HUKUM SELAMETAN (HAUL) MENGGUNAKAN HARTA TINGGALAN (WARISAN/TIRKAH)

 

HUKUM SELAMETAN (HAUL) MENGGUNAKAN HARTA TINGGALAN (WARISAN/TIRKAH)

Ketika seseorang meninggal dunia, maka akan meninggalkan hak dan kewajiban bagi umat muslim terutama ahli waris, baik berupa pengurusan jenazah, harta warisan, wasiat, dan pelunasan hutang si mayit. Di kalangan warga pada umumnya terdapat tradisi “slametan” (1,2,3,4,5,6,7,40 hari, dst.) yang diperuntukkan untuk mayyit.

Bagaimanakah hukum selametan tersebut jika menggunakan harta tinggalan (tirkah/warisan) ?

A.     Tidak boleh

Apabila biaya penjamuan tersebut di ambil dari harta peninggalan si mayit dan masih ada mahjur alaih dari ahli warisnya (anak yang ditinggalkan/anak yatim), atau tanpa mendapat ridha/persetujuan dari ahli waris.

B.     Boleh

Apabila sudah mendapatkan ridha/persetujuan dari ahli waris dan tidak ada mahjur alaih dari ahli waris (anak yang ditinggalkan/anak yatim) 

 (وَسُئِلَ) ‌أَعَادَ ‌اللَّهُ ‌عَلَيْنَا ‌مِنْ ‌بَرَكَاتِهِ ‌عَمَّا يُذْبَحُ مِنْ النَّعَمِ وَيُحْمَلُ مَعَ مِلْحٍ خَلْفَ الْمَيِّتِ إلَى الْمَقْبَرَةِ وَيُتَصَدَّقُ بِهِ عَلَى الْحَفَّارِينَ فَقَطْ وَعَمَّا يُعْمَلُ يَوْمَ ثَالِثِ مَوْتِهِ مِنْ تَهْيِئَةِ أَكْلٍ وَإِطْعَامِهِ لِلْفُقَرَاءِ وَغَيْرِهِمْ وَعَمَّا يُعْمَلُ يَوْمَ السَّابِعِ كَذَلِكَ وَعَمَّا يُعْمَلُ يَوْمَ تَمَامِ الشَّهْرِ مِنْ الْكَعْكِ وَيُدَارُ بِهِ عَلَى بُيُوتِ النِّسَاءِ اللَّاتِي حَضَرْنَ الْجَنَازَةَ وَلَمْ يَقْصِدُوا بِذَلِكَ إلَّا مُقْتَضَى عَادَةِ أَهْلِ الْبَلَدِ حَتَّى إنَّ مَنْ لَمْ يَفْعَلْ ذَلِكَ صَارَ مَمْقُوتًا عِنْدَهُمْ خَسِيسًا لَا يَعْبَئُونَ بِهِ وَهَلْ إذَا قَصَدُوا بِذَلِكَ الْعَادَةَ وَالتَّصَدُّقَ فِي غَيْرِ الْأَخِيرَةِ أَوْ مُجَرَّدَ الْعَادَةِ مَاذَا يَكُونُ الْحُكْمُ جَوَازٌ وَغَيْرُهُ وَهَلْ يُوَزَّعُ مَا صُرِفَ عَلَى أَنْصِبَاءِ الْوَرَثَةِ عِنْدَ قِسْمَةِ التَّرِكَةِ وَإِنْ لَمْ يَرْضَ بِهِ بَعْضُهُمْ وَعَنْ الْمَبِيتِ عِنْدَ أَهْلِ الْمَيِّتِ إلَى مُضِيِّ شَهْرٍ مِنْ مَوْتِهِ لِأَنَّ ذَلِكَ عِنْدَهُمْ كَالْفَرْضِ مَا حُكْمُهُ(فَأَجَابَ) بِقَوْلِهِ جَمِيعُ مَا يُفْعَلُ مِمَّا ذُكِرَ فِي السُّؤَالِ مِنْ الْبِدَعِ الْمَذْمُومَةِ لَكِنْ لَا حُرْمَةَ فِيهِ إلَّا إنْ فُعِلَ شَيْءٌ مِنْهُ لِنَحْوِ نَائِحَةٍ أَوْ رِثَاءٍ وَمَنْ قَصَدَ بِفِعْلِ شَيْءٍ مِنْهُ دَفْعَ أَلْسِنَةِ الْجُهَّالِ وَخَوْضِهِمْ فِي عِرْضِهِ بِسَبَبِ التَّرْكِ يُرْجَى أَنْ يُكْتَبَ لَهُ ثَوَابُ ذَلِكَ أَخْذًا مِنْ أَمْرِهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - مَنْ أَحْدَثَ فِي الصَّلَاةِ بِوَضْعِ يَدِهِ عَلَى أَنْفِهِ وَعَلَّلُوهُ بِصَوْنِ عِرْضِهِ عَنْ خَوْضِ النَّاسِ فِيهِ لَوْ انْصَرَفَ عَلَى غَيْرِ هَذِهِ الْكَيْفِيَّةِ وَلَا يَجُوزُ أَنْ يُفْعَلَ شَيْءٌ مِنْ ذَلِكَ مِنْ التَّرِكَةِ حَيْثُ كَانَ فِيهَا مَحْجُورٌ عَلَيْهِ مُطْلَقًا أَوْ كَانُوا كُلُّهُمْ رُشَدَاءَ لَكِنْ لَمْ يَرْضَ بَعْضُهُمْ (الفتاوى الفقهية الكبرى  2: 7)

