Tulisan ini sebagai bukti bahwa pondok pesantren ala NU bukanlah sarang teroris
Pengertian teror adalah kekacauan, tindakan sewenang-wenang untuk menimbulkan kekacauan, tindakan kejam dan mengancam dalam masyarakat. Pelaku teror disebut teroris yaitu orang yang melakukan kekacauan, tindakan kejam dan mengancam atau teror.
Memerangi teroris merupakan sebuah keharusan, karena bagaimanapun juga teroris adalah musuh bersama. Mereka memang manusia, akan tetapi mereka adalah manusia yang tidak mempunyai rasa prikemanusiaan. Oleh karena itu, negara terus menerus berusaha memberantas tokoh-tokoh teror sampai dengan akar-akarnya. Sebagai-mana hal ini telah diketahui bersama melalui media massa maupun media elektronik.
Oleh karena itu, apresiasi layak diberikan kepada pihak berwajib atas kesigapan mereka dalam meredam kemungkinan adanya serangan teroris di Indonesia dengan menangkap gembong-gembong teroris yang disinyalir sebagai otak dari aksi teror di negeri ini.
Namun, upaya yang telah dilakukan oleh pihak berwajib tersebut ditanggapi pro dan kontra. Ada sebagian kalangan masyarakat yang setuju dengan tindakan para pihak berwajib, dengan alasan karena apabila teroris ditangkap hidup-hidup, meski sudah dipenjara, para teroris masih bisa merekrut orang dan tetap bisa menyebarkan ideologinya.
Ada juga masyarakat yang kurang setuju dengan tindakan aparat berwajib yang membrondong teroris dengan begitu saja. Salah satu alasan mereka adalah ketika tokoh-tokoh teroris ditembak mati oleh yang berwajib, narasi terorisme seolah terkubur bersama jasad mereka. Penyergapan dengan cara menembak mati memang memiliki dampak shock therapy kepada masyarakat bahwa inilah akibat bila terlibat dalam jaringan teroris (ditembak mati tanpa proses peradilan). Dalam jangka pendek, strategi ini memang cukup berhasil. Namun, perlu diingat bahwa kelompok atau orang yang sudah dibangun pemahamannya dengan jihad kekerasan adalah orang-orang yang siap mati. Mereka selalu mengatakan bahwa kematian adalah sesuatu yang ditunggu-tunggu untuk mendapatkan tiket menuju surga Tuhan dan penjara hanyalah tamasya untuk bisa beribadah secara vertikal kepada Tuhan. Bagi para ”jihadis”, shock therapy seperti itu tak berpengaruh. Kelompok teroris akan terus berkembang biak dengan caranya.
Terlepas dari pro dan kontra sebagaimana paparan di atas, bagaimana pandangan syari’at hukum Islam terhadap aksi memerangi teroris dengan cara menembak mati, seperti yang telah dilakukan oleh pihak yang berwajib sebagai upaya pemberantasan terorisme di Indonesia?
Dari permasalahan di atas, perbuatan teror yang dilakukan oleh perorangan maupun kelompok, bisa dikategorikan dan dihukumi seperti bughah, apabila memenuhi kriteria-kriteria bughah. Adapun kriteria-kriteria kaum bughah dalam kitab Kifayat al-Akhyar, boleh diperangi dengan tiga syarat, yaitu:
1. Pada mereka ada kekuatan.
2. Mereka telah keluar dari penguasaan imam, yakni pemerintah yang adil dan yang sah.
3. Pada mereka ada penafsiran yang membolehkan (mereka keluar dari kuasa pemerintahan yang sah). Kriteria ini berdasarkan pada dalil berikut ini:
فَصْلٌ وَيُقَاتَلُ أَهْلُ الْبَغْيِ بِثَلاَثِ شَرَائِطَ أَنْ يَكُوْنُوْا فِي مَنْعَةٍ وَأَنْ يَخْرُجُوْا عَنْ قَبْضَةِ اْلإِمَامِ وَأَنْ يَكُوْنَ لَهُمْ تَأْوِيْلٌ سَائِغٌ (كفاية الأخيار، ج 2، ص 184، دار العابدين)
Kata bughah berasal dari kata baghyun berarti zalim dan pelakunya disebut baaghi (yang zalim) bentuk jamaknya bughah. Dalam istilah ulama’, bughah ialah orang yang berbeda pendapat dengan pemerintah (imam) yang adil, dan dia tidak taat pada imam dengan tidak mau melakukan kewajiban yang dibebankan kepadanya. Berikut ini sikap yang diberikan oleh para ulama terhadap bughah dengan beberapa syarat sebagai berikut:
a. Menurut ulama’; wajib memerangi kaum bughah dan mereka tidak kafir sebab sifatnya itu. Jika mereka kembali taat, maka tidak diperangi lagi dan taubat-nya diterima.
b. Menurut Imam Nawawi; para sahabat r.a. bersepakat memerangi dan membunuh kaum bughah.
