AHLU as-SUNNAH WA al-JAMA'AH
A. Pengertian Ahlu as-Sunnah wa al-Jama’ah
Konsep Aswaja (Ahlu as-Sunnah wa al-Jama’ah)
selama ini masih belum dipahami secara tuntas sehingga menjadi “rebutan” setiap
golongan, semua kelompok mengaku dirinya sebagai penganut ajaran aswaja dan
tidak jarang label itu digunakan untuk kepentingan sesaat. Jadi, apakah yang
dimaksud dengan aswaja itu sebenarnya? Bagaimana pula dengan klaim itu,
dapatkah dibenarkan?
Aswaja merupakan singkatan dari istilah ahlun,
as-sunnah wa al-jama’ah, dari situ ada tiga kata yang membentuk
istilah tersebut:
1. Ahlun berarti keluarga, golongan atau pengikut.
2. as-Sunnah yaitu segala sesuatu yang telah diajarkan oleh Rasulullah Saw. meliputi
perkataan, perbuatan dan ketetapannya.
3. al-Jama’ah yakni apa yang telah disepakati oleh para sahabat pada
masa al-Khulafa’ al-Rasyidin (Khalifah Abu Bakar as-Shiddiq ra., Sayyidina Umar
bin Khattab ra., Sayyidina Utsman bin Affan ra., dan sayyidina Ali bin Abi
Thalib krw.).
Sebagaimana telah dikemukakan oleh Syekh
‘Abdul Qadir al-Jailany dalam kitab al-Ghunyah li Thalibi Thariq al-Haqq, juz
1, hal.80:
فَالسُّـنَّةُ مَا سَنَّهُ رَسُوْلُ
اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَالْجَمَاعَةُ مَا اِتَّفَقَ عَلَيْهِ
اَصْحَابُ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِيْ خِلاَفَةِ
اْلأَئِمَّةِ اْلأَرْبَعَةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ اَلْمُهْدِيِّـيْنَ
رَحْمَةُ اللهِ عَلَيْهِمْ اَجْمَعِيْنَ (الغنية لطالب طريق الحق، جز 1، ص 80)
Yang dimaksud dengan al-Sunnah adalah apa yang
telah diajarkan oleh Rasulullah Saw. (meliputi ucapan, perilaku serta ketetapan
beliau). Sedangkan pengertian al-Jama’ah adalah segala sesuatu yang telah
menjadi kesepakatan para sahabat Rasulullah Saw. Pada masa al Khulafa’ al
Rasyidin yang empat yang telah diberi hidayah (mudah-mudahan Allah Swt. memberi
rahmat pada mereka semua). (al-Ghunyah li Thalib Thariq al-Haqq, juz 1, hal.
80)
Selanjutnya, Syaikh Abi al-Fadhl bin ‘Abdus
Syakur menyebutkan dalam kitab al-Kawakib al-Lamma’ah:
اَهْلُ السُّنَّةِ وَالْجَمَاعَةِ
الَّذِيْنَ لاَزِمُوْا سُنَّةَ النَّبِـىِّ وَطَرِيْقَةَ الصَّحَابَةِ فِى
اْلعَقَائِدِ الدِّيْنِيَّةِ وَاْلأَعْمَالِ الْبَدَنِيَّةِ وَاْلأَخْلاَقِ
الْقَلْبِيَّةِ (الكواكب اللماعة، ص: 8-9)
Yang disebut Ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah
adalah orang-orang yang selalu berpedoman pada sunnah Nabi Saw. dan jalan para
sahabatnya dalam masalah aqidah keagamaan, amal-amal lahiriyah serta akhlaq
hati. (al-Kawakib al-Lamma’ah, hal. 8-9)
Jadi Ahlu as-Sunnah wa al-Jama’ah
merupakan ajaran yang mengikuti semua yang telah dicontohkan oleh Rasulullah
Saw. dan para sahabatnya. Sebagai pembeda dengan yang lain ada tiga ciri khas
kelompok ini, yakni tiga sikap yang selalu diajarkan oleh Rasulullah Saw. dan
para sahabatnya. Ketiga prinsip tersebut adalah tawassuth yaitu sikap
tengah-tengah, sedang-sedang, tidak ekstrim kiri ataupun ekstrim kanan, prinsip
tawazzun (seimbang dalam segala hal termasuk dalam penggunaan dalil aqli
dan dalil naqli) dan i’tidal (tegak lurus). Ketiga prinsip
tersebut dapat dilihat dalam masalah keyakinan keagamaan (teologi), perbuatan lahiriyah
(fiqih) serta masalah akhlak yang mengatur gerak hati (tasawuf). Dalam praktek keseharian, ajaran Ahlu
as-Sunnah wa al-Jama’ah di bidang teologi tercerminkan dalam rumusan yang
digagas oleh Imam al-Asy’ari dan Imam al-Maturidzi. Sedangkan dalam masalah
perbuatan badaniyah terwujud dengan mengikuti madzhab empat, yakni
madzhab Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafi’i, Imam Hambali. Dan dalam tasawuf
mengikuti rumusan Imam Junaidi al-Baghdadi dan Imam al-Ghazali.
