APAKAH BOLEH BERPINDAH PINDAH MADZHAB
1.
Pendapat pertama, tidak
diperbolehkan, bahkan harus konsisten pada mazhab tertentu saja. Hal ini karena
untuk meningkatkan sisi keyakinan terhadap kebenaran mazhab yang diikuti,
sehingga akan lebih mantap dalam menjalankannya.
2.
Pendapat kedua, yaitu
pendapat yang ditarjih oleh Ibnu Hajar dan ulama Muta 'akhkhirin
lain, diperbolehkan. Di samping karena tidak ada dalil yang mengharuskan
mengikuti mazhab tertentu, juga didukung fakta bahwa para sahabat yang
menanyakan persoalan agama pada ulama di zamannya, tidak terikat pada ulama
tertentu. Pendapat kedua ini lebih dikenal dengan konsep:
اَلعَامِيُّ لَامَذْهَبَ لَهُ
"Orang
awam tidak terikat dengan mazhab tertentu."
3.
Menurut Imam
al-Amid dan Imam al-Kamal Ibnul Hammam tidak boleh berpindah madzhab Ketika dia
mengamalkan satu madzhab dalam satu perkara maka dia tidak boleh bertaklid
kepada madzhab yang lain. Namun ketika dia menghadapi perkara lain dan dia
tidak mengikuti madzhabnya, maka dia boleh mengikuti madzhab yang lain dalam
melaksanakan perkara tersebut.
الفَرْعُ الثَّانِي ـ هَلِ الْتِزَامُ مَذْهَبٍ مُعَيَّنٍ
أَمْرٌ مَطْلُوبٌ أُصُولِياً؟ اِنْقَسَمَ الْأُصُولِيُّونَ فِي هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ
عَلَى آرَاءٍ ثَلَاثَةٍ:
1-
فَقَالَ بَعْضُهُمْ: يَجِبُ
الْتِزَامُ مَذْهَبِ إِمَامٍ مُعَيَّنٍ، لِأَنَّهُ اعْتَقَدَ أَنَّهُ حَقٌّ، فَيَجِبُ
عَلَيْهِ الْعَمَلُ بِمُقْتَضَى اعْتِقَادِهِ.
2- وَقَالَ أَكْثَرُ الْعُلَمَاءِ: لَايَجِبُ تَقْلِيدُ إِمَامٍ
مُعَيَّنٍ فِي كُلِّ الْمَسَائِلِ وَالْحَوَادِثِ الَّتِي تَعَرَّضَ، بَلْ يَجُوزُ
أَنْ يُقَلِّدَ أَيْ مُجْتَهِدٌ شَاءَ، فَلَو الْتَزَمَ مَذْهَبًا مُعَيَّنًا كَمَذْهَبِ
أَبِي حَنِيْفَةَ أَوِ الشَّافِعِي أَوْ غَيْرِهِمَا، لَايَلْزمُهُ الْاِسْتِمْرَارُ
عَلَيْهِ، بَلْ يَجُوزُ لَهُ الْاِنْتِقَالُ مِنْهُ إِلَى مَذْهَبٍ آخَرٍ، إِذْ لَا
وَاجِبَ إِلَّا مَا أَوْجَبَهُ اللهُ وَرَسُولُهُ، وَلَمْ يُوجِبْ اللهُ تَعَالَى وَلَا
رَسُولُهُ عَلَى أَحَدٍ أَنْ يَتَمَذْهَبَ بِمَذْهَبِ رَجُلٍ مِنَ الْأَئِمَّةِ، وَإِنَّمَا أَوْجَبَ اللهُ تَعَالَى
اتِّبَاعَ الْعُلَمَاءِ مِنْ غَيْرِ تَخْصِيْصٍ بِوَاحِدٍ دُوْنَ آخَرٍ، فَقَالَ عَزَّ
وَجَلَّ: {فَاسْأَلُوْا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَاتَعْلَمُونَ} [الأنبياء:7/
21]، وَلِأَنَّ الْمُسْتَفْتِيْنَ فِي عَصْرِ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِيْنَ، لَمْ
يَكُوْنُوْا مُلْتَزِمِيْنَ بِمَذْهَبٍ مُعَيَّنٍ، بَلْ كَانُوْا يَسْأَلُوْنَ مَنْ
تَهْيَأَ لَهُمْ دُوْنَ تَقَيُّدٍ بِوَاحِدٍ دُوْنَ آَخَرٍ، فَكَانَ هٰذَا إِجْمَاعًا
مِنْهُمْ عَلَى عَدَمِ وُجُوْبِ تَقْلِيْدِ إِمَامٍ، أَوِ اتِّبَاعِ مَذْهَبٍ مُعَيَّنٍ
فِي كُلِّ الْمَسَائِلِ.
