Qaidah 49: Sesuatu yang Muncul dalam Pembicaraan Berupa Kesamaran

Sumber Meta AI


قاعدة:٤٩
(1)

مَا يَعْرِضُ لِلْكَلَام مِنَ الإِشْكَالِ 


(1) اى قاعده ٥٢ عند تحقيق الشيخ محمد إدريس طيب


Sesuatu yang muncul dalam pembicaraan berupa kesamaran

مَا يَعْرِضُ لِلْكَلَام مِنَ الإِشْكَالِ وَنَحْوِهِ، إِنْ كَانَ مِمَّا يَخْطُرُ مَعْنَاهُ المَقْصُودُ مِنْهُ بِأَوَّلِ وَهْلَةٍ دُونَ تَأَمُّلٍ وَلَا يَخْطُرُ إِشْكَالُهُ إِلَّا بِالأَخْطَارِ ، فَهَذَا قَلَّ أَنْ يَخْلُوَ عَنْهُ كَلَامُ، وَتَتَبُّعُهُ حَرَجٌ وَإِضْرَاب لَيْسَ مِنْ مَقَاصِدِ الْأَحْكَامِ، وَإِنْ كَانَ الإِشْكَالُ يَخْطُرُ بِأَوَّلِ وَهْلَةٍ، وَلَا يَخْطُرُ خِلَافُهُ إِلَّا بالأَخْطَارِ ، جَرَى عَلَى حُكْمِ القَاعِدَةِ المُتَقَدِّمَةِ، وَإِنْ تَجَاذَبَهُ الْفَهْمُ مِنَ الجِهَتَيْنِ ، كَانَ مُتَنَازَعًا فِيهِ بِحَسَبِ التَّجَاذُبِ . وَالخُرُوجُ لِحَدِّ الكَثْرَةِ فِي الإِشْكَالِ؛ إِمَّا لِضِيقِ العِبَارَةِ عَنِ المَقْصُودِ، وَهُوَ غَالِبُ حَالِ الصُّوفِيَّةِ المُتَأَخِّرِينَ فِي كُتُبِهِمْ حَتَّى كُفَرُوا وَبُدِّعُوا  ، إِلَى غَيْرِ ذَلِكَ . وَإِمَّا لِفَسَادِ الْأَصْلِ ، وَعَلَيْهِ حَمَلَهَا المُنْكِرُ عَلَيْهِمْ ، وَكُلُّ مَعْذُورٌ فِيمَا يَبْدُو ، إِلَّا أَنَّ الْمُنْكِرَ أَعْذَرُ ، وَالمُسَلَّمَ أَسْلَمُ، وَالمُعْتَقِدَ عَلَى خَطَرٍ ، مَا لَمْ يَكُنْ عَلَى حَذَرٍ ، وَاللّهُ سبحانه أَعْلَمُ  .

Sesuatu yang muncul dalam pembicaraan berupa kesamaran dan sejenisnya, jika makna yang dimaksudkan darinya langsung terlintas pada pandangan pertama tanpa perlu pemikiran mendalam dan kesamaran tidak muncul kecuali dengan ikhthar, maka hal ini jarang sekali tidak ada dalam kalam. Mencermati hal ini adalah kesulitan dan kebingungan yang bukan termasuk tujuan dari hukum-hukum. Jika kesamaran itu terlintas pada pandangan pertama, dan yang  selainnya tidak terlintas kecuali dengan al-akhthār (lintasan-lintasan pikiran), maka ia mengikuti ketentuan kaidah yang disebutkan sebelumnya.

jika ada dua pemahaman yang saling menarik dari dua sisi, maka itu menjadi sesuatu yang diperselisihkan tergantung pada kadar tarik-menarik tersebut. Dan munculnya banyak kesamaran bisa jadi karena ungkapan yang terlalu sempit untuk menggambarkan maksud, dan ini sering terjadi pada tulisan para sufi di masa belakangan, hingga mereka dianggap kafir atau ahli bid'ah, dan seterusnya. bisa juga karena kerusakan dalam pokok (dasar pemikiran yang digunakan), yang membuat para penentangnya mengkritik hal tersebut.Setiap orang bisa dimaklumi dalam apa yang tampak (dari pandangannya), kecuali bahwa penentang lebih bisa dimaafkan, yang menerima lebih selamat, dan yang meyakini berada dalam bahaya, kecuali jika ia berhati-hati. Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala Maha Mengetahui.


شرح عند الأستاذ الشيخ محمد إدريس طيب:

Penjelasan syekh Muhammad Idris Tayyib.

هذه القاعدة تتمة للقاعدة السابقة.

