STATUS KESUCIAN DAN KEHALALAN CAMILAN DARI TANAH LIAT (JAJAN AMPO)
Ampo merupakan jajanan unik dan sederhana karena terbuat dari tanah liat murni tanpa campuran apapun yang bentuknya bulat memanjang seperti stik namun kecil dan tipis. Tanah liat yang digunakan biasanya diambil dari tanah sawah atau kebun dan tanah yang diambil yaitu tanah yang ada di dalam bukan di permukaan tanah karena tekstur tanahnya lebih pulen saat dijadikan adonan. Proses pembuatan jajan ampo yaitu dengan memisahkan kerikil yang tercampur pada tanah yang akan dijadikan adonan. Adonan yang sudah dicetak biasanya langsung ke tahap pengasapan dan setelah kering, ampo sudah siap untuk dimakan. Masyarakat setempat sampai saat ini masih ada yang mengkonsumsi jajan ampo, bahkan dalam kemajuan teknologi ini jajan ampo semakin terkenal karena beberapa orang ada yang mereview jajan unik ini sehingga semakin banyak juga yang mengonsumsinya. Semakin banyaknya yang mengkonsumsi jajan ampo sehingga ada sebagian orang meragukan kesuciannya yang kemungkinan tanah yang digunakan adalah tanah sawah yang mungkin tercampur dengan pupuk kandang serta munculnya indikasi jajanan ini dapat mengganggu kesehatan. Lalu dari anggapan tersebut muncullah pertanyaan.
Bagaimana status kesucian dan kehalalan jajanan ampo?
Status Kesucian
Tanah liat yang digunakan pada jajan ampo ini statusnya suci, karena yang digunakan merupakan tanah liat murni yang hukum asal tanah liat itu suci.
(مَسْأَلَةٌ) خُذْ قَاعِدَةً يَنْبَغِي اعْتِنَاؤُهَا لِكَثْرَةِ فُرُوعِهَا وَنَفْعِهَا وَهِيَ كُلُّ عَيْنٍ لَمْ تَتَيَقَّنْ نَجَاسَتُهَا لَكِنْ غَلَبَتِ النَّجَاسَةُ فِي جِنْسِهَا كَثِيَابِ الصِّبْيَانِ وَجُهَّالِ الْجَزَّارِينَ وَالْمُتَدَيِّنِينَ مِنَ الْكَفَّارِ بِالنَّجَاسَةِ كَأَكْلَةِ الْخَنَازِيرِ أَرْجَحُ الْقَوْلَيْنِ فِيهَا الْعَمَلُ بِالْأَصْلِ وَهُوَ الطَّهَارَةُ نَعَمْ يَكْرَهُ اسْتِعْمَالُ كُلِّ مَا احْتَمَلَ النَّجَاسَةَ عَلَى قُرْبٍ وَكُلُّ عَيْنٍ تَيَقَّنَا نَجَاسَتَهَا وَلَوْ بِمُغَلَّظٍ فَوَاحْتَمَلَ طَهَارَتَهَا وَلَوْ عَلَى بُعْدٍ لَا يَتَنَجَّسُ مَا لَاقَتْهُ فَحِينَئِذٍ لَا يُحْكَمُ بِالنَّجَاسَةِ. ( بغية المسترشدين : ص٢٤ )
“(Masalah) Ambillah sebuah kaidah yang perlu diperhatikan karena banyak cabang dan manfaatnya. Kaidah tersebut adalah: Setiap benda yang tidak diyakini najis, tetapi jenisnya sering terkena najis—seperti pakaian anak-anak, pakaian tukang jagal yang awam, dan orang kafir yang memegang aturan agama namun berinteraksi dengan najis (seperti pemakan babi)—maka menurut pendapat yang lebih kuat, hukum asalnya adalah tetap suci. Namun, dimakruhkan menggunakan benda yang kemungkinan besar terkena najis dalam jarak dekat. Sebaliknya, setiap benda yang diyakini najis, meskipun najisnya berat, dan mungkin saja telah menjadi suci (meski kecil kemungkinan), tidak akan menajiskan benda yang bersentuhan dengannya.” (Bughyah al-Mustarsyidin, 24 )
