QOIDAH 40: "ILMU DIDASARKAN PADA PENELITIAN DAN PENGKAJIAN, SEDANGKAN KEADAAN (SPIRITUAL) DIDASARKAN PADA PENERIMAAN DAN PEMBENARAN; DAN ORANG YANG BERADA DALAM SUATU KEADAAN SPIRITUAL TIDAK DIJADIKAN SEBAGAI PANUTAN."


sumber gambar : Bing Ai

قَاعِدَةٌ (٤٠)
(1)

مَبْنَى الْعِلْمِ عَلَى الْبَحْثِ وَالتَّحْقِيقِ، وَمَبْنَى الْحَالِ عَلَى التَّسْلِيمِ وَالتَّصْدِيقِ؛ وَصَاحِبُ الْحَالِ لَا يُقْتَدَى بِهِ

"Ilmu didasarkan pada penelitian dan pengkajian, sedangkan keadaan (spiritual) didasarkan pada penerimaan dan pembenaran; dan orang yang berada dalam suatu keadaan spiritual tidak dijadikan sebagai panutan."

مَبْنَى الْعِلْمِ عَلَى الْبَحْثِ وَالتَّحْقِيقِ، وَمَبْنَى الْحَالِ عَلَى التَّسْلِيمِ وَالتَّصْدِيقِ؛ فَإِذَا تَكَلَّمَ الْعَارِفُ مِنْ حَيْثُ الْعِلْمِ  نَظَرَ فِي قَوْلِهِ بِأَصْلِهِ مِنْ الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ وَآثَارِ السَّلَفِ، لِأَنَّ الْعِلْمَ مُعْتَبَرٌ بِأَصْلِهِ. وَإِذَا تَكَلَّمَ مِنْ حَيْثُ الْحَالِ، سُلِّمَ لَهُ ذَوْقُهُ، إِذْ لَا يُوصَلُ إِلَيْهِ إِلَّا بِمِثْلِهِ، فَهُوَ مُعْتَبَرٌ بِوِجْدَانِهِ. فَالْعِلْمُ بِهِ مُسْتَنِدٌ لِأَمَانَةِ صَاحِبِهِ، ثُمَّ لَا يُقْتَدَى بِهِ، لِعَدَمِ عُمُومِ حُكْمِهِ، إِلَّا فِي حَقِّ مِثْلِهِ.

قَالَ أُسْتَاذُ لِمُرِيدِهِ : «يَا بُنَيَّ بَرِّدِ الْمَاءِ، فَإِنَّكَ إِنْ شَرِبْتَ مَاءاً بَارِداً حَمِدْتَ اللَّهَ بِكُلِّيَّةِ قَلْبِكَ، وَإِنْ شَرِبْتَهُ سَاخِناً حَمِدْتَ اللّهَ عَنْ(2) كَزَازَةِ نَفْسٍ». قَالَ : يَا سَيِّدِي وَالرَّجُلُ(3) الَّذِي وَجَدَ قُلَّتَهُ قَدْ انْبَسَطَتْ عَلَيْهَا الشَّمْسُ، فَقَالَ : أَسْتَحْيِي مِنَ اللّهِ أَنْ أَنْقُلَهَ لَحْظَةً.

قَالَ : يَا بُنَيَّ، ذَلِكَ صَاحِبُ الْحَالِ لَا يُقْتَدَى بِهِ . انْتَهَى.


(1) أي قاعدة ٤١عند تحقيق الأستاذ الشيخ محمد إدريس طيب.

(2) أ: على.

(3) ب : فالرجل .


"Ilmu dibangun atas dasar penelitian dan pengkajian, sedangkan “hal” (keadaan spiritual) dibangun atas dasar penerimaan (taslim) dan pembenaran (tashdiq). Apabila seorang arif berbicara dari sisi ilmu, maka perkataannya dirujuk kepada asalnya, yaitu dari Al-Qur'an, sunnah, dan atsar para salaf, karena ilmu dinilai berdasarkan sumbernya. Namun, apabila ia berbicara dari sisi keadaan (hal), maka rasa (dzauq) nya diterima, sebab hal itu hanya dapat dicapai melalui pengalaman serupa, dan penilaiannya berdasarkan pengalaman tersebut(4).  