قال الشيخ أحمد زروق في شرحه لغوامض حزب البر - المعروف بالحزب الكبير - للشاذلي:

Kaidah ini adalah penyempurna untuk kaidah yang sebelumnya. Syekh Ahmad Zarruq dalam syarahnya (penjelasannya) tentang misteri-misteri kitab Hizb al-Barr’—yang dikenal sebagai ‘Hizb al-Kabir’ karya al-Syadzili Berkata:

  "اعلم أن الكلام كله من دعاء أو غيره؛ إما أن يكون موافقا للشريعة، أو للحقيقة أو لهما؛ فإن كان خارجا عنهما بحيث لا يوافق أصلا ولا فرعا؛ فهو مردود ممن كان بروزه في أي مقام كان؛ وإن كان موافقا لهما بكل وجه فقبوله لازم ورده تعسف وظلم…

Ketahuilah bahwa seluruh ucapan, baik itu doa atau yang lainnya; adakalanya sesuai dengan syariat, atau dengan hakikat, atau (sesuai dengan) keduanya; jika (ucapan) itu keluar dari keduanya sehingga tidak sesuai baik dari segi asal maupun cabang; maka (ucapan) itu ditolak “siapa pun yang mengucapkannya dan dalam keadaan apa pun; dan jika (ucapan) itu sesuai dengan keduanya maka penerimaannya wajib dan penolakannya adalah tindakan semena-mena dan zalim".


وإن كان مخالفا لأحدهما بوجه يقبل التأويل تعين رده للآخر بتأويله القابل إن ثبتت مزية صاحبه؛ بخلاف ما لا يقبل التأويل تعين رده ولا مزية لصاحبه.


Dan jika (ucapan)  itu bertentangan dengan salah satu dari keduanya (syariat atau hakikat) untuk yang lain dengan penafsiran yang diterima jika keutamaan pemiliknya terbukti; berbeda halnya dengan yang tidak dapat ditafsirkan, maka penolakannya menjadi tegas dan tidak ada keutamaan bagi pemiliknya.


 والمزية المعتبرة في ذلك هي العلم النافع، والعمل الصالح، والحال الصحيح". فقد يستفاد من عبارات الصوفية معنيين: أحدهما لغوي يستفاد من ظاهر الألفاظ، والآخر باطني وهو ما يستفاد من الإشارات ودلالات الألفاظ على معاني ذوقية، وغالب العقول يعرف الأمور بالحدود اللفظية المتعارف عليها، أما المعاني الصوفية فهي عسيرة المنال؛ لذا يقول الإمام الغزالي في المنقذ من الضلال: "إن الصوفية في ترقيهم الروحي يقعون تحت حرج اللفظ الذي لا يفي بوصف ذرة من أحوالهم؛ فهم سائرون من مشاهدة الصور والأمثال إلى درجات يضيق عنها نطاق النطق؛ فلا يحاول معبر أن يعبر عنها إلا اشتمل لفظه على خطأ صريح لا يمكنه الاحتراز عنه". 


keistimewaan yang diperhitungkan dalam hal ini adalah ilmu yang bermanfaat, amal yang saleh, dan hal(keadaan spiritual) yang benar. Terkadang dari ucapan-ucapan kaum sufi bisa diambil dua makna: salah satunya adalah makna bahasa yang dapat diambil dari dhahirnya dan yang lainnya adalah makna batin yang dapat diambil dari isyarat dan petunjuk kata-kata tentang makna-makna yang bersifat dzauq. umumnya, akal mengetahui hal-hal dengan batasan kata-kata yang dikenal; sedangkan makna-makna sufi sulit untuk dicapai; oleh karena itu, Imam Al-Ghazali dalam kitab al-Munqidh min al-Dhalal mengatakan: "Bahwa para sufi dalam kemajuan spiritual mereka terjebak dalam kesulitan kata-kata yang tidak memadai untuk mendeskripsikan sebutir pun dari keadaan spiritual mereka; mereka berjalan dari penglihatan bentuk dan perumpamaan menuju tingkatan-tingkatan yang tidak dapat dijangkau oleh ucapan. Maka tidak ada yang mencoba menyampaikannya kecuali kata-katanya mengandung kesalahan yang jelas yang tidak dapat dihindari.


وانطلاقا مما سبق فإن الصوفي إذا عبر عن منزلة القرب؛ فإنه يخطئ التعبير "فتنخيل طائفة الحلول، وطائفة الاتحاد، وطائفة الوصول؛ وكل ذلك خطأ".

  ذلك أن العبارة قطعا دون الإشارة؛ وبذلك تضيق العبارة عن الإفصاح عما يشير الصوفي إليه، ويريد التعبير عنه، ومرد خطأ الصوفية في ذلك إلى: 

"ضيق العبارة عن المقصود، وهو غالب حال الصوفية المتأخرين في كتبهم حتى كفروا ويدعوا".