إِذَا ثَبَتَ أَصْلٌ فِي الْحَلِّ أَوِ الْحَرَمَةِ أَوِ الطَّهَارَةِ أَوِ النَّجَاسَةِ فَلَا يَزُولُ إِلَّا بِالْيَقِينِ فَإِذَا كَانَ مَعَهُ إِنَاءٌ مِنَ الْخَلِّ أَوْ لَبَنِ الْمَأْكُولِ أَوْ دُهْنِهِ فَشَكَّ فِي تَخَمُّرهِ لَمْ يَحْرُمْ التَّنَاولُ. (اعانة الطالبين : ج ١، ص ١٠٥)
"Jika suatu hukum telah ditetapkan mengenai kehalalan, keharaman, kesucian, atau kenajisan, maka tidak akan berubah kecuali dengan keyakinan. Maka, jika ada wadah berisi cuka, susu yang dapat dimakan, atau minyaknya, dan seseorang meragukan apakah benda tersebut telah berubah (terfermentasi), maka tidak haram untuk mengkonsumsinya." (I’anah al-Tholibin, 1:105)
Status Kehalalan
Tafshil :
HARAM : Jika memakan tanah liat itu dapat membahayakan tubuh. Seperti pendapat dari al-Qaffal, al-Qadhi Husein, al-Fakhrur Razi dalam kitab al-Muhadzab, Ibrahim al-Marudzi, Masyayikh Thabaristan, Imam Abu Zakariya Muhyiddin bin Syarif, Masyayikh Khurasan dan al-Subki dalam syarah kitab al-Minhaj
MAKRUH : Jika memakan tanah liat itu tidak membahayakan tubuh. Seperti pendapat dari Masyayikh Khurasan
(فَصْلٌ تَنَاوُلُ مَا يَضُرُّ الْبَدَنَ أَوْ الْعَقْلَ )
(قَوْلُهُ يَحْرُمُ مَا يَضُرُّ كَالْحَجَرِ وَالتُّرَابِ وَالطِّينِ) قَطَعَ فِي الْمُهَذَّبِ بِتَحْرِيمِه وَكَذَا الْقَفَّالُ وَالْقَاضِي حُسَيْنٌ وَالْفَخْرُ الرَّازِيّ وَجَمَاعَةٌ وَقَالَ إبْرَاهِيمُ الْمَرُّوذِيُّ: يَنْبَغِي الْقَطْعُ بِالتَّحْرِيمِ إنْ ظَهَرَتْ الْمَضَرَّةُ وَقَالَ السُّبْكِيُّ فِي بَابِ الرِّبَا مِنْ شَرْحِهِ لِلْمِنْهَاجِ لَا يَحْرُمُ أَكْلُ الطِّينِ؛ لِأَنَّهُ لَمْ يَصِحَّ فِيهِ حَدِيثٌ إلَّا أَنْ يَضُرَّ بِكَثْرَتِهِ فَيَحْرُمَ. (حَاشِيَة أَحْمَد الرَّمْلِيّ الْكَبِيرِ عَلَى رَوَّضَ الطَّالِبُ (في هامش اسنى المطالب): ج١، ص ٥٦٩)
"Telah dijelaskan di dalam kitab Al-Muhadzab mengenai keharamannya, perkataan (ulama) yang menyatakan 'diharamkan segala sesuatu yang membahayakan, seperti batu, tanah, lumpur, dan beberapa ulama seperti Al-Qaffal, Al-Qadhi Husain, Al-Fakhr ar-Razi, dan sejumlah ulama lainnya sepakat dengan pendapat ini. jika bahaya itu tampak nyata. imam subki pada bab riba di dalam kitab syarh Al-Minhaj mengatakan: 'Tidaklah haram memakan segala jenis tanah, karena tidak ada hadits shahih yang mengharamkannya, kecuali jika dimakan dalam jumlah banyak sehingga membahayakan, maka baru haram." (Hasyiah Ahmad al-Romli al-Kabir ‘ala roudho al-Tholib (dalam pingiran cetakan kitab asna al-matholib), 1: 569)
