Bentuk Ta’dzim pada Dzurriyyah Mursyid

 


BENTUK TA’DZIM PADA DZURRIYYAH MURSYID

LATAR BELAKANG

Dalam dunia tasawuf, keberadaan seorang mursyid bukan sekadar pembimbing lahiriah tetapi juga penuntun rohani yang menjadi wasilah antara murid dan Tuhannya. Guru dalam terminologi tasawuf disebut al-Murobbi, al-Mursyid atau al-Syekh, yaitu sosok yang memiliki kemampuan untuk membimbing hati, membersihkan jiwa serta mengantarkan murid menuju ma'rifatullah. Ia bukan hanya pengajar ilmu, tetapi pengantar menuju hakikat, dan cermin dari cahaya Ilahi yang menuntun murid dalam perjalanan spiritualnya.

Tasawuf menegaskan bahwa perjalanan menuju Allah SWT., bukanlah jalan yang dapat ditempuh sendiri tanpa bimbingan seorang mursyid. Jalan itu penuh liku, godaan dan ujian batin yang tidak bisa dihadapi tanpa petunjuk dari orang yang telah lebih dahulu menapakinya. Namun, bimbingan mursyid tidak akan memberi manfaat bagi murid kecuali bila disertai dengan ta’dzim yakni penghormatan dan pengagungan yang dilandasi rasa cinta dan adab. Dalam pandangan para sufi, ta’dzim kepada mursyid bukan hanya semata bentuk penghormatan sosial, tetapi merupakan bagian dari adab rohani yang membuka jalan bagi turunnya berkah dan penerimaan ilmu.

Bagaimana bentuk ta’dzim pada dzurriyyah mursyid dan batasannya? 

PEMBAHASAN

Anjuran Ta'dzim 

Hakikat ta'dzim terhadap mursyid sebagai salah satu syarat keberkahan dan keberhasilan dalam menuntut ilmu, maka sudah sepatutnya bentuk penghormatan itu tidak berhenti hanya pada pribadi sang mursyid. Dalam tradisi tasawuf dan adab mencari ilmu, penghormatan tersebut juga mencakup keluarga dan keturunan mursyid (dzurriyyah al-syekh), karena mereka termasuk bagian dari kehormatan dan wasilah keberkahan mursyid itu sendiri. Dengan demikian, ta'dzim kepada keluarga mursyid merupakan lanjutan dari pengagungan terhadap mursyid, sebagai tanda kesetiaan, adab dan rasa terima kasih atas bimbingan yang telah diberikan. hal ini selaras dengan pendapat Syekh al-Zarnuji dalam kitab Ta'lim al-Muta‘allim

(فَالْحَاصِلُ أَنَّهُ يَطْلُبُ رِضَاهُ) أَيْ رِضَا الأُسْتَاذِ (وَيَجْتَنِبُ سُخْطَهُ) أَيْ مَا يُوْجِبُ سُخْطَهُ (وَيَمْتَثِلُ أَمْرَهُ فِيْ غَيْرِ مَعْصِيَةِ اللهِ تَعَالَى وَلَا طَاعَةَ لِلمَخْلُوقِ) أَيْ وَلَا طَاعَةَ جَائِزَةٌ لِلمَخْلُوْقِ (فِي مَعْصِيَةِ الْخَالِقِ) أَيْ فِيْ مَادَّةٍ يَلْزَمُ أَنْ اَطَاعَ لِلمَخْلُوقِ أَنْ يُعْصَى الْخَالِقُ، وَهٰذِهِ الجُمْلَةُ بِمَزْلَةِ التَّعْلِيلِ لِمَا سَبَقَ (وَمِنْ تَوْقِيْرِهِ تَوْقِيْرُ أَوْلَادِهِ وَمَنْ يَتَعَلَّقُ بِهِ) كَائِنًا مَنْ كَانَ، سَوَاءٌ كَانَ تَعَلُّقُهُ بِالنَّسَبِ أَوْ بِالسَّبَبِ.(تعليم المتعلم: ص١٧)