Ilmu bergantung pada amanah pemiliknya, namun tetap tidak dijadikan panutan, karena hukumnya tidak bersifat umum kecuali untuk orang yang berada pada tingkat yang sama.

Seorang guru berkata kepada muridnya: 'Wahai anakku, dinginkanlah air, karena jika engkau meminumnya dalam keadaan dingin, engkau akan memuji Allah dengan sepenuh hatimu. Namun jika engkau meminumnya dalam keadaan panas, engkau akan memuji Allah dengan rasa keterpaksaan.'  

Sang murid bertanya: 'Wahai tuanku, bagaimana dengan seseorang yang menemukan airnya telah terkena sinar matahari, lalu berkata: Aku malu kepada Allah untuk memindahkannya barang sekejap saja?'  

Sang guru menjawab: 'Wahai anakku, itulah orang yang berada dalam suatu keadaan (spiritual) yang tidak dijadikan sebagai panutan.' Selesai."


(4) Imam Al-Ghazali dalam kitab Qanun Al-Ta’wil menetapkan bahwa: siapa saja yang tidak mendapatkan bagian dari jalan tasawuf melalui pengalaman batin (dzauq), maka ia tidak akan mampu memahami hakikat kenabian kecuali hanya sebatas namanya saja. Sesungguhnya, karamah para wali, dalam pengertian sebenarnya, adalah permulaan bagi tingkatan para nabi. Teks asli: 

ثم يقرر الغزالي أن من لم يرزق من طريق التصوف شيئًا بالذوق، فلا يمكنه أن يدرك من حقيقة النبوة إلاَّ الاسم، وإن كرامات الأولياء على التحقيق- هي بدايات الأنبياء 



شرح قواعد التصوف للشيخ إدريس طيب

هذه القاعدة هي تكملة للقاعدة السابقة؛ حيث إن هذه القاعدة تفصل الكلام عن الحال الذي يدور بين شطري القاعدة السابقة إذا تكلم العارف بلسان العلم نظر في كلامه - قبولا وردا - بالرجوع إلى الأصلين الكتاب والسنة. أما إذا تكلم بلسان الحال سلم له ذوقه؛ لأنه معتبر بوجدانه، كما أن الحال لا يتوصل إليه إلا بمثله. فالشيخ أحمد زروق يرى أن العارف:

  • إذا تكلم بلسان العلم الكسبي حكم على كلامه بالرجوع إلى الكتاب والسنة وآثار السلف.

  •  إذا تكلم بلسان الحال؛ فإنه يسلم له ذوقه؛ حيث لا يوصل إليه إلا بمثله؛ فهو معتبر له بوجدانه؛ وإن كان الحال أو الكشف يبقى دائما محكوما بالكتاب والسنة؛ فما وافقهما عمل به، وما خالفهما رد على صاحبه.

     ومدلول هذه القاعدة لها ارتباط بالقاعدة ٥٧(5) التي ستأتي فيما بعد.


 (5) اي قاعدة ٥٦ عند تحقيق عبد المجيد خيالي


Kaedah ini merupakan pelengkap dari kaedah sebelumnya. Kaedah ini menjelaskan pembicaraan tentang “hal” yang terletak di antara dua sisi kaedah sebelumnya. Jika seorang “arif” berbicara dengan bahasa ilmu, maka perkataannya dinilai diterima atau ditolak dengan merujuk kepada dua sumber utama, yaitu Al-Qur'an dan sunnah. Namun, jika ia berbicara dengan bahasa hal, maka pengalaman batinnya diterima sebagaimana adanya, karena ia dinilai berdasarkan apa yang ia alami, dan “hal” itu sendiri hanya dapat dicapai melalui pengalaman serupa.  

Syekh Ahmad Zarruq berpendapat bahwa seorang arif:  

  • Jika berbicara dengan bahasa ilmu hasil usaha “Ilm al-Kasbi”, maka perkataannya harus diukur dengan merujuk kepada Al-Qur'an, sunnah, dan atsar para salaf.  

  • Jika berbicara dengan bahasa “hal”, maka pengalaman batinnya diterima sebagaimana adanya, karena “hal” itu dinilai berdasarkan apa yang ia alami. Meski demikian, “hal” atau “kasyf” (penyingkapan batin) tetap selalu diatur oleh Al-Qur'an dan sunnah. Apa yang sesuai dengan keduanya diamalkan, sedangkan apa yang bertentangan ditolak dari pelakunya.  