Berdasarkan apa yang telah disebutkan, maka jika seorang sufi mencoba untuk mengungkapkan kedekatan (spiritual) dengan Allah, maka ia sering kali keliru dalam ungkapannya, sehingga ada kelompok yang memahami hal itu sebagai paham hulul (penyatuan Tuhan dengan makhluk), kelompok lain sebagai ittihad (kesatuan dengan Tuhan), dan kelompok lain sebagai wushul (pencapaian Tuhan secara langsung); dan semuanya itu adalah salah."

Hal ini karena ungkapan secara pasti itu bukan mencakup isyarat (yang hendak disampaikan); oleh sebab itu ucapan menjadi terbatas pada kekasihan dari apa yang diisyaratkan oleh sufi atau yang ingin ia sampaikan.. Penyebab kesalahan sufi dalam hal ini adalah: terbatasnya bahasa dalam menyampaikan maksud,’ yang merupakan keadaan umum bagi kebanyakan sufi belakangan dalam tulisan-tulisan mereka hingga menyebabkan mereka dianggap kafir atau sesat.

ما ينكر على القوم، وما يستحقه المنكر من تسليم أو لوم:

قال الشيخ أحمد زروق:

اعلم أن جملة ما ينكر على هذه الطائفة(2) يرجع إلى ثلاثة أشياء:

 أولها: ما وقع لهم من العبارات في بعض العقائد الدينية مما يوهم الحلول والاتحاد الذي لا يقوله ضعفاء الصبيان؛ فكيف ينسب إلى أهل العلم والإيمان؛ فوجب تأويله بما تقتضيه قواعد العقائد السنية؛ إذ ليس تم غيرها؛ وإنما السير والسلوك للتحقق فيها؛ فإن لم يجد للتأويل محل تعين التسليم للحكم؛ على الكلام بأنه كفر أو غيره، ورد إلى العلم إلى الله في معتقد قائله؛ لاحتمال الأمر فيه؛ فقد سئل شيخنا رضي الله عنه أبو عبد الله القوري رحمه الله عن ابن عربي الحاتمي؛ فقال: "أعرف بكل فن من أهل كل فن". قيل له: "ما سألناك عن هذا ". قال: "اختلف فيه من الكفر إلى القطبانية". قيل: فما ترجح؟" قال: "التسليم".


(2)يقصد الطائفة الصوفية.


Apa yang diingkari atas kaum ini (kaum sufi), dan apa yang layak diterima atau dikritik terhadap hal yang diingkari

Syekh Ahmad Zarruq berkata : Ketahuilah bahwa semua yang ditolak terhadap kelompok ini kembali kepada tiga hal: 

1.apa yang terjadi pada mereka dari ungkapan-ungkapan dalam beberapa keyakinan agama yang menimbulkan kesan hulul (penyatuan Tuhan dengan makhluk) dan ittihad (kesatuan mutlak antara Tuhan dan makhluk), yang bahkan anak kecil pun tidak akan mengatakannya; lantas bagaimana disandarkan kepada orang-orang yang memiliki ilmu dan iman. maka wajib untuk menta’wilnya sesuai dengan prinsip-prinsip akidah Ahlusunnah karena tidak ada prinsip lain yang benar. Perjalanan (spiritual) dan suluk adalah untuk merealisasikan hal itu; jika tidak ditemukan ruang untuk menta’wil, maka harus menyerahkan keputusan tentang pernyataan itu, apakah itu kufur atau yang lainnya, dan dikembalikan kepada ilmu Allah dalam keyakinan penyampainya; karena ada kemungkinan dalam hal itu; maka syekh kami, semoga Allah meridhoinya Abu Abdullah al-Quri Ra ditanya tentang Ibn Arabi Al-Hatimi; maka dia berkata: 'Saya tahu setiap ilmu dari ahli setiap ilmu.' Dikatakan kepadanya: Kami tidak bertanya tentang itu.Dia berkata: 'Telah terjadi perselisihan tentang dirinya dari tuduhan kufur hingga (dianggap sebagai) wali quthub.Dikatakan: Apa yang lebih kuat?' Dia berkata:berserah diri (taslim) 

قلت: قيل لأن التكفير فخطر، وترك التكفير في محله غش للشريعة، ولا أجهل من متعصب بالباطل ومتكر لما هو به جاهل؛ لذلك قال سيدي رضي الله عنه يوما:

"والله إنه ليستحقن الإنكار، لكن ممن هو فوقه. لا ممن هو في السناديس  "