“Maka kesimpulannya, hendaklah seorang murid berusaha mencari keridaan mursyidnya  yaitu keridaan sang ustadz dan menjauhi hal-hal yang dapat menimbulkan kemurkaan mursyidnya. Ia hendaknya melaksanakan perintah mursyidnya selama bukan dalam perkara maksiat kepada Allah SWT. Sebab tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam hal maksiat kepada Sang Pencipta, artinya tidak boleh taat kepada makhluk dalam perkara yang, apabila ditaati, mengharuskan seseorang bermaksiat kepada Allah SWT. Dan termasuk dalam bentuk penghormatan kepada mursyid adalah memuliakan anak-anaknya serta orang-orang yang memiliki hubungan dengannya, siapapun mereka, baik hubungan itu karena nasab (keturunan) maupun karena sebab lain.”(Ta’lim al-Muta’allim,17)

Ta'dzim kepada mursyid dan keluarganya bukanlah dua hal yang terpisah, melainkan satu kesatuan yang menunjukkan kemurnian niat, adab dan kesetiaan murid dalam mencari rida Allah SWT., melalui perantara sang mursyid. Penghormatan kepada keluarga mursyid menjadi wujud nyata dari pengagungan terhadap ilmu dan orang yang membawanya, Rasulullah Saw., secara jelas menegaskan pentingnya penghormatan kepada mursyid, bahwa dengan kita memuliakan ilmu secara tidak langsung kita juga memuliakan Rasulullah saw serta Allah SWT., sehingga adab/sikap kita terhadap orang berilmu sangat perlu untuk diterapkan. Sebagaimana hadis yang telah dikutip oleh Syekh Muhyiddin Ibnu Arabi dalam kitab Syarah Fushush al-Hikam.

مَنْ اَكْرَمَ عَالِمًا فَقَدْ أَكْرَمَنِيْ، وَمَنْ أَكْرَمَنِيْ فَقَدْ أَكْرَمَ الله، وَمَنْ أَكْرَمَ اللَّه فَمَأْوَاهُ الْجَنَّةُ. (فصوص الحكم:  ج ٦،ص ٢٣٦ )

“Barangsiapa memuliakan seorang alim (mursyid), sungguh ia telah memuliakan aku. Dan barangsiapa memuliakan aku, sungguh ia telah memuliakan Allah. Dan barangsiapa yang memuliakan Allah, maka tempat tinggalnya adalah surga” (HR. al-Khatib al-Baghdadi dalam Fushush al-Hikam, 6:236).

Bentuk Ta'dzim pada Dzurriyyah Mursyid 

Adapun bentuk ta’dzim yang seharusnya diberikan oleh seorang murid kepada keluarga mursyid adalah penghormatan yang berada dalam koridor ajaran agama, diwujudkan dengan menjaga adab, bersikap santun dalam ucapan dan perbuatan, serta menghormati mereka karena keterkaitannya dengan mursyid, bukan karena keyakinan adanya keutamaan yang bersifat mandiri atau derajat kesucian tertentu.

Dijelaskan dalam kitab Tanwir al-Qulub.

وَمِنْهَا: أَنْ يَتَفَقَّدَ عِيَالَ شَيْخِهِ إِذَا غَابَ بِالإِحْسَانِ إِلَيْهِمْ بِالخِدْمَةِ وَغَيْرِهَا، فَإِنَّ ذٰلِكَ مِمَّا يَمِيْلُ قَلْبُ شَيْخِهِ إِلَيْهِ، وَمِثْلُ الشَّيْخِ فِيْ ذٰلِكَ الْإِخْوَانُ. (تنوير القلوب: ص ٥٨٨)

"Tetap memperhatikan keluarga syekh ketika sang syekh pergi, dengan terus berbuat baik kepada mereka, misalnya dengan tetap melayani dan membantu mereka dalam memenuhi kebutuhan. Sungguh, sikap ini bisa membuat hati syekh senang kepadanya. Dan hukum atau adab kepada syekh ini yang sama juga berlaku terhadap sahabat-sahabatnya.”(Tanwir al-Qulub, 588)

Dari ibarot diatas menjelaskan bahwa salah satu adab penting bagi seorang murid terhadap mursyidnya. Seorang murid tidak hanya harus berbuat baik kepada mursyidnya saja, tetapi juga kepada keluarga mursyidnya. Ketika sang mursyid sedang tidak hadir, murid tetap memiliki kewajiban moral untuk memperhatikan, melayani, dan berbuat baik kepada keluarganya. Sikap ini menunjukkan bentuk penghormatan dan ketulusan seorang murid, sebab keluarga mursyid memiliki ikatan batin dengan mursyid itu sendiri. Dengan berbuat baik kepada mereka, hati sang mursyid akan merasa senang karena ia melihat muridnya tidak hanya menghormati dirinya, tetapi juga memuliakan orang-orang yang dekat dengannya. Adab tersebut tidak hanya berlaku kepada keluarga mursyid, tetapi juga kepada sahabat-sahabat mursyid. 

