PLURALITAS DAN SOSIAL KEMASYARAKATAN
A. Pendahuluan
Pada dasarnya
pluralisme adalah sebuah pengakuan akan hukum Tuhan yang menciptakan manusia
yang tidak hanya terdiri dari satu kelompok, suku, warna kulit, dan satu agama
saja. Tuhan menciptakan manusia berbeda-beda agar mereka bias saling belajar,
bergaul, dan membantu antara satu dan lainnya. Pluralisme mengakui
perbedaan-perbedaan itu sebagai sebuah realitas yang pasti ada di mana saja.
Dalam pandangan
Islam, pluralisme agama mendapatkan tempat dalam gagasan normatifnya. Dengan
sangat luar biasa, Islam mengakui eksistensi agama lain tidak hanya dalam
bingkai hubungan kemanusiaan, melainkan juga tempat mereka di sisi Tuhan.
Bahkan yang menarik, dalam sejarah peradaban Islam, kehidupan plural itu
berhasil diterjemahkan dalam konteks kehidupan yang saling mendukung.
Umat Islam dari
sejak dulu hingga kini telah biasa hidup di tengah ke-bhinneka-an atau
pluralitas agama dan menerimanya sebagai realitas sosial. Piagam Madinah
sebagai bukti, dengan jelas sekali mengakomodir pluralitas agama saat itu dan
para ulama telah pula menjelaskan hukum yang terkait dengan hubungan umat dalam
pluralitas agama itu. Sangat dianjurkan sekali hubungan antar umat beragama itu
terjalin dengan baik demi menjaga dan membangun kerukunan dan kebaikan bersama
serta demi kemanfaatan dan kemaslahatan umum sebagaimana yang diterangkan di
beberapa kitab yang salah satunya termaktub dalam kitab Tafsir al-Munir juz 1
halaman 93. Diterangkan pula dalam kitab al-Bab fii Uluum al-Kitaab, bab surat
Ali Imran juz 5 halaman 143, sebagai berikut:
....الْمُعَاشَرَةُ الْجَمِيْلَةُ
فِى الدُّنْيَا بحَسَبِ الظاهر وذلك غير ممنوع.... (تفسير المنير ج 1، ص: 93)
....... menjalin hubungan baik dengan non muslim di dunia dengan
sebatas dhahir itu tidak ada larangan...... (Tafsir al-Munir, juz 1, hal. 93)
B. Toleransi Antar Umat Beragama
Toleransi antar
umat beragama merupakan hal yang sangat penting untuk selalu kita bina dan kita
lestarikan, karena dengan saling bertoleransi antar sesama dalam kehidupan ini
akan tercipta kedamaian dan keharmonisan, tanpa adanya rasa permusuhan dan
saling mencurigai. Bahkan Rasulullah sendiripun telah memberi contoh kepada
kita semua. Dimana pada masa hidup Rasulullah toleransi antar umat beragama itu
beliau gambarkan dalam hubungan jual-beli dan saling memberi dengan non muslim.
Sebagaimana diterangkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam
kitab al-Maghazi hadits nomor 4467:
فَعَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ: تُوُفِّيَ النَّبِيُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَدِرْعَهُ مَرْهُوْنَةٌ عِنْدَ يَهُوْدِيْ بِثَلاَثِيْنَ. يَعْنِي: صَاعًا مِنْ شَعِيْرٍ (كتاب المغازي، رقم الحديث 4467)
Dari Aisyah RA.
Dia berkata: Nabi telah wafat sedangkan baju besinya telah diberikan kepada seorang
yahudi sebagai gadai dengan 30 sha’ gandum. (Kitab al-Maghazi, hadits nomor
4467)
Selain itu Rasulullah juga tidak enggan untuk
menerima hadiah apapun dari umat lain (non muslim). Dan dari situlah para ahli
fiqih berpendapat bahwa menerima pemberian hadiah dari semua kelompok baik dari
kalangan muslim maupun non muslim bahkan mereka yang memerangi umat Islam
sekalipun itu diperbolehkan secara syar’i. Dan hal ini diterangkan dalam kitab
al-Mughni juz 13, halaman 200, sebagai berikut:
وَيَجُوْزُ قَبُوْلُ هَدِيَةِ الْكُفَّارِ مِنْ أَهْلِ الْحَرْبِ لِأَنَّ النَّبِيَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَبِلَ هَدِيَةَ اْلمُقَوْقِسِ صَاحِبِ مِصْرَ (المغني، ج 13، ص: 200)
Boleh menerima hadiahnya non muslim ahli
harb, karena Nabi Saw. menerima hadiah dari Makukis penguasa Mesir. (Kitab
al-Mughni, Ibnu Qudamah, juz 13, hal. 200)
Selain itu juga, saling memberikan maaf antar
sesama merupakan hal yang sangat penting untuk kita lakukan, karena bagaimanpun
juga kita sebagai makhluk sosial dalam kehidupan sehari-hari yang selalu
berinteraksi dengan banyak orang, tentu kita pernah melakukan kesalahan dan
kekhilafan dan yang pasti kita semua saling membutuh-kan satu sama lain, oleh
karena itu memberi maaf kepada siapaun saja bahkan terhadap musuh kita yang
pernah memerangi kita itupun perlu kita lakukan, sebagaimana teladan yang
diberikan Rasulullah Saw. yang telah membebaskan para musuhnya yang telah
memerangi beliau hal ini terjadi pada masa pembukaan kota Makkah, dimana beliau
telah memaafkan kaum quraisy Makkah dengan mengatakan “Pergilah kalian
semua dan kalian hari ini adalah orang-orang yang dibebaskan”.
Diterangkan dalam Kitab Sirah Nabawiyah, Ibnu Hisyam, cet. Darul Ihya' Turats
al-Araby, juz 4, hal 61 dan dalam kitab Nail al-Author, juz 12, hal. 263.
وَمِمَّا احْتَجَّ بِهِ الشَّافِعِيُّ مَا وَقَعَ فِي سُنَنِ أَبِي دَاوُد بِإِسْنَادٍ حَسَنٍ عَنْ جَابِرٍ أَنَّهُ سُئِلَ: هَلْ غَنِمْتُمْ يَوْمَ الْفَتْحِ شَيْئًا؟ قَالَ: لاَ وَيُجَابُ بِأَنَّ عَدَمَ الْغَنِيمَةِ لاَ يَسْتَلْزِمُ عَدَمَ الْعَنْوَةِ لِجَوَازِ أَنْ يَكُونَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنَّ عَلَيْهِمْ بِاْلأَمْوَالِ كَمَا مَنَّ عَلَيْهِمْ بِاْلأَنْفُسِ حَيْثُ قَالَ: " اذْهَبُوا فَأَنْتُمْ الطُّلَقَاءُ ".
Rasulullah Saw.
juga selalu menyuruh umatnya untuk terus menyambung tali persaudaraan antar
sesama meskipun berbeda agama. Sebagaimana Rasulullah menyuruh Asma' binti Abu
Bakar untuk menyambung tali silaturrohmi dengan ibunya yang kebetulan agamanya
berbeda dengannya. Hal ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam kitab al-Hibbah
Bab al-Hadyah lil Musyrikin hadits nomor 2620, dan dalam Tafsir al-Qurtubi, juz
8, hal. 94 sebagai berikut:
قَالَتْ أَسْمَاءْ: ياَ رَسُوْلَ الله، إِنَّ أُمِّيْ قَدَّمَتْ عَلَيَّ رَاغِبَةً وَهِيَ مُشْرِكَةٌ أَفَأَصَلُّهَا؟ قاَلَ: (صِلِّيْ أُمُّكِ) خرجه البخاري.
Asma' bertanya
kepada Nabi: Ya Rasulullah sesungguhnya ibuku mengasihiku adapun ibu saya itu adalah
seorang musyrikah apakah saya harus berbuat baik kepadanya? Nabi bersabda:
“Berbaktilah kepadanya/ berdoalah untuknya”.