ثُمَّ إِنَّ الْقَوْلَ بِالْتِزَامِ مَذْهَبٍ مَا يُؤْدِي إِلَى الْحَرَجِ وَالضَّيِّقِ،
مَعَ أَنَّ الْمَذَاهِبَ نِعْمَةٌ وَفَضِيْلَةٌ وَرَحْمَةٌ لِلْأُمَّةِ. وَهٰذَا الْقَوْلُ
هُوَ الرَّاجِحُ عِنْدَ عُلَمَاءِ الْأُصُوْلِ
3- وَفَصَّلَ الْآمُدِي وَالْكَمَالُ بْنُ الْهَمَّامِ
فِي الْمَسْأَلَةِ فَقَالَ: إِنْ عَمِلَ الشَّخْصُ بِمَا الْتَزَمَهُ فِي بَعْضِ
الْمَسَائِلِ بِمَذْهَبٍ
مُعَيَّنٍ، فَلَا يَجُوْزُ لَهُ تَقْلِيْدُ الْغَيْرِ فِيْهَا،
وَإِنْ لَمْ يَعْمَلْ فِي بَعْضِهَا الْآخَرُ جَازَ لَهُ اتِّبَاعِ غَيْرِهِ فِيْهَا،
إِذْ إِنَّهُ لَمْ يُوْجَدْ فِي الشَّرْعِ مَا
يُوْجَبُ عَلَيْهِ اتِّبَاعِ مَا الْتَزَمَهُ، وَإِنَّمَا
أَوْجَبَ الشَّرْعُ عَلَيْهِ اتِّبَاعُ الْعُلَمَاءِ دُوْنَ تَخْصِيْصِ عَالِمٍ دُوْنَ
آخَرٍ.
يَتَلَخَّصُ مِنْ هَذَا أَنَّ الْقَوْلَ الْأَصَحَّ الرَّاجِحَ
عِنْدَ عُلَمَاءِ الْأُصُوْلِ: هُوَ عَدَمُ ضَرُوْرَةِ الْاِلْتِزَامِ بِمَذْهَبٍ مُعَيَّنٍ،
وَجَوَازُ مُخَالَفَةِ إِمَامِ الْمَذْهَبِ، وَالْأَخْذُ بِقَوْلِ غَيْرِهِ، لِأَنَّ
الْتِزَامَ الْمَذْهَبِ غَيْرُ مُلَزَّمٍ، كَمَا بَيَّنَّا. وَبِنَاءً عَلَيْهِ فَلَا
مَانِعَ إِطْلَاقاً مِنْ حَيْثُ الْمَبْدَأُ فِي الْعَصْرِ الْحَاضِرِ مِنِ اخْتِيَارِ
بَعْضِ الْأَحْكَامِ الشَّرْعِيَّةِ الْمُقَرَّرَةِ لَدَى عُلَمَاءِ الْمَذَاهِبِ،
دُوْنَ تَقَيُّدٍ بِجُمْلَةِ الْمَذْهَبِ أَوْ بِتَفْصِيْلَاتِهِ (الفقه الإسلامي وأدلته
للزحيلي: ج 1، ص 94)
Apakah Ada Tuntutan Untuk Mengikuti Suatu Madzhab
Tertentu Secara Disiplin Dalam Semua Permasalahan (Iltizam Madzhab Muayyan)? Dalam
menganggapi masalah ini, para pakar ushul fiqih terbagi kepada tiga kelompok
pendapat: pendapat pertama Sebagian mereka mengatakan bahwa mengikuti salah
satu imam madzhab secara disiplin dalam semua permasalahan adalah suatu
kewajiban. Hal ini karena orang yang telah memilih satu madzhab telah
berkeyakinan bahwa imam madzhab yang dianutnya itu adalah yang benar, maka dia
wajib melaksanakan keyakinannya itu. Pendapat kedua Sebagian besar ulama
berpendapat bahwa taklid kepada imam tertentu dalam semua permasalahan dan
semua kejadian yang dialami bukanlah suatu kewajiban. Orang tersebut boleh
bertaklid kepada mujtahid mana pun yang dia kehendaki. Kalau seandainya
seseorang mengikuti salah satu madzhab tertentu umpamanya madzhab Abu Hanifah
atau madzhab Syafi'i atau yang lain, maka dia tidak wajib mengikuti madzhab
tersebut secara berterusan, melainkan ia boleh pindah ke madzhab yang lain.
