Sumber Gambar: keramiktermegah.blogspot.com
HUKUM MENGGUNAKAN KERAMIK YANG BERBAHAN CAMPURAN TULANG DAN KOTORAN HEWAN
Dalam Islam, tulang dan kotoran hewan memiliki status yang berbeda dalam hal kesucian atau kenajisan, tergantung pada jenis hewan tersebut dan bagaimana hewan itu disembelih. Penggunaan atau pengelolaan barang-barang yang berasal dari hewan sangat bergantung pada status hewan tersebut menurut syariat.
Kerajinan keramik pada dasarnya merupakan karya seni buatan tangan manusia yang berbahan dasar tanah liat. Bahan alternatif yang dapat digunakan sebagai bahan campuran keramik untuk meningkatkan kualitas keramik tersebut ialah campuran tanah liat dan tulang sapi. Tulang sapi memiliki kandungan logam tinggi yang bermanfaat sebagai pengikat dalam pembuatan keramik.
Namun dalam suatu daerah di kota palu. Terdapat penemuan baru yaitu membuat keramik dari bahan campuran tulang dan kotoran sapi. Proses pembuatan keramik tersebut terdiri dari kotoran sapi yang sudah di fermentasi kemudian dicampur dengan tulang dan tanah liat dengan perbandingan 4 banding 1, setelah itu pembentukan keramik yang kemudian dibakar. Keramik yang terbuat dari bahan campuran tulang dan kotoran sapi tersebut terbukti lebih tahan lama dan terlihat lebih indah. Sehingga menimbulkan minat terhadap masyarakat untuk membeli dan menggunakannya.
Bagaimanakah hukum menggunakan keramik yang berbahan campuran tulang dan kotoran hewan?
Boleh, dalam madzab Hambali menggunakan keramik yang tercampur dengan kotoran hewan jika sudah disucikan dengan cara dibasuh bagian luarnya. Diterangkan dalam kitab Syarh al-Kabir ‘ala Matan al-Mughni juz 1 halaman 476.
(فصل) وَيُكْرَهُ تَطْيِيْنُ المَسْجِدِ بِطِيْنٍ نَجْسٍ وَبِنَاؤُهُ بِلَبِنٍ نَجْسٍ أَوْ تَطْبِيْقُهُ بِطَوَاِبْيقَ نَجَسَةٌ فَِإنْ فَعَلَ وَبَاشَرَ النَّجَاسَةِ لَمْ تَصِحْ صَلَاتُهُ، فَأَمَّا الآجُرُّ المَعْجُوْنُ بِالنَّجَاسَةِ فَهُوَ نَجْسٌ لِأَنَّ النَّارَ لَا تَطْهُرُ لَكِنْ إِذَا غَسَلَ طَهُرَ ظَاهِرٌهُ. (الشرح الكبير على المغنى :ج ١، ص ٤٧٦)
"(Fasal) Makruh hukumnya melumuri masjid dengan tanah yang najis atau membangunnya dengan bata yang najis, atau melapisinya dengan ubin yang najis. Jika hal tersebut dilakukan dan menyentuh najis tersebut, maka shalatnya tidak sah. Adapun batu bata yang dicampur dengan najis, ia tetap najis karena api tidak menyucikan. Namun, jika dicuci, maka bagian luarnya menjadi suci.” (Syarh al-Kabir ‘ala Matan al-Mughni’, 1:476)
Catatan:
Menggunakan keramik yang bercampur dengan najis untuk masjid dan digunakan untuk ibadah adalah boleh. Namun terdapat catatan, yaitu bahwa benda yang tercampur dengan najis hukumnya tetap najis. karena najis ainiyah atau wujud najisnya sudah hilang melalui proses pembakaran, sedangkan hukum keramik tersebut tetap najis. Cara untuk mensucikan najis tersebut adalah dengan dibasuh bagian luar keramiknya, sehingga akan menjadi suci bagian luarnya dan bagi orang yang sholat diatas masjid tersebut hukumnya suci. Tetapi jika keramik tersebut retak kemudian muncul najisnya sehingga bagian dalam keramik tersebut terlihat, maka bagian dalamnya tetap najis. Bagi orang yang sholat diatas keramik tersebut tidak sah.