Bahkan Rasulullah
Saw. juga pernah mendo'akan non muslim, dan itu sering beliau lakukan
diantaranya adalah:
1.
Beliau mendo’akan seorang non muslim yang bernama Daus agar mendapatkan
hidayah, dan hal ini diterangkan dalam kitab Shahih Bukhari Bab al-Jihad wa al-Sair hadits nomor 2779, dalam kitab
Shahih Muslim Bab Fadlailus Shahabah hadits nomor 2524, dan dalam kitab
Imam Ahmad, juz 2, hal. 353 sebagai berikut:
فَقَدْ قَدَمَ الطُّفَيْلُ بْنُ عَمْرُ وَالدَّوْسِيُّ وَأَصْحَابُهُ فَقَالُوْا: يَارَسُوْلَ اللهِ إِنَّ دَوْسًا قَدْ كَفَرَتْ وَأَبَتْ فَادْعُ اللهَ عَلَيْهَا، فَقِيْلَ: هَلَكَتْ دَوْسٌ - ظَنَّا بِأَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّمَا رَفَعَ يَدَيْهِ لِلدُّعَاءٍ عَلَيْهَا - فَقَالَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. (اللَّهُمَّ اهْدِ دَوْسًا وَائْتِ بِهِمْ)
2.
Beliau juga mendo'akan ibunya Abu Hurairah yang berbeda agama, dan ini
diterangkan dalam Shahih Muslim kitab Fadlailus Shahabah Bab Min Fadlail Abi
Hurairah hadits nomor 2491 sebagai berikut:
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: كُنْتُ أَدْعُوْ أُمِّيْ إِلَى اْلإِسْلاَمِ وَهِيَ مُشْرِكَةٌ فَدَعَوْتُهَا يَوْمًا فَأَسْمَعَتْنِيْ فِيْ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم مَا أَكْرِهُ فَأَتَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى الله عليه وسلم وَأَنَا أَبْكِيْ قُلْتُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ إِنِّيْ كُنْتُ أَدْعُو أُمِّيْ إِلَى اْلإِسْلَامِ فَتَأْبَى عَلَيَّ فَدَعَوْتُهَا الْيَوْمَ فَأَسْمَعَتْنِيْ فِيْكَ مَا أَكْرَهُ فَادْعُ اللهَ أَنْ يَهْدِيَ أُمِّ أَبِيْ هُرَيْرَةَ فَقَالَ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم (اللَّهُمَّ اهْدِ أُمِّ أَبِيْ هُرَيْرَةَ)، فَخَرَجْتُ مُسْتَبْشِرًا بِدَعْوَةِ نَبِيِّ اللهِ صلى الله عليه وسلم فَلَمَّا جِئْتُ فَصِرْتُ إِلَى الْبَابِ فَإِذًا هُوَ مُجَافٌ فَسَمِعَتْ أُمِّيْ خَشْفَ قَدَمِيْ فَقَالَتْ: مَكَانُكَ يَا أَبَا هُرَيْرَةَ وَسَمِعْتُ خَضْخَضَةَ الْمَاءِ قَالَ فَاغْتَسَلَتْ وَلَبِسَتْ دِرْعَهَا وَعَجَّلَتْ عَنْ خِمَارِهَا فَفَتَحَتْ الْبَابَ ثُمَّ قَالَتْ: يَا أَبَا هُرَيْرَةَ أَشْهَدُ أَنْ لآ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ قَالَ فَرَجَعْتُ إِلَى رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَتَيْتُهُ وَأَنَا أَبْكِيْ مِنَ الْفَرَحِ
3.
Beliau juga pernah mendo'akan
orang-orang Yahudi yang sedang bersin, dan ini diterangkan dalam Shahih Bukhari
Bab Adab hadits nomor 5870, Sunan Abi Dawud, juz 14, bab Adab
hadits nomor 5033, dan dalam Imam Ahmad, juz 3, hal. 353 sebagai berikut:
حَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا وَكِيعٌ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ حَكِيمِ بْنِ الدَّيْلَمِي عَنْ أَبِى بُرْدَةَ عَنْ أَبِيهِ قَالَ كَانَتِ الْيَهُودُ تَعَاطَسَ عِنْدَ النَّبِىِّ صلى الله عليه وسلم رَجَاءً أَنْ يَقُولَ لَهَا يَرْحَمُكُمُ الله فَكَانَ يَقُولُ يَهْدِيكُمُ اللهُ وَيُصْلِحُ بَالَكُمْ
Di ceritakan dari Utsman bin Abi Syaibah dari
Waqi' dari Sufyan dari Hakim bin al-Dailami dari Abi Burdah dari ayahnya dia
berkata ada seorang yahudi yang bersin di samping Nabi Saw. karena dia berharap
supaya Nabi berdoa untuknya Yarhamuka Alloh, maka Nabi berdoa untuknya Yahdikumulloh
Wayushlikhu baalakum.
Oleh karena
itu, berdoa bersama antar umat beragama atau mendo'akan non muslim merupakan
sikap yang sangat mulia, dan ini sesuai dengan ketentuan syara' (diperbolehkan)
karena hal ini juga mengacu pada teladan yang diberikan oleh Rasulullah.
Toleransi
antar umat beragama adalah gambaran bahwa Islam selalu memandang manusia dengan
pandangan hormat sesuai harkat dan martabatnya sebagai makhluk Tuhan.
Mendo’akan dimaksudkan untuk memohonkan kepada Tuhan Yang Maha Esa agar orang
yang dido’akan diberikan keselamatan dan kebaikan dalam kehidupannya, karena
bagaimanapun setiap manusia menginginkan kehidupannya lebih baik dan lebih
tenteram. Bahkan dalam suatu riwayat mengata-kan bahwa Imam Ibnu Abbas pernah
berkata:
قَالَ اْبنُ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ لَوْ قَالَ لِيْ فِرْعَوْنُ: بَارَكَ اللهُ فِيْكَ قُلْتُ: وَفِيْكَ، وَفِرْعَوْنُ قَدْ مَاتَ. رواه البخاري (صحيح
البخاري، ص: 72، رقم: 95)
Kalau saja Fir'aun mendo'akanku; semoga
Allah memberkatimu. Maka saya akan mendo'akannya juga; semoga Allah
memberkatimu, tapi Fir'aun sudah mati. (Diriwayatkan oleh Imam Bukhari kitab Shahihul
Adab al-Mufrad al-Baniy Bab Kaifa Yad'u lidzimmy, hal. 72, hadits nomor 95)
Oleh karena itu, dari teladan yang diberikan
oleh Rasulullah Saw., kita sebagai umatnya yang selalu mengharapkan keselamatan
hidup di dunia dan akhirat, selayaknya harus terus berusaha untuk meniru
perilaku-perilaku dan sikap-sikap sosial beliau, karena bagaimanapun Rasulullah
adalah teladan bagi kita semua. Sesuai dengan firman Allah SWT dalam surat
al-Ahzab ayat 21 sebagai berikut:
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُوْلِ اللهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَنْ كَانَ يَرْجُوْ اللهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللهَ كَثِيْراً (سورة الأحزاب:٢١)
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik
bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari
kiamat dan Dia banyak menyebut Allah. (Qs. al-Ahzab: 21)
Sikap toleransi
atau istilah jawa menyebutnya dengan sebutan teposeliro yang mempunyai
arti tepo (nepakno) seliro (awak), yaitu
menempatkan diri pada lingkungan disekitarnya, ini merupakan nilai-nilai ajaran
Islam yang begitu mulia, dan sikap seperti ini juga ditunjukkan oleh seorang
tokoh dunia yaitu Sayyidina Umar Bin Khattab ra. terhadap Uskup Sophronius di
hadapan kaum Nasrani dan kaum muslim di Baitul Maqdis Yerussalem.
