PIAGAM MADINAH SEBAGAI RUJUKAN BERBANGSA DAN BERNEGARA

 

PIAGAM MADINAH SEBAGAI RUJUKAN BERBANGSA DAN BERNEGARA


A.      Pendahuluan

Terbentuknya “Masyarakat Madani”, merupakan cita-cita luhur dan harapan besar yang diinginkan setiap masyarakat. “Masyarakat Madani” adalah sebuah konsep ke-negara-an yang merujuk pada pemerintah atau Negara pada zaman Rasulallah di Madinah. Oleh sebab itu, setiap kali wacana konsep ideal sistem kenegaraan terutama dalam hubungannya dengan Islam diperbincangkan, maka orang akan selalu merujuk pada pemerintahan atau negara pada zaman Rasulullah di Madinah. Berikutnya juga pemerintahan empat khalifah penerus Rasulullah yakni kholifah Abu Bakar, Umar bin Khattab, Usman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib. Yang terakhir ini, seringkali disebut sebagai Khulafaur Rasyidin yaitu para khalifah yang mendapatkan petunjuk (dari Allah).

Negara pada masa Rasulullah bercorak teokratis, sedangkan zaman Khulafaur Rasyidin bercorak republik demokratis, kepala negara dipilih. Oleh karena itu dalam surat-suratnya, Nabi Muhammad selalu menyebutkan; “Dari Muhammad Rasulullah”. Sedangkan Khulafaur Rasyidin menyebutkan; “Dari Amirul Mukminin” (pemimpin para mukmin).

Setelah Khulafaur Rasyidin, corak maupun bentuk negara berubah-ubah menurut perkembangan zaman. Dari sejak pemerintahan Bani Umayyah di Damsyik (Damaskus), Bani Abbasiyah di Baghdad, dan kemudian Bani Usmaniyah di Istanbul, negara berbentuk kekhalifahan dengan corak monarki absolut. Kemudian, ketika Khalifah Usmaniyah bubar dan negara-negara Islam merdeka dari penjajahan, muncullah sejumlah negara berbentuk republik atau kerajaan.

Munculnya beragam bentuk, corak maupun model negara berpenduduk Muslim itu barangkali karena memang tidak ada teks baik al-Quran maupun al-Hadits yang mengatur secara rinci mengenai hal itu. al-Quran hanya menggaris bawahi, kepada umat Islam dalam konteks diperintahkan untuk selalu athi’ullah wa rasulihi wa ulil amri minkum (taatilah Allah, Rasul-Nya, dan pemimpin kalian). Dengan kata lain, umat Islam diperintahkan untuk menerapkan hukum Islam yang bersumber dari al-Quran dan al-Hadits.

Itulah yang juga dilaksanakan pada masa pemerintahan Rasulullah Saw. di Madinah. Kepada umat Islam, Rasulullah menerapkan hukum-hukum Islam berikut sanksi-sanksinya. Namun, dalam hubungan dengan ketatanegaraan di mana terdapat multi etnis, kabilah, dan agama (kepercayaan), Rasulullah sebagai kepala negara dan peme-rintahan memberlakukan aturan-aturan lain, yang kemudian dikenal dengan Piagam Madinah.

Seperti diketahui, ketika Nabi Muhammad Saw. tiba di Madinah, di kota itu sudah terdapat tiga golongan besar: Muslimin, Yahudi, dan Musyrikin. Muslimin terdiri dari kaum Muhajirin dan Anshar. Sedangkan golongan Musyrikin merupakan orang-orang Arab yang masih menyembah berhala. Golongan Yahudi terdiri dari keturunan Yahudi pendatang dan keturunan Arab yang masuk agama Yahudi atau kawin dengan orang Yahudi pendatang.

Di tengah kemajemukan penghuni Kota atau Negara Madinah itu, Rasulullah Saw. berusaha membangun tatanan hidup bersama, men-cakup semua golongan yang ada di Madinah. Sebagai langkah awal, beliau mempersaudarakan para Muslim Muhajirin dengan Anshar.

Kemudian diadakan perjanjian hidup bersama secara damai di antara berbagai golongan yang ada di Madinah, baik antara golongan-golongan Islam, maupun dengan golongan-golongan Yahudi.

Masyarakat muslim Madinah yang berhasil dibentuk Rasulullah, oleh sebagian intelektual muslim masa kini disebut dengan negara kota (city state). Lalu dengan dukungan kabilah-kabilah dari seluruh penjuru jazirah Arab yang masuk Islam, maka muncullah kemudian sosok negara bangsa (nation state). Walaupun sejak awal Islam tidak memberikan ketentuan yang pasti tentang bagaimana bentuk dan konsep negara yang dikehendaki, namun suatu kenyataan bahwa Islam adalah agama yang mengandung prinsip-prinsip dasar kehidupan termasuk politik dan negara.

Dalam masyarakat muslim yang terbentuk itulah Rasulullah menjadi pemimpin dalam arti yang luas, yaitu sebagai pemimpin agama dan juga sebagai pemimpin masyarakat. Konsepsi Rasulullah yang diilhami al-Qur’an ini kemudian menelorkan Piagam Madinah yang mencakup 47 pasal, yang antara lain berisikan hak-hak asasi manusia, hak-hak dan kewajiban bernegara, hak perlindungan hukum, sampai toleransi beragama yang oleh ahli-ahli politik modern disebut manifesto politik pertama dalam Islam.

Kesepakatan-kesepakatan antara golongan Muhajirin dan Anshar, dan perjanjian dengan golongan Yahudi itu, secara formal, ditulis dalam suatu naskah yang disebut shahifah. Shahifah dengan 47 pasal inilah yang kemudian disebut dengan Piagam Madinah. Piagam yang menjadi payung kehidupan berbangsa dan bernegara dengan multi-etnis dan agama ini, menurut sejumlah sumber, dibuat pada tahun pertama Hijrah dan sebelum Perang Badar.


B.      Piagam Madinah dan Keotentikannya

Piagam Madinah ini secara lengkap diriwayatkan oleh Ibn Ishaq (w. 151 H) dan Ibn Hisyam (w. 213 H), dua penulis muslim yang mempunyai nama besar dalam bidangnya. Menurut penelitian Ahmad Ibrahim as-Syarif, tidak ada periwayat lain sebelumnya selain kedua penulis di atas yang meriwayatkan dan menuliskannya secara sistematis dan lengkap. Meskipun demikian, tidak diragukan lagi kebenaran dan keotentikan piagam tersebut, mengingat gaya bahasa dan penyusunan redaksi yang digunakan dalam Piagam Madinah ini setaraf dan sejajar dengan gaya bahasa yang dipergunakan pada masanya. Demikian pula kandungan dan semangat piagam tersebut sesuai dengan kondisi sosiologis dan historis zaman itu. Keotentikan Piagam Madinah ini diakui pula oleh William Montgomery Watt, yang menyatakan bahwa dokumen piagam tersebut, yang secara umum diakui keotentikannya, tidak mungkin dipalsukan dan ditulis pada masa Umayyah dan Abbasiyah yang dalam kandungannya memasuk-kan orang non muslim ke dalam kesatuan ummah.

