TOLAK UKUR SHALAT MENGHADAP KIBLAT

 

TOLAK UKUR SHALAT MENGHADAP KIBLAT

Salah satu hal yang menjadi syarat sahnya shalat adalah menghadap kiblat, tak jarang kita ketahui di masjid maupun langgar (musholla) dan lain sebagainya banyak yang tidak lurus pada arah fisik kiblat (ka’bah), bahkan dari kalangan kita menganggap arah kiblat adalah arah barat.

Bagaimanakah ketentuan para ulama’ mengenai arah kiblat?

Mengenai permasalahan menghadap qiblat bagi orang yang orang shalat terdapat perbedaan dari kalangan para Ulama, diantaranya:

A.     Wajib menghadap fisik Ka’bah (ainul Qiblat)

Menurut Qoul Rajih madzhab Syafi’i Mengharuskan orang yang sholat untuk menghadap tepat lurus pada fisik Ka'bah (ainul qiblat), walaupun bagi orang yang berada di luar kota Makkah, dan harus membelokkan sedikit yang ketika shafnya panjang, sehingga ia melihat dirinya melurusi Ka'bah.

B.     Cukup Menghadap arah Kiblat (jihatul Qiblat)

Menurut Al-Ghazali, al-Jurjani, Ibnu Kajin, Ibnu Abi Ashrun, dan al-Mahalli, cukup menghadap arah Kiblat (jihatul qiblat), yakni salah satu empat arah yang didalamnya terdapat ka'bah bagi orang yang jauh dari Ka'bah.

Karena bentuk fisik Ka'bah sangat kecil, maka mustahil penduduk dunia akan dapat menghadap pada fisik Ka'bah, pendapat ini juga sama dengan pendapat Abi Hanifah, bahwa Masyriq (arah timur) adalah kiblat bagi penduduk maghrib (barat) begitupun sebaliknya, dan selatan adalah kiblat bagi penduduk Utara dan begitu sebaliknya. Sedangkan menurut Imam Malik Ka'bah adalah kiblat bagi orang yang shalat di Masjidil Haram, sementara Masjidil Haram adalah kiblat bagi penduduk Kota Makah, sedangkan kota Makkah adalah kiblat bagi penduduk tanah Haram, sementara tanah Haram adalah kiblat bagi penduduk dunia.

(مَسْأَلَةُ ك) الرَّاجِحُ أَنَّهُ لَابُدَّ مِنْ اِسْتِقْبَالِ عَيْنِ الْقِبْلَةِ وَلَوْ لِمَنْ هُوَ خَارِجُ مَكَّةَ فَلَا بُدَّ مِنْ اِنْحِرَافٍ يَسِيرٍ مَعَ طُولِ الصَّفِّ بِحَيْثُ يَرَى نَفْسَهُ مُسَامِتًا لَهَا ظَنًّا مَعَ الْبُعْدِ وَالْقَوْلُ الثَّانِي يَكْفِى اِسْتِقْبَالُ الْجِهَةِ، أَيْ إِحْدَى الْجِهَاتِ الْأَرْبَعِ الَّتِي فِيهَا الْكَعْبَةُ لِمَنْ بَعُدَ عَنْهَا وَهُوَ قَوِيٌّ، اِخْتَارَهُ الْغَزَالِيُّ وَصَحَّحَهُ الْجُرْجَانِيُّ وَابْنُ كَجٍّ وَابْنُ أَبِي عِصْرُوْنَ وَجَزَمَ بِهِ الْمَحَلِّيُّ، قَالَ الْأَذْرَعِيُّ، وَذَكَرَ بَعْضُ الْأَصْحَابِ أَنَّهُ الْجَدِيْدُ وَهُوَ الْمُخْتَارُ لِأَنَّ جِرْمَهَا صَغِيْرٌ يَسْتَحِيْلُ أَنْ يَتَوَجَّهَ اِلْيْهِ أَهْلُ الدُّنْيَا، فَيَكْتَفِيْ بِالْجِهَةِ، وَلِهَذَا صَحَّتْ صَلَاةُ الصَّفِّ الطَّوِيْلِ إِذَا بَعُدُوْا عَنِ الْكَعْبَةِ، وَمَعْلُوْمٌ أَنَّ بَعْضَهُمْ خَارِجُوْنَ مِنْ مُحَاذَاةِ الْعَيْنِ، وَهَذَا الْقَوْلُ يُوَافِقُ الْمَنْقُوْلَ عَنْ أَبِي حَنِيْفَةَ وَهُوَ أَنَّ الْمَشْرِقَ قِبْلَةُ أَهَلِ الْمَغْرِبِ وَبِالْعَكْسِ وَالْجَنُوْبَ قِبْلَةُ أَهْلِ الشِّمَالِ وَبِالْعَكْسِ وَعَنْ مَالِكٍ أَنَّ الْكَعْبَةَ قِبْلَةُ أَهْلِ الْمَسْجِدِ وَالْمَسْجِدَ قِبْلَةُ أَهْلُ مَكَّةَ وَمَكَّةَ قِبْلَةُ أَهْلِ الْحَرَمِ وَالْحَرَمَ قِبْلَةُ أَهْلِ الدُّنْيَا اهـ (بعية المسترشدين للسيد باعلوي الحضرمي: ص39)

Mengenai permasalahan orang sholat yang menghadap qiblat terdapat perkhilafan di antara para Ulama, Pendapat yang unggul mengharuskan orang yang sholat untuk menghadap tepat lurus pada fisik Ka'bah (ainul qiblat), walaupun bagi orang yang berada di luar kota Makkah, dan harus membelokkan sedikit yang ketika shafnya panjang, sehingga ia melihat dirinya melurusi Ka'bah. Sedangkan pendapat kedua menghukumi cukup menghadap arah Kiblat (jihatul qiblat), yakni salah satu empat arah yang didalamnya terdapat ka'bah bagi orang yang jauh dari Ka'bah, pendapat ini adalah pendapat yang kuat yang di pilih oleh Al-Ghazali, dan dibenarkan oleh Al Jurjani, Ibnu Kajin dan Ibnu Abi Ashrun, serta al-Mahalli. Imam al-Adz-Ra'i berpendapat, Sebagian Ashab as-Syafi'i menyebutkan bahwa pendapat ini (kedua) adalah pendapat al-Jadid yang di pilih, karena bentuk fisik Ka'bah sangat kecil, maka mustahil penduduk dunia akan dapat menghadap pada fisik Ka'bah, oleh karena itulah dicukupkan menghadap arah kiblat Sehingga dihukumi sah shalatnya shaf yang panjang ketika jauh dari ka'bah, dan dima'lumi ada sebagian dari mereka yang tidak melurusi menghadapi fisik Ka'bah Pendapat ini juga searah dengan pendapat Abi Hanifah, bahwa Masyriq (arah timur) adalah kiblat bagi penduduk maghrib (barat) begitupun sebaliknya, dan selatan adalah kiblat bagi penduduk Utara dan begitu sebaliknya. Sedangkan menurut Imam Malik Ka'bah adalah kiblat bagi orang yang shalat di Masjid Haram, sementara Masjidil Haram adalah kiblat bagi penduduk Kota Makah, sedangkan kota Makkah adalah kiblat bagi penduduk tanah Haram, sementara tanah Haram adalah kiblat bagi penduduk dunia. (Bughyah al-Mustarsyidin, 39).

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "TOLAK UKUR SHALAT MENGHADAP KIBLAT"

Posting Komentar