Menanam Ari-Ari (Masyimah, Orang Jawa Menyebutnya Mendem Dulure Bayi)

     Setiap bayi yang lahir pasti disertai gumpalan daging yang berisi darah atau biasanya disebut ari-ari, bersamaan dengan dibersihkannya badan bayi setelah lahir dan dipotong pusarnya, ari-ari tersebut sudah tidak berguna lagi, tetapi adat/tradisi dan budaya di nusantara menganggap dan mengambil ari-ari tersebut dengan sangat terhormat, sehingga ari-ari tersebut dikubur di tanah secukupnya, baik itu ari-ari pembungkus bayi ataupun ari-ari yang sambung dengan tali pusar. Setelah penanaman ari-ari bayi ini selesai, biasanya di atasnya diberi semacam damar, lilin/lentera sebagai penerangan dan ditaburi tiga macam bunga (kembang telon) kemudian disirami dengan air bunga atau memberikan wangi-wangian/kemenyan dan lain-lain, dan ditutup dengan kendi atau kuali.
     Dalam konteks sosial dan tradisi budaya yang semacam ini, bagaimanakah pandangan ulama’ mengenai hukum adat tradisi menanam ari-ari dan budaya-budaya yang menyertainya penanaman ari-ari tersebut ?

     Hukum menanam ari-ari adalah sunnah, sebagaimana dijelaskan dalam kitab Asna al-Mathalib Syarh Raudhah at-Thalib:
وَيُسْتَحَبُّ دَفْنُ ماَ انْفَصَلَ مِنْ حَيٍّ لَمْ يَمُتْ فِي الْحَالِ أو مِمَّنْ شَكَكْنَا فِيْ مَوْتِهِ كَيَدِ سَارِقٍ وَظُفْرٍ وَشَعْرٍ وَعَلَقَةٍ وَدَمِ فَصْدٍ وَنَحْوِهِ إكْرَامًا لِصَاحِبِهَا (أسنى المطالب في شرح روضة الطالب باب الصلاة على الميت، ج 1 ص 313)
Disunnahkan mengubur sesuatu (anggota badan) yang terpisah dari orang yang masih hidup atau yang masih diragukan kematiannya, seperti tangan pencuri, kuku, rambut, gumpalan darah, darah akibat goresan dan suatu barang lain yang serupa, demi menghormati pemiliknya. (Asna al-Mathalib fii Syarh Raudhah at-Thalib bab as-Shalatu ‘ala al-Mayyit, juz 1 hal. 313)

     Sedangkan hukum dari budaya yang menyertainya seperti menaburkan bunga di atasnya, memberikan wangi-wangian/ kemenyan, menyalakan lampu, damar atau lilin dan menutup dengan kendi atau kuali dan lain-lain, adalah sebagai berikut:

a.  Haram, karena budaya tersebut termasuk kriteria mubadzir (membuang-buang harta), dan tidak ada manfaatnya. Dan hukum dari memubadzirkan barang adalah haram, sesuai dengan firman Allah
إِنَّ الْمُبَذِّرِيْنَ كَانُوْا إِخْوَانَ الشَّيَاطِيْنِ
     dan juga telah dijelaskan dalam kitab al-Bajuri sebagai berikut ini:
(تَعْرِيْفُ التَّبْذِيْرِ) أَىْ يَصْرِفُهُ فِىْ غَيْرِ مَصَارِفِهِ (قَوْلُهُ فِىْ غَيْرِ مَصَارِفِهِ) وَهُوَ كُلُّ مَا لاَ يَعُوْدُ نَفْعُهُ إِلَيْهِ عَاجِلاً وَلاَ آجِلاً فَيَشْمِلُ الْوُجُوْهُ الْمُحَرَّمَةُ وَالْمَكْرُوْهَةُ (الباجورى على فتح القريب في تعريف التبذير)
Maksud tabdzir atau mubadzir adalah menasarufkan harta di luar kewajarannya, yakni segala sesuatu yang tidak ada gunanya, baik jangka pendek maupun jangka panjang, sehingga mencakup segala hal yang diharamkan maupun yang dimakruhkan. (al-Bajuri ‘alaa Fath al-Qorib Fii Ta’rifi al-Tabdzir)

b.  Boleh, menyalakan lampu, damar atau lilin dan memberikan kuali di atasnya dengan niatan agar tidak didekati dan tidak dirusak oleh hewan buas. Dan boleh menaburkan bunga, atau memberikan wangi-wangian/kemenyan, dengan tujuan memulyakan masyimah tersebut. Karena masyimah itu disamakan seperti mayit, berdasarkan hadits nabi; sesuatu yang terlepas dari orang yang hidup adalah mayit.
لِخَبَرِ مَا قُطِعَ مِنْ حَيٍّ فَهُوَ مَيِّتٌ رَوَاهُ الْحَاكِمُ (أسنى المطالب في الشرح روضة الطالب ج 1 ص 11)

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Menanam Ari-Ari (Masyimah, Orang Jawa Menyebutnya Mendem Dulure Bayi)"

Posting Komentar