Dari Ibn Ishaq dan Ibn Hisyam inilah kemudian penulis-penulis berikutnya menukil dan mengomentarinya. Di antara penulis-penulis klasik yang menukil Piagam Madinah secara lengkap antara lain: Abu Ubaid Qasim Ibn Salam dalam kitab al-Amwal, Umar al-Maushili dalam Wasilah al-Muta’abbidin dan Ibn Sayyid dalam Sirah an-Nas. Sementara itu, beberapa penulis klasik dan periwayat lainnya yang menulis tentang Piagam Madinah antara lain: Imam Ahmad Ibn Hanbal (w. 241 H) dalam al-Musnad, Darimi (w. 255 H) dalam as-Sunan, Imam Bukhori (w. 256 H) dalam Shahih-nya, Imam Muslim ( w.261 H) dalam Shahih-nya. Tulisan-tulisan lain tentang piagam tersebut juga bisa dijumpai dalam Sunan Abu Dawud (w. 272 H), Sunan Ibn Majah (w. 273 H), Sunan Tirmidzi (w. 279 H), Sunan Nasa’i (w. 303 H), serta dalam Tarikh al-Umam wa al-Muluk oleh at-Thabari.

Piagam Madinah ini telah diterjemahkan pula ke dalam bahasa asing, antara lain ke bahasa Perancis, Inggris, Itali, Jerman, Belanda dan Indonesia. Terjemahan dalam bahasa Perancis dilakukan pada tahun 1935 oleh Muhammad Hamidullah. Sedangkan dalam bahasa Inggris terdapat banyak versi, diantaranya seperti pernah dimuat dalam Islamic Culture No.IX Hederabat 1937, Islamic Review terbitan Agustus sampai dengan Nopember 1941 (dengan topik The first written constitution of the world). Selain itu, Majid Khadduri juga menerjemahkannya dan memuatnya dalam karyanya War and Pearce in the Law of Islam (1955), kemudian diikuti oleh R. Levy dalam karyanya The Social Structure of Islam (1957) serta William Montgomery Watt dalam karyanya Islamic Political Thought (1968). Adapun terjemahan-terjemahan lainnya seperti dalam bahasa Jerman dilakukan oleh Wellhausen, bahasa Itali dilakukan oleh Leone Caetani, dan bahasa Belanda oleh A.J. Wensick serta bahasa Indonesia untuk pertama kalinya oleh Zainal Abidin Ahmad.

Menurut Muhammad Hamidullah yang telah melakukan penelitian terhadap beberapa karya tulis yang memuat Piagam Madinah, bahwa ada sebanyak 294 penulis dari berbagai bahasa. Yang terbanyak adalah dalam bahasa Arab, kemudian bahasa-bahasa Eropa. Hal ini menunjuk-kan betapa antusiasnya mereka dalam mengkaji dan melakukan studi terhadap piagam peninggalan Nabi.

Dalam teks aslinya, Piagam Madinah ini semula tidak terdapat pasal-pasal. Pemberian pasal-pasal sebanyak 47 itu baru kemudian dilakukan oleh A.J. Winsick dalam karyanya Mohammed en de joden te Madina, tahun 1928 M yang ditulis untuk mencapai gelar doktornya dalam sastra Semit. Melalui karyanya itu, Winsick mempunyai andil besar dalam memasyarakatkan Piagam Madinah ke kalangan sarjana Barat yang menekuni studi Islam. Sedangkan pemberian bab-bab dari 47 pasal itu dilakukan oleh Zainal Abidin Ahmad yang membaginya menjadi 10 bab.

Menurut hipotesis Montgomery Watt, bahwa Piagam Madinah yang sampai ke tangan kita sebenarnya paling tidak terdiri dari dua dokumen, yang semula terpisah kemudian disatukan. Pada tahap berikut-nya, piagam tersebut mengalami pengurangan dan perombakan disana sini. Hipotesis Montgomery Watt ini muncul karena didapatinya pengulangan dalam beberapa pasalnya. Selanjut-nya, Watt menyebut bahwa Piagam Madinah kemungkinan baru muncul setelah tahun 627 M, yaitu setelah pengusiran Yahudi bani Qainuqa’ dan Yahudi bani Nadir dari Madinah serta pembasmian terhadap bani Quraidhah berdasarkan keputusan Sa’ad Ibn Muad, pemimpin kabilah Aus.

Hipotesa terakhir ini dikemukakan oleh Montgomery Watt karena tiga suku Yahudi terkemuka dimaksud tidak tercantum dalam Piagam Madinah. Akan tetapi, kalau demikian halnya, berarti relevansi serta bobot politiknya sudah sangat berkurang, karena isi piagam tersebut sangat diperlukan untuk mempersatukan masyarakat Madinah yang heterogen. Ini berarti bahwa Piagam Madinah disusun Rasulullah sejak awal kedatangannya di Madinah, yaitu sekitar tahun 622 M. Dengan demikian, boleh jadi Piagam Madinah hanya satu dokumen dan ditujukan kepada seluruh penduduk Madinah, yang kemudian mengalami revisi setelah tiga suku Yahudi tersebut mengingkari perjanjian secara sepihak dan melakukan gerakan separatis terhadap pemerintahan Madinah yang telah disetujui bersama.


C.      Berbagai Komentar Terhadap Isi Piagam Madinah

Ada berbagai komentar mengenai isi Piagam Madinah, baik yang datang dari para sarjana Barat maupun dari penulis-penulis muslim sendiri. Diantaranya dikemukakan oleh A. Guillaume, seorang guru besar bahasa Arab dan penulis The Life of Muhammad. Ia menyatakan bahwa Piagam yang telah dibuat Muhammad itu adalah suatu dokumen yang menekankan hidup berdampingan antara orang-orang muhajirin di satu pihak dan orang-orang yahudi di pihak lain. Masing-masing saling menghargai agama mereka, saling melindungi hak milik mereka dan masing-masing mempunyai kewajiban yang sama dalam mempertahankan Madinah. Sedangkan H.R. Gibb dalam komentarnya menyatakan bahwa isi Piagam Madinah pada prinsipnya telah meletakkan dasar-dasar sosial politik bagi masyarakat Madinah yang juga berfungsi sebagai undang-undang, dan merupakan hasil pemikiran serta inisiatif Muhammad sendiri. Sementara itu, Montgomery Watt lebih tepat lagi menyatakan bahwa Piagam Madinah tidak lain adalah suatu konstitusi yang menggambarkan bahwa warga Madinah saat itu bisa dianggap telah membentuk satu kesatuan politik dan satu persekutuan yang diikat oleh perjanjian yang luhur diantara para warganya.

Di kalangan penulis Islam yang mengulas isi piagam ini antara lain Jamaluddin Sarur, seorang guru besar Sejarah Islam di Universitas Kairo, yang menyatakan bahwa peraturan yang terangkum dalam Piagam Madinah adalah menjadi sendi utama bagi terbentuknya persatuan bagi segenap warga Madinah yang memberikan hak dan kewajiban yang sama antara kaum Muhajirin, Ansor dan kaum Yahudi

Muhammad Khalid, seorang penulis sejarah Nabi menegaskan bahwa isi yang paling prinsip dari Piagam Madinah adalah mem-bentuk suatu masyarakat yang harmonis, mengatur suatu ummah serta menegakkan pemerintahan atas dasar persamaan hak. Ulasan lebih terperinci lagi disimpulkan oleh Hasan Ibrahim Hasan, bahwa Piagam Madinah secara resmi menandakan berdirinya suatu negara, yang isinya bisa disimpulkan menjadi 4 pokok: pertama, mempersatukan segenap kaum muslimin dari berbagai suku menjadi satu ikatan. Kedua, menghidupkan semangat gotong royong, hidup berdampingan, saling menjamin di antara sesama warga. Ketiga, menetapkan bahwa setiap warga masyarakat mempunyai kewajiban memanggul senjata, mempertahankan keamanan dan melindungi Madinah dari serbuan luar. Keempat, menjamin persamaan dan kebebasan bagi kaum Yahudi dan pemeluk-pemeluk agama lain dalam mengurus kepentingan mereka.

