bersifat majazi (kiasan). Dalam pandangan ini, selama wujud Allah adalah hakikat wujud itu sendiri, maka tidak boleh ada wujud lain yang disandarkan kepada selain-Nya. Segala sesuatu selain Allah berada dalam wilayah ketiadaan (‘adam), dan keberadaannya hanyalah penampakan atau bayangan dari wujud Ilahi yang tunggal. (Foudah, 2002 : 21)

Adapun menurut Ahl al-Sunnah wal Jama‘ah, pandangan tersebut tidak dapat diterima. Mereka menegaskan bahwa wujud alam bukanlah majazi dalam arti khayali, melainkan wujudnya hakiki, hanya saja berbeda secara hakikat dari wujud Allah SWT. Tidak ada keserupaan antara keduanya kecuali dalam penyebutan nama “wujud” saja. Maka, tidaklah seseorang dianggap musyrik hanya karena menetapkan adanya wujud bagi alam, sebab istilah “wujud” bagi makhluk memiliki makna yang hakiki dalam batas kemakhlukan. Penggunaan kata “wujud” untuk Allah dan untuk alam hanyalah bentuk lafaz musytarak (kata yang sama, namun berbeda makna dan hakikatnya). (Foudah, 2002 : 21)

Jika diperhatikan secara mendalam, perbedaan keduanya terletak pada hakikat keberadaan. Wujud Allah SWT adalah lidzatihi wa bi dzatihi yakni keberadaan yang muncul dari Dzat-Nya sendiri, berdiri dengan sendirinya tanpa bergantung pada apa pun. Sedangkan wujud alam adalah bi dzatihi wa li ghairihi ia memiliki wujud dengan dirinya, tetapi keberadaannya bergantung pada selainnya, yaitu Allah SWT. Artinya, alam memang bukan sekadar sifat (‘Arad) yang menempel pada sesuatu, tetapi ia tetap makhluk yang bergantung sepenuhnya kepada kehendak dan kekuasaan Allah. Sebab, zat alam tidak meniscayakan keberadaan secara rasional; akal justru memandang bahwa zat alam adalah mumkin al-wujud sesuatu yang mungkin ada dan mungkin tiada, tergantung pada keputusan Allah yang mengadakannya. (Foudah, 2002 : 21)

Keberadaan alam, menurut Ahlussunnah, bergantung sepenuhnya pada kehendak dan kekuasaan Allah. Jika Allah berkehendak menciptakan, maka alam pun terwujud dan selama kehendak-Nya itu tetap terkait dengan penciptaan, maka alam akan terus ada. Akan tetapi, jika hubungan kekuasaan Allah dengan alam terputus, maka alam pun akan lenyap, sebab ia tidak memiliki hak untuk tetap ada dengan dirinya sendiri. Dengan demikian, keberadaan alam bersifat bergantung dan tidak mandiri sedangkan keberadaan Allah bersifat mutlak dan mandiri.

Sebagian ulama Ahlussunnah, dalam menjelaskan hubungan ini, menggunakan istilah “majazi” terhadap wujud alam dalam arti nisbi (relatif), bukan dalam arti meniadakan hakikat. Mereka tidak bermaksud menolak keberadaan alam secara mutlak, melainkan ingin menegaskan bahwa dibandingkan dengan wujud Allah yang sempurna, wujud alam tampak seolah-olah majazi, sebab kelemahan dan kefanaannya. Maka, sebutan “majaz” di sini hanyalah perbandingan terhadap kekuatan dan kesempurnaan wujud Allah, bukan dalam arti alam tidak ada sama sekali. (Foudah, 2002 : 22)

Sebaliknya, penganut Wahdatul Wujud memahami “majaz” secara hakiki yakni bahwa alam benar-benar tidak memiliki eksistensi. Segala bentuk keberadaan hanyalah tajalli dari wujud Allah, bukan wujud yang berdiri di luar-Nya. Oleh karena itu, menurut mereka, seseorang belum mencapai tauhid sejati selama ia masih mengakui keberadaan alam sebagai sesuatu yang “ada”. Ia baru dianggap mencapai puncak tauhid apabila ia meyakini bahwa alam tidak memiliki wujud sama sekali, dan bahwa wujud yang tampak sebagai alam adalah wujud Allah itu sendiri. (Foudah, 2002 : 22)

Sementara itu, Ahlussunnah mendefinisikan tauhid secara berbeda. Menurut mereka, seseorang dianggap bertauhid sejati apabila ia meyakini bahwa segala sesuatu selain Allah adalah makhluk yang memiliki wujud berbeda dari wujud Allah, namun keberadaannya sepenuhnya bergantung kepada kehendak dan kekuasaan-Nya. Seseorang hanya disebut musyrik jika ia meyakini bahwa alam berdiri sendiri, terpisah dari kekuasaan dan pengaturan Allah. (Foudah, 2002 : 22)

Dengan demikian, tauhid menurut Wahdatul Wujud berarti: “Tidak ada wujud selain Allah SWT.” Sedangkan tauhid menurut Ahlussunnah berarti: “Tidak ada pencipta dan pengatur selain Allah SWT. Maka jelaslah bahwa kedua kelompok ini berbeda secara mendasar dalam memahami hakikat “wujud” dan “tauhid”. Ahlussunnah menolak segala bentuk penyatuan antara wujud Allah dan wujud makhluk, karena Allah adalah al-Wajib al-Wujud yang qadīm, sedangkan makhluk adalah al-hadits yang baru dan bergantung. Menyamakan keduanya berarti mencampuradukkan antara Sang Pencipta dan ciptaan-Nya, yang merupakan penyimpangan dari akidah yang benar.

  1. Konsep Wushul yang berbeda

Tasawuf menurut Ahlussunnah merupakan upaya sungguh-sungguh untuk melawan hawa nafsu yang bertentangan dengan syariat, serta melatih jiwa agar tunduk kepada ketentuan Allah. Melalui proses ini, seorang hamba berusaha menyucikan diri dan mencapai kesempurnaan spiritual yang sesuai dengan derajat kemanusiaannya. Dengan demikian, tasawuf adalah puncak pengamalan agama, bukan ajaran akidah tersendiri, melainkan penerapan paling tinggi dari nilai-nilai syariat. seperti yang dijelaskan oleh Syekh Sa’id dalam kitab Minah al-Wadud hal. 23:

التَّصَوُّفُ عِندَ أَهْلِ السُّنَّةِ عِبَارَةٌ عَنْ مُجَاهَدَةٍ لِلنَّفْسِ وَرَغَبَاتِهَا الْمُخَالِفَةِ لِلدِّينِ الْإِسْلَامِيِّ وَلِشَرِيعَةِ اللّهِ تَعَالَى، وَلَيْسَ كُلُّ رَغَبَاتِ النَّفْسِ مُخَالِفَةً لِلشَّرِيعَةِ، وَهُوَ أَيْضًا مُحَاوَلَةٌ دَائِمَةٌ لِتَرْوِيضِهَا عَلَى شَرْعِ اللّهِ تَعَالَى، وَالتَّرَقِّي بِهَا عَنْ طَرِيقِ الْتِزَامِهَا بِالشَّرِيعَةِ إِلَى أَعْلَى الْمَرَاتِبِ وَالْكَمَالَاتِ اللَّائِقَةِ بِالْوُجُودِ الْإِنسَانِيِّ. (منح الودود في بيان مذهب  وحدة الوجود: ص ٢٣)

Tasawuf menurut Ahl al-Sunnah adalah perjuangan melawan hawa nafsu dan keinginan-keinginan yang bertentangan dengan agama Islam dan syariat Allah Ta‘ālā. Namun, tidak semua keinginan nafsu itu bertentangan dengan syariat. Tasawuf juga merupakan usaha terus-menerus untuk melatih dan menundukkan nafsu agar tunduk kepada syariat Allah, serta mengangkat derajat jiwa manusia melalui ketaatan terhadap syariat hingga mencapai tingkatan kesempurnaan yang layak bagi eksistensi manusia. (Minah al-Wadud fi Madzhab Wahdat al-Wujud hal. 23)

Para sufi Ahlussunnah menjalani mujahadah bukan untuk melenyapkan diri (fana’ dzat), tetapi untuk menyempurnakan diri melalui kesadaran penuh akan ketergantungan mereka kepada Allah dalam setiap keadaan. Mereka tetap menyadari keberadaan diri yang lemah dan diciptakan, namun selalu merasa butuh kepada Allah. Inilah hakikat kerendahan dan kehambaan sejati yang menjadi inti tasawuf Sunni.

