Sumber Gambar: news.republika.co.id
HUKUM JALAN UMUM ATAU RUANG PUBLIK DIPAKAI PARKIR KENDARAAN
Jalan umum adalah jalan yang di bangun pemerintah untuk kepentingan umum. Jalan ini dapat digunakan oleh publik untuk lalu lintas, baik kendaraan bermotor, sepeda, maupun pejalan kaki. Penggunaan jalan umum diatur oleh hukum dan peraturan lalu lintas, termasuk aturan parkir. Peraturan tentang parkir di jalan umum bertujuan untuk menjaga ketertiban dan kelancaran lalu lintas. Pelanggaran aturan ini seringkali berdampak pada kemacetan, kecelakaan, atau potensi bahaya bagi pengguna jalan lainnya.
Dalam undang-undang lalu lintas dan peraturan daerah, dinyatakan bahwa jalan umum, trotoar, dan ruang publik lainnya adalah milik bersama dan tidak boleh digunakan untuk kepentingan pribadi, seperti parkir sembarangan. Namun sering terjadi di perkotaan, dikarenakan minimnya lahan untuk parkir kendaraan, sehingga menimbulkan masyarakat kota memarkirkan kendaraannya secara sembarangan bahkan di jalan umum sekalipun. Hal tersebut dapat menimbulkan kemacetan, mengganggu pejalan kaki yang melintas atau bahkan bisa menyebabkan kecelakaan lalu lintas.
Bagaimana Hukum Jalan Umum atau Ruang Publik Dipakai Parkir Kendaraan?
Tidak Boleh
Menurut Imam Abu hanifah Tidak boleh, ketika tidak mendapatkan izin dari pemerintah dan mengganggu aktivitas jalan umum atau ruang publik secara berlebihan yang dapat mendatangkan bahaya bagi pengguna jalan. Seperti contoh seseorang yang memarkir kendaraan dijalan umum yang dapat menimbulkan penyempitan jalan dan mengganggu aktivitas pejalan kaki sehingga menyebabkan terjadinya kecelakaan. Hal ini diterangkan dalam kitab al-Fiqh al-Islam wa Adillatuhu juz 5 halaman 607-608.
حَقُّ المُرُوْرِ: هُوَ حَقُّ أَنْ يَصِلَ الْإِنْسَانُ إِلَى مُلُكِهِ، دَاراً أو أَرْضاً، بِطَرِيْقٍ يَمُرُّ فِيْهِ، سَوَاءٌ أَكَانَ مِنْ طَرِيْقٍ عَامٍّ، أَمْ مِنْ طَرِيْقٍ خَاصٍّ مَمْلُوْكٍ لَهُ أَوْ لِغَيْرِهِ، أَوْ لَهُمَا مَعاً وَحُكْمُهُ يَخْتَلِفُ بِحَسَبِ نَوْعِ الطَّرِيْقِ: فَإِنْ كَانَ الطَّرِيقُ عَامًا: فَلِكُلِّ إِنْسَانٍ حَقُّ الِانْتِفاعِ بِهِ، لِأَنَّهُ مِنَ المُبَاحَاتِ ، سَواءٌ بِالْمُرُورِ أَوْ بِفَتْحِ نَافِذَةٍ أَوْ طَرِيقٍ فَرْعِيٍّ عَلَيْهِ ، أَوْ إِنْشَاءِ شُرْفَةٍ وَنَحْوِهَا ، وَلَهُ إِيقَافُ الدَّوَابِ أَوِ السَّيَّارَاتِ أَوْ إِنْشَاءُ مَرْكَزٍ لِلْبَيْعِ وَالشِّرَاءِ . وَلَا يَتَقَيَّدُ إِلَّا بِشَرْطَيْنِ: اَلْأَوَّلُ: السَّلَامَةُ، وَعَدَمُ الإِضْرَارِ بِالْآخَرِيْنَ، إِذْ لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ. الثَّانِي: الإِذْنُ فِيه مِنَ الحَاكِمِ. فَإِنْ أَضَرَّ المَارَّ أَوِ المُنْتَفَعَ بِالْآخَرِينَ، كَأَنْ أَعَاقَ المُرُورِ، مُنِعَ. وَإِنْ لَمْ يَتَرَتَّبْ عَلَى فِعْلِهِ ضَرَرٌ جَازَ بِشَرْطِ إِذْنِ الحَاكِمِ عِنْدَ أَبِي حَنِيفَةَ، وَلَا يُشْتَرَطُ الإِذْنُ عِنْدَ الصَّاحِبِينَ، عَلَى مَا سَأُبَيِّنُ فِي حَقِّ التَّعَلِي. كَذَلِكَ لَا يُشْتَرَطُ إِذْنُ الإِمَامِ عِنْدَ الشّافِعيَّةِ والْحَنَابِلَةِ كَقَوْلِهِ عَلَيْهِ الصَّلاةُ والسَّلامُ: «مَنْ سَبَقَ إِلَى مَا لَمْ يَسْبِقْ إِلَيْهِ مُسْلِمٌ، فَهُوَ أَحَقُّ بِهِ. وَقَالَ المَالِكيَّةُ: مَنْ بَنَى فِي طَرِيقِ المُسْلِمِينَ أَوْ أَضَافَ شَيْئًا مِنَ الطَّرِيقِ إِلَى مِلْكِهِ، مُنِعَ مِنْهُ بِاتِّفَاقٍ. (الفِقْهُ الإسلاميُّ وأدلَّتُهُ: ج ٥، ص ٦٠٧ - ٦٠٨)
“Hak untuk lewat adalah hak yang dapat menjadikan manusia mendapatkan wewenangnya untuk sampai ke sebuah rumah atau daerah dengan melalui jalan yang dilalui, baik berupa jalan umum atau jalan khusus yang dia miliki atau orang lain miliki atau dimiliki secara bersama-sama. Sehingga hukumnya berbeda menyesuaikan jenis jalannya, jika jalan umum maka boleh bagi setiap manusia memanfaatkan jalan tersebut, karena termasuk sesuatu yang mubah (boleh), baik dimanfaatkan dengan melewatinya atau membuka jendela, membuka cabang jalan, atau membuat teras dan lain sebagainya. Diperbolehkan juga memberhentikan kendaraan atau mobil, atau membuat tempat untuk jual beli dan hanya dibatasi dengan 2 syarat yaitu pertama keselamatan dan tidak membahayakan orang lain karena tidak boleh melakukan mudharat yang dapat mencelakakan diri sendiri dan orang lain. Yang kedua adalah mendapat izin dari Hakim (pemerintah). Maka seandainya membahayakan orang yang lewat atau menyebabkan orang lain tidak bisa lewat maka hal tersebut dilarang meskipun perbuatan tersebut tidak mengakibatkan bahaya. Menurut Abu Hanifah boleh dengan syarat harus ada izin dari hakim (pemerintah). Tetapi menurut para sahabat tidak disyaratkan izin berdasarkan pendapat yang akan saya jelaskan dalam hak al-Ta’alli. Begitu juga menurut madzhab syafi’i dan hambali tidak mensyaratkan izin kepada pemimpin/hakim sebagaimana sabda baginda nabi Saw: “barangsiapa lebih dahulu sampai kepada sesuatu perkara daripada orang muslim lainnya, maka dia yang lebih berhak atas sesuatu tersebut”. Ulama Maliki berkata: “barangsiapa membangun tempat dijalanya orang muslim atau menyandarkan sesuatu dari jalan tersebut untuk miliknya maka hal tersebut dilarang menurut kesepakatan ulama”. (al-Fiqh al-Islam wa Adillatuhu, 5: 607-608)
Boleh
Boleh, memarkir kendaraan di jalan umum atau ruang publik dengan syarat tidak menyempitkan jalan secara berlebihan sehingga menyebabkan aktivitas orang yang lewat terganggu dan terjadi kecelakaan. Hal ini dijelaskan dalam kitab Roudhotut Thalibin juz 5 halaman 294.