Sesungguhnya masih banyak lagi ulasan dan komentar yang dikemukakan oleh para penulis Piagam Madinah. Mereka mengguna-kan berbagai retorika dan redaksi yang berbeda, namun pada dasarnya mempunyai nada sama, yaitu berintikan bahwa piagam tersebut telah mempersatukan warga Madinah yang heterogen itu menjadi satu kesatuan masyarakat, yang warganya mempunyai hak dan kewajiban yang sama, saling menghormati walaupun berbeda suku dan agama-nya. Piagam tersebut dianggap merupakan suatu pandangan jauh ke depan dan suatu kebijaksanaan politik yang luar biasa dari Nabi Muhammad dalam mengantisipasi masyarakat yang beraneka ragam backgroundnya, dengan membentuk komunitas baru yang disebut ummah.


D.     Pengertian Ummah dalam Piagam Madinah

Menyadari pentingnya perkataan ummah, terlebih lagi perkataan tersebut tercantum jelas dalam Piagam Madinah, maka timbullah usaha para sarjana barat dalam melacak asal usul perkataan tersebut. Dalam Encyclopedia of Islam dikemukakan bahwa perkataan ummah tidaklah asli dari bahasa Arab. Menurut Montgomery Watt, perkatan ummah berasal dan berakar dari bahasa Ibrani yang bisa berarti suku bangsa atau bisa juga berarti masyarakat.

Terlepas dari pelacakan asal usul kata ummah ini, yang jelas dalam al-Qur’an dijumpai sebanyak 52 perkataan ummah yang terangkai dalam berbagai ayat.

Kata ummah terulang dua kali dalam Piagam Madinah, yakni dalam pasal 1 dan pasal 25. Namun, cakupan dari rumusan ummah itu sendiri terjabarkan dalam pasal-pasal selanjutnya, yakni:

Pembukaan:

هَذَا كِتَابٌ مِنْ مُحَمَّدٍ النَّبِيِّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، بَيْنَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُسْلِمِينَ مِنْ قُرَيْشٍ وَيَثْرِبَ ، وَمَنْ تَبِعَهُمْ فَلَحِقَ بِهِمْ وَجَاهَدَ مَعَهُمْ

Ini adalah naskah perjanjian dari Muhammad Nabi dan Rasul Allah, mewakili pihak kaum yang Beriman dan memeluk Islam, yang terdiri dari warga Quraisy dan warga Yastrib, dan orang-orang yang mengikuti mereka serta yang berjuang bersama mereka.

Pasal 1

إِنَّهُمْ أُمَّةٌ وَاحِدَةٌ مِنْ دُونِ النَّاسِ

Mereka adalah yang satu dihadapan kelompok manusia lain

 

Pasal 25

وَإِنَّ يَهُودَ بَنِي عَوْفٍ أُمَّةٌ مَعَ الْمُؤْمِنِينَ لِلْيَهُودِ دِينُهُمْ وَلِلْمُسْلِمَيْنِ دِينُهُمْ مَوَالِيهِمْ وَأَنْفُسُهُمْ إِلاَّ مَنْ ظَلَمَ وَأَثِمَ فَإِنَّهُ لاَ يُوتِغُ إِلاَّ نَفْسَهُ وَأَهْلَ بَيْتِهِ

Kaum Yahudi Bani ‘Auf bersama dengan warga yang beriman adalah satu umah. Kedua belah pihak, (kaum Yahudi dan kaum Muslimin), bebas memeluk agama masing-masing. Demikian pula halnya dengan sekutu dan diri mereka sendiri. Bila diantara mereka ada yang melakukan aniaya dan dosa dalam hal ini, maka akibatnya akan ditanggung oleh diri dan warganya.

Pengertian ummah juga disebutkan di dalam pasal-pasal yang lain diantaranya: pasal 26, 27, 28, 29, 30, 31, 32, 33, 34, 35, 37, 44, 46, 47.

Oleh karena itu, dapat dipahami bahwa perkataan ummah dalam rangkaian pasal-pasal yang tercantum di atas mempunyai pengertian yang sangat dalam dan luas, yakni berubahnya paham kesukuan yang hidup di kalangan suku-suku Arab saat itu. Cakrawala wawasan sosial yang sangat sempit, dan kehidupan politik yang terbatas, karena fanatisme kabilah (kesukuan) dan ikatan darah yang dibatasi oleh tembok kelahiran, pelan-pelan mulai runtuh berganti dengan suatu masyarakat yang luas, di mana masing-masing dari warganya mempunyai hak dan kewajiban yang sama. Dengan demikian, Nabi Muhammad telah menciptakan kondisi untuk terbinanya suatu masyarakat yang bersatu, yakni komunitas masyarakat Madinah yang utuh, tanpa membedakan agama, ikatan kesukuan dan ikatan darah. Hal itu jelas sekali tercantum dalam pasal 25 sampai dengan pasal 47 Piagam Madinah.

Dari perkataan ummah inilah tercermin paham kebangsaan dan negara. Walaupun secara historis istilah state dan nation timbul berabad-abad kemudian, tapi jiwa dan semangatnya telah tercermin dalam terminologi ummah, suatu istilah yang sangat tepat digunakan Rasulullah untuk mempersatukan masyarakat Madinah menjadi suatu komunitas dengan menekankan kerjasama seerat mungkin dari masing-masing warganya demi keamanan dan kesejahteraan mereka bersama. Mereka sangat menyadari perlunya hidup bersama di dalam kedamaian. Realisasinya yang praktis dari tujuan ini meminta dasar konsepsi bersama yang dapat diterima oleh semua pihak dan di atas dasar ini dapat dibangun keselarasan hidup dan perdamaian.

Sementara itu, Montgomery Watt menyatakan bahwa masalah yang menonjol dalam komunitas ini (ummah) adalah penciptaan kedamaian dan ketentraman di kalangan warga Madinah. Masalah tersebut bukan hanya terjadi di Madinah saja, tapi juga problem di seluruh jazirah Arabia saat itu. Namun demikian, Muhammad berhasil mengangkat-nya dan menegakkannya dalam suatu sistem baru yang mengatasi paham kesukuan, golongan dan ikatan-ikatan lain. Memang, masing-masing kepala suku yang sebelumnya mempunyai kekuatan/ kekuasaan politik dan hanya berhubungan dengan kepala suku lainnya. Maka dalam bentuk bangunan masyarakat baru itu, suku-suku yang ada saat itu seakan membentuk suatu konfiderasi yang tergabung dalam suatu kesatuan yang dinamakan ummah dan di bawah pimpinan Nabi Muhammad Saw. Dengan demikian, tergambar bahwa pengertian ummah dalam piagam ini adalah adanya/timbulnya suatu paham politik baru di kalangan warganya, yakni kesadaran paham bernegara, walaupun dalam bentuk yang amat sederhana. Dapat pula dipahami bahwa kata ummah dalam Piagam Madinah ini, berbeda pengertiannya dengan makna yang selama ini lazim dipahami yang mengacu kepada komunitas agama. Dalam al-Qur’an kata ummah juga tidak selalu menunjuk kepada komunitas agama. Ahmad Mustofa al-Maraghi mengemukakan batasan pengertian kata ummah dari berbagai ayat sebagaimana berikut:

1.       Kata ummah dalam pengertian umat manusia seluruhnya (satu kelompok) yang hidup saling mengadakan interaksi antara satu dengan lainnya, seperti dalam firman Allah:

كَانَ النَّاسُ أُمَّةً وَاحِدَةً فَبَعَثَ اللهُ النَّـبِيِّنَ مُبَشِّرِيْنَ وَمُنْذِرِيْنَ وَاَنْزَلَ مَعَهُمُ اْلكِتَبَ بِالْحَقِّ لِيَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ فِيْمَا اخْتَلَفُوْا فِيْهِ (سورة البقرة: 213)