Berbeda halnya dengan penganut paham Wahdatul Wujud, yang meyakini bahwa tidak ada wujud hakiki selain Allah. Menurut mereka, alam semesta dan manusia hanyalah tajalli (penampakan) dari wujud Allah, bukan makhluk yang benar-benar memiliki wujud tersendiri. Mujahadah bagi mereka bertujuan mencapai kesadaran bahwa wujud makhluk hanyalah semu, dan bahwa hakikat dirinya adalah wujud Allah sendiri. Bagi mereka, keberagaman hanyalah ilusi, dan segala sesuatu pada dasarnya satu, yaitu Dzat Ilahi. (Foudah, 2002 : 23)

Dari pandangan ini, muncul pembedaan antara ‘awam dan khawas: yang pertama dianggap masih terikat dengan ilusi keberadaan makhluk, sedangkan yang kedua diyakini telah menyadari kesatuan mutlak antara dirinya dan Allah. Karena itu, menurut mereka, tidak ada wujud hadits yang ada hanyalah wujud qadim, yaitu wujud Allah yang menampakkan diri melalui hukum-hukum makhluk.

Penganut Wahdatul Wujud menolak istilah ittihad (penyatuan) yang menunjukkan adanya dua pihak, karena bagi mereka dualitas itu tidak ada keberagaman hanyalah ilusi semata. Mereka juga menolak konsep hulul (penyusupan atau peresapan), sebab hulul berarti keberadaan sesuatu dalam sesuatu yang lain, sedangkan bagi mereka tidak ada “sesuatu yang lain” selain Allah.

Oleh sebab itu, penolakan mereka terhadap hulul dan ittihad tidak menunjukkan bahwa mereka terbebas dari paham Wahdatul Wujud, sebab alasan penolakan mereka bukan karena meyakini adanya perbedaan antara Allah dan makhluk, tetapi justru karena mereka menolak keberadaan makhluk itu sendiri. (Foudah, 2002 : 25)

Sedangkan Ahlussunnah juga menolak konsep Hulul dan ittihad, namun dengan alasan yang berbeda. Mereka menolak keduanya karena mustahil Allah bersatu dengan makhluk-Nya atau meresap ke dalamnya. Penolakan mereka tidak didasari oleh penafian terhadap keberadaan makhluk, melainkan karena mustahil bagi Allah yang bersifat Qadīm dan Maha Suci untuk bersatu dengan sesuatu yang hadits (baru dan diciptakan). (Foudah, 2002 : 25)

Kritik Syekh Sa’id Foudah atas Syekh Abdul Ghani tentang Wahdatul Wujud ada yang benar dan sesat

Ketika Syekh Abdul Ghani menyebutkan makna Wahdatul Wujud yang ia yakini, ia menyinggung bahwa terdapat sebagian orang yang juga berbicara tentang Wahdatul Wujud, namun dengan makna yang batil, yang tidak beliau setujui. Seperti ungkapan beliau dalam kitab Idhah al-Maqshud min Wahdah al-Wujud  (hal. 17):

وَأَمَّا الْقَائِلُونَ بِوَحْدَةِ الْوُجُودِ مِنَ الْجُهَّالَةِ الْغَافِلِينَ وَالزَّنَادِقَةِ الْمُلْحِدِينَ، الزَّاعِمِينَ بِأَنَّ وُجُودَهُمْ الْمَفْرُوضَ الْمُقَدَّرَ هُوَ بِعَيْنِهِ وُجُودُ اللّهِ تَعَالَى، وَذَوَاتُهُمْ الْمَفْرُوضَةُ الْمُقَدَّرَةُ هِيَ بِعَيْنِهَا ذَاتُ اللَّهِ تَعَالَى، وَصِفَاتُهُمْ الْمَفْرُوضَةُ الْمُقَدَّرَةُ هِيَ بِعَيْنِهَا صِفَاتُ اللّهِ تَعَالَى، الَّذِينَ يَحْتَالُونَ بِذٰلِكَ عَلَى إِسْقَاطِ الْأَحْكَامِ الشَّرْعِيَّةِ عَنْهُمْ، وَإِبْطَالِ الْمِلَّةِ الْمُحَمَّدِيَّةِ، وَإِزَالَةِ التَّكْلِيفِ عَنْ نُفُوسِهِمْ، فَالطَّعْنُ عَلَيْهِمْ بِسَبَبِ الْقَوْلِ بِوَحْدَةِ الْوُجُودِ عَلَى هَذَا الْمَعْنَى الْفَاسِدِ طَعْنٌ صَحِيحٌ، وَعُلَمَاءُ الظَّاهِرِ مُثَابُونَ بِذٰلِكَ كَمَالَ الثَّوَابِ مِنَ الْمَلِكِ الْوَهَّابِ، وَالْعَارِفُونَ الْمُحَقِّقُونَ مَعَهُمْ فِي هَذَا الطَّعْنِ مِنْ غَيْرِ خِلَافٍ. (إيضاح المقصود من وحدة الوجود: ص ١٧)

“Adapun orang-orang yang mengatakan Wahdatul Wujud dari kalangan orang-orang bodoh, lalai, dan para zindiq yang atheis yang mengklaim bahwa keberadaan mereka yang dianggap ada dan diperkirakan itu adalah keberadaan Allah itu sendiri, dan bahwa zat mereka yang diperkirakan itu adalah zat Allah itu sendiri, serta bahwa sifat-sifat mereka yang diperkirakan itu adalah sifat-sifat Allah itu sendiri  mereka ini adalah orang-orang yang menipu diri mereka dengan dalih tersebut untuk menggugurkan hukum-hukum syariat dari diri mereka, membatalkan agama Muhammad saw, dan menghapus beban taklif (kewajiban) dari jiwa mereka. Maka celaan terhadap mereka karena ucapan tentang Wahdatul Wujud dengan makna yang rusak seperti ini adalah celaan yang benar. Para ulama Zhahir (yang berpegang pada syariat lahir) diberi pahala yang sempurna atas celaan itu oleh Raja Yang Maha Pemberi (Allah). Dan para arif sejati dari kalangan ahli hakikat pun sepakat dengan mereka (para ulama Zhāhir) dalam celaan tersebut tanpa ada perbedaan pendapat.”. (Idhah al-Maqshud min Wahdah al-Wujud,17)

Kemudian syekh abdul ghani menyebutkan ucapan al-Jili yang mencela kelompok tersebut, lalu berkata:

هٰذَا عَنِ الْقَائِلِينَ بِوَحْدَةِ الْوُجُودِ عَلَى حَسَبِ مَا ذَكَرْنَاهُ مِنَ الْمَعْنَى الْفَاسِدِ، وَلَكِنْ عُلَمَاءُ الظَّاهِرِ إِذَا تَرَقَّوْا مِنَ الطَّعْنِ فِي هَؤُلَاءِ الرُّعَاعِ السَّفَلَةِ الْمَارِقِينَ مِنَ الدِّينِ مُرُوقَ السَّهْمِ مِنَ الرَّمِيَّةِ إِلَى الطَّعْنِ فِي تِلْكَ السَّادَةِ الْأَئِمَّةِ الْعَارِفِينَ الْمُحَقِّقِينَ بِظَنِّهِمْ أَنَّهُمْ يَقُولُونَ بِوَحْدَةِ الْوُجُودِ مِثْلَ قَوْلِهِمْ، كَانَ ذَلِكَ أَمْرًا شَنِيعًا فِي الدِّينِ، وَلَا يُرْضِيْ مَنْ يُؤْمِنُ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ. (إيضاح المقصود من وحدة الوجود، ص ١٨)

“Hal ini mengenai orang-orang yang mengatakan Wahdatul Wujud sesuai dengan makna rusak yang telah kami sebutkan. Akan tetapi, jika para ulama Zhahir telah melampaui batas dengan mencela orang-orang hina dan rendah itu yang telah keluar dari agama seperti melesatnya anak panah dari busurnya hingga mereka beralih mencela para tokoh besar, para imam arif sejati, dengan prasangka bahwa mereka berkata tentang Wahdatul Wujud sebagaimana yang dikatakan oleh kaum sesat itu, maka hal tersebut adalah sesuatu yang sangat buruk dalam agama, dan tidak diridhai oleh siapa pun yang beriman kepada Allah dan hari akhir.” (Idhah al-Maqshud min Wahdah al-Wujud, 18)

Pernyataan tersebut ditanggapi oleh Syekh Sa’id Foudah bahwa makna batil dari Wahdatul Wujud menurut al-Nabulusi (W 1143 H) adalah keyakinan bahwa keberadaan manusia yang terbatas dan relatif ini adalah sama persis dengan keberadaan Allah. Untuk memperjelas hal itu Syekh Sa’id menjelaskan bahwa menurut Syekh abdul Ghani terdapat dua perkara wujud:

Wujud Mutlak, yaitu hakikat keberadaan yang merupakan keberadaan Allah sendiri. Wujud Muqayyad (terbatas), yakni pembatasan-pembatasan atau bentuk-bentuk penampakan dari wujud mutlak tersebut, yang oleh para penganut Wahdatul Wujud disebut sebagai Suwar (gambaran), Zuhurat (manifestasi), atau taqyidat (batasan-batasan). Dengan demikian Syekh abdul Ghani meyakini terdapat dua tingkatan keberadaan. (Foudah, 2002 : 64)

Wujud Allah menurut al-Nabulusi (W 1143 H) adalah wujud yang mutlak tanpa batas apa pun, bahkan tanpa terikat oleh batas “kemutlakan” itu sendiri. Adapun wujud terbatas (muqayyad) adalah wujud makhluk yang mungkin (mumkin al-wujud), yang pada hakikatnya tidak benar-benar ada, melainkan semata-mata ketiadaan murni, tidak memiliki realitas eksistensial, dan penyandaran “wujud” kepadanya hanyalah secara majazi (kiasan), yang dapat dinafikan menurut kaidah bahasa. (Foudah, 2002 : 64)

Inilah inti makna Wahdatul Wujud. Sedangkan makna yang rusak dan batil yang ditegaskan oleh al-Nabulusi (W 1143 H) sebagai kesesatan adalah keyakinan bahwa wujud terbatas (muqayyad) itu adalah wujud Allah itu sendiri.

Kesimpulan dari pandangan tersebut menunjukkan adanya kesatuan dan penyatuan antara seluruh makhluk, dan keseluruhannya, sehingga disebut sebagai wujud Allah. Ini bukan lagi Wahdatul Wujud, melainkan Ittihad (penyatuan makhluk dengan Tuhan). Oleh karena itu, al-Nabulusi (W 1143 H) menolak paham ini karena menganggap bahwa menyamakan yang terbatas (muqayyad) dengan yang mutlak adalah batil. Makna ini batil menurut al-Nabulusi (W 1143 H) sebagaimana juga batil menurut para ulama Ahlus Sunnah. Namun, al-Nabulusi (W 1143 H) membatasi kebatilan hanya pada makna tersebut, sementara ia menganggap mazhabnya sendiri benar. Sedangkan para ulama Ahlus Sunnah membatalkan kedua makna sekaligus: baik makna yang ia benarkan maupun makna yang ia tolak. (Foudah, 2002 : 65)

al-Nabulusi (W 1143 H) menggambarkan seolah-olah para ulama Ahlus Sunnah hanya memperhatikan kebatilan makna Wahdatul Wujud yang rusak, lalu menjadikannya alasan untuk menolak makna “benar” yang ia yakini. Ia menilai hal itu tidak sesuai dengan syariat, sebab menurutnya, makna yang ia yakini adalah kebenaran itu sendiri.

Namun pada kenyataannya, Ahlus Sunnah menolak kedua-duanya baik makna yang “dibenarkan” oleh al-Nabulusi (W 1143 H) maupun makna yang “dibatalkan” olehnya. al-Nabulusi (W 1143 H) menentang sikap ini, ia menginginkan agar para ulama Ahlus Sunnah membenarkan makna Wahdatul Wujud menurut versinya, dan hanya membatalkan makna yang ia sendiri tolak. Sikap semacam ini jelas keliru dan tidak benar. (Foudah, 2002 : 65)

Syekh Sa’id tidak peduli apakah al-Nabulusi (W 1143 H) marah karena orang-orang tidak sepakat dengannya; yang penting bagi beliau adalah agar Allah tidak murka kepada kita, dan menjauhkan kemurkaan-Nya hanya dapat dilakukan dengan mengikuti kebenaran semata, apapun pendapat manusia  baik al-Nabulusi (W 1143 H) sependapat maupun tidak.

Adapun wujud yang disebut al-Nabulusi (W 1143 H) sebagai “wujud yang diperkirakan dan diandaikan (al-wujud al-muqaddar al-mafrud)” tidak lain hanyalah kebatilan murni di alam nyata, tidak memiliki eksistensi apa pun; atau jika dianggap sebagai ‘arad (sifat yang bergantung) pada wujud qadim (Allah), maka itu pun batil secara mutlak. (Foudah, 2002 : 65)

Sesungguhnya pandangan al-Nabulusi (W 1143 H) tentang Wahdatul Wujud, yang sejatinya sama dengan pandangan Ibn ‘Arabi, Syekh Sa’id menganggap pandangan tersebut sangatlah ganjil  bahkan mengherankan. Keanehan itu tampak dalam ucapannya dalam kitab Idhah al-Maqshud min Wahdah al-Wujud Hal. 19:

وَالْوُجُودُ الْمَفْرُوضُ الْمُقَدَّرُ عَدَمٌ صِرْفٌ فِي نَفْسِهِ، وَإِنَّمَا الْوُجُودُ الْمُحَقَّقُ وُجُودُ الْحَقِّ تَعَالَى وَحْدَهُ الْخَالِقُ، أَيْ الْفَارِضُ الْمُقَدِّرُ لِكُلِّ شَيْءٍ، أَوِ الْمُوجِدُ بِطَرِيقِ الْفَرْضِ وَالتَّقْدِيرِ لِكُلِّ شَيْءٍ، وَلَا يُقَالُ: لَوْ كَانَ كُلُّ شَيْءٍ مِنَ الْمَخْلُوقَاتِ مَفْرُوضًا مُقَدَّرًا لَمَا كَانَ كَمَا نُشَاهِدُهُ مَحْسُوسًا وَمَعْقُولًا ثَابِتًا مَوْجُودًا مُحَقَّقًا، لِأَنَّا نَقُولُ: فَرْضُ اللّهِ وَتَقْدِيرُهُ لِوُجُودَاتِ الْأَشْيَاءِ فِي أَعْيَانِهَا لَيْسَ كَفَرْضِنَا نَحْنُ وَتَقْدِيرِنَا لِلشَّيْءِ الْمَعْدُومِ، وَقَدْ جَعَلَ اللّهُ تَعَالَى مَا نَفْرِضُهُ وَنُقَدِّرُهُ أَنْزَلَ رُتْبَةً مِنَّا لِيَكُونَ ذَلِكَ فِينَا مِثَالًا لِمَا يَفْرِضُهُ اللّهُ تَعَالَى وَيُقَدِّرُهُ مِنْ وُجُودَاتِ الْأَشْيَاءِ الْمَعْدُومَةِ، وَأَنَّهَا أَنْزَلُ مِنْهُ تَعَالَى فِي الْوُجُودِ. (إيضاح المقصود من وحدة الوجود، ص ١٩)

“Keberadaan ًWujud Mafrud al-Muqaddar itu adalah ketiadaan murni pada dirinya sendiri. Keberadaan yang hakiki hanyalah keberadaan Allah semata  Dialah Pencipta, yakni Dzat yang menentukan dan mengendalikan segala sesuatu, atau yang mengadakan segala sesuatu melalui jalan penentuan dan pengandaian. Maka jangan dikatakan: jika segala sesuatu dari makhluk hanyalah sesuatu yang diperkirakan dan diandaikan, tentu tidak akan kita saksikan sebagai sesuatu yang nyata, dapat dirasakan, dipahami, tetap, dan benar-benar ada. Kami jawab: penentuan dan pengandaian Allah atas wujud makhluk dalam realitasnya tidaklah sama dengan pengandaian kita terhadap sesuatu yang tiada. Allah menjadikan apa yang kita andaikan dan perkirakan di dalam diri kita sebagai contoh kecil dari bagaimana Allah menentukan dan mengandaikan wujud makhluk yang sebelumnya tiada. Dan makhluk itu berada pada derajat yang lebih rendah daripada wujud Allah dalam keberadaannya. (Idhah al-Maqshud min Wahdah al-Wujud, 19).

