HUKUM MENIUP MAKANAN DAN MINUMAN YANG PANAS

 

HUKUM MENIUP MAKANAN DAN MINUMAN YANG PANAS

Dalam penyajian makanan, beberapa restoran biasanya menghidangkan makanan yang baru matang sehingga masih dalam kondisi panas. Memakan makanan yang masih dalam kondisi panas memiliki resiko yang besar pada mulut dan tenggorokan. Sehingga beberapa orang berupaya menurunkan suhu makanan tersebut agar bisa menikmati makanan tersebut. cara yang paling efektif untuk menurunkan suhu makanan adalah dengan cara ditiup.

Bagaimana hukum meniup makanan dan minuman yang masih panas ?

A.     Makruh

Mayoritas ulama mengatakan makruh meniup makanan dan makanan yang panas karena dapat merubah aroma, menandakan sangat rakus, kurang sabar sehingga menyebabkan hilangnya barakah dalam makanan tersebut.

وَكَانَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَكْرِهُ الطَّعَامَ الْحَارَّ وَيَقُوْلُ عَلَيْكُمْ بِالطَّعَامِ الْبَارِدِ فَإِنَّهُ دَوَاءٌ أَلَّا وَإِنَّ الحَارَّ لَا بَرَكَةَ فِيْهِ وَفِي الْعَوَارِفِ عَنِ النَّبِي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ النَّفْخُ فِي الطَّعَامِ يَذْهَبُ الْبَرَكَةَ (نزهة المجالس ومنتخب النفائس: ج 2، ص 208)

“Baginda Nabi SAW. membenci makanan panas dan beliau bersabda : Makanlah makanan yang dingin karena ia obat dan ingatlah sesungguhnya yang panas tidak ada keberkahan didalamnya”. Dalam kitab al-‘Awaarif dari Nabi disebutkan “Meniup makanan menghilangkan keberkahan” (Nazhat al-Majalis wa Muntakhib al-Nafa’is, 2:208).

(نَهَى عَنِ النَّفْخِ فِي الشَّرَابِ) فَيُكْرَهُ لِاَنَّهُ يُغَيِّرُ رَائِحَةَ الْمَاءِ ( ت عَنْ أَبِي سَعِيْدٍ ) وَقَالَ صَحِيْحٍ ( نَهَى عَنِ النَّفْخِ فِي الطَّعَامِ ) الْحَارِّ لِيَبْرُدَ لِاَنَّهُ يَؤْذِنُ بِشِدَّةِ الشَّرِّهِ وَقِلَّةِ الصَّبْرِ (وَالشِّرَابِ) لِمَا ذُكِرَ فِي حَدِيْثٍ آخَرَ اَنَّ النَّفْخَ عَلَى الطَّعَامِ يَذْهَبُ الْبَرَكَةَ (التيسير بشرح الجامع الصغير: ج 2، ص 908)

"Nabi melarang meniup minuman maka makruh hukumnya karena dapat merubah aroma air, melarang meniup makanan yang panas agar cepat dingin karena menandakan sangat rakus, kurang sabar. Dalam hadits lain “sesungguhnya meniup makanan menghilangkan keberkahan”  (al-Taysir bi Syarh al-Jami’ al-Shaghir, 2:908).

أَنَّ نَهْيَهُ عليه الصلاة والسلام عَنِ النَّفْخِ فِي الطَّعَامِ وَالشَّرَابِ لَيْسَ عَلَى سَبِيْلِ أَنَّ مَا تَطَايَرَ فِيْهِ مِنَ الْلِعَابِ نَجِسٌ وَإِنَّمَا هُوَ خَشْيَةُ أَنْ يَتَقَذَّرَ الْآكِلُ مِنْهُ فَأُمِرَ بِالتَّأَدُّبِ (عمدة القاري شرح صحيح البخاري: ج 4، ص 387)

“Sesungguhnya larangan nabi SAW. meniup makanan dan minuman bukan berarti menunjukkan semburan yang keluar dari air ludah itu najis tapi dikhawatirkan berakibat jijiknya orang yang makan, maka diperintahkan beretika didalamnya” (Umdat al-Qori Syarh Shohih al-Bukhori, 4:387).