Salah satu alasan dipilihnya ulama’-ulama’
tersebut oleh salafuna as-shalih sebagai panutan dalam Ahlu as-Sunnah
wa al-Jama’ah karena mereka telah terbukti mampu membawa ajaran-ajaran yang
sesuai dengan intisari agama Islam yang telah digariskan oleh Rasulullah Saw.
beserta para sahabatnya dan mengikuti hal tersebut merupakan suatu kewajiban
bagi umatnya. Rasulullah Saw. bersabda:
عَنْ عَبْدِ الرَّحْمنِ بْنِ عَمْرٍو السُّلاَمِىْ اَنَّهُ سَمِعَ الْعِرْباَضَ
بْنَ سَارِيَّةِ قَالَ وَعَظَناَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
فَعَلَيْكُمْ بِمَا عَرَفْتُمْ مِنْ سُنَّتـِىْ وَسُنَّةِ الْخُلَفاَءِ
الرَّاشِدِيْنَ اَلْمُهْدِيِّـْينَ (مسند احمد بن حنبل، رقم 16519)
Dari Abd Rohman bin Amr al-Sulami, Sesungguhnya
ia mendengar al-Irbadh bin Sariyah berkata, Rasulullah Saw. menasehati kami,
Kalian wajib berpegang teguh pada sunnahku (apa yang aku ajarkan) dan perilaku
al-Khulafa’ al-Rasyidin yang mendapatkan petunjuk). (Musnad Ahmad Bin Hambal,
hadits nomor 16519)
Karena itu, sebenarnya Ahlu as-Sunnah wa
al-Jama’ah merupakan Islam yang murni sebagaimana yang diajarkan oleh
Rasulullah Saw. dan sesuai dengan apa yang telah digariskan dan diamalkan oleh
para sahabatnya. Ketika Rasulullah Saw. menerangkan bahwa umatnya akan
terpecah-belah menjadi 73 golongan, dengan tegas Rasulullah Saw. menyatakan
bahwa yang benar adalah mereka yang tetap berpadoman pada apa yang telah
diperbuat oleh Rasulullah Saw. dan para sahabatnya pada waktu itu (maa
ana ‘alaihi wa ashhaabii).