Alasannya adalah sesuatu akan dihukumi wajib jika memang ada perintah wajib dari
Allah dan Rasul-Nya. Padahal, Allah dan juga Rasul-Nya tidak pernah mewajibkan
seseorang untuk bermadzhab dengan salah satu imam madzhab yang ada. Yang
diwajibkan oleh Allah hanyalah mengikuti ulama secara umum, tanpa ada
pengkhususan kepada salah satu dari ulama tersebut. Allah SWT berfirman, "
maka tanyakanlah kepada orang yang berilmu, jika kamu tidak mengetahui."
(al-Anbiyaa': 7). Alasan lainnya adalah bahwa orang-orang yang meminta fatwa
pada zaman sahabat dan tabi'in tidak ada yang mewajibkan dirinya untuk
mengikuti madzhab tertentu saja, melainkan mereka akan menanyakan permasalahan
kepada siapa pun yang ahli, tanpa membatasi diri kepada salah satu dari mereka.
Ini dapat disimpulkan bahwa mereka semua adalah bersepakat (berijma) bahwa
bertaklid hanya kepada satu imam saja atau mengikuti madzhab tertentu dalam
berbagi permasalahan, bukanlah suatu kewajiban. Selain itu, pendapat yang
mengatakan bahwa mengikuti salah satu madzhab adalah wajib, akan menyebabkan
kesulitan dan kesempitan. Padahal, keberadaan madzhab yang beragam sebenarnya
adalah suatu kenikmatan, anugerah, dan juga rahmat bagi umat Islam. Pendapat
ini adalah pendapat yang rajih di kalangan ulama ushul fiqih. Pendapat ke-tiga
Imam al-Amudiy dan Imam al-Kamal Ibnul Hammam membuat perincian yang lebih
detail dalam masalah ini, bagi mereka, yang diwajibkan mengikuti aturan madzhab
tertentu adalah ketika seseorang melakukan perbuatan dalam suatu perkara
tertentu. Ketika dia mengamalkan satu madzhab dalam satu perkara tersebut, maka
dia tidak boleh bertaklid kepada madzhab yang lain. Namun ketika dia menghadapi
perkara lain dan dia tidak mengikuti madzhabnya, maka dia boleh mengikuti
madzhab yang lain dalam melaksanakan perkara tersebut. Hal ini disebabkan tidak
ada aturan syara' yang mewajibkan mengikuti satu madzhab yang dianut secara
disiplin dalam semua perkara. Yang diwajibkan oleh syara' adalah mengikuti
ulama siapa pun tanpa ada pengkhususan kepada salah seorang di antara mereka.
Dapat disimpulkan bahwa pendapat yang paling shahih dan rajih di kalangan ulama
ushul fiqih adalah tidak wajibnya konsisten dalam mengikuti madzhab tertentu,
dan boleh berbeda dengan pendapat imam madzhab, juga boleh mengambil pendapat
selain imam madzhab. Hal ini disebabkan konsisten mengamalkan madzhab tertentu
bukanlah suatu kewajiban sebagaimana yang sudah kami terangkan. Atas dasar ini
semua, maka pada masa sekarang ini pada prinsipnya sama sekali tidak ada
larangan untuk memilih sebagian hukum- hukum syara' yang ditetapkan oleh para
ulama madzhab, tanpa membatasi jumlah madzhab tertentu ataupun membatasi dengan
detail- detail madzhab tersebut (al-Fiqh al-Islam wa Adillatuhu, 1:94).
0 Response to "APAKAH BOLEH BERPINDAH PINDAH MADZHAB"
Posting Komentar