Selanjutnya, di
depan Gereja Kanisat al-Qiyamah (Gereja Anastasis) Uskup Sophronius menyerahkan
kunci kota Yerussalem kepada Kholifah Umar Bin Khattab ra. Kemudian Sayyidina
Umar meminta diantarkan ke suatu tempat untuk menunaikan sholat. Dan oleh Uskup
Sophronius, beliau diantarkan ke dalam gereja. Akan tetapi, Kholifah Umar
menolak penghormatan tersebut sembari mengatakan bahwa dirinya khawatir hal itu
akan menjadi suatu dasar bagi kaum muslimin generasi berikutnya untuk mengubah
gereja-gereja menjadi masjid. Akhirnya, Sayyidina Umar melaksanakan sholat (munfaridan)
di luar atau di teras gereja tersebut. Hal ini dijelaskan dalam kitab Samahah
al-Islam, hal. 34-37 sebagai berikut:
كَتَبَ لِلنَّصَارَى فِيْ بَيْتِ الْمُقَدَّسِ أَمَانًا عَلَى أَنْفُسِهِمْ وَاَوْلاَدِهِمْ وَنِسَائِهِمْ وَاَمْوَالِهِمْ وَجَمِيْعِ كَنَائِسِهِمْ لاَ تُهْدَمُ وَلاَ تُسْكَنُ وَحِيْنَ جَاءَ وَقْتُ الصَّلاَةِ وَهُوَ جَالِسٌ فِيْ صُحْنِ كَنِيْسَةِ الْقِيَامَةِ خَرَجَ وَصَلَّى خَارِجَ الْكَنِيْسَةِ عَلَى الدَّرَجَةِ الَّتِى عَلَى بَابِهَا بِمُفْرَدِهِ وَقَالَ لِلْبَطْرِكْ: لَوْ صَلَّيْتُ دَاخِلَ الْكَنِيْسَةِ لَاَخْذُهَا الْمُسْلِمُوْنَ مِنْ بَعْدِيْ وَقَالُوْا: هُنَا صَلَّى عُمَرُ ثُمَّ كَتَبَ كِتَابًا يُوْصَى بِهِ الْمُسْلِمِيْنَ أَلاَ يُصَلِّى أَحَدٌ مِنْهُمْ عَلَى الدَّرَجَةِ إِلاَّ وَاحِدًا وَاحِدًا غَيْرَ مُجْتَمِعِيْنَ لِلصَّلاَةِ فِيْهَا وَلاَ مُؤَذِّنِيْنَ عَلَيْهَا. اَمَّا عَهْدُهُ لَهُمْ فَقَدْ كَانَ مَثَالاً فِي السَّمَاحَةِ وَالْمُرُوْءَةِ لاَ يَطْمَعُ فِيْهِ طَامِعٌ مِنْ اَهْلِ حَضَارَةِ مِنْ حَضَارَاتِ التَّارِيْخِ كَائِنَةُ مَا كَانَتْ فَكَتَبَ لَهُمُ اْلعَهْدَ الَّذِىْ قَالَ فِيْهِ: (هَذَا مَا أَعْطَى عَبْدُ اللهِ عُمَرُ أَمِيْرُ الْمُؤْمِنِيْنَ أَهْلَ اَيْلِيَاءِ مِنَ اْلأَمَانِ . أَعْطَاهُمْ أَمَانًا لِأَنْفُسِهِمْ وَأَمْوَالِهِمْ وَكَنَائِسِهِمْ وَصَلَبَانِهِمْ سَقِيْمِهَا وَبَرِيْئِهَا وَسَائِرِ مِلَّتِهَا . اِنَّهُ لاَ تُسْكَنُ كَنَائِسُهُمْ وَلاَ تُهْدَمُ وَلاَ يُنْتَقَصُ مِنْهَا وَلاَ مِنْ خَيْرِهَا وَلاَ مِنْ صَلِيْبِهِمْ وَلاَ مِنْ شَيْئٍ مِنْ اَمْوَالِهِمْ وَلاَ يَكْرَهُوْنَ عَلَى دِيْنِهِمْ وَلاَ يُضَارُ اَحَدٌ مِنْهُمْ وَلاَ يُسْكَنُ بِاَيْلِيَاءِ مَعَهُمْ اَحَدٌ مِنَ الْيَهُوْدِ. (سماحة الإسلام، ص: 34-37)
Dari kutipan
cerita di atas, kita dapat mengambil sebuah kesimpulan bahwa begitu besar sikap
toleransi (teposeliro) antar sesama meskipun berbeda agama dan
keyakinannya yang diajarkan oleh Islam dan
itupun dicontohkan langsung oleh Nabi Muhammad dan khalifah Umar Bin Khattab
ra.
Dan hasil dari pertemuan kedua tokoh besar tersebut
menghasilkan sebuah piagam perdamaian yang dikenal dengan “perjanjian Aelia”
yang berbunyi:
Inilah perdamaian yang diberikan oleh hamba Allah ‘Umar Amirul Mukminin,
kepada rakyat Aelia: dia menjamin keamanan diri, harta benda, gereja-gereja,
salib-salib mereka, yang sakit maupun yang sehat, dan semua aliran agama
mereka. Tidak boleh mengganggu gereja mereka baik membong-karnya, mengurangi,
maupun menghilangkanya sama sekali, demikian pula tidak boleh memaksa mereka meninggalkan
agama mereka, dan tidak boleh mengganggu mereka. Dan tidak boleh bagi penduduk
Aelia untuk memberi tempat tinggal kepada orang Yahudi
Hal yang sama
juga diterangkan dalam kitab Haekal Umar bin Khattab pada halaman 316, yang
diterbitkan oleh Litera Antar Nusa.
C. Islam Menghormati dan Melindungi Sesama (Non Muslim)
Saling
menghormati dan saling melindungi adalah sikap dan prilaku yang luhur dan
mulia, hal ini juga diajarkan oleh Nabi Muhammad Saw. pada seluruh umat manusia agar dalam
kehidupan ini terasa indah dan menyejukkan, tercipta kedamaian dan keten-traman. Ajaran ini tercermin ketika Nabi
Muhammad Saw. menyambut kedatangan tamu kristen dari Najran, dimana ketika itu
beliau mem-perlakukan mereka dengan sangat hormat, bahkan surban beliau
dibentangkan dan mereka dipersilahkan duduk diatasnya sambil berbincang-bincang
dengan penuh keharmonisan tanpa adanya per-bedaan.