Saya berkata: Dikatakan bahwa pengkafiran adalah berbahaya, dan meninggalkan pengkafiran di tempatnya adalah pengkhianatan terhadap syariat. Tidak ada yang lebih bodoh daripada orang yang fanatik terhadap kebatilan dan menolak sesuatu yang ia tidak mengetahuinya. oleh karena itu, tuan saya sayyid Abdullah al-Quri Ra suatu hari berkata: “Demi Allah, ia memang layak untuk diingkari, tetapi hanya oleh seseorang yang lebih tinggi kedudukannya darinya, bukan oleh mereka yang masih dalam tingkatan yang rendah (senadis)”

قلت: ويجر مجراه في ذلك ابن سبعين والششتري والحرالي وابن الفارض والشوذي وابن أحلا والعفيف التلمساني والأسود الأقطع وابن ذو سكين، ومن نحا نحوهم، بأن لهم يوجد للتسليم محل ولا وجه؛ فالمنكر معذور وإن لم يدخله هوى لذلك. قال سيدي رضي الله عنه: "والجاحد لمن يوحى إليه شيء من هذا الكلام، وما يفهمه؛ فهو معذور مسلم له حاله من باب العجز والتقصير والسلامة؛ وهو مؤمن إيمان الخائفين، ومن يفهم شيئا من ذلك؛ فهو لقوة إيمان معه دائرة، ومشهده مشهد واسع، سواء كان معه نور، أو ظلمة. بحساب ما في القوالب من الودائع الموضوعة على أي نوع كانت". انتهى.

Saya berkata: Dalam hal ini,  Ibn Sab'in, al-Shushtari al-Harali, Ibn al-Farid, al-Syudzi, Ibn Ahla, al-Afif al-Tilimsani, al-Aswad al-Aqtha’, Ibn Dzu Sikin, dan siapa pun yang condong kepada mereka, karena dahulu itu mereka ada tempat untuk penyerahan dan tidak ada alasan;orang yang mengingkari mereka adalah dimaafkan, selama pengingkarannya tidak dilandasi hawa nafsu. Tuan saya sayyid Abdullah al-Quri Ra berkata: Orang yang mengingkari seseorang yang diilhamkan sesuatu dari perkataan ini, tetapi tidak memahaminya, maka ia dimaafkan dan diberi kelonggaran berdasarkan keadaannya yang lemah (karena ketidak mampuan memahami) serta demi keselamatan, dia adalah orang yang beriman dengan iman orang yang takut, barang siapa  yang memahami sesuatu dari itu. Maka,ia bersama lingkaran iman yang kuat dan pandangannya adalah pandangan yang luas, baik itu bersamanya cahaya atau kegelapan. Dengan menghitung apa yang ada dalam wadah-wadah dari simpanan yang diletakkan, apapun jenisnya.

الثاني: الأعمال وقد عد الششتري رحمه الله منها نحو تسعين أمرا في كتاب سماه: "الرسالة العلمية"، وأجاب عن جميعها بالآي والأحاديث النبوية، والقياسات الجلية، وغير الجلية. إلا أن في بعضها تساهل، وبعضها لا ينبغي أن يعول عليه للخطر فيه؛ الضعف أدلته…

2.Amalan-amalan, dan Al-Shushtari RA telah menyebutkan sekitar sembilan puluh perkara dalam sebuah kitab yang ia beri nama: 'Risalah Ilmiyah', dan ia menjawab semua perkara tersebut dengan ayat-ayat dan hadis-hadis Nabi, serta kaidah-kaidah yang jelas maupun yang tidak jelas. Namun, di antara sebagian perkara terdapat kelonggaran, dan beberapa di antaranya tidak sepatutnya dijadikan pegangan karena bahayanya; dan kelemahan hujjah-hujjahnya.


الثالث: الدعاوى وأمرها دائر بين ثلاثة أحوال:

  • أحدها: أن تكون قادحة في أصل الشريعة؛ كالطعن في الأنبياء والعلماء والصحابة المقر لهم بالفضل؛ فهذه لا يسمح بها، ولا يسلم لصاحبها؛ وهو فيها زنديق، أو فاسق، أو مجنون، أو معتوه.

3.Tuduhan-tuduhan, dan keadaannya berputar di antara tiga kondisi: 

Pertama: bahwa tuduhan tersebut merusak asas syariat; seperti mencela para nabi, ulama, dan sahabat yang diakui keutamaannya; maka ini tidak diperbolehkan, dan tidak ada keamanan bagi pelakunya, pada hal ini seseorang disebut zindiq, fasik, gila, atau tidak berakal."