Manusia adalah umat yang satu, (setelah timbul perselisihan) maka Allah mengutus para Nabi, sebagai pemberi kabar gembira dan pemberi peringatan, dan Allah menurunkan bersama mereka kitab yang benar, untuk memberi keputusan diantara manusia tentnag perkara yang mereka perselisihkan. (Qs. al-Baqarah: 213)

2.       Kata ummah, dalam pengertian umat Islam, sebagaimana firman Allah:

كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُوْنَ بِاللهِ. (سورة آل عمران: 110)

Kamu adalah ummah yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar, dan berimanlah kepada Allah. (Qs. Ali Imran: 110)

3.       Kata ummah, dalam pengertian segolongan dari umat Islam (tha’ifah min al-muslimin) sebagaimana firman Allah:

وَلْتَكُنْ مِّنْكُمْ أَمَّةٌ يَدْعُونَ اِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَأُوْلَـئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ. (سورة آل عمران: 104)

Dan hendaklah ada diantara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyeru kepada yang makruf dan mencegah dari yang mungkar, merekalah orang-orang yang beruntung. (Qs. Ali Imran: 104)

4.       Kata ummah dalam pengertian imam (pemimpin) yang diteladani sebagaimana firman Allah:

اِنَّ اِبْرَهِيْمَ كَانَ أُمَّةً قَانِتاً لِلَّهِ حَنِيْفًا وَلَمْ يَكُ مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ. (سورة النحل: 120)

Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang imam yang dapat dijadikan teladan lagi patuh kepada Allah dan hanif. Dan sekali-kali bukanlah termasuk orang-orang yang menyekutukan (Tuhan). (Qs. an-Nahl: 120)

5.       Kata ummah, dalam pengertian suatu periode waktu sebagaimana tercantum dalam al-Qur’an:

وَلَـئِنْ أَخَّرْنَا عَنْهُمُ الْعَذَابَ اِلَى أُمَّةٍ مَّعْدُودَةٍ (سورة هود: 8)

Dan sesungguhnya jika kami Undurkan azab dari mereka sampai kepada suatu waktu yang ditentukan. (Qs. Huud: 08)

6.       Kata ummah dalam pengertian millah (agama) sebagaimana yang terkandung dalam firman Allah:

وَاِنَّ هَذِهِ أُمَّتُكُمْ أُمَّةً وَحِدَةً وَأَنَا رَبُّكُمْ فَاتَّقُونِ. (سورة المؤمنون: 52)

Sesungguhnya (agama Tauhid) ini adalah agama kamu semua, agama yang satu dan Aku adalah Tuhanmu, maka sembahlah Aku. (Qs. al-Mu’minun: 52)

Dari berbagai ayat yang dikemukakan oleh Ahmad Musthafa al Maraghi di atas, terbukti bahwa pengertian kata ummah dalam al-Qur’an selalu sesuai dengan konteks dimana kata itu dipergunakan. Dengan kata lain, kata ummah tidak selalu menunjukkan pada suatu komunitas agama. Demikian pula terma-terma ummah yang digunakan Rasullah dalam Piagam Madinah tidak hanya eksklusif bagi kaum muslimin saja, namun mempunyai kandungan pengertian al-jinsiyyah wa al-wathaniyyah (bangsa dan warga Negara).

Dhafir al-Qasimi, dalam ulasannya mengenai kata ummah pada Piagam Madinah, memberikan padanan kata tersebut dengan al-wathaniyyah, semacam wawasan kebangsaan. Sedangkan urgensi ideal yang terkandung dalam kata ummah pada piagam tersebut adalah untuk menghapus fanatisme etnis dan mengikis paham rasialisme diantara warga Madinah.


E.      Piagam Madinah; Suatu Konstitusi

Banyak diantara penulis muslim beranggapan bahwa Piagam Madinah adalah merupakan konstitusi negara Islam pertama. Namun, satu hal yang perlu dicatat bahwa dalam Piagam Madinah tidak pernah disebut-sebut agama negara. Persoalan penting yang meminta pemecahan mendesak adalah terbinanya kesatuan dan persatuan di kalangan warga Madinah yang heterogen itu. Semua warga Madinah saat itu meskipun mereka berasal dari berbagai suku adalah merupakan satu komunitas (ummah). Hubungan antara sesama warga yang muslim dan yang non muslim didasarkan atas prinsip-prinsip bertetangga yang baik, saling membantu dalam menghadapi agresi dari luar dan menghormati kebabasan beragama. Persyaratan sebuah negara, walaupun masih sederhana, telah terpenuhi, yakni ada wilayah, pemerintahan, negara, rakyat, kedaulatan dan ada konstitusi.

Penilaian Piagam Madinah sebagai suatu konstitusi pernah dikemukakan oleh Hamilton Alexander Rosskeem Gibb, mantan guru besar bahasa Arab di Oxford University, bahwa Piagam Madinah adalah merupakan hasil pemikiran yang cerdas dan inisiatif dari Nabi Muhammad dan bukanlah wahyu. Oleh karena itu, sifat konstitusinya dapat diubah dan diamandir. Dengan kata lain Nabi Muhammad adalah seorang pemimpin yang mempunyai perhatian yang sangat besar untuk menstabilkan masyarakat Madinah yang multietnis itu dengan mencetuskan konstitusi. Konstitusi yang dimaksud tak lain adalah Piagam Madinah.

Kesatuan umat yang dicetuskan Nabi melalui Piagam Madinah ini, substansinya jelas menunjukkan bahwa konstitusi kesukuan runtuh dengan sendirinya. Dalam perspektif ini, maka tegaknya suatu kons-titusi mulai terwujud bagi masyarakat baru Madinah, yang sekaligus juga menunjukkan bahwa Nabi Muhammad mulai diakui sebagai pemimpin yang memiliki kekuasaan politik.

Piagam Madinah merupakan prodak yang lahir dari rahim peradaban Islam, piagam Madinah diakui juga sebagai bentuk perjanjian dan kesepakatan bersama untuk membangun masyarakat Madinah yang plural, adil, dan berkeadaban. Oleh karena itu piagam Madinah dimata para sejarahwan dan sosiolog ternama Barat, Robert N. Bellah, piagam Madinah yang disusun Rasulullah itu dinilai sebagai konstitusi termodern di zamannya atau konstitusi pertama di dunia. Pada sub bab berikut ini adalah petikan lengkap piagam Madinah yang terdiri dari 47 pasal.


F.       Naskah Piagam Madinah


Muqoddimah

بِسْمِ اللهِ الرّحْمنِ الرّحِيمِ هَذَا كِتَابٌ مِنْ مُحَمّدٍ النّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، بَيْنَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُسْلِمِينَ مِنْ قُرَيْشٍ وَيَثْرِبَ، وَمَنْ تَبِعَهُمْ فَلَحِقَ بِهِمْ وَجَاهَدَ مَعَهُمْ

Dengan nama Tuhan Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang “Inilah Piagam Tertulis dari Nabi Muhammad Saw. di kalangan Orang-orang yang beriman dan memeluk Islam (yang berasal) dari Quraisy dan Yatsrib, dan orang-orang yang mengikuti mereka, mempersatukan diri dan berjuang bersama mereka”.


Pembentukan Ummat

إِنَّهُمْ أُمَّةٌ وَاحِدَةٌ مِنْ دُونِ النَّاسِ

Pasal 1: Sesungguhnya mereka satu bangsa negara (ummat), bebas dari (pengaruh dan kekuasaan) manusia.