Syekh Sa’id memahami ungkapan Syekh Abdul Ghani bahwa Menurutnya, segala yang ada di alam hanyalah sekadar penentuan dan pengandaian dalam diri Allah. Ia menegaskan bahwa Wujud al-Mafrud dan Wujud al-Muqaddar itu bukanlah sama dengan “dzat yang menentukan” dan “yang mengandaikan”. Untuk menjelaskan maksudnya, ia membuat analogi dengan penentuan dan pengandaian yang kita lakukan dalam diri kita: hal-hal yang kita bayangkan atau andaikan itu lebih rendah tingkat keberadaannya dibandingkan dengan keberadaan diri kita sendiri, dan meskipun demikian, ia tetap hanyalah suatu andaian dan bayangan belaka. (Foudah, 2002 : 66)

Wujud al-Mafrud dan Wujud al-Muqaddar itu tempatnya hanya dalam diri kita, tidak memiliki eksistensi di luar. Maka, makhluk-makhluk ciptaan menurut al-Nabulusi (W 1143 H) tidak lain hanyalah sekadar pengandaian dan perkiraan dalam diri Allah, sehingga allahlah yang memiliki wujud hakiki. Sebagaimana Wujud al-Mafrud atau Wujud al-Muqaddar yang ada dalam diri manusia tidak memiliki keberadaan luar, demikian pula makhluk tidak memiliki keberadaan kecuali sebagai perkiraan atau bayangan dalam diri Allah.

Dengan demikian, menurut syekh Abdul Ghani seluruh alam ini tidak lain hanyalah sekadar perkiraan atau bayangan dari Wajib al-Wujud (Allah), yaitu wujud mutlak. Semua Wujud al-Muqaddar hanyalah perkara yang wujud tapi tidak nyata dalam realita (i‘tibarat) yang melekat pada Dzat Allah semata, tidak memiliki eksistensi tersendiri kecuali di dalam Dzat-Nya. Inilah yang dimaksud dengan Wahdatul Wujud. (Foudah, 2002 : 66) Oleh karena itu, Konsep seperti ini sangat ditentang oleh Mutakallimin karena tidak selaras dengan Akidah Ahlussunnah yang sudah dijelaskan di bab-bab sebelumnya.


Kritik Syekh Sa’id Foudah atas Syekh Abdul Ghani tentang kekafiran seseorang yang tidak percaya Wahdatul Wujud 

 Menurut al-Nabulusi (W 1143 H), Wahdatul Wujud ini adalah mazhab yang benar, tanpa sedikitpun keraguan di dalamnya. Barang siapa menolaknya berarti kafir. beliau berkata dalam kitab Idhah al-Maqshud min Wahdah al-Wujud hal. 19:

فَإِذَا حَكَمْنَا عَلَى الْجَاهِلِ بِمَا يَرَى فِي مَذْهَبِهِ حَكَمْنَا بِكُفْرِهِ، حَيْثُ أَنْكَرَ مَا هُوَ الْحَقُّ عِنْدَ أَهْلِ الْحَقِّ. (إيضاح المقصود من وحدة الوجود، ص ١٩)

“Apabila kami memutuskan hukum terhadap orang jahil berdasarkan apa yang tampak dalam mazhabnya, maka kami menghukuminya kafir karena ia telah mengingkari kebenaran yang merupakan kebenaran di sisi para ahli hak.”(Idhah al-Maqshud min Wahdah al-Wujud, 19).

Dari kutipan di atas Wahdatul Wujud menurut al-Nabulusi (W 1143 H) adalah suatu kebenaran yang pasti dan teguh, dan barang siapa menentangnya, maka tidak diragukan lagi bahwa ia kafir. Pada akhir risalahnya, al-Nabulusi (W 1143 H) memberikan sebuah nasihat. beliau berkata dalam kitab Idhah al-Maqshud min Wahdah al-Wujud hal. 20: 

أَنَّ الْجَاهِلَ الَّذِي لَا يَعْرِفُ عُلُومَ الْأَذْوَاقِ، وَإِنَّمَا عِلْمُهُ الَّذِي هُوَ غَيْرُ عَامِلٍ بِهِ أَيْضًا مَأْخُوذٌ مِنَ الْكُتُبِ وَالْأَوْرَاقِ، لَهُ مَنْدُوحَةٌ عَنِ الْإِنْكَارِ، وَهُوَ تَحْسِينُ الظَّنِّ بِاللّهِ تَعَالَى، وَالِاعْتِرَافُ بِأَنَّهُمْ أَعْلَمُ مِنْهُ بِاللّهِ تَعَالَى، وَأَنَّهُ جَاهِلٌ بِكَلَامِهِمْ، فَلَا ضَرُورَةَ لَهُ فِي الْإِنْكَارِ عَلَيْهِمْ، مَعَ عِلْمِهِ بِكُفْرِ مَنْ أَنْكَرَ الْحَقَّ إِجْمَاعًا. (إيضاح المقصود من وحدة الوجود، ص ٢٠)

Seorang yang jahil  yang tidak mengenal ilmu adzwaq (pengalaman spiritual batin), dan ilmunya pun hanya sebatas pengetahuan teoritis yang tidak diamalkan, diperoleh dari buku-buku dan lembaran-lembaran hendaknya tidak tergesa-gesa mengingkari (Wahdatul Wujud). Ia seharusnya berbaik sangka kepada Allah, mengakui bahwa para pengamal ajaran tersebut lebih mengetahui tentang Allah dibanding dirinya, serta menyadari bahwa ia tidak memahami ucapan mereka. Oleh karena itu, tidak ada keharusan baginya untuk mengingkari mereka, karena ia tahu bahwa mengingkari kebenaran secara ijma’ (kesepakatan ulama) adalah kekufuran. (Idhah al-Maqshud min Wahdah al-Wujud,  20).

Kesimpulan dari nasihat ini menurut Syekh Sa’id ialah bahwa orang yang menentang Wahdatul Wujud sebagaimana yang dijelaskan oleh al-Nabulusi (W 1143 H), tidak lain adalah orang yang jahil tentang Allah. Sedangkan orang yang meyakininya, tidak diragukan lagi termasuk para ‘arifin al-kamilin (arif billah yang sempurna) yang tidak boleh ditentang ataupun diingkari. Karena itu, apabila seorang penentang mengakui bahwa derajat keilmuannya berada di bawah para pendukung Wahdatul Wujud, maka kewajibannya adalah berbaik sangka terhadap ucapan mereka. (Foudah, 2002 : 67)

Namun, Menurut Syekh Sa’id nasihat ini dibangun di atas dasar yang batil, dan segala sesuatu yang dibangun di atas kebatilan adalah batil pula. Sebab nasihat yang benar semestinya diberikan setelah tegaknya hujjah (bukti yang sah), sedangkan al-Nabulusi (W 1143 H) tidak pernah menegakkan hujjah terhadap siapa pun. Semua yang ia ulang-ulang dalam tulisannya hanyalah sekadar menuduh pihak yang berbeda pendapat sebagai “jahil”, sementara pihaknya sendiri digambarkan sebagai “berilmu”. Tuduhan semacam itu tidak dapat diterima, sebab ia tidak mengemukakan satupun dalil yang sahih untuk membenarkan dirinya. (Foudah, 2002 : 67)

kemudian Syekh Sa’id melanjutkan tanggapannya bahwa memang al-Nabulusi (W 1143 H) pernah menunda penyajian dalil-dalilnya ke tempat lain dalam karya-karyanya. Akan Tetapi Syekh Sa’id telah menelusuri beberapa tulisannya yang berisi dalil-dalil tersebut dan beliau telah membantah seluruhnya dan menjelaskan kelemahan hujjahnya, serta menegaskan bahwa semua yang ia anggap sebagai dalil tidak lain hanyalah sekadar ilusi dan dugaan semata. (Foudah, 2002 : 67)

Bagaimana mungkin al-Nabulusi (W 1143 H) meremehkan orang-orang yang menimba ilmu dari buku-buku, padahal Allah telah menurunkan Kitab-Nya (Al-Qur’an) sebagai petunjuk bagi manusia dan pembeda antara yang benar dan yang batil. Allah tidak menjadikan hujjah-Nya pada kasyf sebagaimana yang disebut oleh al-Nabulusi (W 1143 H) tentang para arif, tetapi menjadikan hujjah-Nya berada dalam Kitab-Nya yang mulia dan menandainya dengan akal yang sehat. (Foudah, 2002 : 67)