  • الثانية: خرم قاعدة من القواعد الشرعية، كترك الصلاة، وأفعال الكبائر المنكرة، ولا يخلو إما أن يكون في ذلك عن ذهاب عقل؛ فيسلم لصاحبها؛ لأنه في حكم المجنون. هذا إن كانت مما لا يباح بوجه؛ فإن كانت مما لا يباح بوجه كالقتل سلم له في إقامة الحق الشرعي عليه؛ والإدمان في الكبائر مع وجود العقل فسق مطلقا.

"Kedua: Melanggar salah satu dari kaidah-kaidah syariat, seperti meninggalkan shalat dan melakukan dosa-dosa besar yang terlarang. "Dan tidak lepas kemungkinan, apakah hal itu disebabkan oleh hilangnya akal; maka pelakunya diselamatkan karena ia dihukumi sebagai orang yang gila."Hal ini terjadi pada sesuatu yang sama sekali tidak diperbolehkan seperti meninggalkan sholat,namun apabila terjadi kepada sesuatu yang sama sekali tidak diperbolehkan seperti membunuh maka diberikan kepadanya penerapan hak syariat atasnya. Sedangkan jika terus-menerus melakukan dosa besar dengan tetap berakal, maka ini dihukumi sebagai kefasikan secara mutlak."


  • الثالثة: أن تكون معها أمور دالة على الصلاح والديانة؛ وهي اتباع السنة؛ والإنكار في هذا المحل لا وجه له إلا من حيث استثقال الطباع، وإظهار الخصائص؛ وأمره في ذلك إلى الله تعالى.

 Ketiga: Jika disertai dengan hal-hal yang menunjukkan kesalehan dan ketaatan beragama, seperti mengikuti sunnah. Dalam kasus ini, pengingkaran tidak memiliki alasan kecuali karena beratnya sifat tabiat (manusiawi) atau kecenderungan untuk menonjolkan keistimewaan. Urusannya dalam hal ini dikembalikan kepada Allah SWT

"إلا أن المنكر أعذر، والمسلم أسلم، والمعتقد على خطر؛ ما لم يكن على حذر"؛ فالمعتقد أشد خطرا من المنكر، والمقصود بالمنكر هنا الذي لم يعتمد على أصل من كتاب أو سنة؛ وإلا "فلا عيب على منكر استند لأصل صحيح"؛ وذلك لأن النظر الصرف الحقيقة مخل بوجه الطريقة؛ لذا لزم التحفظ في القبول بأن لا يؤخذ إلا من الكتاب والسنة؛ فالمعتمد على أصل صحيح لا عتب عليه شيئا من الصوفية. لا المتصوفة الذين انتحلوا هذا الإسم دون أن يتصفوا بعلمهم ومعاملاتهم وأخلاقهم.

Kecuali jika seseorang yang munkar dimaafkan,orang muslim yang selamat dan orang yang berkeyakinan berada dalam bahaya, kecuali jika ia berhati-hati." Maka orang yang berkeyakinan lebih berbahaya dibandingkan orang yang mengingkari. Yang dimaksud dengan "orang yang mengingkari" di sini adalah mereka yang tidak mendasarkan pengingkarannya pada dasar dari Al-Qur'an atau Sunnah; jika tidak, "maka tidak ada celaan bagi orang yang mengingkari dengan mendasarkan pada dasar yang benar." Hal ini karena pengamatan terhadap hakikat semata dapat mengganggu aspek tasawuf. Oleh karena itu, diperlukan kehati-hatian dalam penerimaan, yaitu bahwa tidak boleh diambil kecuali dari Al-Qur'an dan Sunnah. Maka, orang yang mendasarkan pada dasar yang benar tidak dicela oleh siapa pun dari kalangan sufi. Namun, tidak demikian halnya dengan para "mutashawwif" (mereka yang mengaku-aku sebagai sufi) yang mengadopsi nama ini tanpa memiliki ilmu, perilaku, dan akhlak para sufi.



وبالجملة فكل يسلم له ولا يقتدى به غير الأخير؛ فإنه يقتدى به في غير الدعاوى؛ فإن مبنى الطريق على التسليم والتصديق، ورأس مال الفقير حسن ظنه باللّه  وعباده. إلا أن يتعين عليه حق شرعي؛ فالقائم به مأجور، والمنتصر لدين الله منصور، ومن يعتصم باللّه فقد هدي إلى صراط مستقيم.

شرح مقطعات الششتري. 

إن إردت السلامة في اعتقادك، فلا تتبع الشبه، ولا تطلب الكيفيات في أمورالآخرة.

النصيحةالكافية.