Hak Asasi Manusia

اَلْمُهَاجِرُونَ مِنْ قُرَيْشٍ عَلَى رِبْعَتِهِمْ يَتَعَاقَلُونَ بَيْنَهُمْ، وَهُمْ يَفْدُوْنَ عَانِيَهُمْ بِالْمَعْرُوفِ وَالْقِسْطِ بَيْنَ الْمُؤْمِنِيْنَ.

Pasal 2: Kaum Muhajirin dari Quraisy tetap mempunyai hak asli mereka, saling tanggung-menanggung, membayar dan menerima uang tebusan darah (diyat) karena suatu pembunuhan, dengan cara yang baik dan adil di antara orang-orang beriman.

وَبَنُو عَوْفٍ عَلَى رِبْعَتِهِمْ يَتَعَاقَلُونَ مَعَاقِلَهُمْ اْلأُولَى، كُلُّ طَائِفَةٍ تَفْدِي عَانِيَهَا بِالْمَعْرُوفِ وَالْقِسْطِ بَيْنَ الْمُؤْمِنِينَ

Pasal 3: (1) Banu ‘Auf (dari Yatsrib) tetap mempunyai hak asli mereka, tanggung menanggung uang tebusan darah (diyat). (2) Dan setiap keluarga dari mereka membayar bersama akan uang tebusan dengan baik dan adil di antara orang-orang beriman.

وَبَنُو سَاعِدَةَ عَلَى رِبْعَتِهِمْ يَتَعَاقَلُونَ مَعَاقِلَهُمْ اْلأُولَى، وَكُلُّ طَائِفَةٍ مِنْهُمْ تَفْدِي عَانِيَهَا بِالْمَعْرُوفِ وَالْقِسْطِ بَيْنَ الْمُؤْمِنِينَ

Pasal 4: (1) Banu Sa'idah (dari Yatsrib) tetap atas hak asli mereka, tanggung menanggung uang tebusan mereka. (2) Dan setiap keluarga dari mereka membayar bersama akan uang tebusan dengan baik dan adil di antara orang-orang beriman.

وَبَنُو الْحَارِثِ عَلَى رِبْعَتِهِمْ يَتَعَاقَلُونَ مَعَاقِلَهُمْ اْلأُولَى، وَكُلُّ طَائِفَةٍ تَفْدِي عَانِيَهَا بِالْمَعْرُوفِ وَالْقِسْطِ بَيْنَ الْمُؤْمِنِينَ

Pasal 5: (1) Banul-Harts (dari suku Yatsrib) tetap berpegang atas hak-hak asli mereka, saling tanggung-menanggung untuk membayar uang tebusan darah (diyat) di antara mereka. (2) Setiap keluarga (tha’ifah) dapat membayar tebusan dengan secara baik dan adil di kalangan orang-orang beriman.

وَبَنُو جُشَمٍ عَلَى رِبْعَتِهِمْ يَتَعَاقَلُونَ مَعَاقِلِهِمْ اْلأُولَى، وَكُلُّ طَائِفَةٍ مِنْهُمْ تَفْدِي عَانِيَهَا بِالْمَعْرُوفِ وَالْقِسْطِ بَيْنَ الْمُؤْمِنِينَ

Pasal 6: (1) Banu Jusyam (dari suku Yatsrib) tetap berpegang atas hak-hak asli mereka, tanggung-menanggung membayar uang tebusan darah (diyat) di antara mereka. (2) Setiap keluarga (tha’ifah) dapat membayar tebusan dengan secara baik dan adil di kalangan orang-orang beriman.

وَبَنُو النَّجَّارِ عَلَى رِبْعَتِهِمْ يَتَعَاقَلُونَ مَعَاقِلَهُمْ اْلأُولَى، وَكُلُّ طَائِفَةٍ مِنْهُمْ تَفْدِي عَانِيَهَا بِالْمَعْرُوفِ وَالْقِسْطِ بَيْنَ الْمُؤْمِنِينَ

Pasal 7: (1) Banu Najjar (dari suku Yatsrib) tetap berpegang atas hak-hak asli mereka, tanggung-menanggung membayar uang tebusan darah (diyat) dengan secara baik dan adil. (2) Setiap keluarga (tha’ifah) dapat membayar tebusan dengan secara baik dan adil di kalangan orang beriman.

وَبَنُو عَمْرِو بْنِ عَوْفٍ عَلَى رِبْعَتِهِمْ يَتَعَاقَلُونَ مَعَاقِلَهُمْ اْلأُولَى، وَكُلُّ طَائِفَةٍ تَفْدِي عَانِيَهَا بِالْمَعْرُوفِ وَالْقِسْطِ بَيْنَ الْمُؤْمِنِينَ

Pasal 8: (1) Banu ‘Amrin (dari suku Yatsrib) tetap berpegang atas hak-hak asli mereka, tanggung-menanggung membayar uang tebusan darah (diyat) di antara mereka. (2) Setiap keluarga (tha’ifah) dapat membayar tebusan dengan secara baik dan adil di kalangan orang-orang beriman.

وَبَنُو النَّبِيْتِ عَلَى رِبْعَتِهِمْ يَتَعَاقَلُونَ مَعَاقِلَهُمْ اْلأُولَى، وَكُلُّ طَائِفَةٍ تَفْدِي عَانِيَهَا بِالْمَعْرُوفِ وَالْقِسْطِ بَيْنَ الْمُؤْمِنِينَ

Pasal 9: (1) Banu an-Nabiet (dari suku Yatsrib) tetap berpegang atas hak-hak asli mereka, tanggung-menanggung membayar uang tebusan darah (diyat) di antara mereka. (2) Setiap keluarga (tha’ifah) dapat membayar tebusan dengan secara baik dan adil di kalangan orang-orang beriman.

وَبَنُو اْلأَوْسِ عَلَى رِبْعَتِهِمْ يَتَعَاقَلُونَ مَعَاقِلَهُمْ اْلأُولَى، وَكُلُّ طَائِفَةٍ مِنْهُمْ تَفْدِي عَانِيَهَا بِالْمَعْرُوفِ وَالْقِسْطِ بَيْنَ الْمُؤْمِنِينَ

Pasal 10: (1) Banu Aws (dari suku Yatsrib) berpegang atas hak-hak asli mereka, tanggung-menanggung membayar uang tebusan darah (diyat) di antara mereka. (2) Setiap keluarga (tha’ifah) dapat membayar tebusan dengan secara baik dan adil di kalangan orang-orang beriman.


Persatuan Seagama

وَإِنَّ الْمُؤْمِنِينَ لاَ يَتْرُكُونَ مُفْرَحًا بَيْنَهُمْ أَنْ يُعْطُوهُ بِالْمَعْرُوفِ فِي فِدَاءٍ أَوْ عَقْلٍ

Pasal 11: Sesungguhnya orang-orang beriman tidak akan melalai-kan tanggung jawabnya untuk memberi sumbangan bagi orang-orang yang berhutang, karena membayar uang tebusan darah dengan secara baik dan adil di kalangan orang-orang beriman.

وَأَنْ لاَ يُحَالِفَ مُؤْمِنٌ مَوْلَى مُؤْمِنٍ دُونَهُ

Pasal 12: Tidak seorang pun dari orang-orang yang beriman dibolehkan membuat persekutuan dengan teman sekutu dari orang yang beriman lainnya, tanpa persetujuan terlebih dahulu dari padanya.

