Sumber Gambar: pinterest
HUKUM MENYEWAKAN ASET FASILITAS MASJID
Secara umum, masjid merupakan tempat ibadah yang diwakafkan untuk kepentingan umat islam, dan aset yang ada didalamnya digunakan untuk mendukung tujuan ibadah serta kegiatan keagamaan. Biasanya aset fasilitas yang ada di dalam masjid bersifat wakaf, yang berarti diberikan untuk kepentingan umum dan bukan bertujuan untuk mendapatkan keuntungan. Fasilitas-fasilitas yang ada di dalam masjid penggunaannya harus sesuai dengan Syariat islam.
Aset masjid adalah semua properti yang dimiliki atau dikelola oleh masjid. Aset ini bisa berupa tanah, bangunan, fasilitas, perlengkapan ibadah, dana keuangan, maupun sumber daya lainnya yang digunakan untuk kepentingan operasional dan pelayanan di masjid. Aset masjid biasanya diperoleh melalui donasi, wakaf, atau sumbangan dari masyarakat. Pengelolaan aset masjid biasanya diberikan kepada takmir masjid yang bertanggung jawab menjaga agar aset tersebut digunakan sesuai dengan kepentingan umat dan tujuan keberlanjutan masjid.
Namun sering terjadi saat ini, aset yang dimiliki oleh masjid seringkali digunakan untuk selain kegiatan masjid itu sendiri seperti diadakannya seminar di dalam aula masjid, kegiatan amal, atau digunakan sebagai pusat komunitas. Terkadang juga masyarakat meminjam aset fasilitas masjid untuk kepentingan pribadi seperti menyewa karpet masjid untuk hajatan, meminjam sound system untuk acara desa dan lain sebagainya. Sehingga hal ini menimbulkan pandangan yang berbeda di kalangan masyarakat.
Bagaimana Hukum Menyewakan Aset Fasilitas Masjid?
Tafshil:
Aset masjid hanya boleh digunakan untuk dua hal, yang pertama untuk meramaikan masjid atau kemakmuran masjid, Seperti mengadakan pengajian di dalam aula masjid untuk meramaikan masjid. Yang kedua untuk kemaslahatan masjid, seperti merenovasi masjid untuk kemaslahatan orang yang beribadah.
Jika seorang wakif memberikan syarat terhadap barang atau aset masjid yang diwakafkan untuk masjid, maka seorang pengelola tersebut tidak boleh menyewakan barang atau aset tersebut.
Jika wakif tidak memberikan syarat terhadap aset atau barang tersebut, maka pengelola masjid boleh untuk menyewakannya atau tidak, tetapi harus sesuai dengan dua hal diatas, yaitu untuk kemakmuran masjid dan kemaslahatan masjid.
لَوْ وَقَفَ عَلَى عِمَارَةِ مَسْجِدٍ لَمْ يَجُزْ صَرْفُ الرَ يْعِ إِلَى النَّقْشِ وَالتَّزْوِيْقِ، قَالَ فِي الحَاوِي وَالعُدَّةِ: وَلَا إِلَى أَئِمَّتِهِ وَمُؤَذِّنِيْهِ، وَيَجُوْزُ إِلَى قُوَّامِهِ، وَالفَرْقُ أَنَّ القَيِّمَ يَحْفَظُ العِمَارَةَ وَاخْتِصَاصَ الأَئِمَّةِ وَالمُؤَذِّنِيْنَ بِأَحْوَالِ المُصَلِّيْنَ، وَيُشْتَرَى مِنْهُ البَوَارِى،وَلَا يُشْتَرَى مِنْهُ الدُّهْنَ فِي الأَصَحِّ. (إعلام الساجد بأحكام المساجد: ص ٤٠١)