(فصل) وَيُكْرَهُ تَطْيِيْنُ المَسْجِدِ بِطِيْنٍ نَجْسٍ وَبِنَاؤُهُ بِلِبْنَ نَجْسٍ أَوْ تَطْبِيْقُهُ بِطَوَاِبْيقَ نَجَسَةٌ فَِإنْ فَعَلَ وَبَاشَرَ النَّجَاسَةِ لَمْ تَصِحْ صَلَاتُهُ، فَأَمَّا الآجُرُّ المَعْجُوْنُ بِالنَّجَاسَةِ فَهُوَ نَجْسٌ لِأَنَّ النَّارَ لَا تَطْهُرُ لَكِنْ إِذَا غَسَلَ طَهُرَ ظَاهِرُهُ؛ لِأَنَّ النّارَ أكَلَتْ أجْزَاءَ النَّجَاسَةِ الظّاهِرَةِ، وبَقِيَ اْلأَثَرُ، فَطَهُرَ بِالغَسْلِ، كَالْأَرْضِ النَّجَسَةِ، ويَبْقَى اْلبَاطِنُ نَجِسًا؛ لِأَنَّ اْلمَاءَ لا يَصِلُ إِلَيْهِ، فَإِنْ صَلَّى عَلَيْهِ بَعْدَ اْلغَسْلِ، فَهِيَ كَالمَسْأَلَةِ قَبْلَهَا. وَكَذَلِكَ اْلحُكْمُ فِي اْلبِسَاطِ الَّذِى بَاطِنُهُ نَجِسٌ وَظَاهِرُهُ طَاهِرٌ. وَمَتَى انْكَسَرَ مِنَ الآجُرِّ النَّجْسِ قَطْعَةٌ، فَظهَرَ بَعْضُ بَاطِنِه، فَهُوَ نَجِسٌ لَا تَصِحُّ الصَّلَاةُ عَلَيْهِ. (الشرح الكبير على المغنى: ج ١، ص ٤٧٦)
"(Fasal) Makruh hukumnya melumuri masjid dengan tanah yang najis atau membangunnya dengan bata yang najis, atau melapisinya dengan ubin yang najis. Jika hal tersebut dilakukan dan menyentuh najis tersebut, maka shalatnya tidak sah. Adapun batu bata yang dicampur dengan najis, ia tetap najis karena api tidak menyucikan. Namun, jika dicuci, maka bagian luarnya menjadi suci, Karena api telah memusnahkan bagian-bagian dari najis yang tampak, dan yang tersisa adalah bekasnya, maka ia suci dengan mencucinya, seperti halnya tanah yang najis. Namun, bagian dalamnya tetap najis karena air tidak dapat menjangkaunya. Jika seseorang shalat di atasnya setelah dicuci, maka hukumnya tetap seperti masalah sebelumnya. Begitu pula hukum pada permadani yang bagian dalamnya najis sementara bagian luarnya suci. Dan apabila pecahan dari ubin yang najis muncul, sehingga sebagian dari bagian dalamnya terlihat, maka bagian dalamnya tetap najis dan tidak sah shalat di atasnya.” (Syarh al-Kabir ‘ala Matan al-Mughni, 1:476)
Penulis : Widad Fatin Hanifah, S.Ag
Perumus : Ust Teguh Pradana S.P
Mushohih : Gus Muhammad Agung Shobirin M.Ag
Daftar Pustaka
Abdurrahman, Syamsuddin Abu Al-Faraj bin Abi Umar Muhammad bin Ahmad bin Qudamah Al-Maqdisi (w. 682 H), al-Syarh al-Kabir 'ala Matan al-Mughni, Dar Al-Kitab, Beirut, 1403 H / 1983 M, Sebanyak 12 jilid
===================================================================
Posting Komentar untuk "HUKUM MENGGUNAKAN KERAMIK YANG BERBAHAN CAMPURAN TULANG DAN KOTORAN HEWAN"