Syekh Abdul Wahab al-Sya'roni dalam kitabnya al-Anwar al-Qudsiyah menjelaskan 

وَمِنْ شَأْنِهِ أَنْ يُرَاعِيَ عِيَالَ شَيْخِهِ بِالْخِدْمَةِ وَالِافْتِقَادِ بِالطَّعَامِ وَغَيْرِهِ كُلَّمَا سَافَرَ شَيْخُهُ وَيَقُومَ مَقَامَهُ فِي خِدْمَتِهِمْ فَإِنَّ ذٰلِكَ مِنَ الوَفَاءِ بِحَقِّ شَيْخِهِ وَهُنَالِكَ يُمْكِنُ أَنْ يَتَرَقَّى الْخِدْمَةَ لِلْخَلْقِ أَجْمَعِيْنَ مِنْ حَيْثُ كَوْنِهِمْ عِيَالَ اللّٰهِ، كَمَا أَشَارَ إِلَيْهِ الحَدِيثُ: «وَالْخَلْقُ عِيَالُ اللّٰهِ، وَأَحَبُّهُمْ إِلَيْهِ أَنْفَعُهُمْ لِعِيَالِهِ». فَإِنَّ الحَقَّ جَلَّ وَعَلَا يُحِبُّ مَنْ يُحْسِنُ إِلَى عَبِيْدِهِ لِأَجْلِهِ، فَالشَّيْخُ كَذٰلِكَ، لِأَنَّهُ عَلَى الأَخْلَاقِ الشَّرْعِيَّةِ. (الانوار القدسية: ص ١٨٠)

“Dan termasuk dari adab seorang murid adalah memperhatikan keluarga mursyidnya dengan cara membantu mereka dan memperhatikan kebutuhan mereka seperti makanan dan lainnya setiap kali mursyidnya bepergian, serta menggantikan posisi mursyidnya dalam melayani mereka. Karena hal itu termasuk bentuk kesetiaan memenuhi hak-hak mursyidnya. Pada tingkatan yang lebih tinggi, seseorang dapat naik derajatnya hingga melayani seluruh makhluk, karena seluruh makhluk adalah keluarga Allah SWT., sebagaimana isyarat dari hadis: Makhluk adalah keluarga Allah SWT., dan yang paling dicintai oleh-Nya adalah yang paling bermanfaat bagi keluarga-Nya. Sesungguhnya Allah SWT.,  mencintai orang yang berbuat baik kepada hamba-hamba-Nya karena Allah SWT., semata. Maka demikian pula seorang mursyid (syekh), sebab ia berada di atas akhlak yang sesuai dengan syariat.” (al-Anwar al-Qudsiyah, 180)

Imam Abdul Wahab al-Sya’roni dalam ibarot diatas memberikan pandangan beliau bahwasannya adab dan akhlak seorang murid terhadap mursyidnya (al-Syekh) dalam tradisi tasawuf, khususnya tentang ta‘dzim atau penghormatan dan wafa’ (kesetiaan) kepada mursyid. Seorang murid sejati tidak hanya berkhidmah atau melayani kepada mursyidnya secara langsung, tetapi juga memperhatikan keluarga mursyid baik dengan memberikan bantuan, perhatian, maupun memenuhi kebutuhan mereka ketika sang mursyid sedang tidak ada atau sedang bepergian. Sikap ini menunjukkan kesetiaan dan penghargaan terhadap hak mursyid yang telah membimbingnya di jalan Allah SWT., berkhidmah atau melayani keluarga mursyid merupakan tahapan latihan rohani (Riyadhah al-Nafs) yang dapat mengantarkan murid menuju derajat yang lebih tinggi, yaitu pelayanan kepada seluruh makhluk Allah SWT. Sebab, sebagaimana dijelaskan dalam hadis “Makhluk adalah keluarga Allah SWT., dan yang paling dicintai oleh-Nya adalah yang paling bermanfaat bagi keluarga-Nya.” Dengan demikian, seorang murid yang berbuat baik kepada sesama bukan karena kepentingan pribadi, akan tetapi karena Allah SWT., berarti ia telah meneladani akhlak para wali dan para mursyid yang hidup dengan akhlak syar‘i, yaitu akhlak yang berpijak pada kasih sayang, pengabdian dan kemanfaatan bagi sesama.