وَإِنَّ الْمُؤْمِنِينَ الْمُتَّقِينَ عَلَى مَنْ بَغَى مِنْهُمْ، أَوْ اَبْتَغَى دَسِيْعَةَ ظُلْمٍ، أَوْ إثْمٍ، أَوْ عُدْوَانٍ، أَوْ فَسَادٍ بَيْنَ الْمُؤْمِنِينَ، وَإِنَّ أَيْدِيَهُمْ عَلَيْهِ جَمِيعًا، وَلَوْ كَانَ وَلَدَ أَحَدِهِمْ

Pasal 13: (1) Segenap orang-orang beriman yang bertaqwa harus menentang setiap orang yang berbuat kesalahan, melanggar ketertiban, penipuan, permusuhan atau pengacauan di kalangan masyarakat orang-orang beriman. (2) Kebulatan persatuan mereka terhadap orang-orang yang bersalah merupakan tangan yang satu, walaupun terhadap anak-anak mereka sendiri.

وَلاَ يَقْتُلُ مُؤْمِنٌ مُؤْمِنًا فِي كَافِرٍ وَلاَ يَنْصُرُ كَافِرًا عَلَى مُؤْمِنٍ

Pasal 14: (1) Tidak diperkenankan seseorang yang beriman membunuh seorang beriman lainnya karena lantaran seorang yang tidak beriman. (2) Tidak pula diperkenankan seorang yang beriman membantu seorang yang kafir untuk melawan seorang yang beriman lainnya.

وَإِنَّ ذِمَّةَ اللهِ وَاحِدَةٌ يُجِيرُ عَلَيْهِمْ أَدْنَاهُمْ وَإِنَّ الْمُؤْمِنِينَ بَعْضُهُمْ مَوَالِي بَعْضُ دُونَ النّاَسِ

Pasal 15: (1) Jaminan Tuhan adalah satu dan merata, melindungi nasib orang-orang yang lemah. (2) Segenap orang-orang yang beriman harus jamin-menjamin dan setiakawan sesama mereka daripada (gangguan) manusia lain.

 

Persatuan Segenap Warganegara

وَإِنَّهُ مَنْ تَبِعَنَا مِنْ يَهُودَ فَإِنَّ لَهُ النَّصْرَ وَاْلأُسْوَةَ غَيْرَ مَظْلُومِينَ وَلاَ مُتَنَاصَرِيْنَ عَلَيْهِمْ

Pasal 16: Bahwa sesungguhnya kaum-bangsa Yahudi yang setia kepada (negara) kita, berhak mendapatkan bantuan dan per-lindungan, tidak boleh dikurangi haknya dan tidak boleh diasing-kan dari pergaulan umum.

وَإِنَّ سِلْمَ الْمُؤْمِنِينَ وَاحِدَةٌ لاَ يُسَالَمُ مُؤْمِنٌ دُونَ مُؤْمِنٍ فِي قِتَالٍ فِي سَبِيْلِ اللهِ إلاَّ عَلَى سَوَاءٍ وَعَدْلٍ بَيْنَهُمْ

Pasal 17: (1) Perdamaian dari orang-orang beriman adalah satu.    (2) Tidak diperkenankan segolongan orang-orang yang beriman membuat perjanjian tanpa ikut sertanya segolongan lainnya di dalam suatu peperangan di jalan Tuhan, kecuali atas dasar persamaan dan adil di antara mereka.

وَإِنَّ كُلَّ غَازِيَةٍ غَزَتْ مَعَنَا يُعْقِبُ بَعْضُهَا بَعْضًا

Pasal 18: Setiap penyerangan yang dilakukan terhadap kita, merupakan tantangan terhadap semuanya yang harus memperkuat persatuan antara segenap golongan.

وَإِنَّ الْمُؤْمِنِينَ يُبِئْ بَعْضُهُمْ عَلَى بَعْضٍ بِمَا نَالَ دِمَاءَهُمْ فِي سَبِيلِ اللهِ وَإِنَّ الْمُؤْمِنِينَ الْمُتَّقِينَ عَلَى أَحْسَنِ هُدًى وَأَقْوَمِهِ

Pasal 19: (1) Segenap orang-orang yang beriman harus memberikan pembelaan atas tiap-tiap darah yang tertumpah di jalan Tuhan.     (2) Setiap orang beriman yang bertaqwa harus berteguh hati atas jalan yang baik dan kuat.

وَإِنَّهُ لاَ يُجِيْرُ مُشْرِكٌ مَالاً لِقُرَيْشٍ وَلاَ نَفْسَهَا، وَلاَ يَحُولُ دُونَهُ عَلَى مُؤْمِنٍ

Pasal 20: (1) Perlindungan yang diberikan oleh seorang yang tidak beriman (musyrik) terhadap harta dan jiwa seorang musuh Quraisy, tidaklah diakui. (2) Campur tangan apapun tidaklah diijinkan atas kerugian seorang yang beriman.

وَإِنَّهُ مَنْ اَعْتَبَطَ مُؤْمِنًا قَتْلاً عَنْ بَيَّنَةٍ فَإِنَّهُ قَوَدٌ بِهِ إلاَّ أَنْ يَرْضَى وَلِيُّ الْمَقْتُولِ وَإِنَّ الْمُؤْمِنِينَ عَلَيْهِ كَافَّةٌ وَلاَ يَحِلُّ لَهُمْ إِلاَّ قِيَامٌ عَلَيْهِ

Pasal 21: (1) Barangsiapa yang membunuh akan seorang yang ber-iman dengan cukup bukti atas perbuatannya harus dihukum bunuh atasnya, kecuali kalau wali (keluarga yang berhak) dari si terbunuh bersedia dan rela menerima ganti kerugian (diyat). (2) Segenap warga yang beriman harus bulat bersatu mengutuk perbuatan itu, dan tidak diizinkan selain daripada menghukum kejahatan itu.

وَإِنَّهُ لاَ يَحِلُّ لِمُؤْمِنٍ أَقَرَّ بِمَا فِي هَذِهِ الصَّحِيفَةِ وَآمَنَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ أَنْ يَنْصُرَ مُحْدِثًا وَلاَ يُؤْوِيْهِ وَأَنّهُ مَنْ نَصَرَهُ أَوْ آوَاهُ فَإِنَّ عَلَيْهِ لَعْنَةَ اللهِ وَغَضَبَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلاَ يُؤْخَذُ مِنْهُ صَرْفٌ وَلاَ عَدْلٌ

Pasal 22: (1) Tidak dibenarkan bagi setiap orang yang mengakui piagam ini dan percaya kepada Tuhan dan hari akhir, akan membantu orang-orang yang salah, dan memberikan tempat kediaman baginya. (2) Siapa yang memberikan bantuan atau memberikan tempat tinggal bagi pengkhianat-pengkhianat negara atau orang-orang yang salah, akan mendapatkan kutukan dan kemurkaan Tuhan di hari kiamat nanti, dan tidak diterima segala pengakuan dan kesaksiannya.

وَإِنَّكُمْ مَهْمَا اخْتَلَفْتُمْ فِيهِ مِنْ شَيْءٍ فَإِنَّ مَرَدَّهُ إلَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ وَإِلَى مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

Pasal 23: Apabila timbul perbedaan pendapat di antara kamu di dalam suatu soal, maka kembalikanlah penyelesaiannya pada (hukum) Tuhan dan (keputusan) Muhammad Saw.


Golongan Minoritas

وَإِنَّ الْيَهُودَ يُنْفِقُونَ مَعَ الْمُؤْمِنِينَ مَا دَامُوا مُحَارَبِيْنَ

Pasal 24: Warganegara (dari golongan) Yahudi memikul biaya bersama-sama dengan kaum beriman, selama negara dalam peperangan.