وَإِنَّ بَنِي إِسْرَائِيلَ تَفَرَّقَتْ
عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ مِلَّةً، وَتَفْتَرِقُ أُمَّتِي عَلَى ثَلَاثِ
وَسَبْعِينَ مِلَّةً،كُلّهمْ فِي النَّار إِلَّا مِلَّةً وَاحِدَةً، قَالُوا: مَنْ
هِيَ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ: "مَا أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِي"
(تهذيب سنن أبي داود وايضاح، باب من اطلع في بيت، ج 2، ص: 330)
Maka, Ahlu as-Sunnah wa al-Jama’ah
sesungguhnya bukanlah aliran yang baru muncul sebagai reaksi dari beberapa
aliran yang menyim-pang dari ajaran haqiqi agama Islam, Ahlu as-Sunnah wa
al-Jama’ah justru berusaha untuk menjaga agama Islam dari beberapa aliran
yang akan mencabut ajaran Islam dari akar dan pondasinya semula. Setelah
aliran-aliran itu semakin merajalela, tentu diperlukan suatu gerakan untuk
mensosialisasikan dan mengembangkan kembali ajaran murni Islam, sekaligus
merupakan salah satu jalan untuk mempertahankan, memperjuangkan, dan
mengembalikan agama Islam agar sesuai dengan apa yang telah diajarkan oleh
Rasulullah Saw. dan para sahabat beliau. (Khittah Nahdliyyah, hal. 19-20)
Jika sekarang banyak kelompok yang mengaku
dirinya termasuk Ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah, maka mereka harus
membuktikannya dalam praktik keseharian bahwa ia benar-benar mengamalkan
sunnah-sunnah Rasulullah Saw. dan para sahabatnya. Abu Said al-Khadimi berkata:
فَاِنْ قِيْلَ كُلُّ فِرْقَةٍ تُدْعَى
اَلِهاً اَهْلَ السُّـنَّةِ وَالْجَمَاعَةِ قُلْنَا ذالِكَ لاَيَكُوْنُ
بِالدَّعْوَى بَلْ بِتَطْبِيْقَةِ اْلقَوْلِ وَالْفِعْلِ وَذالِكَ بِالسُّنَّةِ
اِلىَ زَمَانِناَ اِنَّمَا يُمْكِنُ بِتَطْبِيْقَةِ صَحَاحِ اْلأَحَادِيْثِ
كَكُتُبِ الشَّيْخَيْنِ وَغَيْرِهُمَا مِنَ اْلكِتَابِ الَّتِيْ اِجْمَعَ عَلىَ
وَثاَقَتِهاَ. (البريقة شرح الطريقة، ص: 111-112)
(Jika ada yang bertanya) semua kelompok
mengaku dirinya sebagai golongan ahlu al sunnah wa al-jama’ah itu bukan hanya
klaim semata, namun harus diwujudkan (diaplikasikan) dalam perbuatan dan
ucapan. Pada zaman kita sekarang ini perwujudan itu dapat dilihat dengan
mengikuti apa yang tertera dalam hadits-hadits yang shahih, seperti shahih
al-Bukhori, Shahih Muslim dan kitab-kitab lainnya yang telah disepakati
validitasnya. (al-Bariqah Syarh at-Thariqah, hal. 111-112)
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat
dirumuskan bahwa Ahlu as-Sunnah wa al-Jama’ah merupakan ajaran yang
sesuai dengan Rasulullah Muhammad Saw. dan para sahabatnya, dan itu tidak bisa
hanya sebatas klaim semata, namun harus dibuktikan dalam sikap dan tingkah laku
sehari-hari.
B. Aswaja dan Perkembangan Sosial Budaya
Manusia merupakan mahluk yang diciptakan Allah Swt.dalam bentuk yang paling sempurna (Fii ahsani taqwim, al-Thin:4) dibandingkan dengan mahluk-mahluk yang lainnya. Manusia diberi akal budi dan hati nurani untuk mengemban fungsi ke-khalifahan yaitu mengatur kehidupan untuk mewujudkan kemakmuran di muka bumi (al-Baqarah: 30-34, al-An’am:165).
Sejarah kehidupan yang dibangun manusia telah menghasilkan peradaban, kebudayaan dan tradisi sebagai wujud karya dan karsa manusia dalam memenuhi kebutuhan dan tuntunan hidup yang dihadapi dalam lingkungan negara atau wilayah tertentu. Suatu bangsa atau suku membangun kebudayaan serta peradabannya sesuai dengan prinsip dan nilai-nilai sosial serta pandangan hidup yang diperoleh dari ajaran agama atau faham yang dianut, budaya atau tradisi itu selalu mengalami perubahan baik berupa kemajuan maupun kemunduran yang semuanya ditentukan atas dasar relevansinya dengan kehidupan dan kemanusiaan. Pertemuan antara berbagai peradaban, kebudayaan dan tradisi merupakan kenyataan dan dialektika sejarah yang menyebabkan terjadinya saling mempengaruhi, percampuran, serta perbenturan yang sesuai dengan daya tahan dan daya serap masing-masing, sebagai contoh adalah peradaban Islam di Indonesia yang muncul sejak awal abad ke-7 masehi sampai perkembangannya merupakan salah satu kenyataan sejarah tersebut.
