HUKUM MENAGIH HUTANG DENGAN CARA MENYITA ASET SECARA SEPIHAK

 



HUKUM MENAGIH HUTANG DENGAN CARA MENYITA ASET SECARA SEPIHAK 

Menagih hutang dengan menyita aset secara sepihak adalah tindakan di mana pihak yang memberikan pinjaman (Kreditur) mengambil alih aset milik peminjam (Debitur) tanpa persetujuannya, biasanya aset yang disita pihak pemberi pinjaman adalah berupa kendaraan, uang, harta atau yang lainnya dengan nilai tukar yang setara dari pinjaman yang telah dipinjamkan. 

Ada sebuah kasus Umar meminjam sejumlah uang kepada Zaid, namun ketika sudah jatuh tempo pembayaran Umar tidak bisa mengembalikan uang tersebut dan Zaid sangatlah butuh, atas dasar hal ini Zaid menyita barang-barang yang dimiliki Umar secara sepihak dengan nilai mata tukar yang sama dengan jumlah yang dipinjam Umar. Bagaimanakah hukum hal tersebut dalam islam?

  1. Haram

Jika hutang tersebut tidak dibayar oleh debitur, maka harus menunggu waktu untuk menagihnya (secara langsung) dan tidak boleh mengambil aset dari debitur. diterangkan dalam kitab Fathu al-Wahab juz 2, hal. 397:

  1. Boleh

Jika itu memang alternatif lain untuk mengambil haknya, dengan syarat harta yang diambil sejenis atau senilai dengan hutangnya. Diterangkan dalam kitab Fathu al-Wahab Juz 2, Hal. 397 :

(وَإِنْ اسْتَحَقَّ) شَخْصٌ (عَيْنًا) عِنْدَ آخَرَ (فَكَذَا) تُشْتَرَطُ الدَّعْوَى بِهَا عِنْدَ حَاكِمٍ (إنْ خَشِيَ بِأَخْذِهَا ضَرَرًا) تَحَرُّزًا عَنْهُ وَإِلَّا فَلَهُ أَخْذُهَا اسْتِقْلَالًا لِلضَّرُورَةِ (أَوْ) اسْتَحَقَّ (دَيْنًا عَلَى غَيْرِ مُمْتَنِعٍ) مِنْ أَدَائِهِ (طَالَبَهُ) بِهِ فَلَا يَأْخُذُ شَيْئًا لَهُ بِغَيْرِ مُطَالَبَةٍ وَلَوْ أَخَذَهُ لَمْ يَمْلِكْهُ وَلَزِمَهُ رَدُّهُ وَيَضْمَنُهُ إنْ تَلِفَ عِنْدَهُ (أَوْ) عَلَى (مُمْتَنِعٍ) مُقِرًّا كَانَ أَوْ مُنْكِرًا (أَخَذَ) مِنْ مَالِهِ وَإِنْ كَانَ لَهُ حُجَّةٌ (جِنْسَ حَقِّهِ فَيَمْلِكُهُ) إنْ كَانَ بِصِفَتِهِ وَإِلَّا فَكَغَيْرِ الْجِنْسِ وَسَيَأْتِي وَعَلَيْهِ يُحْمَلُ قَوْلُ الْأَصْلِ فَيَتَمَلَّكَهُ وَعَلَى الْأَوَّلِ يُحْمَلُ قَوْلُ الْبَغَوِيّ وَالْمَاوَرْدِيِّ وَغَيْرِهِمَا يَمْلِكُهُ بِالْأَخْذِ أَيْ فَلَا حَاجَةَ إلَى تَمَلُّكِهِ (ثُمَّ) إنْ تَعَذَّرَ عَلَيْهِ جِنْسُ حَقِّهِ أَخَذَ (غَيْرَهُ) مُقَدِّمًا النَّقْدَ عَلَى غَيْرِهِ (فَيَبِيعُهُ) مُسْتَقِلًّا كَمَا يَسْتَقِلُّ بِالْأَخْذِ وَلِمَا فِي الرَّفْعِ إلَى الْحَاكِمِ مِنْ الْمُؤْنَةِ، وَالْمَشَقَّةِ وَتَضْيِيعِ الزَّمَانِ (فتح الوهاب : ج  ٢، ص ٣٩٧)

"Jika seseorang memiliki hak kepemilikan terhadap suatu barang tertentu yang berada di tangan orang lain, maka diperlukan adanya gugatan kepada hakim (jika ditakutkan pengambilannya akan menyebabkan kerugian), sebagai bentuk kehati-hatian. Namun, jika tidak ada kekhawatiran kerugian, maka ia boleh mengambil barang tersebut secara mandiri karena darurat. Apabila haknya adalah berupa hutang kepada orang yang menolak untuk membayarnya, ia harus menuntut haknya secara langsung, dan tidak boleh mengambil harta pihak lain tanpa permintaan. Jika ia melakukannya, maka ia tidak memiliki hak kepemilikan atas barang tersebut, dan ia wajib mengembalikannya serta bertanggung jawab jika barang itu rusak dalam kepemilikannya. Namun, jika utangnya ada pada orang yang menolak (baik ia mengakuinya maupun tidak), ia boleh mengambil barang milik orang itu. Jika ia mengambil barang yang sejenis dengan haknya dan sesuai dengan sifatnya, maka ia akan memilikinya. Jika tidak, maka seperti mengambil barang yang tidak sejenis, penjelasannya akan datang kemudian. Dalam hal ini, pendapat imam (ushul) diinterpretasikan bahwa ia boleh memilikinya tanpa memerlukan pengesahan tambahan. Sedangkan, menurut pendapat al-Baghawi, al-Mawardi, dan lainnya, ia menjadi pemilik barang tersebut hanya dengan pengambilannya. Namun, jika barang yang sejenis dengan haknya tidak dapat ditemukan, ia boleh mengambil barang lain (dengan mengutamakan barang yang bernilai uang). Barang tersebut kemudian dijual secara mandiri untuk menutupi haknya, karena membawa perkara ini kepada hakim dapat memakan biaya, usaha, dan waktu." (Fathu al-Wahab, 2:397)


Penulis :  M.Khusen Abdullah

Perumus : Ust.M.Faishol S.pd

Mushohih : Ust.M.Fauzi



Daftar pustaka

 Al-Anshari, Zakariya bin Muhammad bin Ahmad bin Zakariya [W. 927 H], Fathu al-Wahab, Daar al-Kitab al-’Ilmiyah, Beirut, Lebanon, 1998

======================================


Posting Komentar untuk "HUKUM MENAGIH HUTANG DENGAN CARA MENYITA ASET SECARA SEPIHAK "