“Jika seseorang mewakafkan hartanya untuk pembangunan masjid, maka tidak diperbolehkan mengalihkan hasil wakaf untuk ukiran dan hiasan. Disebutkan dalam al-Hāwī dan al-‘Uddah bahwa hasil wakaf tidak boleh digunakan untuk imam dan muadzin, namun boleh digunakan untuk pemeliharaan masjid. Perbedaannya adalah bahwa pengelola bertanggung jawab untuk pemeliharaan bangunan masjid, sementara imam dan muadzin bertanggung jawab atas urusan jamaah yang sedang shalat. Hasil wakaf tersebut dapat digunakan untuk membeli perlengkapan masjid seperti alat kebersihan, namun tidak diperbolehkan untuk membeli minyak (untuk masjid) menurut pendapat yang lebih kuat.” (I'lam al-Sajid bi-Ahkam al-Masajid, 401)
(قَوْلُهُ: وَالْإِجَارَةُ) أَيْ فَلَهُ ذَلِكَ سَوَاءٌ كَانَ الْمُسْتَأْجِرُ مِنَ الْمَوْقُوفِ عَلَيْهِمْ أَوْ أَجْنَبِيًّا حَيْثُ رَأَى الْمَصْلَحَةَ فِي ذَلِكَ وَإِنْ طَلَبَهُ الْمَوْقُوفُ عَلَيْهِ حَيْثُ لَمْ يَشْرِطْ الْوَاقِفُ السُّكْنَى بِنَفْسِهِ. أَمَّا إذَا شَرَّطَ ذَلِكَ فَلَيْسَ لِلنَّاظِرِ الْإِيجَارُ بَلْ يَسْتَوْفِي الْمَوْقُوفَ عَلَيْهِ الْمَنْفَعَةَ بِنَفْسِهِ أَوْ نَائِبِهِ،ثُمَّ إذَا أَجَّرَ النَّاظِرُ نِصْفَ الْمَوْقُوفِ شَائِعًا صَحَّ إنْ لَمْ يَكُنْ فِي شَرْطِ الْوَاقِفِ مَا يَمْنَعُهُ وَيَصِيرُ. الْمُسْتَأْجِرُ لِذَلِكَ مُسْتَحِقًّا لِنِصْفِ الْمَنْفَعَةِ فِيهَا وَالْمُسْتَحِقُّ. (حاشية الشبراملسي على نهاية المحتاج إلى شرح المنهاج: ج ٥، ص ٣٩٩)
“(Perkataan Mushanif: Wa al-Ijāratu) maksudnya, diperbolehkan bagi nazhir (pengelola wakaf) untuk menyewakan wakaf tersebut, baik penyewa itu berasal dari kalangan yang menerima manfaat wakaf (mauquf 'alayhim) maupun orang asing (bukan penerima manfaat wakaf), selama pengelola memandang ada maslahat dalam hal tersebut. Bahkan, hal ini diperbolehkan meskipun para penerima manfaat wakaf memintanya, selama pewakif tidak mensyaratkan bahwa mereka sendiri yang harus menempati atau menggunakan wakaf tersebut. Namun, jika pewakif mensyaratkan bahwa mereka sendiri yang harus menempati atau memanfaatkannya, maka pengelola tidak boleh menyewakannya. Dalam kondisi tersebut, penerima manfaat wakaf harus memanfaatkan wakaf itu sendiri atau melalui perwakilan mereka. Selanjutnya, jika pengelola menyewakan setengah dari wakaf secara syai’an (kepemilikan manfaat yang tidak dibatasi pada bagian tertentu secara fisik), maka hal tersebut sah selama tidak ada syarat dari pewakif yang melarangnya. Dalam hal ini, penyewa tersebut berhak atas setengah dari manfaat wakaf yang telah disewakan, sedangkan penerima manfaat tetap mendapatkan hak atas sisanya.” (Hasyiah al-Syabramalsy ala Nihayatul Muhtaj ila Syarh al-Minhaj, 5:399)
Penulis : Widad Fatin Hanifah, S.Ag
Perumus : Ust Teguh Pradana S.P
Mushohih : Gus Muhammad Agung Shobirin M.Ag
Daftar Pustaka
Az-Zarkasyi, Muhammad bin Abdullah, (w.794 H), I'lam as-Sajid bi-Ahkam al-Masajid, Majelis Tertinggi Urusan Islam, Kairo, Cet. keempat, 1416 H/1996 M, sebanyak 1 jilid.
al-Syabramalsy, Abu al-Diya' Nuruddin Ali bin Ali (w. 1087 H), Hasyiah al-Syabramalsy ala Nihayatul Muhtaj ila Syarh al-Minhaj, Dar al-kutub al-ilmiyyah, Beirut, Cet. ketiga 1424 H/2002 M, Sebanyak 8 jilid.
===================================================================
===================================================================
Posting Komentar untuk "HUKUM MENYEWAKAN ASET FASILITAS MASJID"