اَلْبَغْيُ: اَلظُّلْمُ وَالْباَغِيْ فِي اصْطِلاَحِ الْعُلَمَاءِ هُوَ الْمُخَالِفُ لِلْإِمَامِ اَلْعَدْلِ اَلْخَارِجُ عَنْ طاَعَتِهِ بِامْتِناَعِهِ مِنْ أَدَاءِ مَا وَجَبَ عَلَيْهِ أَوْ غَيْرِهِ بِالشُّرُوْطِ اْلآتِيَةِ قاَلَ الْعُلَمَاءُ وَيَجِبُ قِتاَلُ الْبُغَاةِ وَلاَ يَكْفُرُوْنَ بِالْبَغْيِ وَإِذَا رَجَعَ إِلَى الطَّاعَةِ تُرِكَ قِتاَلَهُ وَقُبِلَتْ تَوْبَتُهُ قَالَ النَّوَوِيُّ وَاَجْمَعَتِ الصَّحاَبَةُ رضي الله عنهم عَلَى قِتاَلِ الْبُغَاةِ (كفاية الأخيار، ج 2، ص 184، دار العابدين)
Apabila sekelompok orang memberontak kepada pemerintahan yang sah dan menuntut untuk memisahkan diri serta tidak mau melaksanakan kewajiban-kewajiban, mereka harus dilihat dari kriteria berikut ini;
a. Jika pada mereka terdapat kriteria yang menyebabkan mereka dapat digolongkan sebagai bughah, maka hukum bughah diberlakukan atas mereka.
b. Sebaliknya, jika tidak terdapat kriteria yang menyebabkan mereka dapat digolongkan sebagai bughah, maka hukum tersebut tidak diberlakukan.
فَإِذَا خَرَجَ عَلَى اْلإِمَامِ طَائِفَةٌ وَرَامَتْ عُزْلَهُ وَامْتَنَعُوْا مِنْ أَدَاءِ الْحُقُوْقِ فَيَنْظُرُ فِيْهِمْ إِنْ وُجِدَتْ فِيْهِمْ شُرُوْطُ الْبُغَاةِ أُجْرِىَ حُكْمُهُمْ عَلَيْهِمْ وَإِلاَّ فَلاَ (كفاية الأخيار، ج 2، ص 184، دار العابدين)
Kaum bughah mempunyai sifat-sifat yang berbeda dengan kaum pemberontak terhadap pemerintahan, diantaranya ialah:
a. Mereka berbeda dalam kekuatan yaitu mempunyai persenjataan dan sejumlah orang, yang mana untuk menundukkan mereka kembali (baca: menjadikan mereka patuh) pemerintah memerlukan upaya berat dengan mengeluarkan dana dan menyiapkan personil atau memaklumatkan perang. Kalau mereka itu perorangan dan mudah ditangkap maka mereka bukanlah bughah, mereka juga tidak disyarat-kan menyendiri di suatu tempat di desa atau disuatu padang pasir, ini qaul yang rajih menurut para peneliti.
b. Menurut Imam Rafi’i, “kadang-kadang mereka dipandang keluar dari kuasa pemerintah yang sah”, inilah syarat kedua menurut pengarang (Syekh Taqiyuddin Abu Bakar bin Muhammad al-Husaini).
c. Mereka juga mempunyai penafsiran (takwil) yang diyakini yang me-nyebabkan mereka boleh memberontak terhadap pemerintah yang sah, atau tidak mau melaksanakan hak yang dihadapkan atas mereka.
