MENGGUNAKAN GADING GAJAH SEBAGAI PIPA ROKOK


MENGGUNAKAN GADING GAJAH SEBAGAI PIPA ROKOK

Tak jarang dijumpai merokok sambil memakai pipa rokok, biasanya pipa rokok terbuat dari berbagai bahan, ada yang terbuat dari tulang, gading, kayu, keramik, plastik, dan lain-lain.

Bagaimana hukum menggunakan gading Gajah  sebagai pipa rokok ?

A.     Haram

Menurut mayoritas ulama’ berpendapat bahwa memakai gading gajah untuk pipa rokok hukumnya haram ketika menggunakannya sampai basah (dijilati/diklomoh, red: jawa). Karena gading gajah hukumnya adalah najis.

B.     Makruh

Menurut mayoritas ulama’ berpendapat memakai gading gajah untuk pipa rokok hukumnya makruh ketika menggunakannya tidak sampai basah (dijilati/diklomoh, red: jawa).

C.      Mubah

Menurut Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad, Gading Gajah termasuk benda suci maka boleh digunakan, baik dalam keadaan basah atau kering.

Catatan:

Hukum ini berlaku jika penggunaan pipa rokok gading gajah tidak berbenturan dengan undang-undang hukum negara. Bilamana berbenturan dengan undang-undang hukum negara maka hukumnya haram mutlak.

وسيأتي كَلامُ الأَصْحَاب إن شاء الله تعالى فِي عَظْمِ الْفِيْلِ أَنَّهُ يُكْرَهُ اسْتِعْمَالُهُ فِي الْيَابِسِ وَلَا يَحْرُمُ، وَمِمَّنْ صَرَّحَ فِي عَظْمِ الْفِيْلِ بِكَرَاهَةِ اسْتِعْمَالِهِ فِي الْيَابِسِ وَتَحْرِيْمِهِ فِي الرُّطْبِ الْشَّيْخُ نَصْرٌ فَدَلَّ أَنَّ مُرَادَهُ هُنَا اسْتِعْمَالُهُ فِي الرُّطْبِ، وَأَمَّا قَوْلُ العَبْدَرِي : لَا يَجُوْزُ اسْتِعْمَالُهُ قَبْلَ الدِّبَاغِ فِي الْيَابِسَاتِ عِنْدَنَا وَعِنْدَ أَكْثَرِ الْعُلَمَاءِ فَغَلَطَ مِنْهُ، وَصَوَابُهُ أَنْ يَقُوْلَ فِي الرُّطْبَاتِ اهـ (مجموع شرح المهذب لأبي زكريا محيي الدين يحيى بن شرف النووي الجزء ١ صح 228)

Makruh, dalam arti tidak haram menggunakan tulang dalam keadaan kering, dan haram menggunakannya dalam keadaan basah, ini adalah pendapat Syekh Nashar Sedangkan perkataan al-Abdari yang mengatakan tidak boleh memakai tulang gajah sebelum disamak dalam keadaan kering adalah pendapat yang keliru menurut kita Syafiyah dan mayoritas Ulama, sedangkan yang benar adalah tidak boleh jika dalam keadaan basah saja (Majmu’ Syar hal-Muhadzab, 1:228)