Makna dari kaedah ini memiliki keterkaitan dengan kaedah ke-57 yang akan dijelaskan kemudian.

    وعليه فمن ادعى علما نظريا أو خبريا صدق إذا ثبت للتقييم والاختبار، وإلا كذب؛ كالعلم مثلا بأن النار محرقة؛ إذا ثبت إحراقها فهو عين اليقين، أما وضعك يدك وسط النار فتحترق؛ فهو حق اليقين؛ أما العلم الذوقي أي علم الأسرار ونتائج المعاملات؛ فعلمه مقصور على من ذاق التجربة الصوفية؛ فيصدق الصوفي في دعواه بشواهد حاله.

     ويستنتج من القاعدة:

  • أن العارف إذا تكلم في مجال العلم؛ فإنه ينظر في صحة كلامه بالرجوع إلى أصل العلم من كتاب أو سنة، وأقوال العلماء وأصحاب المذاهب الفقهية؛ لأن العلم معتبر بأصله.

     -  أما إذا تكلم العارف انطلاقا من حاله؛ فإنه يسلم له ذوقه؛ لأنه لا يوصل

للحكم له أو عليه إلا بذوق مثله.


Oleh karena itu, barang siapa mengklaim memiliki ilmu teoritis atau berita (khabar), maka ia dianggap benar jika klaimnya dapat diuji dan diverifikasi, jika tidak, maka ia dianggap berdusta. Contohnya adalah ilmu bahwa api membakar; ketika terbukti bahwa api membakar, maka itu disebut “Ain al-Yaqin” (pengetahuan berdasarkan pengamatan). Namun, jika seseorang meletakkan tangannya di dalam api hingga terbakar, maka itu disebut “Haqq al-Yaqin” (pengetahuan berdasarkan pengalaman langsung).  

Adapun ilmu yang bersifat “dzauqi” (berdasarkan rasa), yaitu ilmu tentang rahasia-rahasia dan hasil dari muamalah (pengamalan spiritual), ilmunya terbatas hanya pada orang yang telah merasakan pengalaman sufi. Maka seorang sufi dianggap benar dalam klaimnya berdasarkan bukti dari keadaan (hal) yang ia alami.  

Kesimpulan dari kaedah ini:

  • Jika seorang “arif” berbicara dalam bidang ilmu, maka kebenaran perkataannya diuji dengan merujuk pada sumber ilmu, yaitu Al-Qur'an, sunnah, perkataan para ulama, dan pendapat dari mazhab-mazhab fiqih. Hal ini karena ilmu dinilai berdasarkan asal-usulnya.  

  • Namun, jika seorang “arif” berbicara berdasarkan “hal”-nya, maka pengalaman batinnya diterima sebagaimana adanya, karena penilaian atasnya hanya dapat dilakukan dengan rasa (dzauq) yang serupa.

     وعليه فإن العلم معتبر بأصله؛ أما الذوق والحال فإنه معتبر بوجدانه وأمانة صاحبه؛ ورغم ذلك فإنه لا يقتدى بالذوق أو الكشف إلا إذا كان موافقا للشرع؛ لأن الله تعالى ضمن النجاة في الاستجابة للّه ورسوله، والعمل بما في الكتاب والسنة، ولم يضمنهما في الكشف؛ لذا قال الشاذلي: "إنه يرد علي الوارد؛ فلا أقبله إلا بشاهدين عدلين، وهما الكتاب والسنة"؛ فطوق الشريعة لا تزول عن رقبة عارف ولا مكاشف ما دام بدار التكليف؛ ثم إن الكشف قد يكون استدراجا ومكرا بخلاف العلم؛ فإنه أفضل ما يمتع الله به عباده وأولياءه.