Syekh Sa'id menganggap bahwa tujuan al-Nabulusi (W 1143 H) tidak lain hanyalah menjadikan kasyf sebagai bukti atas kebenaran Wahdatul Wujud. Padahal, kami tidak mengakui adanya kasyf seperti itu. Para ulama Ahlus Sunnah telah menegaskan bahwa kasyf bukanlah termasuk jalan untuk memperoleh ilmu dan ma‘rifah yang sahih di sisi Ahlul Haqq. Adapun para penganut Wahdatul Wujud justru menjadikan kasyf dan ilham sebagai jalan utama untuk meraih pengetahuan. Dengan demikian, mereka jelas menyelisihi Ahlus Sunnah dan Ahlul Haqq. (Foudah, 2002 : 67-68)

Hal yang paling mengherankan dalam kitab tersebut adalah apa yang dinukil al-Nabulusi (W 1143 H) dari Syaikh Ahmad al-Qusyasyi al-Madani dalam risalahnya tentang Wahdatul Wujud, dari Ibnu Kamal Basya ra (dan ia menegaskan bahwa ia menyalinnya langsung dari tulisan tangan beliau), yaitu pernyataan bahwa “wajib bagi penguasa (wali al-amr) untuk memaksa rakyat agar berpegang pada ajaran Wahdatul Wujud.” (Foudah, 2002 : 68) Syekh Sa’id sampai terheran-heran Manakah yang lebih jelas hujjahnya dan lebih kuat dalilnya: Wahdatul Wujud ini, atau apa yang diriwayatkan oleh Imam Malik dalam al-Muwatta’? Padahal Imam Malik sendiri menolak tawaran khalifah yang ingin memaksa manusia mengikuti pendapat yang tertulis dalam kitabnya. Akan tetapi, kita justru melihat al-Nabulusi (W 1143 H) mendukung pendapat yang mewajibkan seorang imam (penguasa) memaksa manusia untuk mengikuti Wahdatul Wujud sebuah mazhab yang diperdebatkan keras oleh para ulama, sampai-sampai sebagian besar di antara mereka mengkafirkan orang yang meyakininya dan menuduhnya sebagai zindiq. (Foudah, 2002 : 68)

Syekh Sa’id mendapati al-Nabulusi (W 1143 H) justru menganggap wajib berpegang pada ajaran ini dan bahkan menilai bahwa penguasa harus memaksa umat untuk meyakininya.  Sikap seperti ini sangat mirip dengan sikap kaum Mu‘tazilah, yang melampaui batas dalam keyakinan mereka bahwa Al-Qur’an adalah makhluk (khalq al-Qur’ān), hingga mereka memaksa manusia untuk mengucapkannya. Seandainya mereka membiarkan urusan ini diserahkan kepada dalil dan membiarkan manusia mendiskusikannya dengan bebas, niscaya tidak akan ada seorang pun yang mengingkari mereka sebagaimana mereka dulu diingkari. Bahkan, mereka mungkin akan memiliki kedudukan besar dalam sejarah kaum muslimin. 

Hal ini menjadi komentar terakhir Syekh Sa’id terhadap isi risalah Syaikh ‘Abd al-Ghanī al-Nabulusi (W 1143 H) yang beliau tuangkan dalam kitabnya yang berjudul Minah al-Wadud.

PENUTUP

Sikap terhadap Ungkapan Nyeleneh dari pengikut Paham Wahdatul Wujud 

Pada dasarnya paham wahdatul wujud muncul dari ungkapan-ungkapan para sufi yang ketika dipahami oleh logika dasar manusia memiliki kesamaran bahkan disinyalir sebagai ungkapan kekufuran. Oleh sebab itu, perlu kehati-hatian dalam memahami paham tersebut. Karena terkadang para sufi yang dikaitkan dengan paham wahdatul wujud, bisa jadi mereka berkata demikian dalam keadaan Isyaq (diluar kesadaran).

Oleh karena itu, Syekh Zaruq (W 899 H) membuat sebuah kaidah bahwa setiap ungkapan atau paham yang Musykil seperti Wahdatul Wujud hanya dapat diterima jika sejalan dengan syariat dan hakikat. Bila ucapan tersebut bertentangan dengan keduanya, maka wajib ditolak. Namun jika masih bisa ditakwil sesuai kaidah akidah Ahlussunnah, maka penolakannya tidak boleh tergesa-gesa. sebagaimana ungkapan beliau dalam syarahnya atas Hizb al-Barr karya al-Syadzili, beliau berkata:

اِعْلَمْ أَنَّ الْكَلَامَ كُلَّهُ، مِنْ دُعَاءٍ أَوْ غَيْرِهِ، إِمَّا أَنْ يَكُونَ مُوَافِقًا لِلشَّرِيعَةِ، أَوْ لِلْحَقِيقَةِ، أَوْ لَهُمَا، فَإِنْ كَانَ خَارِجًا عَنْهُمَا، بِحَيْثُ لَا يُوَافِقُ أَصْلًا وَلَا فَرْعًا، فَهُوَ مَرْدُودٌ مِمَّنْ كَانَ بُرُوزُهُ فِي أَيِّ مَقَامٍ كَانَ، وَإِنْ كَانَ مُوَافِقًا لَهُمَا بِكُلِّ وَجْهٍ، فَقَبُولُهُ لَازِمٌ، وَرَدُّهُ تَعَسُّفٌ وَظُلْمٌ…

 … وَإِنْ كَانَ مُخَالِفًا لِأَحَدِهِمَا بِوَجْهٍ يَقْبَلُ التَّأْوِيلَ، تَعَيَّنَ رَدُّهُ لِلْآخَرِ بِتَأْوِيلِهِ الْقَابِلِ إِنْ ثَبَتَتْ مَزِيَّةُ صَاحِبِهِ، بِخِلَافِ مَا لَا يَقْبَلُ التَّأْوِيلَ، تَعَيَّنَ رَدُّهُ وَلَا مَزِيَّةَ لِصَاحِبِهِ. (شرح قواعد التصوف: ج ١، ص ٣١٤)

Ketahuilah bahwa setiap ucapan baik berupa doa maupun lainnya Adakalanya sesuai dengan syariat, atau dengan hakikat, atau dengan keduanya sekaligus. Apabila suatu ucapan keluar dari keduanya, sehingga tidak sesuai dengan syariat maupun hakikat, baik dari segi pokok maupun cabangnya, maka ucapan itu tertolak, siapapun orang yang mengucapkannya, dan pada maqam (kedudukan spiritual) apa pun ia berada. Namun jika suatu ucapan sesuai dengan keduanya secara sempurna, maka menerimanya adalah kewajiban, sedangkan menolaknya merupakan sikap memaksa dan zalim ... 

… jika suatu ucapan bertentangan dengan salah satunya (yakni syariat atau hakikat) tetapi masih dapat ditakwil (ditafsirkan dengan makna yang dapat diterima), maka wajib mengembalikannya kepada yang lain dengan takwil yang dapat diterima, apabila keutamaan (kedudukan ilmiah atau spiritual) orang yang mengucapkannya memang terbukti. Berbeda halnya jika ucapan itu tidak dapat ditakwil sama sekali, maka wajib ditolak, dan tidak ada keutamaan (pembenaran atau pengecualian) bagi orang yang mengucapkannya. (syarah Qawaid al-Tasawwuf, 1:314)

Syekh Zaruq (W 899 H) menjelaskan bahwa kemusykilan yang terjadi pada perkataan seorang sufi sering muncul karena dua sebab: (Zaruq, 2019 : 44)

  1. Keterbatasan ungkapan terhadap maksud batin: banyak terjadi pada sufi akhir zaman, hingga mereka dianggap kafir atau sesat, padahal maksud mereka sering kali adalah pengungkapan pengalaman fana’ dan ma‘rifah yang sulit diterjemahkan dengan kata-kata.

  2. Kerusakan pokok pemikiran (فَسَادُ اْلَأصْلِ) yakni ketika pondasi teologis dan epistemologinya keliru, maka wajar bila ucapannya ditolak secara tegas.

Dalam hal pertama, ulama memberi ‘udzur (maaf) kepada para sufi yang tidak mampu mengekspresikan pengalamannya dengan tepat. Sedangkan dalam hal kedua, mereka tidak segan menegur dan mengingkari karena menyangkut kemurnian tauhid.