Oleh karena itu,
ketika beliau mendengar terjadi pembunuhan terhadap orang non-muslim yang
dilakukan oleh orang Islam. Rasulullah sangat marah dan beliau bersabda dalam
hadits riwayat Ibnu Mas’ud, Sunan Ibnu Majah, Ibnu Umar sebagai berikut:
عَنِ ابْنِ مَسْعُوْدٍ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ اَذَى ذِمِّيـًا فَاَنَا خَصْمُهُ، وَمَنْ كُنْتُ خَصْمُهُ خَصَمْـتُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ. (الجامع الصغير، ص: 158)
Nabi bersabda: Barang siapa yang menyakiti non muslim (yang berdamai dengan
muslim) maka akulah musuhnya, dan barang siapa
menjadi musuhku di dunia maka aku memusuhinya dihari kiamat nanti.” (HR. Ibnu
Mas’ud, al-Jami’ as-Shaghir, hal. 158)
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرو قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ قَتَلَ مُعَاهَدًا لَمْ يَرَحْ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ وَإِنَّ رِيْحَهَا لَيُوْجَدُ مِنْ مَسِيْرَةِ اَرْبَعِيْنَ عَامًا. (سنن ابن ماجة، ج 2، ص: 97)
Dari Abdullah bin Umar, nabi bersabda: Orang yang membunuh non muslim maka
dia tidak akan pernah merasakan bau harumnya surga, padahal bau harumnya surga
itu sudah bisa dicium dari jarak perjalanan empat puluh tahun. (Sunan Ibnu
Majah, juz 2, hal. 97)
Nabi Muhammad
Saw. juga mempertegas kembali dengan sabda-nya yang lain, bahwa jikalau ada
orang muslim yang melakukan pembunuhan
kepada non muslim secara semena-mena tanpa adanya alasan yang dibenarkan, maka
surga akan enggan untuk menerimanya:
عَنِ ابْنِ عَمْرو قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ قَتَلَ مُعَاهَدًا فِى غَيْرِكُنْهِهِ حَرَّمَ اللهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ. (الجامع الصغير، ص: 177)
Nabi bersabda:
Barang siapa yang telah membunuh non muslim tanpa alasan yang benar, maka Allah
benar-benar melarang baginya masuk surga. (HR. Ibnu Umar, Jami’ as-Shaghir,
hal. 177)
D. Islam Melindungi Tempat-tempat Ibadah Lain
Selain menghormati dan
melindungi antar sesama baik berbeda agama, al-Qur’an pun
juga memerintahkan kepada umat Islam untuk melindungi juga tempat-tempat ibadah agama lain
dalam artian tidak merusaknya, membakar, atau menghancurkannya, sebagaimana
tercantum dalam al-Qur’an Surat al-Hajj ayat 40, juz 17:
الَّذِينَ أُخْرِجُوا مِنْ دِيَارِهِمْ بِغَيْرِ حَقٍّ إِلَّا أَن يَقُولُوا رَبُّنَا اللَّهُ وَلَوْلَا دَفْعُ اللهِ النَّاسَ بَعْضَهُم بِبَعْضٍ لَّهُدِّمَتْ صَوَامِعُ وَبِيَعٌ وَصَلَوَاتٌ وَمَسَاجِدُ يُذْكَرُ فِيهَا اسْمُ اللهِ كَثِيراً وَلَيَنصُرَنَّ اللهُ مَن يَنصُرُهُ إِنَّ اللهَ لَقَوِيٌّ عَزِيزٌ. (سورة الحج: 40)
(Yaitu)
orang-orang yang telah diusir dari kampung halaman mereka tanpa alasan yang
benar, kecuali karena mereka berkata: "Tuhan kami hanyalah Allah".
dan sekiranya Allah tiada menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian
yang lain, tentulah telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja,
rumah-rumah ibadat orang Yahudi, dan masjid- masjid yang di dalamnya banyak
disebut nama Allah. Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong
(agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa. (Qs.
al-Hajj:
40)
E. Islam Melarang Mencaci Maki Agama Selain Islam
Bagaimanapun juga yang namanya mencaci maki
itu tidak dibenarkan oleh Islam karena hal itu dapat menimbulkan sebuah permusuhan dan
pertengkaran. Diakui atau tidak bahwa setiap manusia menginginkan apa yang
mereka lakukan dan mereka kerjakan itu dihargai oleh orang lain, terlebih lagi
hal itu berkaitan dengan keyakinan. Setiap orang akan marah dan tidak terima
ketika keyakinannya diganggu dan diusik dengan cemoohan dan cacimakian, karena
apa yang dia yakini itulah kebenaran yang selama ini mereka cari dan harus
mereka pertahankan walaupun harus berkorban nyawa atau paling tidak dia akan
membalas dengan cemoohan dan caci-makian tanpa batas. Untuk itu, Islam juga
melarang umatnya mencemooh dan mencaci-maki keyakinan seseorang atau agama
selain Islam. Hal ini dijelaskan dalam al-Qur’an surat al An’am ayat 108:
وَلاَ تَسُبُّواْ الَّذِينَ يَدْعُونَ مِن دُونِ اللهِ فَيَسُبُّواْ اللهَ عَدْواً بِغَيْرِ عِلْمٍ كَذَلِكَ زَيَّنَّا لِكُلِّ أُمَّةٍ عَمَلَهُمْ ثُمَّ إِلَى رَبِّهِم مَّرْجِعُهُمْ فَيُنَبِّئُهُم بِمَا كَانُواْ يَعْمَلُونَ. (سورة الأنعام: 108)
Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan
yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan
melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah kami jadikan setiap umat
menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah, kembali
mereka, lalu dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan.
(Qs. al-An’am: 108)
F. Perintah Untuk Saling Mengenal
Adanya perbedaan di dunia ini menunjukkan
kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa, dan semua itu memang sengaja diciptakan olehNya
dengan berbagai ragam bangsa, ras, suku, agama, dan budaya agar kita sebagai
umat manusia bisa saling berinteraksi dan saling mengenal satu dengan yang
lainnya. Hal ini dituangkan dalam firman Allah surat al-Hujuraat, ayat 13:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوباً وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ. (سورة الحجرات: 13)
Hai manusia,
Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan, dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu
saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu,
disisi Allah, ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah
Maha mengetahui lagi Maha Mengenal. (Qs. al-Hujuraat: 13)
G. Perintah Hidup Rukun dan Saling Mengasihi Antar Sesama
Manusia diciptakan sebagai makhluk sosial, dimana dalam kehidupannya pasti
membutuhkan pertolongan dan bantuan orang lain. Tidak satu pun manusia yang
mampu menjalani hidup di dunia ini dengan kesendiriannya. Untuk itu kita harus
berbaik hati, menanamkan rasa kasih sayang, saling mengasihi antar sesama tanpa
harus melihat latar belakang agama atau apapun. Karena Allah pun tidak pernah
melarang umat manusia untuk hidup berdampingan, rukun, saling mengasihi dan
menghormati antar sesama. sebagaimana dijelaskan dalam al-Qur’an surat
al-Mumtahanah ayat 8-9:
لَا يَنْهَاكُمُ اللهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُم مِّن دِيَارِكُمْ أَن تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ (8) إِنَّمَا يَنْهَاكُمُ اللهُ عَنِ الَّذِينَ قَاتَلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَأُخْرِجُوكُم مِّن دِيَارِكُمْ وَظَاهَرُوا عَلَى إِخْرَاجِكُمْ أَن تَوَلَّوْهُمْ وَمَن يَتَوَلَّهُمْ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ (9). (سورة
الممتحنة: 8-9)
Allah tidak
melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang
tiada memerangimu karena agama, dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu.