Oleh karena itu, ilmu dinilai berdasarkan asal-usulnya, sedangkan “dzauq” (rasa) dan “hal” dinilai berdasarkan pengalaman batin dan amanah pemiliknya. Namun demikian, “dzauq” atau “kasyf” (penyingkapan batin) tidak dijadikan panutan kecuali jika sesuai dengan syariat. Sebab Allah Ta’ala menjamin keselamatan dengan menaati Allah dan Rasul-Nya serta mengamalkan apa yang ada dalam Al-Qur’an dan sunnah. Allah tidak memberikan jaminan dalam “kasyf”. Oleh karena itu, Imam Asy-Syadzili berkata:  

"Ketika ada pengalaman spiritual (warid) yang datang kepadaku, aku tidak menerimanya kecuali dengan dua saksi yang adil, yaitu Al-Qur’an dan sunnah."  

Lingkaran syariat tidak pernah lepas dari leher seorang “arif” atau seseorang yang mendapatkan penyingkapan (mukasyafah), selama ia masih berada di dunia taklif (dunia yang menuntut tanggung jawab). Lebih dari itu, “kasyf” bisa jadi merupakan bentuk istidraj (penyesatan bertahap) atau tipu daya, berbeda dengan ilmu yang merupakan karunia terbaik yang Allah berikan kepada hamba-hamba-Nya dan wali-wali-Nya. 

     عموما فإن اللغة – كما يستفاد من الشطر الثاني من القاعدة – قد لا تحيط بالحال الذوقي؛ فوجب تسليم الحال لصاحبه - باعتباره تجربة خاصة -؛ حيث لا يوصل إليه إلا بمثله؛ وكذلك تغليبا لحسن الظن بصاحب الحال.

     فإذا كان العلم العملي مبني على البحث كما تقرر سابقا؛ فإن الحال الذي يعتري السالك لطريق التصوف مبني على التسليم والتصديق؛ لذا ينصح الشيخ أحمد زروق في الأمور الذوقية بالتسليم لأصحابها، دون أن يلزم الناس باتباع ما توصل إليه صاحب الحال على سبيل الاقتداء أو التقليد؛ لأن حكمه خاص به، ولايتعداه لغيره إلا إذا كان صاحب حال مثله. 


Secara umum, bahasa sebagaimana dipahami dari bagian kedua kaedah ini tidak selalu mampu menggambarkan “hal dzauqi”(keadaan spiritual yang bersifat rasa). Oleh karena itu, keadaan tersebut harus diterima sebagaimana adanya oleh pemiliknya, karena ia merupakan pengalaman pribadi yang hanya bisa dipahami melalui pengalaman serupa. Hal ini juga dilakukan dengan lebih mengedepankan prasangka baik terhadap pemilik  “hal”.  

Jika ilmu praktis dibangun atas dasar penelitian, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, maka “hal” yang dialami oleh seorang penempuh jalan tasawuf dibangun atas dasar penerimaan (taslim) dan pembenaran (tashdiq). Oleh karena itu, Syekh Ahmad Zarruq menganjurkan agar dalam perkara yang bersifat dzauqi, seseorang menerima pengalaman spiritual para pemiliknya tanpa mewajibkan orang lain untuk mengikuti apa yang telah dicapai oleh pemilik “hal” tersebut sebagai bentuk panutan atau taqlid. Hal ini karena hukum yang terkait dengan “hal” yang bersifat khusus dan tidak berlaku untuk orang lain, kecuali kepada mereka yang berada dalam keadaan yang serupa.

فطالب العلم أو المريد أو السالك ينبغي أن لا يتجرد من استعمال العقل والاحتكام إليه في الأمور العقلية والبحث العلمي، وفهم النصوص الشرعية فهما صحيحا، والاستدلال بها – نفيا أو إثباتا – للحكم المتوصل إليه مع الالتزام به. 

وعليه إذا تكلم الصوفي بحقائق وأحكام لا تتعارض مع نصوص الكتاب والسنة، ومقتضيات العقل السليم، والاجتهاد المتوفر فيه شروطه؛ فإنه يؤخذ بهذه الحقائق والأحكام.

Seorang penuntut ilmu, murid, atau salik (penempuh jalan spiritual) seharusnya tidak meninggalkan penggunaan akal dan berpijak padanya dalam perkara-perkara rasional, penelitian ilmiah, serta memahami teks-teks syariat dengan pemahaman yang benar. Ia juga harus menggunakan dalil dari teks-teks tersebut baik untuk menolak atau menetapkan  dalam mencapai suatu hukum serta berkomitmen untuk mematuhinya.  