Syekh Zaruq (W 899 H) menjelaskan bahwa kemusykilan-kemusykilan tersebut ditimbulkan oleh sempitnya bahasa dalam menampung pengalaman spiritual. (Zaruq, 2019 : 44) Hati seorang sufi yang sedang menyaksikan kehadiran Ilahi (musyahadah) tidak mampu mengungkapkan apa yang sedang para sufi rasakan, sehingga ketika diungkapkan menjadi ungkapan yang sukar dipahami. 

Maka, ketika al-Hajjaj berseru “Ana al-Haqq”, bisa jadi ia tidak bermaksud menyamakan dirinya dengan Tuhan, melainkan sedang mengalami fana’, yaitu lenyapnya kesadaran diri dalam kesadaran akan Tuhan. Namun, bagi orang yang mendengar tanpa pengalaman yang sama, ucapan itu terdengar kufur. 

Hal tersebut, juga senada dengan penjelasan Imam Ghazali dalam kitabnya al-Munqidz min al-dhalal yang dikutip oleh Syekh Idris Tayyib, Beliau berkata: 

إِنَّ الصُّوفِيَّةَ فِي تَرَقِّيهِمُ الرُّوحِيِّ يَقَعُونَ تَحْتَ حَرَجِ اللَّفْظِ الَّذِي لَا يَفِي بِوَصْفِ ذَرَّةٍ مِنْ أَحْوَالِهِمْ؛ فَهُمْ سَائِرُونَ مِنْ مُشَاهَدَةِ الصُّوَرِ وَالْأَمْثَالِ إِلَى دَرَجَاتٍ يَضِيقُ عَنْهَا نِطَاقُ النُّطْقِ؛

فَلَا يُحَاوِلُ مُعَبِّرٌ أَنْ يُعَبِّرَ عَنْهَا إِلَّا اشْتَمَـلَ لَفْظُهُ عَلَى خَطَإٍ صَرِيحٍ لَا يُمْكِنُهُ الِاحْتِرَازُ عَنْهُ. (شرح قواعد التصوف: ج ١، ص ٣١٥)

Sesungguhnya para sufi, dalam perjalanan rohaninya, berada dalam kesulitan mengungkapkan keadaan mereka dengan kata-kata karena bahasa tidak mampu menggambarkan bahkan sebutir kecil dari pengalaman batin mereka. Mereka berjalan dari tahap menyaksikan bentuk dan perumpamaan menuju tingkatan-tingkatan yang tidak dapat dijangkau oleh batasan ucapan. Maka setiap orang yang mencoba mengungkapkannya dengan kata-kata, pasti ucapannya mengandung kesalahan yang nyata, yang tidak mungkin dapat dihindari. (syarah Qawaid al-Tasawwuf, 1:315)

Berdasarkan apa yang telah disebutkan, maka jika seorang sufi mencoba untuk mengungkapkan kedekatan (spiritual) dengan Allah, maka ia seringkali keliru dalam ungkapannya, sehingga ada kelompok yang memahami hal itu sebagai paham hulul (penyatuan Tuhan dengan makhluk), kelompok lain sebagai ittihad (kesatuan dengan Tuhan), dan kelompok lain sebagai wushul (pencapaian Tuhan secara langsung); dan semuanya itu adalah salah.”

Berdasarkan keterangan di atas paham semacam ini harus diukur dengan dua timbangan:

  • Timbangan zahir syariat, untuk menjaga batas tauhid agar tidak terhapus oleh majaz dan intuisi.

  • Timbangan hakikat batin, untuk memahami bahwa di balik kata yang kasar ada makna yang lembut dan luhur.

Ketika keduanya dipertemukan, barulah seseorang bisa bersikap adil dalam menilai para sufi.

Syekh Ahmad Zaruq juga menjelaskan bahwa semua perkara yang ditolak dari paham-paham seperti Wahdatul  kembali kepada tiga hal: (Tayyib, 2022 : 316)

  1. Apa yang terjadi pada mereka dari ungkapan-ungkapan

Ungkapan mereka dalam beberapa keyakinan agama yang menimbulkan kesan hulul (Tuhan bersemayam pada makhluk) dan ittihad (kesatuan mutlak antara Tuhan dan makhluk), adalah hal yang tidak mungkin diucapkan bahkan oleh anak kecil yang lemah akalnya, maka bagaimana mungkin hal itu disandarkan kepada para ahli ilmu dan iman?

Karena itu, wajib menakwil (menafsirkan) ucapan-ucapan tersebut sesuai dengan kaidah-kaidah akidah Ahlus Sunnah, sebab tidak ada jalan yang benar selain itu; bahkan jalan spiritual (as-sair wa as-suluk) pada hakikatnya bertujuan untuk merealisasikan kebenaran akidah tersebut. Jika tidak ditemukan kemungkinan untuk menakwilnya, maka wajib menyerahkan penilaiannya kepada hukum syariat apakah termasuk kufur atau bukan dan mengembalikan hakikat pengetahuan tentang keyakinan orang yang mengucapkannya kepada Allah, karena masih adanya kemungkinan (takwil atau maksud lain) dalam perkara tersebut.

Abu Abdullah al-Quri ra gurunya syekh Zaruq (W 899 H) pernah ditanya tentang Ibn Arabi Al-Hatimi; maka dia berkata: “Saya tahu setiap ilmu dari ahli setiap ilmu”. tetapi penanya tidak paham maksud dari Imam al-Quri , sehingga dia berkata: “Kami tidak bertanya tentang itu”. sehingga Imam al-Quri menjawab : “Telah terjadi perselisihan tentang dirinya dari tuduhan kufur hingga (dianggap sebagai) wali quthub”. Penanya berkata lagi: Apa yang lebih kuat?' Dia berkata: berserah diri (taslim). 

Sedangkan menurut syekh Zaruq (W 899 H) bahwa pengkafiran itu berbahaya, dan meninggalkan pengkafiran di tempatnya adalah pengkhianatan terhadap syariat. Tidak ada yang lebih bodoh daripada orang yang fanatik terhadap kebatilan dan menolak sesuatu yang ia tidak mengetahuinya. oleh karena itu, tuan saya sayyid Abdullah al-Quri ra suatu hari berkata: 

“Demi Allah, ia memang layak untuk diingkari, tetapi hanya oleh seseorang yang lebih tinggi kedudukannya darinya, bukan oleh mereka yang masih dalam tingkatan yang rendah”

  1. Amal-Amal mereka. 

Syekh Zaruq (W 899 H) menjelaskan bahwa Al-Shushtari RA telah menyebutkan sekitar sembilan puluh perkara dalam sebuah kitab yang ia beri nama: 'Risalah Ilmiyah', dan ia menjawab semua perkara tersebut dengan ayat-ayat dan hadis-hadis Nabi, serta kaidah-kaidah yang jelas maupun yang tidak jelas. Namun, di antara sebagian perkara terdapat kelonggaran, dan beberapa di antaranya tidak sepatutnya dijadikan pegangan karena bahayanya; dan kelemahan hujjah-hujjahnya.

  1. Tuduhan-Tuduhan 

Dalam hal ini Syekh Zaruq (W 899 H) membagi menjadi tiga hal:

  • tuduhan tersebut merusak asas syariat; seperti mencela para nabi, ulama, dan sahabat yang diakui keutamaannya; maka ini tidak diperbolehkan, dan tidak ada keamanan bagi pelakunya, pada hal ini seseorang disebut zindiq, fasik, gila, atau tidak berakal.

  • Melanggar salah satu dari kaidah-kaidah syariat, seperti meninggalkan shalat dan melakukan dosa-dosa besar yang terlarang. Tidak lepas kemungkinan, apakah hal itu disebabkan oleh hilangnya akal; maka pelakunya diselamatkan karena ia dihukumi sebagai orang yang gila. Hal ini terjadi pada sesuatu yang sama sekali tidak diperbolehkan seperti meninggalkan sholat, namun apabila terjadi kepada sesuatu yang sama sekali tidak diperbolehkan seperti membunuh maka diberikan kepadanya penerapan hak syariat atasnya. Sedangkan jika terus-menerus melakukan dosa besar dengan tetap berakal, maka ini dihukumi sebagai kefasikan secara mutlak.

