قاعدة (٣٩) (1)
إِتْيَانُ الْمُتَأَخِّرِ بِمَا لَمْ يَسْبِقْ إِلَيْهِ لَا يَلْزَمُ مِنْهُ الْقَدْحُ فِي الْمُتَقَدِّمِ
"Kehadiran yang datangnya belakangan dengan sesuatu yang baru, yang belum pernah dilakukan sebelumnya, tidak diharuskan untuk mencela yang terdahulu."
الْعُلَمَاءُ مُصَدِّقُونَ فِيمَا يُنْقَلُونَ، لِأَنَّهُ [مَوْكُولٌ لِأَمَانَتِهِمْ مَبْحُوثٌ مَعَهُمْ فِيمَا يَقُولُونَ](2)، لِأَنَّهُ نَتِيجَةُ عُقُولِهِمْ وَالْعِصْمَةُ غَيْرُ ثَابِتَةٍ لَهُمْ. فَلَزِمَ التَّبَصُّرُ [وَالنَّظَرُ](3) وَطَلَبًاً لِلْحَقِّ وَالتَّحْقِيقِ، لَا اعْتِرَاضًا عَلَى الْقَائِلِ وَالنَّاقِلِ. ثُمَّ إِنْ أَتَى الْمُتَأَخِّرُ بِمَا لَمْ يَسْبِقْ إِلَيْهِ، فَهُوَ عَلَى رُتْبَتِهِ، وَلَا يَلْزَمُهُ(4) الْقَدْحُ فِي الْمُتَقَدِّمِ، وَلَا إِسَاءَةُ الْأَدَبِ مَعَهُ، لِأَنَّ مَا ثَبَتَ مِنْ عَدَالَةِ الْمُتَقَدِّمِ، قَاضٍ بِرُجُوعِهِ لِلْحَقِّ عِنْدَ بَيَانِهِ لَوْ سَمِعَهُ فَهُوَ مَلْزُومٌ بِهِ، إِنْ أَدَّى لِنَقْضٍ قَوْلُهُ مَعَ حَقِيقَتِهِ لَا أَرْجَحِيَّتِهِ، إِذْ الِاحْتِمَالُ مُثْبِتٌ(5) لَهُ، وَمِنْ ثَمَّ خَالَفَ أَئِمَّةَ مُتَأَخِّرِي الْأُمَّةِ (6) أَوَّلُهَا، وَلَمْ يَكُنْ قَدَحًاً . فِي وَاحِدٍ مِنْهُ مَا(7)، فَافْهَمْ
(1) أي قاعدة ٤٠ عند تحقيق الأستاذ الشيخ محمد إدريس طيب.
(2) ما بين المعقوفتين سقط من : ب.
(3) ما بين المعقوفتين سقط من : أ. الزيادة من : ب.
(4) ب : ولا يلزم .
(5) أ: ثبت . التصويب من : ب .
(6) ب الأئمة.
(7) ب الأئمة.
"Para ulama itu dapat dipercaya dalam apa yang mereka sampaikan, karena itu (pendapat mereka berlandaskan pada amanat yang telah dibahas secara mendalam oleh mereka). Oleh karenanya, pendapat mereka merupakan hasil dari pemikiran mereka, dan mereka tidak memiliki jaminan dari kesalahan (misalnya, mereka tidak maksum). Maka dalam hal ini, diperlukan kehati-hatian, pemikiran yang mendalam, dan pencarian kebenaran serta verifikasi, bukan sekadar mencela pembicara atau penyampai pendapat.
Kemudian, jika yang datang belakangan menyampaikan sesuatu yang belum disampaikan oleh yang terdahulu, maka itu adalah hak mereka, dan tidaklah wajib untuk mencela atau merendahkan yang lebih dahulu. Tidak boleh ada pelanggaran terhadap adab terhadap mereka, karena apa yang telah terbukti dari keadilan orang yang terdahulu, menjadi dasar untuk penerimaan kembali kebenaran jika telah dijelaskan, apabila dia mendengarnya dan menerimanya. Jika hal itu mengarah pada pembatalan pernyataan mereka yang lebih dahulu, itu bukan karena ketidakbenaran mereka, melainkan karena adanya kemungkinan yang mengarah pada penolakan. Oleh karena itu, ketika para ulama atau imam-imam yang datang belakangan menyelisihi pandangan para imam terdahulu, itu bukan berarti mereka mencela atau merendahkan yang terdahulu. Pahami hal ini dengan baik."