Oleh karena itu, jika seorang sufi berbicara mengenai kebenaran dan hukum yang tidak bertentangan dengan teks-teks Al-Qur'an dan sunnah, serta tidak berlawanan dengan akal yang sehat maupun hasil ijtihad yang memenuhi syarat-syaratnya, maka kebenaran dan hukum tersebut dapat diterima dan diikuti.

أما إذا انطلق من حاله؛ فإنه يسلم له حاله - ما لم يكن مخالفا لمقاصد الشريعة -، ولا يقتدى به في ذلك؛ لأن الحال خاص به، والحكم الشرعي عام ينطبق على جميع أفراده؛ لذا كان ملزما لكل من يندرج تحته، والحال ليس كذلك. 

وانطلاق من هذه القاعدة؛ فإن الشيخ أحمد زروق يطلب منا الانطلاق في معتقداتنا، وأقوالنا، وأفعالنا من التحقق، ونرتكز في ذلك على أصول طلب المعرفة الصحيحة، وينهى عن التقليد غير المنضبط لقواعد العلم الصحيح؛ لذا فإن معتقداتنا وأقوالنا وأفعالنا ينبغي ألا تكون قائمة على التقليد دون معرفة أحكامها الشرعية.

Namun, jika seseorang berbicara berdasarkan “hal”-nya, maka keadaan tersebut itu bisa diterima sebagaimana adanya,-selama tidak bertentangan dengan tujuan-tujuan syariat-. Meskipun begitu, keadaan tersebut tidak dijadikan sebagai panutan karena sifatnya yang khusus untuk dirinya sendiri. Sebaliknya, hukum syariat bersifat umum dan berlaku untuk semua individu yang termasuk di dalamnya. Oleh karena itu, hukum syariat menjadi kewajiban bagi semua orang yang terikat dengannya, sedangkan “hal” tidak memiliki sifat tersebut.  

Berdasarkan kaedah ini, Syekh Ahmad Zarruq meminta kita untuk mendasarkan keyakinan, ucapan, dan tindakan kita pada proses verifikasi (tahqiq), dengan bertumpu pada prinsip-prinsip pencarian ilmu yang benar. Beliau melarang adanya taqlid (mengikuti secara buta) yang tidak sesuai dengan kaidah-kaidah ilmu yang sahih. Oleh karena itu, keyakinan, ucapan, dan tindakan kita seharusnya tidak didasarkan pada taqlid semata tanpa memahami hukum-hukum syariat yang melandasinya.

وعليه فطلب التحقق قبل التعلق واجب فيما له ارتباط بالعلوم؛ أما الأحوال فإنها تسلم لأصحابها ما لم تعارض نصا من كتاب قطعي الدلالة، أو سنة صحيحة؛ ولقد تعرض ابن عطاء الله لواقعة الأستاذ مع مريده قائلا:

"فإن قلت قد جاء عن بعضهم أنه دخل عليه؛ فوجد الشمس قد انبسطت على قلته؛ فاعلم رحمك الله أن هذا حال عبد يطلب الصدق من نفسه، ويمنعها مناها؛ ليشغلها بذلك عن الغفلة عن مولاها؛ ولو اكتمل مقامه؛ لرفع الماء عن الشمس قاصدا بذلك قيامه بحق نفسه التي أمر الله تعالى أن يقوم بها؛ لا استجلابا لحظه؛ ولكن ليقوم بحق ربه في نفسه "(6).


 (6) التنوير في إسقاط التدبير.


Oleh karena itu, dalam urusan yang berkaitan dengan ilmu, mencari kepastian (tahqiq) sebelum berpegang (ta’alluq) adalah suatu kewajiban. Adapun “ahwal”, ia diterima sebagaimana adanya dari pemiliknya, selama tidak bertentangan dengan teks Al-Qur’an yang memiliki dalil qath’i (jelas dan pasti) atau sunnah yang sahih.  