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah
hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu
karena agama, dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk
mengusirmu. Dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah
orang-orang yang zalim. (Qs. al-Mumtahanah: 8-9)
Selain itu juga, Rasulullah Saw. telah
mengajarkan kepada kita semua untuk saling mengasihi dan menyayangi antar
sesama, meskipun berbeda agama, ras, suku, bangsa, dan budaya. Seperti yang diterangkan
dalam hadist shahih yang di riwayatkan oleh Imam Thabrani dalam kitab Mujamma’
az-Zawaid, juz 8, hal. 340, sebagai berikut:
عَنْ اَبِى مُوْسَى رَضِيَ اللهُ عَنْهُ اَنَّهُ سَمِعَ النَّبِىَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ: لَنْ تُؤْمِنُوْا حَتَّى تَرَاحَمُوْا. قَالُوْا: يَارَسُوْلَ اللهِ كُلُّنَا رَحِيْمٌ. قَالَ: اِنَّهُ لَيْسَ بِرَحْمَةٍ اَحَدُكُمْ صَاحِبَهُ، وَلَكِنَّهَا رَحْمَةُ النَّاسِ رَحْمَـةُ الْعَامَّةِ. (رواه الطبرانى ورجاله رجال الصحيح، كتاب مجمع الزوائد، ج 8، ص: 340)
Dari Abi
Musa ra. sesungguhnya dia mendengar bahwa Nabi Muhammad
Saw. berkata: Tidak dikatakan orang beriman diantara kamu sekalian, sehingga
kalian saling mengasihi atau menyayangi. Sahabat berkata: Wahai Rasulullah kita
semuanya (komunitas sahabat) sudah saling mengasihi. Rasulullah bersabda:
Sesungguhnya kasih sayang itu bukan hanya diantara kamu saja, tetapi kasih
sayang kepada seluruh umat manusia dan alam semesta. (HR. Thabrani, hadits
shohih. Mujamma’ Az Zawaid, juz 8, hal. 340)
Begitu besar dan luas cerminan sikap kasih sayang yang
diajarkan Islam kepada umat manusia, tidak hanya untuk golongannya sendiri,
tetapi untuk seluruh makhluk di muka bumi ini, dan inilah yang disebut rahmatal
lil alamin. Dalam hadist Nabi yang diriwayatkan oleh at-Thabrani juga
disebutkan:
عَنْ جَرِيْرٍ عَنْ ابْنُ مَسْعُوْدٍ
قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: اِرْحَمْ مَنْ فِي اْلاَرْضِ يَرْحَمُكَ مَنْ فِي السَّمَاءِ . رواه الطبرنى. (الجامع الصغير، ص: 38)
Nabi Muhammad bersabda: Tebarkanlah kasih sayang kepada semua orang maka
engkau akan dikasihi seluruh makhluk langit (para malaikat). (HR. At-Thabrani, al-Jami’ as-Shaghir, hal. 38)
H. Pertikaian Menyengsarakan Banyak Orang
Pertengkaran, peperangan,
permusuhan bagaimanapun akan berdampak negatif secara psikologis. Orang akan
merasa ketakutan dan lain sebagainya, oleh karena itu pertengkaran yang terjadi
secara teori akan mempengaruhi lingkungan dimana pertengkaran itu terjadi, jika
pertengkaran itu dilakukan oleh satu keluarga maka dampak akan dirasakan oleh
satu RT, namun jika pertikaian itu terjadi antar RT maka dampak akan dirasakan
juga oleh satu desa, dan jika pertengkaran itu terjadi antar desa maka yang
merasakan dampaknya bukan desa yang bertikai saja namun sekabupaten bahkan satu
provinsi akan ikut menanggung akibatnya, apalagi jika pertikaian itu terjadi
antar umat beragama tentu saja yang ikut merasakan bukan hanya orang yang
bertikai saja namun seluruh dunia akan ikut merasakan gejolak yang ada, jika
demikian apakah tidak menutup kemungkinan akan terjadi perang dunia ke -3 jika
diantara kita tidak saling menghormati dan saling mengasihi antar sesama dan
antar umat beragama, kasihan yang tidak berdosa dan yang tidak tahu apa-apa.
Bukan hanya itu saja dampak dari pertikaian, bahkan
nabi pernah bersabda bahwa pertikaian juga bisa menyengsarakan orang yang sudah
mati sekalipun, hal ini menunjukkan bahwa pertikaian, dan permusuhan itu
dilarang keras dalam Islam, sampai-sampai orang yang matipun masih merasakan
dampaknya. Hal ini sesuai dengan terjemahan Hadits Ke Lima Belas Kitab Syarh
al-Mawa’idh al-‘Ushfuriyah, hal 14-15, sebagai berikut:
Diceritakan
dari sufyan dari orang yang mendengar cerita Anas bin Malik RA. Berkata
“Rasulullah Saw. telah bersabda sesungguhnya perbuatan orang yang masih hidup
diperuntukkan (menimpa, bersambung) kepada tetangga, keluarganya dan kepada
orang tuanya yang telah meninggal. Jika amal mereka (keluarga yang masih hidup)
bagus, baik, maka mereka (yang telah meninggal) memuji dan bersyukur kepada
Allah SWT. Tetapi jikalau mereka melihat amal/perbuatan keluarganya yang masih
hidup tidak baik (buruk) maka mereka berdo'a kepada Allah:
“Yaa Allah janganlah engkau mengambil nyawanya sehingga engkau memberikan
hidayah kepada mereka,” kemudian nabi Muhammad bersabda “ Mayit itu merasa
tersakiti dan terlukai di dalam kuburnya seperti halnya dia disakiti dan
dilukai semasa hidupnya.......! sahabat bertanya “Apa yang menyebabkan mayit itu tersakiti yaa Rosul ?!”
Rasul menjawab “Sesungguhnya si mayit merasa tersakiti dan terlukai bukanlah
karena dia telah berbuat dosa, juga bukan karena perselisihan, permusuhan
dengan seseorang (sewaktu dia masih hidup), dan bukan karena si mayit telah
menyakiti tetangganya, tetapi (yang menyebabkan si mayit itu sakit, terluka,
susah, tersiksa dalam kuburnya) adalah apabila kamu (selaku ahli warisnya yang
masih hidup) saling bertikai, bermusuhan (tukaran) dengan sesama keluarga,
saudara atau tetangga, sampai-sampai mereka menghina, mengejek
(misuhi/ngilokno) kamu, dan ke-dua orang tuamu, maka ketika itulah mereka yang
telah mati juga merasa tersakiti dan terlukai.
Begitu juga sebaliknya, sesungguhnya jikalau kamu saling berbuat baik antar
sesama keluarga, saudara, masyarakat dan sesama manusia maka ahli kuburmu juga
akan merasa senang dan berbahagia di dalam kuburnya.
I. Perbedaan itu Rahmah
Perbedaan yang
ada dimuka bumi ini harus kita letakkan secara proporsional dan perlu kita hargai, karena
bagaimanapun adanya perbedaan itu karena adanya izin Tuhan yang telah
menciptakannya, dan yang pasti setiap perbedaan itu membawah ni’mah dan barokah
bagi kita semua yang mampu berfikir akan perbedaan itu sendiri.
وَقَدْ رُوِيَ عَنْ النَّبِيّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ : " اِخْتِلَاف أُمَّتِي رَحْمَة "
Salah satu
contohnya adalah: dalam menaggapi perbedaan berbagai macam metode pembelajaran baca al-Qur’an yang
berkembang di tengah-tengah masyarakat saat ini marilah kita coba membuka dan
kita renungkan kembali lembaran Kitab Shohih Bukhari, juz 3, hal. 400-401 sebagai berikut:
4992- حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ عُفَيْرٍ قَالَ حَدَّثَنِى اللَّيْثُ قَالَ حَدَّثَنِى عُقَيْلٌ عَنِ ابْنِ شِهَابٍ قَالَ حَدَّثَنِى عُرْوَةُ بْنُ الزُّبَيْرِ أَنَّ الْمِسْوَرَ بْنَ مَخْرَمَةَ وَعَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ عَبْدٍ الْقَارِىَّ حَدَّثَاهُ أَنَّهُمَا سَمِعَا عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ يَقُولُ سَمِعْتُ هِشَامَ بْنَ حَكِيمٍ يَقْرَأُ سُورَةَ الْفُرْقَانِ فِى حَيَاةِ رَسُولِ الله صلى الله عليه وسلم فَاسْتَمَعْتُ لِقِرَاءَتِهِ فَإِذَا هُوَ يَقْرَأُ عَلَى حُرُوفٍ كَثِيرَةٍ لَمْ يُقْرِئْنِيهَا رَسُولُ الله صلى الله عليه وسلم فَكِدْتُ أُسَاوِرُهُ فِى الصَّلاَةِ فَتَصَبَّرْتُ حَتَّى سَلَّمَ فَلَبَّبْتُهُ بِرِدَائِهِ فَقُلْتُ مَنْ أَقْرَأَكَ هَذِهِ السُّورَةَ الَّتِى سَمِعْتُكَ تَقْرَأُ. قَالَ أَقْرَأَنِيهَا رَسُولُ الله صلى الله عليه وسلم. فَقُلْتُ كَذَبْتَ فَإِنَّ رَسُولَ الله صلى الله عليه وسلم قَدْ أَقْرَأَنِيهَا عَلَى غَيْرِ مَا قَرَأْتَ، فَانْطَلَقْتُ بِهِ أَقُودُهُ إِلَى رَسُولِ الله صلى الله عليه وسلم فَقُلْتُ إِنِّى سَمِعْتُ هَذَا يَقْرَأُ بِسُورَةِ الْفُرْقَانِ عَلَى حُرُوفٍ لَمْ تُقْرِئْنِيهَا. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم «أَرْسِلْهُ اقْرَأْ يَا هِشَامُ». فَقَرَأَ عَلَيْهِ الْقِرَاءَةَ الَّتِى سَمِعْتُهُ يَقْرَأُ. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم «كَذَلِكَ أُنْزِلَتْ». ثُمَّ قَالَ «اقْرَأْ يَا عُمَرُ». فَقَرَأْتُ الْقِرَاءَةَ الَّتِى أَقْرَأَنِى، فَقَالَ رَسُولُ الله صلى الله عليه وسلم «كَذَلِكَ أُنْزِلَتْ، إِنَّ هَذَا الْقُرْآنَ أُنْزِلَ عَلَى سَبْعَةِ أَحْرُفٍ فَاقْرَءُوا مَا تَيَسَّرَ مِنْهُ»
Sa’ad bin Uffair bercerita kepadaku (Imam Bukhori) dia berkata, al-Laits
telah bercerita kepadaku al-Laits berkata, Uqoil bercerita kepadaku dari Ibnu
Syihab dia berkata, Urwah bin Zubair bercerita kepadaku sesungguhnya Miswar bin
Makhromah dan Abdurrohman bin Abdul Qori telah bercerita kepada Urwah bin
Zubair sesungguhnya keduanya mendengar bahwa Umar bin Khattab berkata “Saya
telah mendengar Hisyam bin Hakim membaca surat al-Furqon dimasa hidup
Rasulullah Saw. Dan ketika itu dia membaca berbagai huruf (dengan model bacaan)
yang tidak pernah dibacakan atau diajarkan oleh Rasulullah Saw. kepadaku
(Sayyidina Umar), maka aku mendekat menghampiri Hisyam dalam sholatnya, dan aku
menunggunya sampai dia salam. Lalu aku menyeret Hisyam dengan surban di
lehernya kemudian aku bertanya “Siapa yang membacakan atau mengajarkan surat
yang telah aku dengar tadi ketika engkau membaca”. Hisyam menjawab: Rasulullah
Saw. yang telah membacakan atau mengajarkan surat itu kepadaku, lalu Umar
berkata: “Engkau berbohong (wahai Hisyam), sesungguhnya Rasulullah Saw. telah
membacakan surat itu kepadaku tidak seperti yang telah engkau baca”. Setelah
itu aku pergi mengajak Hisyam untuk menghadap kepada Rasulullah Saw. demi meluruskan
perkara ini, dan aku berkata kepada
Rasulullah Saw. “Sesungguhnya
saya mendengar Hisyam membaca surat al-Furqon dengan model atau cara bacaan
yang tidak pernah Engkau bacakan atau ajarkan kepadaku”. Rasulullah Saw.
berkata: “Bacalah dengan tartil wahai Hisyam” lalu Hisyam membacakan surat
al-Furqon dengan bacaan seperti yang saya dengar darinya di hadapan Rasulullah
Saw. Lalu Rasulullah Saw. bersabda “Seperti itulah surat itu diturunkan”
kemudian Rasulullah Saw. berkata “bacalah dengan tartil wahai Umar” maka aku
membaca surat al-Furqon dengan bacaan yang telah beliau ajarkan kepadaku, lalu
Rasulullah Saw. bersabda: “Seperti itulah surat itu diturunkan” Sesungguhnya
al-Qur’an ini diturunkan atas 7 macam bacaan, oleh karena itu bacalah apa yang
mudah (bagimu) dari al-Quran.
Dari hadits di atas dapat kita simpulkan bahwa betapa
bijaksana Rasulullah dalam menanggapi setiap perbedaan, mengayomi umatnya
dengan ilmunya tanpa membeda-bedakan. Beliau taburi perbedaan itu dengan
mutiara akhlakul karimah, berwawasan luas dan bersikap luwes, dan merahmati
seluruh alam semesta.
Oleh karena itu,
marilah kita bersama-sama belajar untuk mene-ladani beliau dengan selalu
menghargai setiap perbedaan, tidak saling menghina antara satu dengan yang
lainnya, terutama dalam masalah metode bacaan al-Qur’an, jangan sampai metode
yang satu menyalah-kan metode yang lainnya, apalagi
merasa paling unggul dan paling benar, karena dari bacaanya saja sudah terdapat
berbagai macam bacaan, apalagi metodenya, yang pasti lebih banyak lagi.
Dengan demikian tercerminlah bahwa perbedaan pendapat itu
wajib hukumnya bagi kita, dan itu tidak hanya berlaku di antara ulama’ saja,
Nabipun juga berbeda pendapat sebagaimana Nabi Musa dengan Nabi khidzir yang
berbeda pendapat, sampai-sampai Allah mengabadikan kisahnya di dalam al-Qur’an
(lihat al-Qur’an surah al-Kahfi ayat 60 s/d 82), hal ini menunjukkan agar kita
bisa mengambil gambaran dan contoh dari cerita tersebut bahwa perbedaan itu
tidak bisa dihindari dan dihilangkan dalam kehidupan ini.
Oleh karena itu marilah kita saling menghormati dan
menghargai setiap perbedaan, dengan mengutamakan mengevaluasi diri sendiri
sebelum mengevaluasi orang lain, sehingga pada akhirnya perbedaan tersebut bisa
membawa nikmat dan juga rahmah yang indah bagi kita. Sebagaimana diterangkan
dalam kitab Hasiyah al-Bujairami, juz 9, hal. 71, bahwa:
اِخْتِلاَفُ الْعُلَمَاءِ رَحْمَةٌ
”Setiap perbedaan itu akan membawa rohmah, ni’mah dan
barokah”.
J. Sikap dan Kepribadian Seorang Ulama’ Sufi (Tokoh Nasional)
Keberagaman suku budaya, etnis, golongan,
aliran dan agama itu adalah sebuah anugrah Tuhan yang perlu kita syukuri dan
kita nikmati. Namun akhir-akhir ini sering kali keragaman itu menjadi percikan
api yang bisa menyulut api permusuhan antar sesama. Perbedaan budaya dan agama
terkadang bisa menjadi awal pertengkaran dan pertikaian, kepentingan yang tidak
sejalan terkadang berbuah fitnahan, dan dapat menggoyahkan tali persaudaraan,
kebaikan dan keburukan seseorang terkadang membuat perselisihan. Sehingga
benturan-benturan social sering kita saksikan. Kalau kita renungkan kondisi
social seperti itu dapat membahayakan keutuhan bangsa, sebab persatuan dan
kesatuan sudah mulai hilang dalam semboyan perjuangan yang tertuang dalam
bineka tunggal ika.
Dalam kehidupan yang beraneka ragam,
berbeda-beda latar belakang baik agama, suku budaya dan bangsa ini,
sesungguhnya kita semua membutuhkan adanya sebuah tauladan yang bisa memberikan
sebuah pencerahan akan makna hidup sesungguhnya yakni hidup dengan damai dan
tenang dalam nuansa kebersamaan, tanpa adanya sebuah perbedaan latar belakang.
Lebih-lebih lagi seperti sekarang ini dimana kondisi kehidupan masyarakat mudah
untuk dibenturkan oleh kepentingan-kepentingan pribadi maupun kelompok.
Kondisi kehidupan umat yang semacam ini
sebenarnya juga membutuhkan seorang figur yang bisa memberikan kesejukan dan
bisa mengayomi umat dan semua golongan, seorang tokoh yang memiliki daya angon dan mampu
mengembalakan setiap kelompok dan kepentingan. Dengan kata lain bangsa kita ini
membutuhkan seorang tokoh Nasional yang menjadi milik semua golongan.
Kalau dalam istilah umat Islam, umat hari ini
membutuhkan seorang ulama’ yang benar-benar mencerminkan prilaku sufinya.