وَلِلْبُغَاةِ صِفَاتٌ يَتَمَيَّزُوْنَ بِهَا عَنْ غَيْرِهِمْ مِنَ الْخَارِجِيْنَ عَلَى اْلإِمَامِ مِنْهَا أَنْ يَكُوْنُوْا فِي مَنْعَةٍ بِأَنْ يَكُوْنَ لَهُمْ شَوْكَةٌ وَعَدَدٌ بِحَيْثُ يَحْتاَجُ اْلإِمَامُ فِي رَدِّهِمْ إِلَى الطَّاعَةِ إِلَى كُلْفَةٍ بِبَذْلِ مَالٍ وَإِعْدَادِ رِجَالٍ أَوْ نَصْبِ قِتاَلٍ فَإِنْ كاَنُوْا أَفْرَادَا وَيَسْهُلُ ضَبْطُهُمْ فَلَيْسُوْا بِبُغاَةٍ وَلاَ يُشْتَرَطُ اِنْفِرَادُهُمْ بِمَوْضِعٍ مِنْ قَرْيَةٍ أَوْ صَحْرَاءَ عَلَى الرَّاجِحِ عِنْدَ الْمُحَقِّقِيْنَ قاَلَ الرَّافِعِيُّ وَرُبَّمَا يُعْتَبَرُ خُرُوْجُهُمْ عَنْ قَبْضَةِ اْلإِمَامِ وَهَذَا هُوَ الشَّرْطُ الثَّانِيْ عِنْدَ الشَّيْخِ وَمِنْهَا أَنْ يَكُوْنَ لَهُمْ تَأْوِيْلٌ يَعْتَقِدُوْنَ بِسَبَبِهِ جَوَازَ الْخُرُوْجِ عَلَى اْلإِمَامِ أَوْ مَنْعِ الْحَقِّ الْمُتَوَجَّهِ عَلَيْهِمْ. (كفاية الأخيار، ج 2 ص 184، دار العابدين)
Dengan demikian, jika suatu kaum tidak lagi taat dan menolak hak dengan tidak ada penafsiran (kekeliruan faham), baik hak itu berupa hukuman (had) qishash, maupun harta bagi Allah atau bagi anak Adam dengan keras kepala, dan tidak ada kaitan dengan suatu penafsiran, maka kepada mereka tidak diberlakukan hukum bughah, begitu pula orang murtad.
فَلَوْ خَرَجَ قَوْمٌ عَنِ الطَّاعَةِ وَمَنَعُوْا الْحَقَّ بِلاَ تَأْوِيْلٍ سَوَاءٌ كَانَ حَدًّا أَوْ قِصَاصًا أَوْ مَالاً لِلَّهِ تَعاَلَى أَوْ لِلْآدَمِيِّيْنَ عِنَادًا وَلَمْ يَتَعَلَّقُوْا بِتَأْوِيْلٍ فَلَيْسَ لَهُمْ حُكْمُ الْبُغاَةِ وَكَذاَ اَلْمُرْتَدُوْنَ (كفاية الأخيار، ج 2، ص 184، دار العابدين)
Kemudian jika penafsiran itu diyakini ketidak-benarannya (kebatalannya), maka ada dua pendapat sebagai berikut;
a. Yang lebih dapat dimengerti ialah, karena memang sudah dikatakan oleh kebanyakan ulama’, bahwa penafsiran itu tidak banyak benar.
b. Kalau ketidak-benarannya itu bersifat dugaan, maka penafsiran itu diperhitungkan.
Oleh sebab itu kata pengarang menggunakan redaksi ta’wil sa’igh. Dan diantara sahabat-sahabat kami ada yang menggunakan redaksi ta’wil muhtamal. Namun, semuanya kembali kepada arti (makna).
ثُمَّ التَّأْوِيْلُ إِنْ كاَنَ بُطْلاَنُهُ مَقْطُوْعًا بِهِ فَوَجْهاَنِ أَفْقَهُهُمَا لِإِطْلاَقِ اْلأَكْثَرِيْنَ أَنَّهُ لاَ يُعْتَبَرُ كَتَأْوِيْلِ الْمُرْتَدِيْنَ وَشِبْهِهِمْ وَإِنْ كاَنَ بُطْلاَنُهُ مَظْنُوْناً فَهُوَ مُعْتَبَرٌ وَلِهَذاَ قاَلَ الشَّيْخُ تَأْوِيْلٌ سَائِغٌ وَمِنَ اْلأَصْحاَبِ مَنْ يُعَبِّرُ عَنْ ذَلِكَ بِتَأْوِيْلٍ مُحْتَمِلٍ وَالْكُلُّ يَرْجِعُ إِلَى مَعْنَى. (كفاية الأخيار، ج 2، ص 184، دار العابدين)
Syarat lainnya untuk dapat disebut kaum bughah ialah mereka mempunyai panutan (pemimpin) yang ditaati, karena tak ada kekuatan apa pun bagi orang yang sikapnya tidak menyatu dengan orang yang ditaati. Apabila anda yang memahami hal ini, maka barangsiapa mempunyai penafsiran (takwil) tanpa kekuatan atau kekuatan tanpa penafsiran, pada mereka tidak diperlakukan hukum bughah. Wallahua’lam.