ذَهَبَ جُمْهُورُ الْفُقَهَاءِ إِلَى أَنَّهُ يُكْرَهُ النَّفْخُ فِي الطَّعَامِ وَالشَّرَابِ؛ لِمَا رَوَى ابْنُ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " أَنَّهُ نَهَى أَنْ يُتَنَفَّسَ فِي الإِنَاءِ أَوْ يُنْفَخَ فِيهِ (الموسوعة الفقهية الكويتية: ج 41، ص 23)

“mayoritas ulama berpendapat makruh meniup makanan dan minuman karena ada hadits yang diriwayatkan Ibnu Abbas Ra dari nabi Saw bahwa beliau melarang mengambil nafas di dalam wadah atau meniup wadah tersebut”(al-Mausu’ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah, 41:23)

B.     Tidak makruh

Menurut Al-Amidi dari Mazhab Hanbali dan Al-Mirdawi mengatakan bahwa peniupan makanan tidak makruh bila makanan itu panas karena ada keperluan untuk mengonsumsinya saat itu. Sedangkan menurut Imam Malik kemakruhan tersebut hanya berlaku Ketika makan dengan orang lain. Jika seseorang makan sendiri atau bersama orang yang tidak menganggap ‘kotor’ apa pun yang keluar dari dirinya, seperti istri, anak, bujang, dan muridnya, maka tidak masalah

(قَوْلُهُ) (نَهَى عَنِ النَّفْخِ فِي الطَّعَامِ) لِأَنَّهُ يُؤْذِنُ بِالْعُجْلَةِ وَشِدَّةِ الشَّرِّهِ وَقِلَّةِ الصَّبْرِ قَالَ الْمَهْلَبُ: وَمَحَلُّ ذَلِكَ إِذَا أَكَلَ معَ غَيْرِهِ فَإِنْ أَكَلَ وَحْدَهُ أَوْ مَعَ مَنْ لَا يَتَقَذَّرُ مِنْهُ شَيْئًا كَزَوْجَتِهِ وَوَلَدِهِ وَخَادِمِهِ وَتِلْمِيْذِهِ فَلَا بَأْسَ أَوْ نَحْوِ ذَلِكَ (وَ) فِي الشَّرَابِ (لِمَا ذُكِرَ لِاِشْتِرَاكِهِمَا فِي الْعِلَّةِ الْمَذْكُوْرَةِ) (فيض القدير: ج 6 ص 324)

“Kata (Nabi Muhammad SAW melarang peniupan makanan) karena itu mengisyaratkan ketergesa-gesaan, kerakusan dan kurang sabar. Al-Mahlab mengatakan bahwa letak larangan itu terdapat ketika seseorang makan bersama orang lain pada satu tempat. Jika seseorang makan sendiri atau bersama orang yang tidak menganggap ‘kotor’ apa pun yang keluar dari dirinya, seperti istri, anak, pembantu, dan muridnya, maka tidak masalah. Nabi juga melarang meniup minuman dengan alasan yang telah disebutkan karena keduanya sama-sama memiliki ilat (alasan) yang telah disebutkan” (Faidh al-Qadir, 6:324).

وَيَرَى أَبُو يُوسُفَ مِنَ الْحَنَفِيَّةِ: أَنَّهُ لَا يُكْرَهُ النَّفْخُ فِي الطَّعَامِ إِلَاّ مَا لَهُ صَوْتٌ مِثْل أُفٍّ وَهُوَ تَفْسِيرُ النَّهْيِ وَفِي قَوْلٍ عِنْدَ الْمَالِكِيَّةِ: إِنَّهُ لَا يُكْرَهُ النَّفْخُ فِي الطَّعَامِ لِمَنْ كَانَ وَحْدَهُ. وَقَال الآْمِدِيُّ - مِنَ الْحَنَابِلَةِ -: إِنَّهُ لَا يُكْرَهُ النَّفْخُ فِي الطَّعَامِ إِذَا كَانَ حَارًّا، قَال الْمِرْدَاوِيُّ: وَهُوَ الصَّوَابُ إِنْ كَانَ ثَمَّ حَاجَةٌ إِلَى الأَكْل حِينَئِذٍ (الموسوعة الفقهية الكويتية: ج 41، ص 23)

“menurut Abu Yusuf (Madzhab Hanafi) berpendapat: tidak makruh meniup makanan kecuali ketika mengeluarkan suara seperti Ah. Sedangkan pendapat di dalam Mazhab Maliki menyatakan bahwa peniupan atas makanan tidak dimakruh bagi orang yang makan sendiri. Al-Amidi (Mazhab Hanbali) mengatakan bahwa peniupan makanan tidak makruh bila makanan itu panas. Al-Mirdawi mengatakan bahwa, ini yang benar, (tidak makruh) jika ada keperluan untuk mengonsumsinya saat itu”(al-Mausu’ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah, 41:23)

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "HUKUM MENIUP MAKANAN DAN MINUMAN YANG PANAS"

Posting Komentar