"Secara keseluruhan, semua diterima (dimaafkan) baginya dan tidak dijadikan teladan kecuali yang terakhir; karena dia dapat dijadikan teladan dalam hal-hal selain tuntutan (perselisihan hukum). Sesungguhnya dasar jalan (tasawuf) adalah penerimaan dan pembenaran, dan modal utama seorang fakir (sufi) adalah prasangka baiknya kepada Allah dan hamba-hamba-Nya. Kecuali jika ada hak syar’i yang wajib ditunaikan; maka orang yang menunaikannya mendapat pahala, dan yang membela agama Allah akan diberi pertolongan, dan barang siapa yang berpegang teguh kepada Allah, sungguh ia telah diberi petunjuk ke jalan yang lurus.
Syarh Muqatta‘at al-Syusytari
Jika engkau menginginkan keselamatan dalam keyakinanmu, maka jangan mengikuti syubhat (hal-hal yang meragukan), dan jangan mencari tahu bagaimana urusan-urusan akhirat
al-Nasihah al-Kafiyah.


الشطح عند الصوفية

إذا كانت المصطلحات الصوفية لها دلالات مشتركة بين جميع الصوفيين أصحاب الاتجاه الأخلاقي؛فإن المنتسبين منهم للمذهب العرفاني قد استعملوا بعض المصطلحات الرمزية الخارجة عن المألوف سميت بـ (الشطح)؛ وإن كان ذلك قليلا في تراث الصوفية العرفانيين، كشطحات أبي زيد البسطامي، والحلاج؛ حيث تلفظوا بكلمات خارجة عن المألوف في المصطلح الصوفي الأخلاقي، ومضادة للمعتقد الديني؛ فكان هذا الشطح زلة المحققين، وفي ذلك يقول ابن عربي في فتوحاته: "ما رأينا ولا سمعنا عن ولي ظهر منه شطح لرعونة نفس، وهو ولي عند الله، ولا بد أن يفتقر ويذل ويعود إلى أصله، ويزول عنه ذلك الزهو الذي كان يصول به؛ فذلك لسان حال الشطح".

Shath (ungkapan ganjil) dalam tasawuf:
Jika istilah-istilah sufi memiliki makna yang disepakati di antara para sufi yang berorientasi pada akhlak, maka sebagian dari mereka yang berafiliasi dengan mazhab irfaniyah (tasawuf filsafat) telah menggunakan beberapa istilah simbolis yang tidak lazim, yang disebut sebagai shath. Meskipun hal ini jarang ditemukan dalam warisan para sufi irfaniyah, seperti ungkapan-ungkapan dari Abu Yazid al-Bustami dan al-Hallaj, di mana mereka mengucapkan kata-kata yang tidak biasa dalam terminologi tasawuf akhlaki dan bertentangan dengan keyakinan agama.
Ungkapan-ungkapan (istilah) ini dianggap sebagai kesalahan para tokoh terkemuka. Tentang hal ini, Ibn Arabi berkata dalam Futuhat al-Makkiyah:
Kami tidak pernah melihat atau mendengar tentang seorang wali yang muncul darinya shath karena kesombongan jiwa, sementara ia tetap menjadi wali di sisi Allah. Pasti ia akan menjadi fakir, tunduk, dan kembali kepada asalnya, dan hilang darinya keangkuhan yang sebelumnya ia banggakan. Hal itu adalah ungkapan keadaan shath.

وعند الغزالي: "إن الشطح كلمات غير مفهومة لها ظواهر رائقة، وفيها عبارات هائلة، وليس وراءها طائل؛ حيث يحصل منها ضرر عظيم في التشويش على معتقد الناس".

 ذلك أن الذوق لا تحصره العبارات، وما حاول صوفي أن يعبر عن وجده إلا وقع في المحظورات والموهمات.

هذا وإن الشطح إما أن يكون ناتج عن سكر؛ فتكون فيه رعونة العرفانية، أو عن فناء؛ فيكون فيه تحقيق.

Menurut Imam Ghazali :Shath adalah kata-kata yang tidak dapat dipahami, memiliki penampilan yang indah, dan di dalamnya terdapat ungkapan-ungkapan yang mengejutkan, tetapi tidak ada makna yang substansial di baliknya; karena dapat menimbulkan kerugian besar berupa kebingungan pada keyakinan masyarakat
Ini karena dzauq tidak dapat dibatasi oleh ungkapan. Setiap kali seorang sufi mencoba mengungkapkan perasaan batinnya, ia pasti akan jatuh ke dalam kesalahan atau menciptakan ambiguitas yang dapat menyesatkan.
Adapun shath, itu dapat disebabkan oleh dua hal:
Jika berasal dari sakir (mabuk spiritual), maka di dalamnya terdapat sifat sembrono dari irfaniyah(tasawuf filosofis).Jika berasal dari fana (lebur dalam Tuhan), maka di dalamnya terdapat realisasi kebenaran.