Ibn Atha'illah membahas suatu peristiwa yang terjadi antara seorang guru dan muridnya dengan berkata:  

"Jika engkau berkata bahwa telah datang riwayat dari sebagian mereka (ahli tasawuf), bahwa ketika salah seorang masuk ke tempat gurunya, ia mendapati matahari menyinari bejana airnya, maka ketahuilah semoga Allah merahmatimu bahwa ini adalah keadaan seorang hamba yang mencari kejujuran dari dirinya sendiri dan mencegah nafsunya dari keinginannya, sehingga ia sibuk dengan hal itu dan tidak lalai dari Tuhannya. Namun, seandainya maqamnya telah sempurna, ia akan mengangkat bejana itu dari matahari, dengan maksud melaksanakan hak dirinya sendiri yang telah diperintahkan Allah untuk ia jaga. Bukan untuk memenuhi kesenangan pribadinya, tetapi agar ia melaksanakan hak Tuhannya dalam dirinya."

 قال الشاذلي : قال لي شيخي (7): "يا بني برد الماء؛ فإن العبد إذا شرب الماء السخن قال: الحمد للّه بكزازة، وإذا شرب الماء البارد؛ فقال: الحمد للّه استجاب كل عضو فيه بالحمد. ثم قال: وأما الذي دخل عليه فوجد قد انبسطت الشمس على قلته؛ فقيل له: ألا ترفعها؟ فقال: حين وضعتها لم تكن شمس، وأنا أستحيي أن أمشي بحظ نفسي؛ فإنه صاحب حال لا تقتدى به".


 (7) يقصد عبد السلام بن مشيش.


Imam Asy-Syadzili berkata: Guru saya berkata kepadaku, “wahai anakku, dinginkanlah airnya.” Karena jika seorang hamba meminum air yang panas, ia akan berkata, "Alhamdulillah" dengan rasa kekesalan dalam dirinya. Namun, jika ia meminum air yang dingin, ia akan berkata, "Alhamdulillah" dengan penuh syukur, seolah-olah seluruh anggotanya merespons dengan pujian kepada Allah.

Kemudian beliau berkata: Adapun orang yang datang kepada saya dan mendapati matahari telah menyinari bejana airnya, lalu ditanya, "Apakah kamu tidak mengangkatnya?" Ia menjawab, "Ketika saya meletakkannya, itu bukan matahari. Saya malu untuk mengikuti keinginan pribadi saya." Dia adalah seorang yang berada dalam “hal”, dan tidak dijadikan panutan dalam hal tersebut."


Mutarjim       : Achmad Riefqy An-nabawy

Email          : albialbirruni@gmail.com

Contact Person : 085608925573

DAFTAR PUSTAKA


al-Burnusiy, Abi al-‘Abbas Ahmad bin Ahmad bin Muhammad bin ‘Isa Zarrouq al-Fasi, (Wafat 899 H)., Qawaid al-Tasawuf, Dar al-Kotob al-Ilmiyah, Beirut, Lebanon., 2019 M / 1440 H., (Tahqiq: Abdulmajid Khayali, 2002)., cet. kelima.

Tayeb, Mohammed Idris, (Lahir 1369 H / 1950 M)., Syarah Qawaid al-Tasawuf, Books Publisher, Beirut, Lebanon, 2022., cet. pertama, sebanyak 2 jilid.

Al-Qadi Muhammad bin Abdullah Abu Bakar bin Al-Arabi Al-Ma'afiri Al-Ishbili Al-Maliki (W. 543 H), Qanun At-Tafwīl, studi dan verifikasi oleh Muhammad As-Sulaymani (Jeddah: Dar al-Qibla untuk Kebudayaan Islam, Beirut: Lembaga Ilmu-ilmu Al-Qur'an, 1406 H - 1986 M).

Ibn al-‘Arabī, Muhammad bin Abdullah Abu Bakr. Qānūn at-Tā’wīl. Disusun dan diteliti oleh: Muhammad as-Sulaymānī. Edisi pertama. Jeddah: Dār al-Qibla li al-Thaqāfah al-Islāmīyah, 1986. Halaman 342. 680 halaman.


Posting Komentar untuk "QOIDAH 40: "ILMU DIDASARKAN PADA PENELITIAN DAN PENGKAJIAN, SEDANGKAN KEADAAN (SPIRITUAL) DIDASARKAN PADA PENERIMAAN DAN PEMBENARAN; DAN ORANG YANG BERADA DALAM SUATU KEADAAN SPIRITUAL TIDAK DIJADIKAN SEBAGAI PANUTAN.""