شرح قواعد التصوف للشيخ محمد إدريس طيب
يستمر الشيخ أحمد زروق في هذه القاعدة في توضيح علاقة المتأخرين بالمتقديمين من علماء الأمة؛ فالعلم مشاع بينهم جميعا، ولا فضل للمتقدم على المتأخر منهم إلا بحق السبق؛ فكل ما نقل عن المتقدمين قد يكون معرضا للخطإ والنقد؛ لأن الجميع غير معصوم من الخطإ؛ ولذلك "لزم التبصر طلبا للحق والتحقيق لا اعتراضا على القائل والناقل''؛ وإن كان الاعتراض يقع على القول لا القائل، وعلى المنقول لا المنقول عنه؛ وهي فكرة أشار إليها في غير ما موضع وقاعدة؛ حيث سجل الشيخ أحمد زروق وقوع النقاد في الخطإ عند تعرضهم للنقد؛ حيث لا يقتصرون في نقدهم على القول، ويتعدوه إلى الطعن في صاحب القول المنتقد (انظر مثلا القاعدة ٨٨)(8).
(8)اي قاعدة ٨٧ عند تحقيق عبد المجيد خيالي
syekh Ahmad Zarruq dalam kaedah ini menjelaskan hubungan antara para ulama yang datang belakangan dengan mereka yang terdahulu dalam umat; ilmu adalah milik bersama di antara mereka semua, dan tidak ada keutamaan bagi yang terdahulu atas yang belakangan kecuali karena hak prioritas waktu. Apapun yang diriwayatkan dari yang terdahulu bisa jadi terpapar kesalahan dan kritik; karena semuanya tidak terlepas dari kemungkinan salah. Oleh karenanya, ‘diperlukan kehati-hatian dalam mencari kebenaran dan pembuktian, bukan untuk menyalahkan pengucap atau perawi.’ Ketika kritik itu terjadi, hendaknya diarahkan pada perkataan, bukan pada orangnya, dan pada riwayat, bukan pada perawinya. Ini adalah pemikiran yang disinggung oleh syekh Ahmad Zarruq di lebih dari satu tempat dan (dalam berbagai) kaedah, dimana beliau mencatat bahwa para pengkritik kadang melakukan kesalahan saat mengkritik dengan tidak hanya mengkritik perkataannya tetapi juga menyerang pribadi pengucapnya (lihat, misalnya, kaedah ke-88)." إن التزام الناقد القيم الأخلاقية وحدود النقد الموضوعي في نقده أمر مطلوب؛ فإن "أتى المتأخر بما لم يسبق إليه؛ فهو على رتبته لا يلزمه القدح في المتقدم ولا إساءة الأدب معه" كما فعل ابن عجيبة مع الشيخ أحمد زروق عندما انتقده في شرحه لنونية الششتري، وشرحه للمباحث الأصلية دون مراعاة لحرمة ومكانة شيخ شيوخه؛ مع أنه اتكأ واعتمد عليه في شرحيه، وكذا شرحه للحكم؛ وبالمقارنة البسيطة يتبين ذلك.
(8)اي قاعدة ٨٧ عند تحقيق عبد المجيد خيالي
هذا وإن حق الاعتراض لا يكون إلا في المسائل القطعية التي لا تحتمل التأويل أو الترجيح؛ لأن الشك يفسر دائما لصالح المعترض عليه: "لأن ما ثبت من عدالة المتقدم قاض برجوعه للحق عند بيانه لو سمعه فهو ملزوم به ...''.
Kewajiban seorang kritikus untuk tetap berpegang pada nilai-nilai etika dan batasan objektivitas dalam kritik merupakan suatu hal yang perlu diperhatikan. Jika seorang pengkritik belakangan mengemukakan hal baru yang belum pernah dibahas sebelumnya, maka hal tersebut hanya mencerminkan tingkatannya sendiri. Dia tidak wajib mencela orang yang datang sebelum dirinya atau bersikap tidak sopan terhadapnya, sebagaimana yang dilakukan oleh Ibnu ‘Ajibah terhadap Syekh Ahmad Zarruq ketika mengkritiknya dalam syarahnya atas Nuniyah al-Shushtari dan juga dalam syarahnya atas al-Mabahits al-Ashliyah, tanpa memperhatikan kehormatan dan kedudukan guru-guru seniornya, meskipun ia bersandar dan banyak merujuk kepada Syekh Ahmad Zarruq dalam kedua syarah tersebut, serta dalam syarahnya atas al-Hikam. Perbandingan sederhana akan memperlihatkan hal ini dengan jelas.
