HUKUM MEMAKAI HANDUK SETELAH WUDHU’
Tak jarang, usai mengambil air wudhu’ sebagian
orang memiliki kebiasaan mengeringkan air bekas wudlu yang ada di wajah maupun
rambut menggunakan handuk. Bagaimana hukum pemakaian handuk seusai wudlu dengan
tujuan mengeringkan air tersebut?
A.
Tidak
makruh
Menurut pendapat yang shahih dari mayoritas Ulama
Irak, Qodi Husen, Al-Bagawiy, Imam Haramain, Ar- Rofi'i dll, dari golongan
Ulama Muta’akhirin berhanduk setelah wudhu’ hukumnya tidak makruh akan
tetapi dianjurkan untuk ditinggalkan.
B.
Makruh
Menurut al-Mutawalliy dan yang lain. Namun,
menurut imam ar-Rofi'i jika dilakukan di musim panas atau kemarau, dan tidak
makruh bila dilakukan di musim dingin atau hujan, karena adanya udzur berupa
dingin.
C.
Mubah
Menurut Abu
Ali at-Thabari dalam kitab Ifshahnya, dan Qodli Abu at-Toyyib dalam kitab
Ta'liqnya.
D.
Sunnah
Menurut al- Faurani, al-Ghazali, ar-Rauyani dan
Ar-Rofi'i' berhanduk setelah wudhu’ hukumnya sunnah karena dapat terhindar dari
debu yang najis dan yang lain.
أَمَّا حُكْمُ التَّنْشِيفِ فَفِيهِ طُرُقٌ
مُتَبَاعِدَةٌ لِلْأَصْحَابِ يَجْمَعُهَا خَمْسَةُ أَوْجَهٍ الصَّحِيحُ مِنْهَا أَنَّهُ
لَايُكْرَهُ لَكِنَّ الْمُسْتَحَبَّ تَرْكُهُ وَبِهَذَا قَطَعَ جُمْهُورُ الْعِرَاقِيِّينَ
وَالْقَاضِي حُسَيْنٌ فِي تَعْلِيقِهِ وَالْبَغَوِيُّ وَآخَرُونَ وَحَكَاهُ إمَامُ
الْحَرَمَيْنِ عَنِ الْأَئِمَّةِ وَرَجَّحَهُ الرَّافِعِيُّ وَغَيْرُهُ مِنِ الْمُتَأَخِّرِينَ
الْمُطَّلِعِينَ (وَالثَّانِي) يُكْرَهُ التَّنْشِيْفُ حَكَاهُ الْمُتَوَلِّي وَغَيْرُهُ
(الثَّالِثُ) أَنَّهُ مُبَاحٌ يَسْتَوِي فِعْلُهُ وَتَرْكُهُ قَالَهُ أَبُو عَلِيٍّ
الطَّبَرِيُّ فِي الْإِفْصَاحِ وَالْقَاضِي أَبُو الطَّيِّبِ فِي تَعْلِيقِهِ (وَالرَّابِعُ)
يُسْتَحَبُّ التَّنْشِيفُ لِمَا فِيهِ مِنْ السَّلَامَةِ مِنْ غُبَارٍ نَجِسٍ وَغَيْرِهِ
حكاه الْفُورَانِيُّ وَالْغَزَالِيُّ وَالرُّويَانِيُّ وَالرَّافِعِيُّ (وَالْخَامِسُ)
إنْ كَانَ فِي الصَّيْفِ كُرِهَ التَّنْشِيفُ وَإِنْ كَانَ فِي الشِّتَاءِ فَلَا لِعُذْرِ
الْبَرْدِ حَكَاهُ الرَّافِعِيُّ قَالَ الْمَحَامِلِيُّ وَغَيْرُهُ وَلَيْسَ لِلشَّافِعِيِّ
نَصٌّ فِي الْمَسْأَلَةِ قَالَ أَصْحَابُنَا وَسَوَاءٌ التَّنْشِيفُ فِي الْوُضُوءِ
وَالْغُسْلِ هَذَا كُلُّهُ إذَا لَمْ تَكُنْ حَاجَةٌ إلَى التَّنْشِيفِ لِخَوْفِ بَرْدٍ
أَوْ الْتِصَاقٍ بِنَجَاسَةٍ وَنَحْوِ ذَلِكَ فَإِنْ كَانَ فَلَا كَرَاهَةَ قَطْعًا
(المجموع شرح المهذب: ج 1، ص 461)
Para pengikut madzhab Syafi'i menuqil hukum
berhanduk setelah berwudlu' atau mandi, dan memberikan kesimpulan adanya lima
pendapat: Pendapat yang pertama (shahih) menghukumi tidak makruh akan tetapi
dianjurkan untuk ditinggalkan, pendapat ini didukung oleh mayoritas Ulama Irak,
Qodi Husen, Al-Bagawiy, Imam Haramain, Ar- Rofi'i dll, dari golongan Ulama
Muta-akhirin. Pendapat kedua menghukumi makruh, pendapat ini diriwayatkan oleh
al-Mutawalliy dan yang lain. Pendapat yang ketiga menghukumi mubah sebagaimana
pendapat Abu Ali at-Thabari dalam kitab Ifshahnya, dan Qodli Abu at-Toyyib
dalam kitab Ta'liqnya. Pendapat yang ke-empat menghukumi sunnah karena dapat
terhindar dari debu yang najis dan yang lain, pendapat ini diriwayatkan oleh
al- Faurani, al-Ghazali, ar-Rauyani dan Ar-Rofi'i'. Pendapat yang kelima
menghukumi makruh jika dilakukan di musim panas atau kemarau, dan tidak makruh
bila dilakukan di musim dingin atau hujan, karena adanya udzur berupa dingin,
pendapat ini diriwayatkan oleh imam ar-Rofi'i. Al-Mahamiliy dan yang lain
berkata: Imam as-Syafi'i tidak mempunyai an-Nash (penjelasan) dalam masalah
ini, Ash-Habuna berkata: Sama saja hukum (makruh) berhanduk setelah wudlu
maupun setelah mandi, semuanya ini bila tidak ada hajat untuk berhanduk, karena
kuawatir dingin atau ketemu najis dan sesamanya, namun bila ada hajat maka
tidak makruh (al-Majmu’ Syarh al-Muhadzab, 1:461).
0 Response to "HUKUM MEMAKAI HANDUK SETELAH WUDHU’ "
Posting Komentar