  • Tuduhan yang disertai hal-hal yang menunjukkan kesalehan dan ketaatan beragama, seperti mengikuti sunnah. Dalam kasus ini, pengingkaran tidak memiliki alasan kecuali karena beratnya sifat tabiat manusiawi atau kecenderungan untuk menonjolkan keistimewaan. Urusannya dalam hal ini dikembalikan kepada Allah SWT.

Syekh Zaruq (W 899 H) juga berpesan ketika menghadapi paham-paham sufi yang mukhtalaf fih (diperselisihkan) bagi orang yang ingkar lebih terkena udzur (celaan/aib), bagi orang yang pasrah atau taslim lebih selamat dan bagi orang yang berkeyakinan berada dalam bahaya, kecuali jika ia berhati-hati. Maka orang yang berkeyakinan lebih berbahaya dibandingkan orang yang mengingkari. Yang dimaksud dengan "orang yang mengingkari" di sini adalah mereka yang tidak mendasarkan pengingkarannya pada dasar dari Al-Qur'an atau Sunnah; jika berpegang pada Al-Qur'an atau Sunnah, maka tidak ada celaan bagi orang yang mengingkari dengan mendasarkan pada dasar yang benar. Hal ini karena pengamatan terhadap hakikat semata dapat mengganggu aspek tasawuf. Oleh karena itu, diperlukan kehati-hatian dalam penerimaan, yaitu bahwa tidak boleh diambil kecuali dari Al-Qur'an dan Sunnah. Maka, orang yang mendasarkan pada dasar yang benar tidak dicela oleh siapapun dari kalangan sufi. (Tayyib, 2022 : 317) 

Syekh Zaruq (W 899 H) juga menjelaskan ada golongan sufi yang menisbatkan dirinya dengan mazhab irfaniyah (tasawuf filsafat) telah menggunakan beberapa istilah simbolis yang tidak lazim, yang disebut sebagai syath seperti ungkapan-ungkapan dari Abu Yazid al-Bustami dan al-Hallaj, di mana mereka mengucapkan kata-kata yang tidak biasa dalam terminologi tasawuf akhlaki dan bertentangan dengan keyakinan agama. (Tayyib, 2022 : 317)

Imam Ghazali juga mengingatkan umat islam terhadap Syath ini yang tidak dapat dipahami, tetapi memiliki penampilan yang indah, dan di dalamnya terdapat ungkapan-ungkapan yang mengejutkan, namun tidak ada makna yang substansial di baliknya. (Tayyib, 2022 : 317) Ungkapan semacam itu merupakan embrio paham-paham sufi yang keluar dari pedoman al-Qur’an dan Sunnah, karena hal itu, dapat menimbulkan kebingungan pada keyakinan masyarakat sehingga banyak orang yang salah paham ketika menangkap paham tersebut. 

Hal Ini karena dzauq tidak dapat dibatasi oleh ungkapan. Setiap kali seorang sufi mencoba mengungkapkan perasaan batin-nya, ia pasti akan jatuh ke dalam kesalahan atau menciptakan ambiguitas yang dapat menyesatkan. Jika berasal dari sakr (mabuk spiritual), maka di dalamnya terdapat sifat sembrono dari irfaniyah (tasawuf filosofis). Jika berasal dari fana (lebur dalam Tuhan), maka di dalamnya terdapat realisasi kebenaran. (Tayyib, 2022)

Oleh sebab itu, memahami ucapan atau paham para sufi yang musykil menuntut keseimbangan antara:

  1. Tatsbit al-‘aqidah — meneguhkan Akidah Ahlussunnah agar tidak goyah oleh simbolisme.

  2. Husn al-ta’wīl — mencari makna yang selaras dengan prinsip tauhid dan keikhlasan para sufi.

  3. Adab al-‘arifīn — menjaga adab terhadap orang-orang yang mencapai kedekatan dengan Allah.


Aqidah Ulama Sufi

Mazhab sufi dalam bidang akidah sejalan dengan madzhab salaf dalam menetapkan sifat-sifat Allah. Mereka menegaskan kesucian Allah (tanzih) dari segala kekurangan dan menolak segala bentuk penyerupaan (tasybih) dengan makhluk. Dalam hal ini, mereka tidak terlibat dalam penafsiran rinci (takwil) dan tidak pula mengikuti pandangan yang menyimpang. Bila para sufi berbicara tentang ta’wīl pada situasi tertentu, hal itu dilakukan dalam konteks keilmuan semata untuk menunjukkan keluasan pemahaman mereka bukan sebagai keyakinan pasti yang harus dipegang secara mutlak. (Tayyib, 2022 : 318)

Mereka memegang prinsip sebagaimana yang dinyatakan oleh Imam Mālik RA tentang istiwa’ (bersemayam): “Istiwa’ itu maknanya dapat dipahami, namun bagaimana caranya tidak diketahui; beriman kepadanya wajib, dan mempertanyakan hakikatnya merupakan bid‘ah.” Menurut Syekh Ahmad Zarruq, bid‘ah yang dimaksud termasuk bid‘ah idhafiyyah dan bid‘ah khilafiyyah. (Tayyib, 2022 : 318)

Inilah pandangan yang diikuti oleh para fuqaha dan sufi dari kalangan Ahlussunah. Mereka menegakkan prinsip penyucian Allah dari segala sifat kekurangan dan menolak segala bentuk penyerupaan. Dalam persoalan yang samar, mereka bersikap tafwid (menyerahkan maknanya kepada Allah) dan berhenti pada teks sebagaimana adanya, tanpa menambah penafsiran kecuali jika diperlukan untuk menolak kesalahpahaman  itu pun tanpa berlebihan.

Adapun bila mereka melakukan ta’wil, maka itu dilakukan semata-mata dalam ranah ilmiah, bukan karena mereka meyakininya sebagai kebenaran mutlak. Mereka memandang ta’wil hanya sebagai salah satu kemungkinan makna yang dapat diterima, selama tidak bertentangan dengan prinsip akidah dan selama makna batilnya dapat ditolak secara pasti.

Oleh karena itu, kritikan dari ulama kalam seperti kritik tajam syekh Sa’id Foudah sangat penting dalam paham wahdatul wujud untuk menjadi batas, sehingga tidak menjadi paham yang dianggap benar tapi hakikatnya menyesatkan.


Kesimpulan

Ajaran atau ungkapan kaum sufi yang membingungkan, ada yang sesat dan tidak sesat. Dianggap sesat ketika menyalahi pondasi dasar agama. Tidak dianggap sesat ketika masih bisa ditakwil atau dipahami dengan sudut pandang yang berbeda dan hasilnya tidak menyalahi pondasi dasar agama, seperti ungkapan Sufi yang kesadarannya hilang karena terperangah dengan kedekatan dia kepada Allah.  Ketika dia mengungkapkan rasa dekatnya, apa yang dia rasakan tidak bisa terlukiskan dengan benar. sehingga menjadi ungkapan kontroversi bahkan menjadi ungkapan yang menyesatkan jika diikuti oleh orang lain.

Dalam hal ini, para ulama Ahlussunnah seperti Syekh Zaruq (W 899 H) telah meletakkan jalan tengah yaitu tidak menuduh secara gegabah, tetapi juga tidak membenarkan tanpa dasar. Orang yang mengingkari dengan ilmu tidak ada celaan baginya, orang yang pasrah lebih selamat, dan orang yang meyakini akan selamat selama berhati hati dan berpegang teguh pada al-Qur’an dan Sunnah.

Adapun dalam masalah wahdatul wujud maka ulama memiliki dua sikap jika dilihat dari pemaknaan paham tersebut. Pertama, yakni mereka yang mengartikan istilah tersebut dengan penyatuan pencipta dengan makhluk, tiada satupun yang wujud terkecuali Dia, segala sesuatu adalah Dia dan Dia pun adalah segala sesuatu itu dan segala sesuatu adalah tanda dari pada-Nya. Menurut Syaikh Yûsuf al-Khaththâr pemahaman demikian adalah kufur dan zindiq (atheis) dan sangatlah sesat melebihi kesesatan orang-orang Yahudi, Nasrani dan penyembah berhala (pagan). Kaum sufi pun yang dikatakan pencipta teori ini mengingkari jika istilah tersebut diartikan demikian.

al-'Arif Billah Abu Bakar Muhammad berkata: "Hati-hatilah wahai saudaraku untuk bergaul dengan orang yang mengatakan tiada apapun di sana kecuali Allah, serta melepas bebas hawa nafsunya. Karena hakikatnya, orang yang arif billah ketika benar serta kokoh syariatnya sedang ia mengucapkan kalimat tersebut, maka yang dimaksud dari ucapannya, bukanlah menggugurkan syariat dan hilangnya tuntutan syariat tersebut kepadanya (tidak sebagaimana yang sering diketahui selama ini yakni mereka yang telah sempurna menggunakan teori ini akan bebas dari tuntutan syariat, seperti shalat dengan alasan Tuhan tidak boleh menyembah dirinya sendiri)".