Namun, yang perlu kita ketahui adalah bahwa sufi itu tidak terletak pada surban
dan jubah, bukan juga tasbih dan kopyah, akan tetapi sufi itu terletak pada sikap dan
kepribadiannya yang sempurna, yaitu sepuh tur nyepui, lan madangi (tua
dan mampu berjiwa tua, menjadi penerang bagi yang lain). Hatinya yang selalu
terbuka untuk menerima dan merangkul siapapun saja, ilmunya yang paripurna,
luas dan luwes dapat memberikan solusi persoalan dalam kehidupan ini, cakrawala
berfikirnya jauh ke depan jauh ke belakang dan selalu mendahulukan kepentingan
umat, serta rela berkorban demi sebuah kerukunan dan keharmonisan antar umat
manusia.
Namun sayangnya, hari ini seorang figur atau
ulama’ yang bisa mencerminkan dan berprilaku sebagai seorang sufi hampir sudah
tidak ada lagi. Sehingga kehidupan hari ini berbeda dengan dulu dimana masih banyak tokoh dan
figur yang bisa mengayomi umat manusia seperti Mbah KH. Hamid Pasuruan, Mbah
KH. Hasyim Asy’ari, Mbah KH. Wahab Hasbullah, Mbah KH. Bahruddin Kalam dan lain
sebagai, dimana kehidupan saat itu terasa ternaungi rasa tentram dan bahagia,
terasa sejuk dan damai karena menjunjung tinggi nilai-nilai per-saudaraan dan
kerukunan antar sesama.
Dari jiwa yang mau merangkul siapapun saja,
dan mau meng-ayomi semua golongan demi terciptanya sebuah kedamaian itulah, sehingga ada
salah satu Ulama’ besar bernama Imam Junaidi men-definisikan seorang sufi dalam
kitabnya yang berjudul Nasy’ah at-Tashawwuf wa Ta’rif as-Sufi, hal. 22, dan
juga dalam kitab Risalah al-Qusyairiyah, hal. 126-127 sebagai berikut:
وَقَالَ جُنَيْدِيْ: اَلصُّوْفِيْ كَالاَرْضِ يُطْرَحُ عَلَيْهَا كُلُّ قَبِيْحٍ وَلاَ يَخْرُجُ مِنْهَا
إِلاَّ كُلُّ مَلِيْحٍ وَقَالَ اَيْضًا:
اَلصُّوْفِى كَالاَرْضِ يَطَئُوْهَا الْبِرُّ وَالْفَاجِرُ وَكَالسَّمَاءِ تُظِلُّ
كُلَّ شَيْءٍ وَكَالْمَطَارِ يُسْقِى كُلَّ شَيْءٍ (نشأة التصوف وتعريف الصوفي، ص:
22)
Orang sufi itu bagaikan bumi yang mana segala keburukan dia terima dengan
selalu membalasnya dengan kebaikan. Orang sufi itu bagaikan bumi yang mana di
atasnya berjalan segala sesuatu yang baik maupun yang buruk (semua
diterimanya). Orang sufi itu bagaikan langit yang menaungi segala sesuatu yang
ada di bawahnya, dan seperti air hujan
yang menyirami segala sesuatu (tanpa membeda-bedakannya). (Nasy’ah at-Tashawwuf wa Ta’rif
as-Shufi, hal. 126-127)
Selain itu juga
Abu Bakar As-Syibli dalam kitab Khilyah al-Auliya’, hal. 11, mendefinisikan
seorang sufi sebagai berikut:
قَالَ
اَبُو بَكْرٍ اَلشِّبْلِيْ: اَلصُّوْفِيْ، مَنْ صَفاَ قَلْبَهُ فَصَفَى،
وَسَلَكَ طَرِيْقَ اْلمُصْطَفَى صلى الله عليه وَسَلَّمَ وَرَمَى الدُّنْيَا
خَلْفَ اْلقَفَا، وَأَذَاقَ اْلهَوَى طَعْمَ اْلجَفَا (حلية الاولياء، ص:11)
Orang sufi itu adalah orang yang membersihkan hatinya, maka bersihlah
hatinya dan mengikuti jalannya Nabi al-Musthafa Saw. Serta tidak terlalu
memikirkan perkara duniawi (lebih memikirkan masalah ukhrowi), dan menghilangkan
keinginan hawa nafsunya. (Hilyah
al-Auliya’, hal. 11)
Begitu juga
menurut Aba Hammami Abd. Rohman bin Mujib As-Shufi dalam kita Khilyah
al-Auliya’, hal. 11 seorang sufi didefinisikan sebagai berikut:
سَمِعْتُ
أَبَا هَمَّامٍ عَبْدَ الرَّحْمَنِ اِبْنَ مُجِيْبٍ اَلصُّوْفِي وَسُئِلَ عَنِ
اَلصُّوْفِيْ فَقَالَ: لِنَفْسِهِ ذَابِحٌ، وَلِهَوَاهُ فَاضِحٌ، وَلِعَدُوِّهِ جَارِحٌ،
وَلِلْخَلْقِ نَاصِحٌ. دَائِمُ اْلوَجَلِ، يُحَكِّمُ اْلعَمَلَ، وَيَبْعَدُ
اْلأَمَلَ وَيَسُّدُّ اْلخِلَلَ، ويَغْضَى عَلىَ الزَّلَلِ، عُذْرُهُ بِضَاعَةٌ،
وَحَزْنُهُ صِنَاعَةٌ وَعَيْشُهُ قَنَاعَةٌ بِالْحَقِّ عَارِفٌ وَعَلىَ الْبَابِ
عَاكِفٌ وَعَنِ الْكُلِّ عَازِفٌ (حلية الاولياء، ص:11)
Orang sufi itu adalah orang yang merasa dirinya hina, menahan dan
memerangi hawa nafsunya, memberi nasehat kepada makhluk, selalu mendekatkan
diri kepada Allah, berperilaku bijaksana, menjauhi berandai-andai
(berangan-angan terlalu tinggi) dan tidak mau mencela, mencegah perbuatan dosa,
waktu luangnya digunakan untuk beribadah, selalu prihatin (menyesali semua
kesalahannya), hidupnya sederhana, selalu arif terhadap sesuatu yang benar,
mengasingkan diri dan mencegah dari segala sesuatu yang sia-sia. (Hilyah
al-Auliya’, hal. 11)
Dari beberapa
definisi tentang seorang sufi yang dikemukakan oleh para ulama’ maka dapat
diambil kesimpulan bahwa sesungguh-nya ciri-ciri dan kepribadian seorang sufi itu dibagi menjadi dua
sebagai mana yang diterangkan dalam kitab Risalah al-Qusyairiyah, hal. 126-127:
عَلاَمَةُ
الصُّوْفِيّ الصَّادِقِ: أَنْ يَفْتَقِرَّ بَعْدَ الغِنىَ، وَيَذِلَّ بَعْدَ
الْعِزِّ، وَيَخْفىَ بَعْدَ الشُّهْرَةِ، وَعَلاَمَةُ الصُّوْفِيْ اَلْكَاذِبِ:
أَنْ يَسْتَغْنِيَ بِالدُّنْيَا بَعْدَ الْفَقْرِ، وَيَعِزَّ بَعْدَ الذِلِّ،
وِيَشْتَهِرَ بَعْدَ الْخَفَى (رسالة القشيرية، ص: 126-127)
1.
Seorang sufi as-Shodiq (yang benar): yaitu yang
merasa dirinya miskin setelah memperoleh kekayaan, merasa hina setelah
mendapatkan kemulyaan, dan menyamarkan dirinya setelah terkenal.
2.
Seorang sufi al-Kadzib (yang salah): yaitu yang
merasa kaya akan harta sesudah faqir, merasa mulia setelah hina, merasa
terkenal yang mana sebelumnya dia tidak masyhur.
K. NU: Islam Rohmatan lil ’Alamin
Sebagai
organisasi keagamaan yang berkarakter Ahlussunnah wal Jama’ah, NU menampilkan
sikap terbuka terhadap berbagai madzhab keagamaan yang mengitarinya, sekaligus juga berbagai keragaman masyarakat yang
dibinanya. Sebagai organisasi
kemasyarakatan, NU selalu bersikap toleran dan luwes (fleksibel) terhadap
nilai-nilai lokal yang telah berurat dan berakar dalam sendi-sendi kehidupan.
