PUNYA WUDHU’ TAPI SALAMAN
DENGAN ISTRI
Wudhu’ adalah menyucikan diri yang merupakan suatu
tindakan yang dilakukan oleh umat Islam terutama sebelum shalat. Salah satu
dari sekian penyebab batalnya wudhu’ yaitu bersentuhan kulit antar laki – laki
dan perempuan yang bukan mahram. Terkait hal ini, bagaimana hukumnya seorang
suami yang sudah mempunyai wudhu bersalaman dengan istrinya?
A.
A. Batal mutlak
Menurut Imam Syafi’i salaman dengan istri dapat
membatalkan wudhu’ karena istri masih tergolong Ajnabi (orang lain).
B.
B. Tidak batal dengan syarat
menurut Imam Abu Hanifah tidak batal selama tidak ereksi
(dzakar berdiri) dan menurut Imam Malik tidak batal selama tidak syahwat . Akan
tetapi jika ingin mengikuti pendapat dari Imam Abu Hanifah dan Imam Malik maka ketika
berwudhu’ harus mengikuti syarat dan rukun dari kedua madzhab tadi agar
terhindar dari terjadinya talfiq.
(وَلَا يَجِبُ الْوُضُوءُ مِنَ
الْقُبْلَةِ، وَمَسُّ الْمَرْأَةِ بِشَهْوَةٍ، أَوْ غَيْرِ شَهْوَةٍ)، وَهُوَ قَوْلُ
عَلِيٍّ وَابْنِ عَبَّاسٍ - رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُمْ -، وَقَالَ الشَّافِعِيُّ
- رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى - يَجِبُ الْوُضُوءُ مِنْ ذَلِكَ، وَهُوَ قَوْلُ عُمَرَ
وَابْنِ مَسْعُودٍ - رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُمَا -، وَهُوَ اخْتِلَافٌ مُعْتَبَرٌ
فِي الصَّدْرِ الْأَوَّلِ حَتَّى قِيلَ يَنْبَغِي لِمَنْ يَؤُمُّ النَّاسَ أَنْ يَحْتَاطَ
فِيهِ، وَقَالَ مَالِكٌ - رَحِمَهُ اللَّهُ - إنْ كَانَ عَنْ شَهْوَةٍ يَجِبُ، وَإِلَّا
فَلَا فَالشَّافِعِيُّ - رَحِمَهُ اللَّهُ - اسْتَدَلَّ بِقَوْلِهِ تَعَالَى {، أَوْ
لَامَسْتُمْ النِّسَاءَ} [النساء: 43]، وَحَقِيقَةُ الْمَسِّ بِالْيَدِ قَالَ اللَّهُ
تَعَالَى {فَلَمَسُوهُ بِأَيْدِيهِمْ} [الأنعام: 7]، وَلَا يُعَارِضُ الْقِرَاءَةَ
(أَلَا تَرَى) قَوْلَهُ {أَوْ لَامَسْتُمْ} [النساء: 43] فَأَكْثَرُ مَا فِي الْبَابِ
أَنْ يَثْبُتَ أَنَّ الْمُرَادَ بِتِلْكَ الْقِرَاءَةِ الْجِمَاعُ فَيُعْمَلُ بِهِمَا
جَمِيعًا، وَالْمَعْنَى مَا ذَكَرْنَا أَنَّ التَّقْبِيلَ، وَالْمَسَّ سَبَبٌ لِاسْتِطْلَاقِ
وِكَاءِ الْمَذْيِ فَيُقَامُ مَقَامَ خُرُوجِ الْمَذْيِ حَقِيقَةً فِي إيجَابِ الْوُضُوءِ
أَخْذًا بِالِاحْتِيَاطِ فِي بَابِ الْعِبَادَةِ كَمَا فَعَلَهُ أَبُو حَنِيفَةَ -
رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى - فِي الْمُبَاشَرَةِ الْفَاحِشَةِ ..... قَالَ (فَإِنْ
بَاشَرَهَا، وَلَيْسَ بَيْنَهُمَا ثَوْبٌ فَانْتَشَرَ لَهَا فَعَلَيْهِ الْوُضُوءُ)
عِنْدَ أَبِي حَنِيفَةَ وَأَبِي يُوسُفَ - رَحِمَهُمَا اللَّهُ تَعَالَى - اسْتِحْسَانًا،
وَقَالَ مُحَمَّدٌ - رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى - لَا وُضُوءَ عَلَيْهِ، وَهُوَ الْقِيَاسُ
لِقَوْلِ ابْنِ عَبَّاسٍ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا - الْوُضُوءُ مِمَّا خَرَجَ، وَقَدْ
تَيَقَّنَ أَنَّهُ لَمْ يَخْرُجْ مِنْهُ شَيْءٌ فَهُوَ كَالتَّقْبِيلِ، وَوَجْهُ قَوْلِ
أَبِي حَنِيفَةَ وَأَبِي يُوسُفَ - رَحِمَهُمَا اللَّهُ تَعَالَى - أَنَّ الْغَالِبَ
مِنْ حَالِ مَنْ بَلَغَ فِي الْمُبَاشَرَةِ هَذَا الْمَبْلَغَ خُرُوجُ الْمَذِي مِنْهُ
حَقِيقَةً فَيُجْعَلُ كَالْمُمْذِي بِنَاءً لِلْحُكْمِ عَلَى الْغَالِبِ دُونَ النَّادِرِ
كَمَنْ نَامَ مُضْطَجِعًا انْتَقَضَ وُضُوءُهُ، وَإِنْ تَيَقَّنَ بِأَنَّهُ لَمْ يَخْرُجْ
مِنْهُ شَيْءٌ، وَكَذَلِكَ مَنْ عَدِمَ الْمَاءَ فِي الْمِصْرِ لَا يُجْزِئُهُ التَّيَمُّمُ
بِنَاءً عَلَى الْغَالِبِ أَنَّ الْمَاءَ فِي الْمِصْرِ لَا يَعْدَمُ، وَفَسَّرَ الْحَسَنُ
عَنْ أَبِي حَنِيفَةَ - رَحِمَهُمَا اللَّهُ تَعَالَى - الْمُبَاشَرَةَ الْفَاحِشَةَ
بِأَنْ يُعَانِقَهَا، وَهُمَا مُتَجَرِّدَانِ، وَيَمَسَّ ظَاهِرُ فَرْجِهِ ظَاهِرَ
فَرْجِهَا (المبسوط للسرخسي: ج 1، ص 67)
Tidak wajib wudhu’ setelah mencium istri dan
memegang perempuan baik dengan syahwat maupun tidak. Pendapat tersebut adalah
pendapat Ali Ra dan Ibnu Abbas Ra. Imam Syafi’i berkata wajib wudhu’ setelah
melakukan hal tersebut dan ini adalah pendapat Umar bin Mas’ud Ra. masalah ini
(batalnya wudhu’ sebab mencium atau memegang perempuan) adalah ikhtilaf yang
terjadi sejak masa awal islam sampai dikatakan sebaiknya bagi orang yang
bermaksud untuk menyentuh seseorang untuk berhati-hati dalam masalah tersebut.
