Membalas Kesombongan dengan Lebih Sombong


 

MEMBALAS KESOMBONGAN DENGAN LEBIH SOMBONG

Dalam berinteraksi sosial kita menemui banyak sekali macam karakter manusia, salah satunya sombong. Menghadapi orang yang sombong cenderung membuat kita frustasi dan jengkel. Tidak jarang, meninggikan diri di hadapan orang yang sombong menjadi alternatif agar menyadarkan orang tersebut. 

Pertanyaan:

Bagaimana perilaku menyombongkan diri di hadapan orang yang sombong?

Jawab:

  1. Haram 

Sombong pada dasarnya adalah haram. Karena tidak ada yang berhak sombong kecuali Allah swt..

(وَالتَّكَبُّرُ حَرَامٌ) عَلَى كُلِّ أَحَدٍ؛ لِأَنَّهُ عَظِيمُ الْآفَاتِ وَمَنْبَعُ أَكْثَرِ الْبَلِيَّاتِ وَمُوجِبُ سُرْعَةِ عُقُوبَةِ اللَّهِ تَعَالَى؛ لِأَنَّهُ لَا يَحِقُّ إِلَّا لَهُ تَعَالَى فَإِذَا فَعَلَ الْعَبْدُ مَا يَخْتَصُّ بِالْمَوْلَى اشْتَدَّ غَضَبُ الْمَوْلَى. (بريقة محمودية في شرح طريقة محمدية وشريعة نبوية في سيرة أحمدية، ج٣، ص: ٣٨ )

“(Dan kesombongan (Al-Takabbur) adalah haram) atas setiap orang; karena ia adalah bahaya yang besar, sumber dari kebanyakan bencana (musibah), dan penyebab cepatnya hukuman dari Allah swt.; karena kesombongan itu tidak berhak kecuali hanya bagi-Nya. Maka, jika seorang hamba melakukan apa yang khusus bagi Tuhan, murka-Nya akan bertambah keras.” (Buroiqoh Mahmudiyah fi Syarh Thoriqoh Muhammadiyah wa Syari’ah Nabawiyyah fi Sirah Ahmadiyah: Juz 3, hal: 38)

Sifat sombong atau al-Takabbur merupakan perilaku yang secara mutlak diharamkan bagi setiap individu karena kedudukannya sebagai akar dari segala bencana dan sumber bahaya yang besar dalam kehidupan. Esensi dari kesombongan adalah bentuk pelanggaran terhadap hak khusus Allah swt.; hanya Sang Penciptalah yang berhak memiliki sifat keagungan dan kesombongan. Oleh karena itu, ketika seorang hamba bersikap sombong, ia pada hakikatnya sedang merampas sesuatu yang bukan miliknya, sehingga hal tersebut memicu murka Allah swt. yang sangat keras dan mendatangkan hukuman-Nya dengan segera.

  1. Boleh

وَالتَّكَبُّرُ حَرَامٌ إِلَّا عَلَى الْمُتَكَبِّرِ فَإِنَّهُ قَدْ وَرَدَ فِيهِ أَنَّهُ صَدَقَةٌ وَ عِنْدَ الْقِتَالِ وَ عِنْدَ الصَّدَقَةِ (بريقة محمودية في شرح طريقة محمدية وشريعة نبوية في سيرة أحمدية ، ج ٣،  ص:٣٨)

"Sikap sombong itu haram hukumnya, kecuali terhadap orang yang sombong; karena sesungguhnya telah diriwayatkan bahwa hal itu (sombong kepada orang sombong) adalah sedekah. Juga (dibolehkan) saat dalam peperangan dan saat memberikan sedekah." (Buroiqoh Mahmudiyah fi Syarh Thoriqoh Muhammadiyah wa Syari’ah  Nabawiyyah, Juz 3, Hal: 38).

Sombong boleh dalam 3 keadaan:

  1. Sombong di hadapan orang yang sombong. 

Sombong diperbolehkan di hadapan orang yang sombong dengan tujuan membuatnya tersadar. Karena jika merendahkan diri di hadapan orang yang sombong, ia akan terus-menerus dalam kesesatannya.

  1. Sombong di hadapan musuh perang.

Sombong di hadapan musuh adalah sikap yang bertujuan untuk mematahkan kekuatan musuh dan menjatuhkan rasa takut. 