“Beliau ditanya semoga Allah mengembalikan barokah-nya kepada kita. Bagaimanakah tentang hewan yang disembelih dan dimasak kemudian dibawa di belakang mayit menuju kuburan untuk disedekahkan ke para penggali kubur saja, dan tentang yang dilakukan pada hari ketiga kematian dalam bentuk penyediaan makanan untuk para fakir dan yang lain, dan demikian halnya yang dilakukan pada hari ketujuh, serta yang dilakukan pada genap sebulan dengan memberikan roti ke rumah-rumah wanita yang menghadiri proses jenazah. Mereka melakukan semua itu tujuannya hanya sekedar melaksanakan kebiasaan penduduk setempat, sehingga bagi yang tidak mau melakukannya akan dibenci oleh mereka dan ia akan merasa diacuhkan. Kalau mereka melaksanakan adat tersebut dan bersedekah tidak bertujuaan (pahala) akhirat, maka bagaimana hukumnya, boleh atau tidak? Apakah harta yang telah ditasarufkan, atas keinginan ahli waris itu masih ikut dibagi/dihitung dalam pembagian tirkah/harta warisan, walau sebagian ahli waris yang lain tidak senang pentasarufan sebagaian tirkah bertujuan sebagai sedekah bagi si mayit selama satu bulan berjalan dari kematiannya. Sebab, tradisi demikian, menurut anggapan masyarakat harus dilaksanakan seperti “wajib”, bagaimana hukumnya. Ia menjawab: semua yang dilakukan itu seperti yang tersebut dipertanyakan tadi termasuk bid’ah yang tercela, tetapi tidak haram, kecuali jika itu dilakukan untuk menangisi kematian sambil memukul-mukul wajah dengan mencakar baju atau untuk meratapi kematian. Barang siapa melakukan itu dengan sengaja, maka ia terjerumus dalam tradisi orang-orang bodoh, karena harga dirinya akan jatuh jika tidak melakukan itu. Dengan itu diharapkan akan tertulis pahala untuknya, dengan mengambil dasar dari Rasulullah Saw. Kepada orang yang berhadas di dalam sholat agar menyumbat tangannya pada hidungnya. Menjaga harga diri dimata masyarakat maksudnya harga dirinya akan jatuh jika ia tidak melakukan tradisi tersebut, dan itu tidak boleh dilakukan dengan menggunakan biaya dari harta peninggalan jika diantara ahli waris masih terdapat orang yang menjadi tanggunganya (misalnya anak yatim) secara mutlak, atau ahli warisnya sudah dewasa semua tetapi ada sebagian mereka yang tidak rela (atas penggunaan harta tersebut)”  (al-Fatawi al-Fiqhiyyah al-Kubra, 2:7).

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "HUKUM SELAMETAN (HAUL) MENGGUNAKAN HARTA TINGGALAN (WARISAN/TIRKAH)"

Posting Komentar