بِقَاعُ الْأَرْضِ إِمَّا مَمْلُوكَةٌ، وَإِمَّا مَحْبُوسَةٌ عَلَى الْحُقُوقِ الْعَامَّةِ كَالشَّوَارِعِ وَالْمَسَاجِدِ وَالْمَقَابِرِ وَالرِّبَاطَاتِ، وَإِمَّا مُنْفَكَّةٌ عَنِ الْحُقُوقِ الْعَامَّةِ وَالْخَاصَّةِ، وَهِيَ الْمَوَاتُ. أَمَّا الْمَمْلُوكَةُ، فَمَنْفَعَتُهَا تَتْبَعُ الرُّقْبَةَ. وَأَمَّا الشَّوَارِعُ، فَمَنْفَعَتُهَا الْأَصْلِيَّةُ: الطُّرُوقُ. وَيَجُوزُ الْوُقُوفُ وَالْجُلُوسُ فِيهَا لِغَرَضِ الِاسْتِرَاحَةِ وَالْمُعَامَلَةِ وَنَحْوِهِمَا، بِشَرْطِ أَنْ لَا يُضَيِّقَ عَلَى الْمَارَّةِ، سَوَاءٌ أَذِنَ فِيهِ الْإِمَامُ، أَمْ لَا، وَلَهُ أَنْ يُظَلِّلَ عَلَى مَوْضِعِ جُلُوسِهِ بِمَا لَا يَضُرُّ بِالْمَارَّةِ مِنْ ثَوْبٍ وَبَارِيَةٍ وَنَحْوِهِمَا (روضة الطالبين: ج ٥، ص ٢٩٤ )
“Tanah bisa berupa milik pribadi, atau yang diwakafkan untuk kepentingan umum seperti jalan-jalan umum, masjid, kuburan, dan tempat peristirahatan, atau bisa juga terlepas dari hak-hak umum dan khusus, yaitu tanah yang belum diolah. Adapun tanah yang dimiliki, manfaatnya mengikuti kepemilikannya. Sedangkan jalan-jalan umum, manfaat utamanya adalah sebagai tempat lalu lintas. Diperbolehkan berhenti dan duduk di sana untuk tujuan istirahat, bertransaksi, dan sejenisnya, dengan syarat tidak menyempitkan ruang bagi pejalan kaki, baik dengan izin pemimpin (pemerintah) atau tanpa izinnya. Seseorang juga diperbolehkan membuat peneduh di tempat duduknya dengan sesuatu yang tidak membahayakan para pejalan kaki, seperti kain, tikar, dan sejenisnya." (Roudhoh al-Thalibin, 5:294)
Penulis : Widad Fatin Hanifah, S.Ag
Perumus : Ust Teguh Pradana S.P
Mushohih : Gus Muhammad Agung Shobirin M.Ag
Daftar Pustaka
al-Zuhaili, Wahbah bin Mustafa (W. 1436), al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, Dar al-Fikr, Suriah, Damaskus, Cet. kedua: tanpa tahun, Sebanyak 8 jilid
al-Nawawi, Abu Zakaria Muhyiddin Yahya bin Syarif (W. 676 H), Raudhah al-Thalibin wa 'Umdah al-Muftin, al-Maktab al-Islami, Beirut, Damaskus, Amman, Cet. ketiga, 1412 H / 1991 M, Sebanyak 12 jilid
=================================================================
==================================================================
==================================================================
Posting Komentar untuk "HUKUM JALAN UMUM ATAU RUANG PUBLIK DIPAKAI PARKIR KENDARAAN"