  1. Sombong saat bersedekah. 

Sombong saat bersedekah adalah sikap tinggi hati ketika memberikan sebagian rezeki kita kepada orang yang membutuhkan. Dalam konteks bersedekah, tinggi hati ini adalah menunjukkan kesan "tidak butuh" atau sedikit meninggikan posisi pemberi. Tujuannya bukan untuk sombong, melainkan untuk menjaga martabat penerima agar mereka tidak merasa rendah diri atau merasa sedang dikasihani secara berlebihan. Dengan menunjukkan bahwa barang atau uang tersebut memang sengaja diberikan karena si pemberi sudah merasa cukup, beban mental si penerima akan berkurang sehingga mereka dapat menerima bantuan dengan hati yang lapang dan bahagia tanpa merasa terhina.

Hal ini justru lebih baik dibandingkan bersedekah dengan menunjukkan ketawadukan yang berlebihan, seperti berkata, "Saya juga sebenarnya orang susah dan banyak kebutuhan, tapi aku paksakan memberi ini kepadamu." Kalimat seperti itu justru berisiko melukai perasaan si penerima karena mereka akan merasa menjadi beban bagi sang pemberi yang sebenarnya juga sedang kesulitan.

  (إلَّا عَلَى الْمُتَكَبِّرِ) مِنَ النَّاسِ فَالتَّوَاضُعُ عَلَى الْمُتَكَبِّرِ لَيْسَ بِجَائِزٍ قَالَ الْمُنَاوِيُّ: عَنِ الْغَيْرِ إذَا أَغْضَبَكَ أَحَدٌ بِغَيْرِ شَيْءٍ فَلَا تَبْتَدِئْهُ بِالصُّلْحِ؛ لِأَنَّكَ تُذِلُّ نَفْسَكَ فِي غَيْرِ مَحَلٍّ وَتُكْبِرُ نَفْسَهُ بِغَيْرِ حَقٍّ وَمِنْ ثَمَّةَ قِيْلَ الْإِفْرَاطُ فِي التَّوَاضُعِ يُورِثُ الْمَذَلَّةَ، وَالْإِفْرَاطُ فِي الْمُؤَانَسَةِ يُوْرِثُ الْمَهَانَةَ وَإِذَا اُتُّفِقَ أَنْ يُقَامَ الْعَبْدُ فِي مَوْطِنٍ فَالْأَوْلَى فِيهِ ظُهُورُ عِزَّةِ الْإِيمَانِ وَجَبَرُوْتِهِ وَعَظَمَتِهِ لِعِزِّ الْمُؤْمِنِ وَعَظَمَتِهِ وَأَنْ يَظْهَرَ فِي الْمُؤْمِنِ مِنَ الْأَنَفَةِ وَالْجَبَرُوْتِ مَا يُنَاقِضُ الْخُضُوْعَ وَالذِّلَّةَ فَالْأَوْلَى إظْهَارُ مَا يَقْتَضِيْهِ ذَلِكَ الْمَوْطِنُ فَهَذَا مِنْ بَابِ إِظْهَارِ عِزَّةِ الْإِيمَانِ بِعِزَّةِ الْمُؤْمِنِ (فَإِنَّهُ قَدْ وَرَدَ فِيْهِ أَنَّهُ صَدَقَةٌ) عَلَى مَنْ تَكَبَّرَ عَلَيْهِ كَمَا وَرَدَ: التَّكَبُّرُ عَلَى الْمُتَكَبِّرِ صَدَقَةٌ؛ لِأَنَّهُ إذَا تَوَاضَعْتَ لَهُ تَمَادَى فِي ضَلَالِهِ وَإِذَا تَكَبَّرْتَ عَلَيْهِ تَنَبَّهَ.