Salah satu faktor penentu berkembangnya peradaban Islam adalah faham golongan Ahlu as-Sunnah wa al-Jama’ah. Ahlu as-Sunnah wa al-Jama’ah sebagai paham dengan metode yang komperehensif, memadukan antara wahyu dan akal yang mencakup seluruh aspek kehidupan yang mengandung prinsip moderat (tawasuth), menjaga keseimbangan (tawazun) dan toleransi (tasamuh). Metode pemahaman dan pemikiran (manhaj al-fikr) ini lahir dari proses dialektika sejarah pemikiran dan gerakan yang intens dengan mengikuti tuntunan wahyu dan tuntunan akal secara proporsional yang sesuai dengan fitrah kemanusiaan dan hukum kehidupan (sunnatullah). Ahlu as-Sunnah wa al-Jama’ah menghindari pertentangan politik dan fanatisme kelompok yang masuk dalam pemahaman keagamaan, dengan prinsip dan watak dasarnya itulah ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah dapat diterima dan berkembang di semua lapisan masyarakat serta ikut berperan memajukan kehidupan yang penuh kedamaian dalam wahana kebangsaan dan kenegaraan bersama peradaban, kebudayaan,dan tradisi lain.
Sebagai metode pemahaman dan pemikiran keagamaan yang fitri, Ahlu as-Sunnah wa al-Jama’ah mengaktualisasikan diri dalam pengem-bangan peradaban, kebudayaan dan tradisi yang konstruktif (al-amru bi al-ma’ruf) serta mencegah perubahan yang destruktif (an-nahy mabadi’ al-khamsah; hifdz ad-din, hifdz an-nafs, hifdz al-‘aql, hifdz an-nasl, hifdz al-mal) demi terwujudnya kemaslahatan di muka bumi.
Dengan prinsip menyebarkan rahmat kepada seluruh alam semesta (rahmat li al-‘alamin) Ahlu as-Sunnah wa al-Jama’ah memandang realitas kehidupan secara inklusif (semua, menyeluruh) dan substansif (independen, hakiki). Secara mutlak Ahlu as-Sunnah wa al-Jama’ah tidak mau terjebak dalam klaim kebenaran dalam dirinya juga tidak dalam kelompok-kelompok lain (tidak membedakan suku, ras dan budaya). Karena mengaku atau mengklaim kebenaran hanya miliknya sendiri dan memandang pihak lain salah apalagi memaksakan pendapatnya kepada orang lain adalah merupakan sikap otoriter dan pada gilirannya akan mengakibatkan perpecahan, pertentangan dan konflik yang membuat kerusakan dan kesengsaraan.
Pluralitas (kemajemukan) dalam kehidupan ini adalah merupakan rahmat yang harus dihadapi dengan sifat ta’aruf, membuka diri dan melakukan dialog secara kreatif untuk menjalin kebersamaan dan kerjasama dengan saling menghormati dan saling membantu.
Ahlu as-Sunnah wa al-Jama’ah sebagai metode pemahaman dan pemikiran yang dirumuskan dalam wacana keagamaan dalam penjabaran secara praktis masih banyak terjadi khilafiyah dan mengalami distorsi (pemutarbalikan fakta atau kenyataan) baik oleh para penganutnya maupun dikalangan orang luar. Pemahaman yang memadukan antara wahyu dan akal, teori kasab, serta tekanan ajaran zuhud (‘uzlah), qana’ah dan sebagainya telah disalahfahami yang kemudian diasumsikan menjadi penyebab kemunduran karena tumbuhnya sikap determinasi dan kepasrahan dalam kehidupan keduniaan, padahal ajaran akidah itu lebih bersifat penataan hubungan hamba dengan Tuhan. Ahlu as-Sunnah wa al-Jama’ah mendorong manusia untuk menjadi pribadi muslim yang saleh, kreatif, dinamis dan inovatif agar mampu menjalankan fungsi kekhalifahan dengan tulus demi pengabdian dan kebudayaan yang maju, memanfaatkan sumber daya alam yang tersedia dengan mendayagunakan potensi intelektualitas dan intuisinya secara maksimal dan bertanggung jawab sebagai amal saleh yang menentukan nilai dirinya dihadapan Allah Swt.
0 Response to "AHLU as-SUNNAH WA al-JAMA'AH"
Posting Komentar