(الثانية) لَا يَحِلُّ أَكْلُ مَا فِيهِ ضَرَرٌ مِنَ الطَّاهِرَاتِ كَالسُّمِّ الْقَاتِلِ وَالزُّجَاجِ وَالتُّرَابِ الَّذِي يُؤْذِي الْبَدَنَ، وَهُوَ هَذَا الَّذِي يَأْكُلُهُ بَعْضُ النِّسَاءِ وَبَعْضُ السُّفَهَاءِ، وَكَذَلِكَ الْحَجَرُ الَّذِي يَضُرُّ أَكْلُهُ وَمَا أَشْبَهَ ذَلِكَ. وَدَلِيلُهُ فِي الْكِتَابِ. قَالَ إِبْرَاهِيمُ الْمَرْوَذِيُّ: وَرَدَتْ أَخْبَارٌ فِي النَّهْيِ عَنْ أَكْلِ الطِّينِ وَلَمْ يَثْبُتْ شَيْءٌ مِنْهَا. قَالَ: وَيَنْبَغِي أَنْ نَحْكُمَ بِالتَّحْرِيمِ إِنْ ظَهَرَتِ الْمَضَرَّةُ فِيهِ، وَقَدْ جَزَمَ الْمُصَنِّفُ وَآخَرُونَ بِتَحْرِيمِ أَكْلِ التُّرَابِ، وَجَزَمَ بِهِ الْقَاضِي حُسَيْنُ فِي بَابِ الرِّبَا. (المجموع شرح المهذب : ج ٩ ، ص ٣٧)
"Yang kedua (pendapat): Tidak halal memakan sesuatu yang mengandung bahaya meskipun itu suci, seperti racun yang mematikan, kaca, tanah yang membahayakan tubuh (seperti yang dimakan oleh sebagian wanita dan orang bodoh) dan seperti halnya batu yang membahayakan jika dimakan, dan sejenisnya, Dalilnya berdasarkan Al-Qur'an. Imam Ibrahim Marwadzi berkata: "Telah banyak riwayat yang melarang memakan lumpur, meskipun tidak ada satupun yang shahih." beliau menambahkan, "Hendaknya kita menghukumi sebagai haram jika bahaya itu tampak nyata." Dan penulis kitab ini beserta ulama lainnya telah menegaskan keharaman memakan tanah. Imam Husain juga menegaskan hal yang sama dalam bab riba" ( al-Majmu' Syarah Muhadzab, 9:37)
(فَرْعٌ) هَلْ يَحْرُمُ أَكْلُ الطِّينِ قَالَ الرَّوِيَانِيُّ: اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا، فَمِنْهُمْ مَنْ قَالَ يَحْرُمُ الطِّينُ قَلِيلُهُ وَكَثِيرُهُ، وَهُوَ اخْتِيَارُ مَشَايِخِ طَبَرِسْتَانَ: الإِمَامِ أَبِي عَبْدِ اللهِ الْحَنَاطِيِّ وَأَبِي عَلِيِّ الزُّجَّاجِيِّ وَالإِمَامَيْنِ جَدِّي وَوَالِدِي رَحِمَهُمَا اللهُ، وَاخْتَارَهُ الْقَفَّالُ الْمَرُوزِيُّ. وَمِنْهُمْ مَنْ قَالَ لَا يَحْرُمُ وَلَكِنْ يُكْرَهُ، وَهُوَ اخْتِيَارُ مَشَايِخِ خُرَاسَانَ، وَهَذَا إِذَا لَمْ يَضُرَّ لِقِلَّتِهِ، فَإِنْ كَانَ كَثِيرًا يَضُرُّ فَهُوَ حَرَامٌ، وَبِهِ أَفْتَيْتُ، وَسَمِعْتُ الشَّيْخَ الْحَافِظَ الْبَيْهَقِيَّ بِالنِّيسَابُورِ يَقُولُ: لَمْ يَصِحَّ نَصٌّ عَنْ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي تَحْرِيمِ قَلِيلِهِ، وَهَذَا هُوَ الصَّحِيحُ عِندِي. اِنْتَهَى كَلاَمُ الرَّوِيَانِيِّ فِي الْبَحْرِ. ( المجموع شرح المهذب : ج ١١، ص ٢٣٨)
“(Cabang pembahasan) Apakah memakan tanah liat itu haram? Al-Ruwayyani berkata, "Para ulama kami berbeda pendapat. Sebagian mereka mengatakan bahwa memakan tanah, sedikit ataupun banyak, adalah haram. Pendapat ini dipilih oleh para ulama di Tabaristan, seperti Imam Abu Abdullah al-Hanafi, Abu Ali al-Zazaj, dan kedua kakek saya (beliau) semoga Allah merahmati mereka. Al-Qaffal al-Maruzi juga memilih pendapat ini. Sebagian ulama lainnya mengatakan bahwa memakan tanah tidak haram, tetapi