وَمِنْ هُنَا قَالَ الشَّافِعِيُّ تَكَبَّرْ عَلَى الْمُتَكَبِّرِ مَرَّتَيْنِ وَقَالَ الزُّهْرِيُّ التَّجَبُّرُ عَلَى أَبْنَاءِ الدُّنْيَا أَوْثَقُ عُرَى الْإِسْلَامِ. وَعَنْ أَبِي حَنِيْفَةَ - رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى - أَظْلَمُ الظَّالِمِيْنَ مَنْ تَوَاضَعَ لِمَنْ لَا يَلْتَفِتُ إِلَيْهِ وَقِيْلَ قَدْ يَكُوْنُ التَّكَبُّرُ لِتَنْبِيْهِ الْمُتَكَبِّرِ لَا لِرِفْعَةِ النَّفْسِ فَيَكُوْنُ مَحْمُوْدًا كَالتَّكَبُّرِ عَلَى الْجُهَلَاءِ وَالْأَغْنِيَاءِ. قَالَ يَحْيَى بْنُ مُعَاذٍ: التَّكَبُّرُ عَلَى مَنْ تَكَبَّرَ عَلَيْكَ بِمَالِهِ تَوَاضُعٌ (وَ) إِلَّا (عِنْدَ الْقِتَالِ) مَعَ الْكُفَّارِ لِكَسْرِ شَوْكَتِهِمْ وَإِيْقَاعًا لِلْخَوْفِ وَالرُّعْبِ وَالْمَهَابَةِ عَلَيْهِمْ (وَ) إلَّا (عِنْدَ الصَّدَقَةِ) إظْهَارُ الْعَدَمِ قَدْرَ مَا بَذَلَهُ لِأَخِيْهِ وَإِبْرَازًا لِلسُّرُوْرِ وَالْكَرَمِ وَالسَّخَاءِ وَطَلَاقَةِ الْوَجْهِ وَبَشَاشَتِهِ وَانْبِسَاطِهِ مَعَ الْفُقَرَاءِ لِيَتَوَجَّهُوْا إلَيْهِ لَدَى الِاحْتِيَاجِ فَلَا يُنَافِي مَا يُقَالُ يَنْبَغِي أَنْ لَا يَتَعَظَّمَ عَلَى مَنْ يَتَصَدَّقُ عَلَيْهِ وَيَرْفُقُ وَيَتَحَاشَى عَمَّا يُوهِمُ الْأَذَى لَهُ (بريقة محمودية في شرح طريقة محمدية وشريعة نبوية في سيرة أحمدية، ج٣، ص: ٣٩ )

"(kecuali pada orang yang sombong) dari manusia, maka bersikap tawadhu’ (rendah hati) kepada orang yang sombong itu tidak diperbolehkan (Al-Munawi berkata: Menukil dari orang lain, jika seseorang membuatmu marah tanpa sebab, maka janganlah engkau memulai perdamaian dengannya; karena engkau akan merendahkan dirimu di tempat yang tidak semestinya dan engkau membesarkan dirinya tanpa hak. Oleh karena itu, dikatakan, berlebihan dalam tawaduk (rendah hati) akan menyebabkan kehinaan, dan berlebihan dalam keakraban (pergaulan) akan menyebabkan sikap meremehkan orang lain, serta menampakkan suatu sikap yang menghilangkan gampang diatur (negatif) dan kehinaan. Dan apabila disepakati bahwa seorang hamba berdiri (berada) di suatu tempat, maka yang lebih utama padanya adalah menampakkan kemuliaan iman, keperkasaan, dan keagungan-Nya, karena kemuliaan dan keagungan seorang mukmin. Dan agar mukmin menampakkan sikap al-Anafas (menjaga diri) dan al-Jabarut (keperkasaan). Apa yang menentang kepatuhan dan kehinaan. Maka, yang utama adalah menampakkan apa yang dituntut oleh posisi tersebut. Inilah termasuk bab menampakkan kemuliaan iman dengan kemuliaan mukmin. (Karena sesungguhnya telah datang riwayat mengenainya bahwa ia adalah sedekah) atas orang yang bersikap sombong kepadanya, sebagaimana diriwayatkan: "Bersikap sombong kepada orang yang sombong adalah sedekah." Karena sesungguhnya jika engkau merendahkan diri kepadanya, ia akan terus-menerus dalam kesesatannya, dan jika engkau bersikap sombong kepadanya, ia akan sadar.