مذهب الصوفية في الاعتقاد:

قال الشيخ أحمد زروق:

"مذهب الصوفية في الاعتقاد تابع لمذهب السلف في إثبات التنزيه ونفي التشبيه، من غير تعرض للتأويل، ولا ميل إلى الأباطيل؛ وإن تكلموا في شيء من التأويل في نفس المحال؛ فعلى سبيل العلم، وإبداء ما عندهم من الفهم؛ لا على وجه القطع والجزم؛ فهم يقولون في كل صفة سمعية ما قاله مالك رضي الله تعالى عنه في الاستواء؛ إذ قال: "الاستواء معلوم، والكيف غير معقول، والإيمان به واجب، والسؤال عنه بدعة". يعني من البدع الإضافية والخلافية"(3).


 (3)الإعانة


Mazhab sufi dalam akidah:

Syekh Ahmad Zarruq berkata:

Mazhab sufi dalam akidah mengikuti mazhab salaf dalam menetapkan sifat Allah dengan penegasan atas kemaha-sucian-Nya (tanzih) dan penafian keserupaan dengan makhluk (tasybih), tanpa terlibat dalam takwil (penafsiran rinci), dan tanpa kecenderungan pada kebatilan-kebatilan. Jika mereka berbicara tentang takwil dalam kasus tertentu, itu dilakukan dalam kerangka ilmu dan untuk menunjukkan pemahaman yang mereka miliki, bukan dengan keyakinan pasti atau penegasan mutlak. Mereka berkata tentang setiap sifat Allah yang didengar (dari wahyu) seperti yang dikatakan oleh Imam Malik RA tentang istiwa(bersemayam)

"Istiwa` itu diketahui, bentuknya tidak dapat dipahami, beriman kepadanya wajib, dan bertanya tentangnya adalah bid'ah. Menurut syekh Ahmad Zarruq bid'ah tersebut termasuk bid'ah idhofiyah  dan bid’ah khilafiyyah

وهو مذهب الفقهاء والصوفية من أهل السنة ليس لهم في ذلك إلا كمال التنزيه ونفي التشبيه؛ ويقولون فيها ما قال مالك في الاستواء، إذ قال: "الاستواء معلوم، والكيف مجهول، والإيمان به واجب، والسؤال عنه بدعة".

Dan ini adalah pendapat para fuqaha dan sufi dari Ahl al-Sunnah; mereka tidak memiliki pandangan lain selain menegakkan kesempurnaan pentanzihan dan menafikan penyamaan; dan mereka mengatakan tentang hal ini seperti yang dikatakan oleh Imam Malik tentang istiwa` (tinggi): 'Istiwā` itu diketahui, cara (bagaimana) nya tidak diketahui, beriman kepadanya adalah wajib, dan bertanya tentangnya adalah bid'ah.

.

فلذلك كان مذهبهم - الصوفية - في الاعتقاد تابعا لمذهب السلف من اعتقاد التنزيه ونفي التشبيه، وتفويض المتشابه، والوقوف على ما ورد كما ورد؛ ما لم يحتج إلى تقييد فيقيد بما ينفي شبهته من غير زائد؛ وما تكلموا فيه من وجوه التأويل فمن حيث إنه علم لا أنهم جازمون به؛ بل هو في الاحتمال عندهم كغيره سوى المحال فإنهم يطرحونه للقطع ببطلان إرادته.

Oleh karena itu, mazhab mereka — para sufi — dalam akidah mengikuti madzhab salaf yaitu berpegang pada keyakinan tanzih dan meniadakan tasybih Dan penolakan terhadap perbandingan dengan menyerahkan hal-hal yang samar dan berhenti pada teks sebagaimana adanya tanpa menambahkan sesuatu kecuali jika diperlukan penjelasan untuk menghilangkan kerancuan. Penjelasan tersebut diberikan tanpa tambahan.
Adapun pembicaraan mereka tentang takwil, itu hanya dilakukan dalam kerangka ilmu, bukan karena mereka meyakininya secara pasti. Sebaliknya, takwil tersebut mereka anggap sebagai salah satu kemungkinan, sebagaimana kemungkinan lainnya, kecuali sesuatu yang mustahil karena mereka menolaknya untuk memastikan batalnya maksudnya.