(وَعَظْمُ) الْحَيَوَانَاتِ (الْمَيْتَةِ وَشَعْرُهَا) وَقَرْنُهَا وَظُفْرُهَا وَظِلْفُهَا (نَجِسٌ) لِقَوْلِهِ تَعَلَى (حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ) قَوْلُهُ: (وَقَرْنُهَا) وَكَذَا سِنُّهَا وَحَافِرُهَا وَقَدْ يَشْمَلُ جَمِيْعَ ذٰلِكَ الْعَظْمِ وَحِيْنَئِذٍ فَيَكُوْنُ مِنْ عَطْفِ الْجُزْءِ عَلَى كُلِّهَ وَكَذَا لَبَنُهَا وَبَيْضُهَا إِنْ لَمْ يَتَصَلَّبْ وَمِسْكُهَا إِنْ لَمْ يَتَهَيَّأْ لِلْوُقُوْعِ، وَقَالَ أَبُوْ حَنِيْفَةَ وَأَحْمَدُ بِطَهَارَةِ الشَّعْرِ وَالصُّوْفِ وَالْوَبَرِ زَادَ أَبُوْ حَنِيْفَةَ فَقَالَ بِطَهَارَةِ الْقَرْنِ وَالسِّنِ وَالْعَظْمِ وَالرِّيْشِ إِذْ لَا رُوْحَ فِيْهِ وَقَالَ مَالِكٌ : بِطَهَارَةِ الشَّعْرِ وَالصُّوْفِ وَالْوَبَرِ مُطْلَقًا سَوَاءٌ كَانَ يُؤْكَلُ لَحْمُهُ كَالنَّعَمِ أَوْ لَا يُؤْكَلُ كَالْكَلْبِ وَالْحِمَارِ اهـ .شَعْرَانِي فِي الْمِيْزَانِ اهـ (حاشية البجيرمي على الخطيب لسليمان بن محمد البجيرمي الجزء 1 ص ۱۰۰ مكتبة دار الفكر)

Tulang, bulu, tanduk, kuku dan gigi dari bangkai adalah najis, demikian juga telumnya jika tidak akan menjadi keras serta minyak misiknya juga jika tidak siap untuk diperas (jatuh) Imam Abu Hanifah dan Ahmad berkara Rambut, bulu lembut, dan bulu kasar dari bangkai adalah suci. Abu Hanifah menambah pada tanduk, gigi. tulang, bulu burung dari bangkai adalah suci, karena didalamnya tidak ada ruh Sementara Imam Malik berpendapat Rambut, bulu lembut, dan bulu kasar secara mutlak adalah suci, baik dari binatang yang halal dimakan dagingnya seperti kambing, sapi, dan unta, maupun dari binatang yang haram dimakan dagingnya seperti anjing dan keledai (Hasyiyah al-Bujairomi, 1:100)

وَقَالَ ش ق: وَالْحَاصِلُ أَنَّهُ تَجِبُ طَاعَةُ الْإِمَامِ فِيْمَا أَمَرَ بِهِ ظَاهِراً وَبَاطِناً مِمَّا لَيْسَ بِحَرَامٍ أَوْ مَكْرُوْهٍ ، فَالْوَاجِبُ يَتَأَكَّدُ ، وَالْمَنْدُوْبُ يَجِبُ ، وَكَذَا الْمُبَاحُ إِنْ كَانَ فِيْهِ مَصْلَحَةٌ كَتَرْكِ شُرْبِ التَّنْبَاكِ إِذَا قُلْنَا بِكَرَاهَتِهِ لِأَنَّ فِيْهِ خِسَّةٌ بِذَوِي الْهَيْئَاتِ ، وَقَدْ وَقَعَ أَنَّ السُّلْطَانَ أمَرَ نَائِبَهُ بِأَنْ يُنَادِيَ بِعَدَمِ شُرْبِ النَّاسِ لَهُ فِي الْأَسْوَاقِ وَالْقَهَاوِي ، فَخَالَفُوْهُ وَشَرَبُوْا فَهُمْ الْعَصَاةُ ، وَيَحْرُمُ شُرْبُهُ الْآنَ اِمْتِثَالًا لِأَمْرِهِ ، وَلَوْ أَمَرَ الْإِمَامُ بِشَيْءٍ ثُمَّ رَجْعَ وَلَوْ قَبْلَ التَّلَبُّسِ بِهِ لَمْ يَسْقِطْ الْوُجُوْبُ اهـ. (بغية المسترشدين: ص 91)

Kesimpulannya adalah wajib menaati Imam dalam perintahnya secara dhohir dan batin dalam hal yang tidak haram atau makruh, maka yang asalnya wajib menjadi lebih kuat kewajibannya sedangkan yang asalnya sunnah berubah menjadi wajib. Begitu juga yang mubah menjadi wajib apabila di dalamnya terdapat kemaslahatan (Bughyah al-Mustarsyidin, 91)

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "MENGGUNAKAN GADING GAJAH SEBAGAI PIPA ROKOK"

Posting Komentar