Dan dari sini al-Syafi'i berkata, "Bersikap sombonglah kepada orang yang sombong dengan dua kalinya." Dan al-Zuhri berkata, "Bersikap angkuh (tegas/keras) terhadap "anak-anak dunia" (orang-orang yang terikat pada keduniaan) adalah ikatan Islam yang paling kuat." Dan dari Abu Hanifahr ra. - (beliau berkata): Sezalim-zalimnya orang zalim adalah orang yang merendahkan diri kepada orang yang tidak memperhatikannya. Dan dikatakan, "Kadang-kadang kesombongan (al-Takabbur) itu terjadi untuk menyadarkan orang yang sombong, bukan untuk meninggikan diri, maka ia menjadi terpuji, seperti bersikap sombong kepada orang-orang bodoh dan orang-orang kaya." Yahya bin Mu'adz berkata: "Kesombongan (al-Takabbur) kepada orang yang sombong kepadamu karena hartanya adalah tawaduk (kerendahan hati)." (Dan) kecuali (ketika bertempur/berperang) bersama orang-orang kafir, untuk mematahkan kekuatan mereka dan untuk menjatuhkan rasa takut, kegentaran, dan kewibawaan atas mereka. (Dan) kecuali (ketika bersedekah): [yaitu] menampakkan ketiadaan (tidak menganggap) nilai seberapa yang dia berikan kepada saudaranya dan menampakkan kegembiraan, kemuliaan, kedermawanan, wajah yang berseri-seri, keceriaan, dan keterbukaan bersama orang-orang fakir agar mereka menuju kepadanya saat membutuhkan. Maka (pengecualian saat sedekah ini) tidak bertentangan dengan apa yang dikatakan bahwa seyogyanya (orang yang bersedekah) tidak berlaku sombong kepada orang yang disedekahi, berlemah-lembut, dan menjauhi apa pun yang dapat menimbulkan anggapan menyakitinya.” (Buroiqoh Mahmudiyah fi Syarh Thoriqoh Ahmadiyah wa Syari’ah  Nabawiyah, Juz 3, Hal: 39).

Tawaduk dalam hal ini tidak dibenarkan. Karena berpotensi besar akan menyinggung perasaan si penerima dan tentu akan berat menerima pemberian tersebut. Sahabat Jabir ra. juga pernah meriwayatkan sebuah hadits mengenai memperbolehkan sikap sombong dengan memakai kata khuyala’:

(جَابِرِ بْنِ عَتِيْكٍ رَضِيَ الله عَنْهُ) أَنَّ رَسُوْلَ اللهِﷺ كَا نَ يَقُوْلُ: مِنَ الْغَيْرَةِ مَا يُحِبُّ اللهَ، وَمِنْهَا مَا يُبْغِضُ اللهَ؛ فَأَمَّا الَّتِيْ يُحِبُّهَا اللهُ فَا الْغَيْرَةُ فِيْ الرَّيْبَةِ، وَأَمَّا الَّتِيْ يُبْغِضُهَا اللهُ فَا اْلغَيْرَةُ فِيْ غَيْرِ رَيْبَةِ، وَإِنَّ مِنَ اْلخُيَلَاءِ مَا يُبْغِضُ اللهَ، وَمِنْهَا مَا يُحِبُّ اللهَ؛ فَأَمَّا اْلخُيَلَاءُ الَّتِيْ يُحِبُّ اللهَ فَا خْتِيَالُ الرَّجُالِ نَفْسَهُ عِنْدَ اْلقِتَال، وَاخْتِيَالُهُ عِنْدَالَّصَدَقَة، وَأَمَّا الَّتِيْ يُبْغِضُ اللهَ فَاخْتِيَالُهُ فِيْ البَغْيِ وَ اْلفَخْرِ،  أَخْرَجَهُ أَبُوْ دَاوُدَ. (جامع الأصول في أحاديث الرسول، ج ١٠، ص: ٦٢٢)

“Dari Jabir bin Atik ra. bahwa Rasulullah saw. bersabda: "Di antara sifat cemburu ada yang dicintai Allah swt. dan ada pula yang dibenci-Nya. Adapun cemburu yang dicintai Allah swt. adalah cemburu dalam hal keragu-raguan (kecurigaan yang memiliki alasan kuat), sedangkan cemburu yang dibenci Allah swt. adalah cemburu dalam hal yang bukan keragu-raguan (tanpa dasar). Dan sesungguhnya di antara kesombongan ada yang dibenci Allah swt. dan ada yang dicintai-Nya. Adapun kesombongan yang dicintai Allah swt. adalah kesombongan seseorang saat bertempur (di jalan Allah swt.) dan kesombongannya saat bersedekah. Sedangkan kesombongan yang dibenci Allah swt. adalah kesombongan dalam rangka membanggakan diri (pamer nasab atau kekayaan). hadits dikeluarkan oleh Imam Abu Dawud.” (Jami’ al-Ushul fi Ahadits al-Rasul, hal:622).