Larangan Ghuluw Dengan Alasan Ta’dzim

Dalam tradisi keilmuan Islam, ta’dzim (penghormatan) kepada mursyid serta keluarganya merupakan bagian dari adab yang sangat ditekankan. Para ulama sepakat bahwa keberkahan ilmu tidak dapat diraih kecuali dengan memuliakan para ahli ilmu. Akan tetapi, adab mulia ini tidak jarang disalahpahami dan melampaui batas, hingga berubah menjadi ghuluw. Ghuluw adalah sikap melampaui batas yang ditetapkan syariat dalam beragama, baik dalam keyakinan, ucapan, maupun perbuatan, sehingga keluar dari keseimbangan yang dikehendaki Islam. Mengatasnamakan ta’dzim, sebagian orang memposisikan mursyidnya pada maqam yang tidak sewajarnya, memberikan sifat-sifat yang hanya layak bagi Allah SWT., atau menuntut ketaatan mutlak tanpa dalil. Padahal, Islam datang membawa keseimbangan antara adab dan tauhid, antara penghormatan terhadap manusia mulia dan pemurnian ibadah hanya kepada Sang Pencipta (Allah SWT.).

Abi Qasim al- Zamasykari dalam tafsirnya menjelaskan surat al-Maidah ayat 77 juz 6 bahwa beliau berkata ghuluw dalam agama dibagi menjadi dua macam, yakni ghuluw yang benar (yang didasari dengan ilmu dan syariat) dan yang batil (yang menyimpang dari ajaran agama). Sedangkan hormat dan adab murid kepada mursyid serta dzurriyyahnya jika didasari dengan ilmu dan syariat bukanlah ghuluw yang tercela. 

لِأَنَّ الْغُلُوَّ فِي الدِّينِ غُلُوَّانِ : غُلُوٌّ حَقٌّ، وَهُوَ أَنْ يَفْحَصَ عَنْ حَقَائِقِهِ وَيُفَتِّشَ عَنْ أَبَاعِدِ مَعَانِيهِ وَيَجْتَهِدَ فِي تَحْصِيلِ حُجَجِهِ كَمَا يَفْعَلُ الْمُتَكَلِّمُونَ مِنْ أَهْلِ الْعَدْلِ وَالتَّوْحِيدِ، وَغُلُو بَاطِلٌ وَهُوَ أَنْ يُجَاوِزَ الْحَقَّ وَيَتَعَدَّاهُ بِالْإِعْرَاضِ عَنِ الْأَدِلَّةِ وَاتِّبَاعِ الشَّبَهِ كَمَا يَفْعَلُ أَهْلُ الْأَهْوَاءِ وَالْبِدَعِ. (تفسير الكشاف،ص ٣٠٤)

“Sesungguhnya ghuluw (berlebih-lebihan) dalam agama itu ada dua macam, ghuluw yang benar, yaitu mendalami hakikat-hakikat agama, meneliti makna-makna terdalamnya, serta bersungguh-sungguh dalam memperoleh dalil-dalil dan hujjahnya. Sebagaimana yang dilakukan oleh para mutakallimin dari kalangan orang adil dan tauhid. Ghuluw yang batil, yaitu melampaui batas kebenaran dan meninggalkannya, dengan berpaling dari dalil-dalil yang sahih dan mengikuti syubhat. Sebagaimana perbuatan kelompok ahli hawa nafsu dan pelaku bid’ah.” (Tafsir al-Kasyaf, 304)