Dasar-dasar sikap
kemasyarakatan NU yang tercakup dalam nilai-nilai universal sebagai berikut:
pertama, tawassuth (moderat) dan i’tidal (adil), yaitu sikap
tengah dan lurus yang berintikan prinsip hidup yang menjunjung tinggi keharusan
berlaku adil dan lurus di tengah kehidupan bersama, dan menghindari segala
bentuk pendekatan yang bersifat memihak. Kedua, tasamuh (toleran), yaitu
sikap toleran ter-hadap perbedaan pandangan baik dalam masalah keagamaan
(terutama yang bersifat furu’iyah), kemasyarakatan, maupun kebudayaan.
Ketiga, tawazun (seimbang), yakni menyeimbangkan pengabdian kepada
Allah, manusia, dan lingkungan.
Namun,
akhir-akhir ini godaan politik praktis begitu besar dan berhasil menggoncang
Nahdlatul Ulama (NU) sekaligus merangsang libido politik para petingginya. Cukup disayangkan sikap kebanyakan
petinggi NU yang lebih mengedepankan pemenuhan birahi politik mereka
dibandingkan konsisten mengurusi NU. Sehingga pada akhirnya NU terkesan memihak dan tidak lagi bisa merangkul semua
golongan dan masyarakat (umat). Lebih ironis lagi yang menjadi korban adalah
umat, karena mereka dipusingkan dengan kontradiksi sikap politik sebagian
pengurus NU. Padahal warga NU menyebar kesemua partai politik yang ada di
bangsa ini dan mereka juga berhak mendapatkan pengayoman dan pengakuan dari
organisasi keagamaan terbesar di Indonesia ini (NU) bahwa mereka juga warga
Nahdliyin.
Tampaknya, ada
simpang-siur pemahaman di kalangan Nahdliyin terkait Khittah NU. Oleh karena
itu, dengan sederhana Romo Kyai Sholeh Bahruddin memberikan gambaran tentang
kembalinya Khittoh NU ke-26 di Situbondo. Petikan gambaran beliau tentang
Khittah NU ke-26, dipaparkan pada sub bab berikut.
L. Gambaran Kembali ke Khittah NU Tahun 1926 di Situbondo
1. NU ibarat rumah bagi kita.
2. Partai politik merupakan kendaraan atau mobil keluarga sebagai sarana untuk menghantar keluarga dalam memenuhi kebutuhan dan kepentingan, guna mencapai tujuan dan cita-cita keluarga.
3. Banyak jenis kendaraan atau mobil yang di pakai oleh keluarga baik, Golkar, PDIP, PPP, PKB, PKNU, PNI, Demokrat dan lain sebagainya.
4. Namun yang perlu di ingat adalah, bahwa selama bepergian membawa mobil harus selalu berhati-hati, jangan sampai terjadi kecelakaan apalagi sampai meninggal dunia dalam perjalanan. Dan diusahakan pulang ke rumah dengan keadaan selamat agar bisa bergabung kembali bersama semua keluarga.
5. Semua orang akan menilai aneh jika ada sebuah keluarga yang bepergian mengendarai rumah sebagai alat transportasi, bukan menggunakan mobil sebagai kendaraannya.
6. Sekali mobil tetap mobil, sekali rumah tetap rumah dan rumah jangan sampai terjual.
Lampiran beberapa
syair tembang kewajiban thoriqoh dan syi’iran kagem KH. Soleh
Bahruddin serta maklumat beliau (KH. Sholeh Bahruddin) dengan harapan untuk
dijadikan telaah bagi kita semua untuk bisa mewujudkan kehidupan yang damai, sentosa penuh dengan nilai-nilai kerukunan dan
keber-samaan antar sesama di bumi nusantara ini.
M. Kewajiban Thoriqah
اللهم صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى سَيِّدِنّا وَمَوْلَنَا مُحَمَّدٍ
عَدَدَ مَا بِعِلْمِ اللهِ صَلَاةً دَائِمَةً بِدَاوَمِ مُلْكِ اللهِ
Kewajibane
Thoriqoh ono nennem
Siji dzikir marang
Allah kanti temen
Kapindone iku nyegah
howo nafsu
Telu tinggal bondo
dunyo engkang palsu
Kapeng pate anut tuntunan agomo,
marang prentah lan cecegah kudu nrimo
Kapeng limo ambagusi kabeh konco,
cilik gede lanang wadon enom tuwo
Kapeng nenem iku gawe
kebagusan,
marang opo wae
makhluke pengeran
N. Sya’ir Kagem Kyai Sholeh
اللهم صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى سَيِّدِنّا وَمَوْلَنَا مُحَمَّدٍ
عَدَدَ مَا بِعِلْمِ اللهِ صَلاَةً دَائِمَةً بِدَاوَمِ مُلْكِ اللهِ
Kyai Sholeh santri
kendil mung diniyah #
Tapi mikir nasib
bongso Indonesia
Sing maksude ojo
congkrah tunggal bangsa #
Ojo nganti lepas
songko Pancasila
Pondok Ngalah manggone ing Purwosari#
Pendidikane modele campursari
Mulo poro santri yo sing ati-ati #
Cecekelan marang dawuhe kyai
Wali songo iku wali tanah
Jowo #
Merjuangno agomo nuso
lan bongso
Pondok Ngalah ala
Sunan Kali Jogo #
Nglestarekno agomo
lewat budoyo
Sengonagung, 22 Mei 2006
O. Maklumat Pengasuh Tentang ”Mengapa Pondok Pesantren Ngalah Dekat dengan Non Muslim”
1. Agar Pondok Pesantren ala NU terbukti bukan sarang teroris, karena teroris tidak berperilaku kemanusiaan
2. Supaya Masyarakat muslim dan non muslim bisa hidup rukun, damai, dan saling berdampingan
3. Biar para santri bisa berwawasan kebangsaan, tanpa membeda-bedakan dan berjiwa Rahmatan Lil ‘Alamin serta berperilaku Ukhuwah Basyariyah.
Ngalah, 16 R. Akhir 1429
12 April 2008
P. Pesan Pengasuh Tentang Era Globalisasi
Di era globalisasi seperti sekarang ini semua santri, siswa-siswi dan mahasiswa-mahasiswi harus:
1. Selalu bertaqwa dan bererika biar tetap mulia
2. Dalam mencari ilmu jangan hanya pandai berteori saja, tetapi harus diimbangi dengan praktek (kerja nyata), biar tidak ketinggalan dengan yang lain
3. Misinya harus misi manusiawi, biar tidak benturan dengan yang lain.
Ngalah, 23 Agustus 2009
Q. Maklumat Pengasuh Tentang Sikap, Prilaku dan Wawasan Kenegaraan dan Kebangsaan
Kami berharap semua dewan guru, dosen, dan
pegawai Yayasan Darut Taqwa, bagi yang S3/Doktor harus bersikap/berwawasan/
berprilaku kebangsaan, bagi yang S2 bersikan/berwawasan negara-wan, bagi yang
S1 terserah. Hal ini mengingat pentingnya kebutuhan yang dibutuhkan di
masyarakat adalah sikap tersebut.
Setelah kami menengok ke belakang jauh dari
kejadian ke kejadian, seperti Gestapu (G-30 S PKI), Petrus (Misterius), Gerakan
Islam Radikal atau perang antar umat beragama, maka kami segera mengambil sikap
tersebut. Sebab, masyarakat selalu menjadi korban, kasihan... Karena mereka
bukan hewan. Siapa lagi yang bisa kami ajak untuk mengayomi masyarakat, kalau
tidak orang yang ada di sekeliling kami sendiri. Demikian atas ajakan kami
(tangisan kami mohon dilayani biar tidak terjadi kembali tragedi memilukan di
atas).
Semoga bermanfaat bagi seluruh umat.
Ngalah, 27
Januari 2012
0 Response to "PLURALITAS DAN SOSIAL KEMASYARAKATAN"
Posting Komentar