وقدسئل الحسن رضي الله عنه عن الله فقال: "إن سألت عن ذاته؛ فليس كمثله شيء، وإن سألت عن صفاته؛ فهو : ﴿ قُلْ هُوَ اللّٰهُ اَحَدٌۚ ۝١ اَللّٰهُ الصَّمَدُۚ۝٢ لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُوْلَدْۙ  ۝٣  وَلَمْ يَكُن لَّهُ كُفُوًا أَحَدٌ ۝٤ ﴾،[الاخلا ص]  وإن سألت عن أسمائه؛ فهو ﴿اَللهُ الَّذِيْ لَآ اِلٰهَ اِلَّا هُوَۚ عَالِمُ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِۚ هُوَ الرَّحْمٰنُ الرَّحِيْمُ۝٢٢ …﴾[الحشر:٢٢] الآيات، وإن سألحقه، وفي بعض رواياته: "والكيفية مجهولة"؛ وقد عدلنا عنها للرواية التي ذكرنا؛ لأن غير المعقول لا يمكن العلم به، والمجهول يمكن علمه، والمقصود نفي التعقل فى ذلك؛ فرواية نفيه اولى، وان كان غيرها اكثر رواية".(4)


 (4)شرح الشيخ أحمد زروق على الرسالة.


Al-Hasan Ra ditanya tentang Allah, ia berkata: 'Jika engkau bertanya tentang Dzat-Nya; maka tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya, dan jika engkau bertanya tentang sifat-sifat-Nya, maka Dia: Katakanlah (Muhammad), 'Dialah Allah, Yang Maha Esa Allah tempat meminta segala sesuatu Allah tidak beranak dan tidak pula diperanakkan Dan tidak ada sesuatu yang setara dengan Dia Dan jika engkau bertanya tentang nama-nama-Nya; maka Dia “Dialah Allah tidak ada tuhan selain dia.Yang mengetahui yang ghaib dan yang nyata,Dialah Yang Maha Pengasih,Maha Penyayang” (QS.Al Hasyr:22)
Dan jika engkau bertanya tentang hakikatnya, dan dalam beberapa riwayatnya disebutkan: 'Dan cara (keadaan)nya tidak diketahui'; kami telah mengabaikan yang ini untuk riwayat yang telah kami sebutkan, karena yang tidak dapat dipahami tidak mungkin diketahui, sedangkan yang tidak diketahui masih mungkin untuk dipahami. Tujuan dari ini adalah menolak pengertian yang rasional dalam hal tersebut; maka riwayat penolakan lebih utama, meskipun yang lainnya lebih banyak diriwayatkan.


وفي شرح الرسالة قال: "والكيف غير معقول". نفي لما يتوهم من محتملاته الحسية؛ إذ لا يعقل في حقه، وفي بعض رواياته : "والكيفية مجهولة"؛ وقد عدلنا عنها للرواية التي ذكرنا؛ لأن غير المعقول لا يمكن العلم به، والمجهول يمكن علمه، والمقصود نفي  التعقل في ذلك ؛ فرواية نفيه اولى ، وان كان غيرها اكثر رواية "


Dalam Syarh al-Risalah, disebutkan: 'Dan kaifiyah (caranya) tidak dapat dipahami. Pernyataan ini adalah peniadaan terhadap semua kemungkinan persepsi inderawi yang mungkin diasosiasikan dengan Allah, karena tidak ada cara (kaifiyah) yang dapat dipahami dalam konteks sifat-Nya. Dalam beberapa riwayat lain disebutkan: 'Dan kaifiyahnya tidak diketahui.' Namun, kami lebih memilih riwayat yang kami sebutkan ('kaifiyah tidak dapat dipahami') karena sesuatu yang 'tidak dapat dipahami' tidak mungkin diketahui, sedangkan sesuatu yang 'tidak diketahui masih memungkinkan untuk diketahui. Maksud utama di sini adalah menafikan pemahaman (ta'aqqul) pada perkara ini. Oleh karena itu, riwayat yang menafikan pemahaman lebih utama, meskipun riwayat lain lebih banyak diriwayatkan.











Mutarjim            : Arifatul Fajriyah
Contact person    : 087726244077
Email                : Arifatulfajriyah24@gmail.com


DAFTAR PUSTAKA

al-Burnusiy, Abi al-‘Abbas Ahmad bin Ahmad bin Muhammad bin ‘Isa Zarrouq al-Fasi, (Wafat 899 H)., Qawaid al-Tasawuf, Dar al-Kotob al-Ilmiyah, Beirut, Lebanon., 2019 M / 1440 H., (Tahqiq: Abdulmajid Khayali, 2002)., cet. kelima.

Tayeb, Mohammed Idris, (Lahir 1369 H / 1950 M)., Syarah Qawaid al-Tasawuf, Books Publisher, Beirut, Lebanon, 2022., cet. pertama, sebanyak 2 jilid. 

Posting Komentar untuk "Qaidah 49: Sesuatu yang Muncul dalam Pembicaraan Berupa Kesamaran"