وَإِنَّ يَهُودَ بَنِي عَوْفٍ أُمَّةٌ مَعَ الْمُؤْمِنِينَ لِلْيَهُودِ دِيْنُهُمْ وَلِلْمُسْلِمَيْنِ دِينُهُمْ مَوَالِيهِمْ وَأَنْفُسُهُمْ إلاَّ مَنْ ظَلَمَ وَأَثِمَ فَإِنَّهُ لاَ يُوتِغُ إلاَّ نَفْسَهُ وَأَهْلَ بَيْتِهِ

Pasal 25: (1) Kaum Yahudi dari suku ‘Auf adalah satu bangsa-negara (ummat) dengan warga yang beriman. (2) Kaum Yahudi bebas memeluk agama mereka, sebagai kaum Muslimin bebas memeluk agama mereka. (3) Kebebasan ini berlaku juga terhadap pengikut-pengikut/sekutu-sekutu mereka, dan diri mereka sendiri. (4) Kecuali jika ada yang mengacau dan berbuat kejahatan, yang menimpa diri orang yang bersangkutan dan keluarganya.

وَإِنَّ لِيَهُوْدِ بَنِي النَّجَّارِ مِثْلَ مَا لِيَهُوْدِ بَنِي عَوْفٍ

Pasal 26: Kaum Yahudi dari Banu Najjar diperlakukan sama seperti kaum Yahudi dari Banu ‘Auf di atas.

وَإِنَّ لِيَهُوْدِ بَنِي الْحَارِثِ مِثْلَ مَا لِيَهُوْدِ بَنِي عَوْفٍ

Pasal 27: Kaum Yahudi dari Banul-Harts diperlakukan sama seperti kaum Yahudi dari Banu ‘Auf di atas.

وَإِنَّ لِيَهُودِ بَنِي سَاعِدَةَ مَا لِيَهُوْدِ بَنِي عَوْفٍ

Pasal 28: Kaum Yahudi dari Banu Sa'idah diperlakukan sama seperti kaum Yahudi dari Banu ‘Auf di atas.

وَإِنَّ لِيَهُوْدِ بَنِي جُشَمٍ مِثْلَ مَا لِيَهُوْدِ بَنِي عَوْفٍ

Pasal 29: Kaum Yahudi dari Banu Jusyam diperlakukan sama seperti kaum Yahudi dari Banu ‘Auf di atas.

وَإِنَّ لِيَهُوْدِ بَنِي اْلأَوْسِ مِثْلَ مَا لِيَهُوْدِ بَنِي عَوْفٍ

Pasal 30: Kaum Yahudi dari Banu Aws diperlakukan sama seperti kaum Yahudi dari Banu ‘Auf di atas.

وَإِنَّ لِيَهُوْدِ بَنِي ثَعْلَبَةَ مِثْلَ مَا لِيَهُوْدِ بَنِي عَوْفٍ، إلاَّ مَنْ ظَلَمَ وَأَثِمَ فَإِنَّهُ لاَ يُوتِغُ إلاَّ نَفْسَهُ وَأَهْلَ بَيْتِهِ

Pasal 31: (1) Kaum Yahudi dari Banu Tsa’labah, diperlakukan sama seperti kaum yahudi dari Banu ‘Auf di atas. (2) Kecuali orang yang mengacau atau berbuat kejahatan, maka ganjaran dari pengacauan dan kejahatannya itu menimpa dirinya dan keluarganya.

وَإِنَّ جَفْنَةَ بَطْنٌ مِنْ ثَعْلَبَةَ كَأَنْفُسِهِمْ

Pasal 32: Suku Jafnah adalah bertali darah dengan kaum Yahudi dari Banu Tsa’labah, diperlakukan sama seperti Banu Tsa’labah

وَإِنَّ لِبَنِي الشُّطِيبَةِ مِثْلَ مَا لِيَهُوْدِ بَنِي عَوْفٍ ، وَإِنَّ الْبِرَّ دُونَ اْلإِثْمِ

Pasal 33: (1) Banu Syuthaibah diperlakukan sama seperti kaum Yahudi dari Banu ‘Auf di atas. (2) Sikap yang baik harus dapat membendung segala penyelewengan.

وَإِنَّ مَوَالِيَ ثَعْلَبَةَ كَأَنْفُسِهِمْ

Pasal 34: Pengikut-pengikut/sekutu-sekutu dari Banu Tsa’labah, diperlakukan sama seperti Banu Tsa’labah.

وَإِنَّ بِطَانَةَ يَهُوْدَ كَأَنْفُسِهِمْ

Pasal 35: Segala pegawai-pegawai dan pembela-pembela kaum Yahudi, diperlakukan sama seperti kaum Yahudi.


Tugas Warga Negara

وَإِنَّهُ لاَ يَخْرَجُ مِنْهُمْ أَحَدٌ إلاَّ بِإِذْنِ مُحَمّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَإِنَّهُ لاَ يُنْحَجَزُ عَلَى ثَأْرٍ جُرْحٌ وَإِنَّهُ مَنْ فَتَكَ فَبِنَفْسِهِ فَتَكَ وَأَهْلِ بَيْتِهِ إلاَّ مِنْ ظَلَمَ وَإِنَّ اللهَ عَلَى أَبَرَّ هَذَا

Pasal 36: (1) Tidak seorang pun diperbolehkan bertindak keluar, tanpa ijinnya Muhammad Saw. (2) Seorang warga negara dapat membalaskan kejahatan luka yang dilakukan orang kepadanya.    (3) Siapa yang berbuat kejahatan, maka ganjaran kejahatan itu menimpa dirinya dan keluarganya, kecuali untuk membela diri.   (4) Tuhan melindungi akan orang-orang yang setia kepada piagam ini.

وَإِنَّ عَلَى الْيَهُودِ نَفَقَتَهُمْ وَعَلَى الْمُسْلِمِيْنَ نَفَقَتَهُمْ وَاِنَّ بَيْنَهُمْ النَصْرَ عَلَى مَنْ حَارَبَ أَهْلَ هَذِهِ الصَحِيْفَةَ وَاِنَّ بَيْنَهُمْ النَصْحُ وَالنَّصِيْحَةَ وَالْبِرَّ دُونَ اْلإِثْمِ وَإِنَّهُ لَمْ يَأْثَمْ اَمْرُؤٌ بِحَلِيفِهِ وَإِنَّ النَّصْرَ لِلْمَظْلُومِ

Pasal 37: (1) Kaum Yahudi memikul biaya negara, sebagai halnya kaum Muslimin memikul biaya Negara. (2) Di antara segenap warga negara (Yahudi dan Muslimin) terjalin pembelaan untuk menentang setiap musuh negara yang memerangi setiap peserta dari piagam ini. (3) Di antara mereka harus terdapat saling nasihat-menasihati dan berbuat kebajikan, dan menjauhi segala dosa.        (4) Seorang warga negara tidaklah dianggap bersalah, karena kesalahan yang dibuat sahabat atau sekutunya. (5) Pertolongan, pembelaan, dan bantuan harus diberikan kepada orang atau golongan yang teraniaya.

وَإِنَّ الْيَهُودَ يُنْفِقُونَ مَعَ الْمُؤْمِنِينَ مَا دَامُوا مُحَارَبِينَ

Pasal 38: Warga negara kaum Yahudi memikul biaya bersama-sama warganegara yang beriman, selama peperangan masih terjadi.


Melindungi Negara

وَإِنَّ يَثْرِبَ حَرَامٌ جَوْفُهَا لِأَهْلِ هَذِهِ الصَّحِيفَةِ

Pasal 39: Sesungguhnya kota Yatsrib, Ibukota Negara, tidak boleh dilanggar kehormatannya oleh setiap peserta piagam ini.