Hak untuk mengajukan keberatan hanya ada pada persoalan-persoalan yang bersifat qath’i (pasti) dan tidak menerima takwil atau tarjih (pemilihan pendapat). Hal ini karena keraguan harus selalu diinterpretasikan demi kebaikan pihak yang dikritik: "Sebab apa yang terbukti dari keadilan para pendahulu mengharuskan mereka untuk kembali kepada kebenaran jika dipaparkan kepada mereka. Seandainya mereka mendengarnya, maka mereka akan mengikutinya..."
ثم إن النقد - قبولا وردا - ينبغي أن يكون في الأمور البديهية التي لا يجوز الاختلاف فيها؛ أما ما يحتمل فيه وجوه عدة فلا يجوز الاعتراض عليه؛ وهناك الكثير من المسائل والقضايا التي تحتمل أكثر من تفسير وتعليل؛ لذا فهي تحتمل أكثر من وجه ورأي.
بهذه النظرة الموضوعية القائمة على الاستدلال العقلي يعترف الشيخ أحمد زروق بحق الاختلاف بين العلماء - الرأي والرأي الآخر المخالف - حيث: ''خالف أئمة متأخري الأمة أولها، ولم يكن قادحا في واحد منهما"، وهو ما يدل على إنصافه وسعة مداركه كعالم منفتح؛ خلافا لمن جمد على رأيه، وخالف الرأي الآخر مهما كان صائبا أو راجحا.
Selain itu, kritik baik - diterima maupun ditolak - seharusnya hanya dilakukan dalam hal-hal yang bersifat aksiomatik yang tidak boleh ada perbedaan di dalamnya. Adapun perkara yang dapat memiliki banyak sisi atau sudut pandang, maka tidak seharusnya dijadikan objek keberatan. Banyak masalah dan persoalan yang memiliki lebih dari satu penafsiran dan penjelasan, sehingga memungkinkan adanya berbagai pandangan dan pendapat.
Dengan sudut pandang objektif yang didasarkan pada penalaran logis ini, Syekh Ahmad Zarruq mengakui adanya hak perbedaan pendapat di antara para ulama - antara satu pendapat dengan pendapat lain yang berbeda - di mana: "Para imam dari generasi akhir umat ini berbeda dengan yang awalnya, namun hal tersebut tidak mencela atau merendahkan salah satunya". Ini menunjukkan sikap adil dan keluasan pemahaman beliau sebagai seorang ulama yang terbuka, berbeda dengan mereka yang bersikukuh pada pendapatnya sendiri dan menolak pendapat lain, betapapun benarnya atau lebih unggulnya pendapat tersebut.
عموما فإن العلماء يصدقون فيما نقلوا؛ لأنهم موكولون لأمانتهم المشروطة فيهم. خصوصا إذا نسبوا منقولهم إلى معادنه ومصادره، وكانت معتمدة عند العلماء، مثل ما ينقل عن أصحاب المذاهب الفقهية. أما أقوالهم - سواء كانت ترجيحا أو فهما - فهي اجتهاد؛ وهم في ذلك معرضون للصواب والخطأ. إذ لا عصمة لهم؛ لذا تعين التبصر في أقوالهم، ولا يعتبر ذلك اعتراضا عليهم.
Baca Juga- Kaidah 35: Menilai Cabang Berdasarkan Asal dan Kaidahnya
- Kaidah 34: Orang yang Berbicara tentang suatu Cabang Ilmu Harus Menghubungkan Cabang-cabangnya dengan Pokok-pokoknya, dan Menyambungkan Pemahaman dengan Sumber-sumbernya
- Kaidah 6: Istilah itu untuk Sesuatu dengan Apa yang Menunjukkan Maknanya dan Menyampaikan Hakikatnya
قال الشيخ أحمد زروق:
"يجب تصديق العلماء فيما نقلوه؛ لكن بشرط أن يظهر منهم الإنصاف للخلف، والنصيحة للخلق، ولا يجوز أخذ العلم عن مجازف ولا متهم في دينه ببدعة أو كذب لغير مصلحة؛ ومن كان علمه أن طلبه العلم إنما هو للدنيا تجنب الأخذ عنه إلا عند الضرورة، ولا يؤخذ من قوله إلا ما ظهر معناه، ولا شوب له بدنياه.
Secara umum, para ulama dapat dipercaya dalam apa yang mereka sampaikan karena mereka memiliki amanah yang harus dijaga. Terutama jika mereka menyandarkan apa yang mereka sampaikan pada sumber-sumber aslinya yang diakui oleh para ulama, seperti halnya pernyataan yang dinukil dari imam-imam mazhab fiqih. Namun, pendapat mereka - baik yang berupa pilihan hukum (tarjih) atau pemahaman - merupakan hasil ijtihad yang mungkin benar atau salah. Karena mereka tidak ma'shum (terjaga dari kesalahan), maka penting untuk menelaah pendapat mereka dengan cermat, tanpa dianggap sebagai keberatan atau kritik terhadap mereka.