Sahabat Jabir ra. menggunakan kata Kesombongan dengan al-Khuyala' yang secara umum bermakna tinggi hati atau ujub. Menurut sahabat Jabir ra. terdapat kondisi tertentu di mana sikap tinggi hati atau ujub ini dicintai oleh Allah swt., yaitu dalam situasi perang dan bersedekah. Tujuan Tinggi hati atau ujub dalam situasi peperangan adalah menunjukkan kekuatan, keberanian, dan ketangguhan di hadapan musuh karena sebagai jihad fisik dan mental untuk menjatuhkan nyali lawan. Begitu pula saat bersedekah, sikap tinggi hati atau ujub yang dimaksud adalah menunjukkan jiwa yang besar dan perasaan cukup atas harta yang dimiliki. Dengan menunjukkan sikap dermawan dan hati yang lapang tanpa rasa berat, pemberi sedekah dapat menjaga martabat penerima agar tidak merasa rendah diri atau merasa menjadi beban, sehingga sedekah tersebut diberikan tanpa ada unsur 

Kesimpulan:

Dapat disimpulkan bahwa sombong pada dasarnya adalah haram hukumnya. Meskipun kesombongan secara umum merupakan dosa besar yang diharamkan, terdapat pengecualian dalam tiga keadaan tertentu di mana sikap tersebut justru menjadi terpuji karena membawa kemaslahatan. Pertama, bersikap tinggi hati di hadapan orang yang sombong diperbolehkan sebagai sarana untuk menyadarkan mereka dari kekeliruan; sebab merendahkan diri di hadapan mereka justru akan membuat mereka terus berada dalam kesesatan. Kedua, kesombongan atau al-Khuyala’ sangat dicintai Allah swt. saat berada di medan perang, di mana seorang pejuang menunjukkan keberanian dan ketangguhan untuk menjatuhkan mental serta mematahkan kekuatan musuh. Ketiga, sikap tinggi hati juga dianjurkan saat bersedekah. Dalam konteks ini, pemberi menunjukkan kesan "tidak butuh" dan jiwa yang besar atas harta yang dikeluarkan untuk menjaga martabat dan perasaan penerima agar tidak merasa rendah diri atau merasa sedang dikasihani secara berlebihan. Sikap ini dinilai lebih baik daripada menunjukkan ketawadukan yang berlebihan namun justru memperlihatkan beratnya pengorbanan, karena hal tersebut dapat melukai hati penerima yang merasa menjadi beban bagi pemberinya. Dengan demikian, tinggi hati dalam kondisi-kondisi ini tidak lahir dari niat pamer (al-Fakhr), melainkan sebagai bentuk kemuliaan diri dan penjagaan terhadap harga diri sesama manusia.
 

Penulis : Nurul Ilmiyah, S.Psi

Contact Person :  081936078602

e-Mail : ilmmiah93@gmail.com


Perumus : Abidusy Syakur Almahbub

Mushohih : M.Faidlus Syukri, S.Pd.



Daftar Pustaka

Abi Sa’id Muhammad bin Musthofa al-Khodimi (W. 1176 H), Buroiqoh Mahmudiyah fi Syarh Thoriqoh Muhammadiyah wa Syari’ah Nabawiyah, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Lebanon, cet. Pertama, 1391 H / 1971 M, Sebanyak 5 jilid.

Imam Majduddin Abi Saadah al-Mubarok bin Muhammad: Ibnu al-Atsir al-Bakhri (W.630 H), Jami’ al-Ushul fi Ahadits al-Rosul, Dar al-Bayan, Basyir, Iran, cet.Pertama, 1392 H/1972 M, sebanyak 10 Jilid.

 


 






Posting Komentar untuk "Membalas Kesombongan dengan Lebih Sombong"