Imam Malik berkata: jika muncul syahwat maka hukumnya wajib wudhu’ jika tidak
syahwat maka tidak. Imam syafi’i memakai dalil firman Allah yang berbunyi:
“atau kamu telah menyentuh perempuan” al-Nisa’ ayat 43). Pada hakikatnya
memegang itu dengan tangan sebagaimana firman Allah: “kemudian mereka
menyentuhnya dengan tangan-tangan mereka” (al-An’am ayat 7) dan pendapat
tersebut tidak menyalahi teks ayat di atas.. apakah kamu tidak berpendapat
demikan terhadap firman Allah: atau kamu telah menyentuh”. Mayoritas pendapat
tentang bab ini itu menetapkan bahwa makna ayat tersebut adalah jima’ maka
keduanya diberlakukan semua. Maknanya pendapat yang aku sebutkan bahwa mencium
istri dan menyentuh perempuan itu menjadi sebab tali kendali air madzi menjadi
kendor. Maka pada hakikatnya mencium dan menyentuh itu disamakan dengan keluarnya air madzi
sehingga mewajibkan wudhu’ karena ihtiyat (hati-hati) dalam bab ibadah
sebagaimana yang dilakukan oleh Abu Hanifah Ra, pada saat bersentuhan kulit
yang menimbulkan syahwat.......pengarang kitab berkata seandainya laki-laki
bersentuhan kulit dengan perempuan tanpa adanya pakaian kemudian dia ereksi
maka wajib baginya berwudhu’ menurut Imam Abu Hanifah dan Abi Yusuf dengan
metode istihsan. Muhammad Ra, berkata tidak wajib wudhu’ hal ini diqiyaskan
kepada pendapat Ibnu Abbas Ra yaitu berwudhu itu sebab keluarnya sesuatu dari
qubul atau dubur. Sehingga beliau sangat yakin bahwa hal tersebut seperti
mencium tidak menyebabkan keluarnya sesuatu . maksud dari pendapat Abu Hanifah
dan Abu Yusuf adalah bahwa pada umumnya kondisi orang yang baligh ketika
bersentuhan kulit hakikatnya itu keluar madzi maka hukumnya disamakan dengan
orang yang keluar madzi karena dikembalikan pada hukum umumnya bukan hukum yang
jarang seperti orang tidur berbaring maka wudhu’nya batal meskipun dia
berkeyakinan bahwa tidak adanya sesuatu yang keluar. Begitu pula orang yang
tidak memiliki air di daerah kota maka dia tidak boleh tayammum karena dikembalikan pada hukum umumnya bahwa
air di kota itu pasti ada. Al-Hasan menjelaskan dari Abu Hanifah bahwa sentuhan
kulit yang menimbulkan syahwat itu ketika memeluk seorang wanita. Sehingga
keduanya tidak berat sebelah dan persentuhan bagian luar farji laki-laki dengan
bagian luar farji perempuan (al-Mabsuth li al-Sarkhosi, 1:67)
قَالَ اَبُو حَنِيْفَةَ رَحِمَهُ اللهُ فِي الرَّجُلِ يُقَبِّلُ الْمَرْأَةَ وَهُوَ مُتَوَضِّئُ اَنَّ ذَلِكَ لَا يَنْقُضُ الْوُضُوءَ. وَقَالَ اَهْلُ الْمَدِينَةِ فِي ذَلِكَ الْوضُوءِ وَقَالَ مُحَمَّدُ بنَ الْحَسَنِ الاَثَارُ فِي ذَلِكَ اَنَّهُ لَا وُضُوءَ (الحجة على أهل المدينة: ج 1، ص65)
Abu Hanifah Ra, berkata tentang laki-laki yang
mencium istrinya sedangkan ia berwudhu’: bahwa hal tersebut tidak menjadika
batalnya wudhu’. Ahlul Madinah berkata tentang masalah tersebut bahwa tetap
wajib wudhu’. Muhammad bin al-Hasan al-Atsar berkata tentang masalah tersebut
bahwa hal itu tidak membatalkan wudhu’ (al-Hujjah ‘ala Ahli Madinah, 1:65).
0 Response to "PUNYA WUDHU’ TAPI SALAMAN DENGAN ISTRI"
Posting Komentar