Syekh Ahmad Zarruq mengatakan: "Wajib mempercayai ulama dalam apa yang mereka nukilkan (kutip), namun dengan syarat bahwa mereka menunjukkan sikap adil terhadap generasi setelahnya dan memberi nasihat kepada umat. Tidak diperbolehkan mengambil ilmu dari orang yang sembrono atau dicurigai agamanya karena bid'ah atau kebohongan yang tidak membawa manfaat. Orang yang menuntut ilmu hanya demi dunia harus dihindari kecuali dalam keadaan darurat, dan dari perkataannya hanya diambil yang jelas maknanya dan tidak tercampur dengan kepentingan dunianya."
وأصول العلوم ثلاثة:
الحديث، ولا يؤخذ إلا عن ثقة مأمون ضابط حافظ.
والفقه، ولا يؤخذ إلا عن نزيه فصيح عالم بالإشكالات وحلها.
والتصوف، ولا يؤخذ إلا عن ورع متبع أو تقي عالم بالحق.
وشروط الإقراء ثلاثة:
تصحيح الناقص، وبيان المشكل، وتصحيح المتن؛ فما زاد على ذلك فضرره
أكثر من نفعه؛ ولا يجوز تعلم شيء قبل الحالة الراهنة. وعلم بلا عمل وسيلة بلا
غاية وعمل بلا علم جناية "(9).
وقال أيضا: "وأما التصديق للعلماء فواجب فيما نقلوه لا فيما قالوا. إلا عند إفهام
- Kaidah 35: Menilai Cabang Berdasarkan Asal dan Kaidahnya
- Kaidah 34: Orang yang Berbicara tentang suatu Cabang Ilmu Harus Menghubungkan Cabang-cabangnya dengan Pokok-pokoknya, dan Menyambungkan Pemahaman dengan Sumber-sumbernya
- Kaidah 6: Istilah itu untuk Sesuatu dengan Apa yang Menunjukkan Maknanya dan Menyampaikan Hakikatnya
الحديث، ولا يؤخذ إلا عن ثقة مأمون ضابط حافظ.
والفقه، ولا يؤخذ إلا عن نزيه فصيح عالم بالإشكالات وحلها.
والتصوف، ولا يؤخذ إلا عن ورع متبع أو تقي عالم بالحق.
دليله والثقة بدينه"(10)
(9) رسالته مزيل اللبس عن أسرار القواعد الخمس.
(10) النصيحة الكافية.
Dasar ilmu ada tiga:
1. Ilmu Hadis: hanya diambil dari orang yang dapat dipercaya, amanah, dan memiliki ketelitian serta hafalan yang kuat.
2. Ilmu fiqih: hanya diambil dari seseorang yang bersih akhlaknya, fasih dalam berbicara, serta paham terhadap permasalahan dan cara menyelesaikannya.
3. Ilmu Tasawuf: hanya diambil dari orang yang wara’ (berhati-hati dalam agama) dan mengikuti sunnah, atau seorang yang takwa dan berpengetahuan tentang kebenaran.
Syarat-syarat dalam pengajaran ilmu ada tiga: memperbaiki kekurangan, menjelaskan masalah yang sulit, dan meluruskan isi. Apapun yang melebihi itu justru lebih banyak mudaratnya daripada manfaatnya, dan tidak boleh belajar sesuatu yang tidak relevan dengan keadaan saat ini.
Ilmu tanpa amal adalah sarana tanpa tujuan, sementara amal tanpa ilmu adalah kejahatan.
Syekh Zarruq juga berkata: "Kepercayaan kepada ulama wajib dalam hal yang mereka nukilkan, bukan pada setiap pendapat yang mereka sampaikan, kecuali bila disertai pemahaman dalilnya dan keyakinan terhadap keagamaan mereka."
فإذا أتى العالم المتأخر بقول أو عمل أو اجتهاد يرجح ما ذهب إليه المتقدم أخذ بالمتأخر دون الطعن في المتقدم؛ لأن قول المتأخر إذا كان راجعا لدليل عقلي أو نقلي عمل به؛ وعلى هذا درج أهل العلم، دون الطعن في المتقدم؛ لأن متأخرى الفقهاء من السلف خالفوا المتقدمين في أحكام بعض الفروع دون أن يكون ذلك قدحا في أمانة أو علم المتقدمين.