makruh. Pendapat ini dipilih oleh para ulama di Khurasan. Pendapat ini berlaku jika jumlahnya sedikit dan tidak membahayakan. Namun, jika jumlahnya banyak dan membahayakan, maka haram. Ini adalah pendapat yang saya fatwakan. Saya pernah mendengar Syaikh al-Hafiz al-Baihaqi dari Naisabur mengatakan, 'Tidak ada hadits yang shahih dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yang secara tegas melarang memakan tanah dalam jumlah sedikit.' Dan menurut saya, pendapat inilah yang benar." Demikianlah akhir perkataan al-Ruwayyani dalam kitab al-Bahr.” ( al-Majmu' Syarah Muhadzab, 11:238)
فَصْلٌ فِي مَسَائِلَ تَتَعَلَّقُ بِالْأَطْعِمَةِ إِحْدَاهَا: قَالَ الشَّيْخُ إِبْرَاهِيمُ الْمَرُّوذِيُّ فِي تَعْلِيقِهِ: وَرَدَتْ أَخْبَارٌ فِي النَّهْيِ عَنْ أَكْلِ الطِّينِ، وَلَا يَثْبُتُ شَيْءٌ مِنْهَا، وَيَنْبَغِي أَنْ نَحْكُمَ بِالْتَّحْرِيمِ إِنْ ظَهَرَتِ الْمَضَرَّةُ فِيهِ. قُلتُ: قَطَعَ صَاحِبُ «الْمُهَذَّبِ» وَغَيْرُهُ بِتَحْرِيمِ أَكْلِ التُّرَابِ. وَاللهُ أَعْلَمُ. (روضة الطالبين وعمدة المفتين:ج ٣، ص ٢٩١)
“Bab mengenai permasalahan makanan, salah satunya: Syaikh Ibrahim al-Maruzy dalam komentarnya mengatakan, "Telah datang beberapa riwayat yang melarang memakan tanah liat, namun tidak ada satupun yang dapat dipastikan kebenarannya. Dan seharusnya kita menghukumi sebagai haram jika bahaya yang ditimbulkan jelas terlihat. "Saya (mushonnif) berkata, "Penulis kitab Al-Muhadzab dan ulama lainnya telah memutuskan bahwa memakan tanah adalah haram. Wallahu a'lam." (Raudhah al-Thalibin Wa Umdatul Muttaqin, 3:291)
Penulis : Naili Niamil Mun’im
Perumus : M. Faisol, S.Pdi
Mushohih : H. Agus Muhammada, S.Pdi, M.Pdi
Daftar Pustaka
Rahman, Abdur bin Muhammad bin Husain bin Umar (L. 1250 H - W. 1320 H), Bughyah al-Mustarsyidin Wa Bi al-Hamisy Ghayah Talkhish al-Murad Min Fatawi Ibnu Ziyad, Daar el-Fikr, Beirut, Lebanon, 1994.
Abu Bakar, Abu Bakar bin Muhammad Zainal Abidin Syatha (L. 1266H - W. 1310 H), I’anah al-Thalibin, Daar Ibn Hazm, Beirut, Lebanon : tanpa tahun.
al-Ramli ,Muhammad bin Ahmad bin Hamzah bin Syihabuddin ( L. 823 H - W 926 H), Hasyiah Ahmad al-Romli al-Kabiri ‘ala roudho al-Tholib (dalam pinggiran cetakan kitab asnal matholib), Darul kitab al-islam : tanpa kota.
al-Nawawi, Imam Abi Zakariya Muhyiddin bin Syarof ( W 676 H), Majmu' Syarah al-Muhadzab, Darul Fikri : tanpa kota.
al-Subki, Taqiyuddin Ali bin Abdul kafi (W 756 H), Majmu' Syarah al-Muhadzab, Darul Fikri : tanpa kota
al-Nawawi, Abu Zakariya Muhyiddin Yahya Ibn Syarif (W. 676 H), Roudloh al-Thalibin wa Umdat al-Muftin: Daar Ibn Hazm, Beirut, Lebanon : tanpa tahun.
Posting Komentar untuk "STATUS KESUCIAN DAN KEHALALAN CAMILAN DARI TANAH LIAT (JAJAN AMPO)"