Secara otentik, pengertian bank diatur dalam peraturan
per-undang-undangan. Namun Secara etimologi bank berasal dari bahasa Italia
yang berarti bantu atau pembantu. Dan dalam perkembangannya, pengertian bank
adalah suatu lembaga keuangan yang usaha pokoknya menerima simpan pinjam
keuangan.
Namun dalam praktiknya setiap transaksi keuangan dalam bank, baik
itu transaksi peminjaman maupun penyimpanan terdapat istilah bunga, dan menurut
kebanyakan ulama’ bunga bank tersebut terkategorikan riba, sesuai dengan hadits
nabi yang artinya “Semua peminjaman yang menarik suatu manfaat (terhadap yang
dipinjam-kannya) maka termasuk riba”. Dari permasalahan tersebut, bagaimana
hukum menabung atau hutang uang dalam bank, yang mana dalam transaksinya tidak
bisa terlepas dari bunga bank?
Para ulama’ berbeda pendapat dalam masalah ini:
a. Haram, karena hal tersebut termasuk riba al-Qordhi
وَمِنْ رِبَا الْفَضْلِ رِبَا الْقَرْضِ
وَهُوَ كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ نَفْعًا لِلْمُقْرِضِ غَيْرَ نَحْوِ رَهْنٍ لَكِنْ لاَ يُحْرَمُ
عِنْدَناَ اِلاَّ اِذَا شُرِطَ فِي عَقْدِهِ (اعانة الطالبين، ج 3 ص 20)
Dan di antara riba al-Fadhli adalah riba
al-qardhi, yakni setiap pinjaman yang memberikan manfaat kepada si peminjam, kecuali
selain dalam bentuk gadai. Tetapi menurut kita, yang demikian itu tidak haram
kecuali disyaratkan dalam akad. (I’anah al-Thalibin, juz 3, hal. 20)
b. Makruh (Syubhat), apabila akad/transaksinya dilakukan dengan
cara merekayasa agar terhindar dari akad riba
(قَوْلُهُ: وَطَرِيْقُ الْخَلاَصِ
مِنْ عَقْدٍ إِلَخْ) أَيْ اَلْحِيْلَةُ
فِي التَّخَلُّصِ مِنْ عَقْدِ الرِّباَ فِيْ بَيْعِ الرِّبَوِيِّ بِجِنْسِهِ مَعَ التَّفَاضُلِ
مَا ذَكَرَهُ، وَهِيَ مَكْرُوْهَةٌ بِسَائِرِ أَنْوَاعِهِ خِلاَفاً لِمَنْ حَصَرَ الْكَرَاهَةَ
فِي التَّخَلُّصِ مِنْ رِبَا اْلفَضْلِ (اعانة الطالبين، ج 3 ص 21)
Segala bentuk rekayasa untuk menghindari akad
riba di dalam jual beli riba, dengan sejenisnya dengan melebihi itu sudah
dijelaskan, dan hukumnya makruh dengan berbagai macamnya (jual beli riba),
berbeda bagi orang yang membatasi makruh di dalam menghindari riba al-fadhli.
(I’anah al-Thalibin, juz 3, hal. 21)
c. Boleh, jika tidak ada syarat pada waktu akad.
Karena menurut ahli hukum yang masyhur menjelaskan bahwa adat yang berlaku itu
tidak termasuk syarat.
وَمِنْ رِبَا الْفَضْلِ رِبَا الْقَرْضِ
وَهُوَ كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ نَفْعًا لِلْمُقْرِضِ غَيْرَ نَحْوِ رَهْنٍ، لَكِنْ لاَ
يُحْرَمُ عِنْدَناَ اِلاَّ اِذَا شُرِطَ فِي عَقْدِهِ (اعانة الطالبين، ج 3 ص 20)
Dan di antara riba al-Fadhli adalah riba al-qardhi,
yakni setiap pinjaman yang memberikan manfaat kepada si peminjam, kecuali
selain dalam bentuk gadai. Tetapi menurut kita, yang demikian itu tidak haram
kecuali disyaratkan dalam akad. (I’anah al-Thalibin, juz 3, hal. 20)
Dan menurut syaikh Ibnu Hajar juga boleh apabila dalam kondisi
terpaksa atau darurat, seperti contoh: ketika tidak ada lagi pihak yang sanggup
untuk menjaga harta selain bank, atau tidak ada lagi pihak yang sanggup memberi
hutangan kecuali bank. Sebagaimana diterangkan dalam kitab Fath al-Mu’in:
وَقَالَ شَيْخُنَا يَنْدَفِعُ اْلإِثْمُ
لِلضَّرُوْرَةِ اَىْ بِحَيْثُ لَمْ يُعْطَ اَلرِّباَ لاَ يَحْصُلُ اَلْقَرْضُ (فتح
المعين، ص 68)
Guru kita (Syaikh Ibnu Hajar) dalam masalah
ini berpendapat: dosa orang di atas bisa terlepas karena darurat, yaitu
sekiranya apabila tidak memberikan bunga/tambahan maka dia tidak akan dapat
hutangan. (Fath al-Mu’in, hal. 68)
0 Response to "Hukum Bunga Bank"
Posting Komentar