ويعتمد في تسليم الدليل وترجيحه حجية الدليل وما يفهم منه، مع الثقة في صاحبه؛ لأن الفهم قد يكون منافيا للواقع، كما أن الثقة في دين صاحب القول لا يمنعه من الوقوع في الخطأ.
Jika seorang ulama yang datang belakangan mengemukakan pandangan, tindakan, atau ijtihad yang memperkuat pendapat yang dianut oleh ulama terdahulu, maka diambil pendapat ulama belakangan tersebut tanpa mencela ulama terdahulu. Hal ini disebabkan karena pendapat ulama belakangan, apabila didasari oleh dalil akal atau dalil naqli, maka dapat diamalkan. Inilah yang menjadi kebiasaan di kalangan ahli ilmu tanpa mencela ulama terdahulu. Sebab, para fuqaha’ (ahli fiqih) dari kalangan salaf yang datang belakangan telah menyelisihi ulama sebelumnya dalam beberapa hukum cabang (furu’) tanpa dianggap mencederai amanah atau ilmu ulama terdahulu.
Diterimanya dalil dan penguatannya didasarkan pada kekuatan dalil serta pemahaman yang diperoleh darinya, dengan tetap mengedepankan kepercayaan kepada orang yang mengemukakan dalil tersebut. Ini karena pemahaman bisa saja berbeda dengan kenyataan, sebagaimana kepercayaan terhadap agama orang yang mengemukakan pendapat tidak menghalanginya dari kemungkinan jatuh pada kesalahan.
وينطبق ما سبق على الفقهاء، والصوفية. إذا كان كلامهم مرتبطا بالمجال العلمي المحض. حيث يعتد بأقوالهم انطلاقا من موافقتها للكتاب والسنة والإجماع وآثار الفقهاء.
أما إذا تكلم الصوفية في مجال الحال؛ فيسلم لهم ذوقهم؛ لأن مجال الحكم على الحال لا يكون إلا بالذوق؛ وهو موكول لأمانة صاحبه. بنى ذلك على قول شيخ لمريده: "يا بني برد الماء... قال: يا بني ذلك صاحب حال لا يقتدى به". كما سيأتي.
Hal yang sama berlaku untuk para ahli fiqih dan sufi. Ketika perkataan mereka berkaitan dengan bidang ilmu murni, maka ucapan mereka diterima berdasarkan kesesuaiannya dengan Al-Quran, Hadis, ijma' (kesepakatan ulama), dan pendapat para ahli fiqih.
Adapun, ketika para sufi berbicara dalam konteks "hal", maka rasa spiritual mereka dihormati, karena penilaian atas "hal" hanya bisa didasarkan pada rasa batiniah, yang dipercayakan kepada kejujuran pemiliknya. Hal ini didasarkan pada ucapan seorang syekh kepada muridnya: “Wahai anakku, air itu dingin...,” sang murid pun berkata, “Wahai anakku, itu adalah orang yang berada dalam keadaan spiritual tertentu yang tidak untuk diikuti.” Seperti akan dijelaskan nanti.
DAFTAR PUSTAKAal-Burnusiy, Abi al-‘Abbas Ahmad bin Ahmad bin Muhammad bin ‘Isa Zarrouq al-Fasi, (Wafat 899 H)., Qawaid al-Tasawuf, Dar al-Kotob al-Ilmiyah, Beirut, Lebanon., 2019 M / 1440 H., (Tahqiq: Abdulmajid Khayali, 2002)., cet. kelima.
Tayeb, Mohammed Idris, (Lahir 1369 H / 1950 M)., Syarah Qawaid al-Tasawuf, Books Publisher, Beirut, Lebanon, 2022., cet. pertama, sebanyak 2 jilid.
al-Burnusiy, Abi al-‘Abbas Ahmad bin Ahmad bin Muhammad bin ‘Isa Zarrouq al-Fasi, (Wafat 899 H)., Qawaid al-Tasawuf, Dar al-Kotob al-Ilmiyah, Beirut, Lebanon., 2019 M / 1440 H., (Tahqiq: Abdulmajid Khayali, 2002)., cet. kelima.
Tayeb, Mohammed Idris, (Lahir 1369 H / 1950 M)., Syarah Qawaid al-Tasawuf, Books Publisher, Beirut, Lebanon, 2022., cet. pertama, sebanyak 2 jilid.
Posting Komentar untuk "QOIDAH 39: "KEHADIRAN YANG DATANGNYA BELAKANGAN DENGAN SESUATU YANG BARU, YANG BELUM PERNAH DILAKUKAN SEBELUMNYA, TIDAK DIHARUSKAN UNTUK MENCELA YANG TERDAHULU.""