HUKUM MEMBACA FATIHAH SAAT SHALAT TANPA TERDENGAR TELINGA SENDIRI

 

HUKUM MEMBACA FATIHAH SAAT SHALAT TANPA TERDENGAR TELINGA SENDIRI

Sering kali dijumpai di masyarakat tentang orang yang melaksanakan shalat namun bacaan surat al-Fatihahnya tidak terdengar oleh telinga sendiri seperti isyarat lisan (menggerak gerakkan lisan) atau hanya dibaca dalam hati.

Bagaimanakah hukum membaca al-Fatihah saat shalat tanpa terdengar telinga sendiri?

A.     Tidak sah

Tidak sah karena menurut madzhab Hanafi, Syafi’i, dan Hambali syarat membaca al-fatihah dalam shalat adalah al-fatihah harus didengar oleh dirinya sendiri maka tidak cukup hanya menggerakkan lisan tanpa memperdengarkan bacaannya. Karena gerakan lisan tidak bisa dinamakan bacaan ketika tidak bersuara.

وَاشْتَرَطَ الْحَنَفِيَّةُ وَالشَّافِعِيَّةُ وَالْحَنَابِلَةُ لاِعْتِبَارِ الْقِرَاءَةِ أَنْ يُسْمِعَ الْقَارِئُ نَفْسَهُ، فَلَا تَكْفِي حَرَكَةُ اللِّسَانِ مِنْ غَيْرِ إِسْمَاعٍ؛ لِأَنَّ مُجَرَّدَ حَرَكَةِ اللِّسَانِ لَا يُسَمَّى قِرَاءَةً بِلَا صَوْتٍ؛ لِأَنَّ الْكَلَامَ اسْمٌ لِمَسْمُوعٍ مَفْهُومٍ، وَهَذَا اخْتِيَارُ الْهِنْدُوَانِيِّ وَالْفَضْلِيِّ مِنَ الْحَنَفِيَّةِ وَرَجَّحَهُ الْمَشَايِخُ (الموسوعة الفقهية الكويتية: ج33، ص51(

“Madzhab Hanafi, Syafi’i, dan Hambali menyaratkan bacaan al-fatihah harus didengar oleh telinganya sendiri maka tidak hanya dengan menggerakkan lisan tanpa dapat didengar. Karena jika hanya menggerakkan lisan tanpa bersuara tidak bisa dikatakan membaca”(al-Mausu'ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, 33:51).

B.     Sah

Al-Kurkhi, Syekh Taqiyuddin dari madzhab Hambali, dan ulama madzhab Maliki tidak menyaratkan harus mendengar bacaan al-Fatihahnya sendiri melainkan cukup dengan menggerakkan lisan.

وَاخْتَارَ الْكُرْخِيُّ عَدَمَ اعْتِبَارِ السِّمَاعِ، لِأَنَّ الْقِرَاءَةَ فِعْل اللِّسَانِ وَذَلِكَ بِإِقَامَةِ الْحُرُوفِ دُونَ الصِّمَاخِ؛ لِأَنَّ السَّمَاعَ فِعْل السَّامِعِ لَا الْقَارِئِ، وَهُوَ اخْتِيَارُ الشَّيْخِ تَقِيِّ الدِّينِ مِنَ الْحَنَابِلَةِ أَيْضًا وَلَمْ يَشْتَرِطْ الْمَالِكِيَّةُ أَنْ يُسْمِعَ نَفْسَهُ وَتَكْفِي عِنْدَهُمْ حَرَكَةُ اللِّسَانِ، أَمَّا إِجْرَاؤُهَا عَلَى الْقَلْبِ دُونَ تَحْرِيكِ اللِّسَانِ فَلَا يَكْفِي، لَكِنْ نَصُّوا عَلَى أَنَّ إِسْمَاعَ نَفْسِهِ أَوْلَى مُرَاعَاةً لِمَذْهَبِ الْجُمْهُورِ (الموسوعة الفقهية الكويتية: ج 33 ، ص51(

“Al-Kurkhi, Syekh Taqiyuddin dari madzhab Hambali, dan ulama madzhab Maliki tidak menyaratkan harus mendengar bacaan al-fatihahnya sendiri melainkan cukup dengan menggerakkan lisan. karena membaca adalah perbuatan lisan yang bisa tercapai dengan penetapan huruf-huruf pada lisan bukan pada telinga. Karena mendengarkan adalah perilakunya pendengar bukan pembaca. Adapun bergumam didalam hati tidaklah cukup karena bukan termasuk gerakan lisan (pendapat yang lebih utama adalah pendapat pertama karena pendapat madzhab jumhur)” (al-Mausu'ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, 33:51).

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "HUKUM MEMBACA FATIHAH SAAT SHALAT TANPA TERDENGAR TELINGA SENDIRI"

Posting Komentar