وَمِنْهاَ أَنْ يَكُوْنَ لَهُمْ مَتْبُوْعُ مُطاَعٍ إِذْ لاَ قُوَّةَ لِمَنْ لاَ تَجْتَمِعُ كَلِمَتُهُمْ عَلَى مُطَاعٍ إِذَا عَرَفْتَ هَذَا فَمَنْ لَهُ تَأْوِيْلٌ بِلاَ شَوْكَةٍ أَوْ شَوْكَةٍ بِلاَ تَأْوِيْلٍ لَيْسَ لَهُمْ حُكْمُ الْبُغَاةِ وَاللهُ أَعْلَمُ. (كفاية الأخيار، ج 2، ص 185، دار العابدين)
Dari uraian di atas, perbuatan teror yang dilakukan oleh perorangan maupun kelompok yang sudah termasuk kategori bughah, maka pemerintah yang sah berhak dan wajib memeranginya demi menolak kejahatan dan mentaatkan/meluruskan mereka kembali. Adapun dalam hal bagaimana cara atau metode memerangi kaum bughah, para ulama’ berbeda pendapat:
a. Apabila memungkinkan untuk menahan/menangkap mereka, maka tidak boleh membunuhnya.
b. Apabila memungkinkan untuk melumpuhkan mereka, maka tidak boleh segera menghabisi nyawanya.
c. Jika peperangan berkobar keadaan tentu sulit untuk dikendalikan. Oleh sebab itu, boleh bagi aparat yang berwenang untuk melumpuhkan mereka dengan cara melukai maupun dengan cara yang lainnya.
d. Apabila seorang dari mereka tertawan/tertangkap atau dapat di-lumpuhkan, maka tawanan itu tidak boleh dibunuh, dan seseorang dari mereka yang terluka tidak boleh segera dihabisi nyawanya.
e. Menurut Imam Abu Hanifah rahimahullah, kaum bughah yang ditawan harus dibunuh, dan yang terluka harus segera dihabisi nyawanya. Sebagaimana keterangan dalam kitab Kifayat al-Akhyar, berikut ini:
(وَلاَ يُقْتَلُ أَسِيْرُهُمْ وَلاَ يُغْنَمُ مَالُهُمْ وَلاَ يُذَفَّفُ عَلَى جَرِيْحِهِمْ) قَدْ عُرِفَتْ شُرُوْطُ الْبُغَاةِ وَالْكَلاَمُ اْلآنَ فِي كَيْفِيَّةِ قِتاَلِهِمْ وَطَرِيْقِهِمْ طَرِيْقُ دَفْعِ الصَّائِلِ كَمَا مَرَّ اْلآنَ الْمَقْصُوْدُ رَدُّهُمْ إِلَى الطَّاعَةِ وَدَفْعِ شَرِّهِمْ لاَ الْقَتْلُ فَإِذَا أَمْكَنَ اْلأَسَرُّ فَلاَ قَتْلَ وَإِذَا أَمْكَنَ اْلِإثْخَانُ فَلاَ تَذْفِيْفَ فَإِنِ اْلتَحَمَ الْقِتاَلُ خَرَجَ اْلأَمْرُ عَنِ الضَّبْطِ فَلَوْ أَسِرَ وَاحِدٌ مِنْهُمْ أَوْ أَثْخَنَ بِالْجَرَاحَةِ أَوْ غَيْرِهَا فَلاَ يُقْتَلُ اْلأَسِيْرُ وَلاَ يَذَفَّفُ عَلَى الْجَرِيْحِ وَالتَّذْفِيْفُ تَتْمِيْمُ الْقَتْلِ وَتَعْجِيْلُهُ وَقاَلَ أَبُوْ حَنِيْفَةَ رَحِمَهُ اللهُ يُقْتَلُ اْلأَسِيْرُ وَيَذَفَّفُ عَلَى الْجَرِيْحِ. (كفاية الأخيار، ج 2، ص 185، دار العابدين)
(Kaum bughah yang tertangkap tidak boleh dibunuh, harta mereka tidak dijadikankan harta rampasan, dan orang yang terluka dari mereka tidak dibunuh). Telah anda ketahui syarat-syarat kaum bughah. Pembicaraan kini ialah mengenai bentuk peperangan melawan mereka, sedangkan caranya yakni cara menolak serangan ialah seperti tersebut di atas. Karena tujuanya adalah mentaatkan mereka kembali dan menolak kejahatan bukan mem-bunuh. Oleh sebab itu apabila memungkinkan menawan, maka jangan membunuh dan apabila memungkinkan untuk melumpuhkan, maka jangan segera menghabisi nyawa. Jika peperangan berkobar keadaan tentu sulit dikendalikan. Oleh sebab itu kalau seorang dari mereka tertawan atau dilumpuhkan, (boleh) melumpuhkan dengan melukai dan sebagainya, maka tawanan itu tidak boleh dibunuh, dan orang yang terluka tidak boleh segera dihabisi nyawanya. Dan kata Abu Hanifah rahimahullah, tawanan harus dibunuh, dan yang terluka harus segera dihabisi nyawanya. (Kifayah al-Akhyar, juz 2, hal. 185)
Untuk keterangan yang lebih jelas mengenai permasalahan ini, dapat dibaca dalam kitab Kifayah al-Akhyar, bab Bughah, atau dalam kitab-kitab lainnya yang menerangkan tentang masalah bughah.
0 Response to "Menanggapi Aksi Terorisme & Pemberantasannya di Indonesia "
Posting Komentar