Ghuluw haq (benar) sebagai contoh adalah kita harus berlomba-lomba dalam kebaikan seperti menambah sholat sunah, puasa maupun dzikir, Imam al-Ghazali yang Dawamul Wudhu’ atau menjaga wudhu’ dari waktu ashar sampai subuh (tidak tidur malam) dan Imam Ibnu ‘Arobi yang semangat dalam menulis kitab sampai memiliki 800 kitab lebih. Sedangkan dalam konteks mengagungkan atau menghormati mursyid serta dzurriyyahnya disini juga termasuk ghuluw yang benar selagi tetap dalam koridor agama dan tidak melampaui batas kewajaran. Seperti halnya yang telah dijelaskan oleh Imam al-Wahidi dalam kitabnya Asbab al-Nuzul al-Qur’an yang menjelaskan sebab turunya surat al-Nisa’ ayat 171 bahwa ayat ini turun kepada kelompok Nasrani yang mengatakan “Isa adalah anak Allah SWT.”. Jadi, hal yang dilarang adalah mengangkat Nabi menjadi anak Tuhan, bukan sekedar sikap hormat saja. Dari sini, bisa kita fahami penyebab ghuluw bathil (dilarang) adalah sifat mentuhankan kepada seseorang bukan penghormatan.

نَزَلَتْ فِي طَوَائِفَ مِنَ النَّصَارَى حِيْنَ قَالُوا : عِيسَى ابْنُ اللَّهِ، فَأَنْزَلَ اللَّهُ تَعَالَى : (لَا تَغْلُوا فِيْ دِينِكُمْ وَلَا تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ إِلَّا الْحَقَّ…) الاية. (أسباب نزول القرآن، ص ١٨٩)

“(Ayat ini) turun kepada kelompok kaum Nasrani ketika mereka berkata: Isa adalah putra Allah. Maka Allah Ta‘ala menurunkan firman-Nya: (Janganlah kalian berlebih-lebihan dalam agama kalian dan janganlah kalian mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar…).” (Asbab Nuzul al-Qur’an, 189)

KESIMPULAN

Wajib bagi seorang murid untuk menghormati mursyid serta keluarga (dzurriyyah) dari mursyidnya, sebagai wasilah mencari keridaan mursyid. karena dalam mencari ilmu seseorang tidak akan pernah berhasil tanpa adanya rida dari mursyid. sehingga penting bagi seorang murid untuk menjaga adab dan mencari rida Allah SWT., melalui perantara sang mursyid. Beberapa bentuk dari menghormati (ta’dzim) kepada dzurriyyah mursyid adalah dengan membantu mereka dan memenuhi kebutuhan mereka seperti makanan dan lainnya setiap mursyidnya tidak ada atau sedang bepergian dan menggantikan posisi mursyidnya dalam melayani mereka. Serta tidak boleh menghormati (ta’dzim) pada mursyid maupun dzurriyyah secara berlebihan (ghuluw) sampai murid mentuhankannya. 

Penulis : Wardatut Toyyibah

Contact Person : 085718245070

e-Mail : wardahdiana2912@gmail.com

 

Perumus : Muhammad Ulul Albab Munajaddallah

Mushohih : M. Faidlus Syukri


Daftar Pustaka

Syekh al-Zarnuji (W. 1223 H). Ta’lim al-Muta’allim. Dar al-Jawahir, Surabaya, Indonesia.

Syekh al-Akbar Muhyi al-Din bin 'Arabi (W. 638 H), Fushushu al-Hikam, Dar al-Kitab al-’Arobi, Beirut, Lebanon, 1434 H/2013 M.

Syekh Muhammad Amin al-Kurdi (W. 1322 H). Tanwir al-Qulub. Darul Qolam al ‘Arabi, Hilbi, Syiria: cetakan pertama (1411 H/1991 M).

Abdul Wahab al-Sya’roni (W 1552 M). al-Anwar al-Qudsiyah. Haromain, Surabaya, Indonesia.

Abi al-Qasim Jar Allah Mahmud bin Umar al-Zamakhsyari al-Khawarazimi (W. 538). Tafsir al-Kasyaf, juz 1 hal. 304, Dar al-Ma'rifah, Beirut, Lebanon, tanpa tahun, sebanyak 4 jilid.

Abi Hasan 'Ali Ahmad bin Muhammad bin 'Ali al-Wahidi (W. 468 H). Asbab Nuzul al-Qur'an, Dar al-Maiman.

 

 








Posting Komentar untuk "Bentuk Ta’dzim pada Dzurriyyah Mursyid"