وَإِنَّ الْجَارَ كَالنَّفْسِ غَيْرَ مُضَارَّ وَلاَ آثِمٌ

Pasal 40: Segala tetangga yang berdampingan rumah, harus diperlakukan sebagai diri-sendiri, tidak boleh diganggu keten-teramannya, dan tidak diperlakukan salah.

وَإِنَّهُ لاَ تُجَارُ حُرْمَةٌ إِلاَّ بِإِذْنِ أَهْلِهَا

Pasal 41: Tidak seorang pun tetangga wanita boleh diganggu ketenteraman atau kehormatannya, melainkan setiap kunjungan harus dengan izin suaminya.


Pimpinan Negara

وَإِنَّهُ مَا كَانَ بَيْنَ أَهْلِ هَذِهِ الصَّحِيفَةِ مِنْ حَدَثٍ أَوْ اِشْتِجَارٍ يُخَافُ فَسَادُهُ فَإِنَّ مَرَدَّهُ إلَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ وَإِلَى مُحَمّدٍ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَإِنَّ اللهَ عَلَى أَتْقَى مَا فِي هَذِهِ الصَّحِيفَةِ وَأَبَرَّهِ

Pasal 42: (1) Tidak boleh terjadi suatu peristiwa di antara peserta piagam ini atau terjadi pertengkaran, melainkan segera dilaporkan dan diserahkan penyelesaiannya menurut (hukum) Tuhan dan (kebijaksanaan) utusan-Nya, Muhammad Saw. (2) Tuhan ber-pegang teguh kepada piagam ini dan orang-orang yang setia kepadanya.

وَإِنَّهُ لاَ تُجَارُ قُرَيْشٌ وَلاَ مَنْ نَصَرَهَا

Pasal 43: Sesungguhnya (musuh) Quraisy tidak boleh dilindungi, begitu juga segala orang yang membantu mereka.

وَإِنَّ بَيْنَهُمْ النَّصْرَ عَلَى مَنْ دَهَمَ يَثْرِبَ

Pasal 44: Di kalangan warga negara sudah terikat janji pertahanan bersama untuk menentang setiap agresor yang menyergap kota Yatsrib.


Politik Perdamaian

وَإِذَا دُعُوا إلَى صُلْحٍ يُصَالِحُونَهُ وَيَلْبَسُونَهُ فَإِنَّهُمْ يُصَالِحُونَهُ وَيَلْبَسُونَهُ وَإِنَّهُمْ إذَا دُعُوا إلَى مِثْلِ ذَلِكَ فَإِنَّهُ لَهُمْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ إلاَّ مَنْ حَارَبَ فِي الدِّيْنِ عَلَى كُلِّ أُنَاسٍ حِصَّتُهُمْ مِنْ جَانِبِهِمْ الَّذِي قِبَلَهُمْ

Pasal 45: (1) Apabila mereka diajak kepada pendamaian (dan) membuat perjanjian damai (treaty), mereka tetap sedia untuk berdamai dan membuat perjanjian damai. (2) Setiap kali ajakan pendamaian seperti demikian, sesungguhnya kaum yang beriman harus melakukannya, kecuali terhadap orang (negara) yang me-nunjukkan permusuhan terhadap agama (Islam). (3) Kewajiban atas setiap warganegara mengambil bahagian dari pihak mereka untuk perdamaian itu.

وَإِنَّ يَهُودَ اْلأَوْسِ، مَوَالِيَهُمْ وَأَنْفُسَهُمْ عَلَى مِثْلِ مَا لِأَهْلِ هَذِهِ الصَّحِيفَةِ. مَعَ الْبِرَّ الْمَحْضِ مِنْ أَهْلِ هَذِهِ الصَّحِيفَةِ

Pasal 46: (1) Dan sesungguhnya kaum Yahudi dari Aws dan segala sekutu dan simpatisan mereka, mempunyai kewajiban yang sama dengan segala peserta piagam untuk kebaikan (pendamaian) itu.  (2) Sesungguhnya kebaikan (pendamaian) dapat menghilangkan segala kesalahan.


Penutup

وَإِنَّ الْبِرَّ دُونَ اْلإِثْمِ لاَ يَكْسِبُ كَاسِبٌ إِلاَّ عَلَى نَفْسِهِ وَإِنَّ اللهَ عَلَى أَصْدَقِ مَا فِي هَذِهِ الصَّحِيفَةِ وَأَبَرِّهِ وَإِنّهُ لاَ يَحُولُ هَذَا الْكِتَابُ دُونَ ظَالِمٍ وَآثِمٍ وَإِنَّهُ مَنْ خَرَجَ آمِنٌ وَمَنْ قَعَدَ آمِنٌ بِالْمَدِيْنَةِ، إِلاَّ مَنْ ظَلَمَ أَوْ أَثِمَ وَإِنَّ اللهَ جَارٌ لِمَنْ بَرَّ وَاتَّقَى، وَمُحَمّدٌ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

Pasal 47: (1) Setiap orang (warganegara) yang berusaha, segala usahanya adalah atas dirinya. (2) Sesungguhnya Tuhan menyertai akan segala peserta dari piagam ini, yang menjalankannya dengan jujur dan sebaik-baiknya. (3) Sesungguhnya tidaklah boleh piagam ini dipergunakan untuk melindungi orang-orang yang dhalim dan bersalah. (4) Sesungguhnya (mulai saat ini), orang-orang yang bepergian (keluar), adalah aman. (5) Dan orang yang menetap adalah aman pula, kecuali orang-orang yang dhalim dan berbuat salah. (6) Sesungguhnya Tuhan melindungi orang (warganegara) yang baik dan bersikap taqwa (waspada). (7) Dan (akhirnya), Muhammad adalah Utusan Allah, semoga Allah mencurahkan shalawat dan kesejahteraan atasnya.

 

Keterangan:

Ø  Piagam Madinah ini menurut riwayat Ibnu Ishaq dalam kitabnya Ibnu Hisyam, Sirah an-Nabawiyah, cet. 1, juz 3, hal. 31-35, Dar al-Jayl, Beirut, 1411.  Juga bisa dilihat di beberapa kitab seperti: Ahmad bin ‘Abd al-Halim bin Taymiyyah al-Harâni, Abu al-‘Abbas, Ash-Shârim al-Maslûl ‘alâ Syâtim ar-Rasûl, cet. 1, juz 2, hal. 129-133, Dar Ibn Hazm, Beirut. 1417; Ibn Katsir, al-Bidâyah wa an-Nihâyah, juz 3, hal. 224-226, Maktabah al-Ma’arif. tt; Abu ‘Ubaid al-Qasim, al-Gharîb, no. 517; Ibn Ishaq, Sîrah Ibn Ishaq, hal. 101; Ibn Zanzawayh, al-Amwâl, dari az-Zuhdi, lembaran no 70A-71B, ‘Umar al-Mushili, Wasîlât al-Muta’âbidîn, juz 8, hal. 32B; Sîrah Ibn Sayyid an-Nâs (dari Ishhaq dan Ibn Khutsaymah), juz 1, hal. 198. Penggalan-penggalan Piagam Madinah itu banyak terdapat dalam kitab-kitab hadits shahih. Dalam analisis ini didasarkan pada teks Piagam madinah yang tercantum dalam Sirah an-Nabawiyyah Ibn Hisyam.

Ø  Disistematisasikan ke dalam pasal-pasal oleh Dr. AJ Wensinck dalam bukunya Mohammad en de Yoden le Medina (1928), hal. 74-84, dan W. Montgomery Watt dalam bukunya Mohammad at Medina (1956), hal. 221-225.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to " PIAGAM MADINAH SEBAGAI RUJUKAN BERBANGSA DAN BERNEGARA"

Posting Komentar