Kedua, Makna yang benar dalam wahdatul wujud yaitu mereka yang mengatakan Tuhan adalah bentuk asli dari makhluk. Mereka mengarahkan demikian karena istilah wahdatul wujud diarahkan pada al-qadim azali (dzat yang terdahulu yang bersifat azali) yakni Allah yang tiada keraguan dalam keesaan-Nya, bukan diarahkan pada al-wujud -al-'irdly (kewujudan yang bersifat baru datang dan berjumlah) karena memandang bahwa sesuatu yang baru datang bersifat majazi dalam wujudnya, yang pada mulanya tiada menjadi ada, atau yang pada mulanya ada dalam ketiadaan kemudian menjadi tiada dalam keberadaanya, yang tiada memiliki unsur yang dapat memberikan manfaat atau marabahaya. Sehingga dari hal ini, dapat disimpulkan apapun itu jika bersifat baru datang, maka hakikatnya tiada, dan dapat sirna setiap saat. (FKI KAIL MAS, 2014 : 321) Sebagaimana firman Allah dalam surat al-Qashash ayat 88:319:

وَلَا تَدْعُ مَعَ اللّٰهِ اِلٰهًا اٰخَرَۘ لَآ اِلٰهَ اِلَّا هُوَۗ كُلُّ شَيْءٍ هَالِكٌ اِلَّا وَجْهَهٗ ۗ لَهُ الْحُكْمُ وَاِلَيْهِ تُرْجَعُوْنَ ࣖ 

Jangan (pula) engkau sembah Tuhan yang lain (selain Allah). Tidak ada tuhan selain Dia. Segala sesuatu pasti binasa, kecuali zat-Nya. Segala putusan menjadi wewenang-Nya dan hanya kepada-Nya kamu dikembalikan.

Adapun sikap yang terbaik bagi orang awam terhadap paham sufi yang musykil seperti “Wahdatul Wujud”, menurut pendapat mayoritas ulama yaitu tidak diperkenankan meyakini pemahamannya karena secara dhahir menyalahi pondasi dasar agama yaitu akidah islam tanpa meniadakan kedekatan mereka kepada Allah. Seperti ungkapan Syekh Jalaluddin al-Suyuti:

وَأَحْسَنُ مَا اعْتُذِرَ عَمَّنْ صَدَرَتْ مِنْهُ هٰذِهِ الْكَلِمَةُ الدَّالَّةُ عَلَى ذٰلِكَ وَهِيَ قَوْلُهُ: أَنَا الْحَقُّ، بِأَنَّهُ قَالَ ذٰلِكَ فِي حَالِ سُكْرٍ وَاسْتِغْرَاقِ غَيْبُوبَةِ عَقْلٍ، وَقَدْ رَفَعَ اللّهُ التَّكْلِيفَ عَمَّنْ غَابَ عَقْلُهُ وَأُلْغِيَ أَقْوَالُهُ فَلَا تُعَدُّ مَقَالَتُهُ هٰذِهِ شَيْئًا وَلَا يُلْتَفَتُ إِلَيْهَا فَضْلًا عَنْ أَنْ تُعَدَّ مَذْهَبًا يُنْقَلُ (الحاوي للفتاوي، ج ٢، ص ١٥٦)   

 Penjelasan terbaik yang dapat dijadikan alasan bagi orang yang pernah mengucapkan kalimat yang menunjukkan hal itu yaitu ucapannya: “Ana al-Ḥaqq” (Akulah Yang Maha Benar) adalah bahwa ia mengatakannya dalam keadaan sakr (mabuk spiritual) dan terhanyut dalam keadaan hilang kesadaran akalnya. Allah telah menghapuskan taklif (beban hukum) dari orang yang hilang akalnya, dan meniadakan pertimbangan atas perkataannya; maka ucapan semacam itu tidak dianggap sebagai sesuatu yang bernilai, dan tidak layak diperhatikan, apalagi dianggap sebagai suatu mazhab atau keyakinan yang dapat diriwayatkan. (al-Hawi li al-Fatawi, 2:156)


Tabel Ajaran Nyeleneh dalam Tasawuf

No

Istilah Ajaran

Pengertian

Hukum






1.






Wahdatul Wujud

  1. Keyakinan atas tiada yang wujud secara Hakiki kecuali wujud Allah SWT. Selain Allah hanya bersifat wujud majazi atau hanya sekedar tajalli dari dzat Allah. dipelopori oleh Muhyiddin Ibn ‘Arabi (W. 638 H).

Khilaf : 

menurut sebagian ulama hukumnya kufur dan sebagian yang lain menghukumi tidak kufur. 

  1. Keyakinan bahwa Allah adalah makhluk dan makhluk adalah Allah (Pantheisme). bersumber dari ajaran Yunani Kuno Orfisme, namun istilah panteisme diciptakan oleh Joseph Raphson.

Semua Ulama menentang dan dihukumi kufur.

2.

Wahdatus Syuhud

Keyakinan bahwa dalam keadaan Fana’ yang disaksikan hanyalah Allah. orang yang pertama kali mengenalkan istilah tersebut adalah Imam  Ahmad Sirhindi (W. 1034 H).

Tidak Kufur

3.

Hulul

Keyakinan bahwa Allah Inkarnasi (bersemayam) pada dzat Makhluk. Bersumber dari ajaran Nasrani.

Semua Ulama menentang dan dihukumi kufur.

4.

Ittihad

Keyakinan bahwa dzat Allah menyatu dengan dzat Makhluk. Bersumber dari ajaran Nasrani.

Semua Ulama menentang dan dihukumi kufur.


Catatan :

Bagi Orang Awam yang tidak berilmu harus menjauhi semua paham tersebut karena dikhawatirkan terjadi salah paham bahkan menjadi keyakinan yang sesat dan kufur.


Penulis          : Muhammad Shofiyulloh

Contact Person : 085794851915

e-Mail : almutamakkin15@gmail.com


Perumus : Ust. Abidus Syakur A

Mushohih : Ust. Faidhus Syukri




Daftar Pustaka

Abdul Ghani al-Nabulusi (W. 1143 H), Idhah al-Maqshud min Wahdah Wujud, al-'Ilmu, Damaskus, 1389 H/1968 M.

Ahmad bin Ahmad bin Muhammad bin ‘Isa Zaruq (W 899 H), Qawa’id al-Tasawwuf, Dar al-Kitab al-’Ilmiyah, Beirut, Lebanon, 1440 H/2019 M, Cet. Kelima.

Forum Kajian Ilmiah KAIL MAS, Potret Ajaran Nabi Muhammad Dalam Sikap Santun Akidah NU,  Mumtaz ‘14 MHM Lirboyo, Kediri, Indonesia, 1435 H/2014 M, Cet. Pertama.

Haidar Masyhur Fadhil, Izalah al-Hasud fi Taudhih Wahdah al-Wujud.

Jalaluddin Abdurrahman Bin Abi Bakar al-Suyuti (W. 9 H), al-Hawi li al-Fatawi, Juz 2, Dar al-Kutub al-'Ilmiyah, Beirut, Lebanon, 1421 H/2000 M, Cet. Pertama, Sebanyak dua Jilid.

Muhammad Idris Tayyib, Syarah Qawa'id al-Tasawwuf, Books Publisher, Beirut, Lebanon, 1444 H/2022 M, Cet. Pertama.

Sa'id Abdul Lathif Foudah, Fath al-Wadud bi Syarh Risalah al-Syarif al-Jurjani fi Wahdat al-Wujud, Dar al-Fath, Sharjah, Uni Emirat Arab, 1434 H/2013 M.

Sa'id Abdul Lathif Foudah, Minah al-Wadud fi Madzhab Wahdat al-Wujud,  Islamiyah University Rotterdam, Rotterdam, Belanda, 1423 H/2002 M.

 =====================


 
















Posting Komentar untuk "Wahdatul Wujud Dalam Dialektika Islam"