Hukum Masyarakat Umum Main Hakim Sendiri Dengan Membunuh Begal
Tindak pidana begal merupakan kejahatan yang dilakukan oleh satu orang atau lebih dengan merampas barang-barang korbannya, dan juga mengancam menggunakan senjata tajam hingga melukai korbannya. Namun ada beberapa korban yang melakukan perlawanan untuk membela diri atau melawan pelaku begal tersebut. Korban yang merasa terancam keselamatan dirinya tidak segan-segan melakukan serangan balik terhadap pelaku begal, sehingga pelaku begal mengalami luka-luka akibat perlawanan, bahkan hingga mengalami kematian. Ketika pelaku begal tertangkap basah, tentu saja kegeraman warga tidak terkendali, sehingga masyarakat pada umumnya main hukum sendiri.
Pada kasus tersebut, apakah dibenarkan tindakan masyarakat umum main hakim sendiri dengan membunuh pelaku begal ?
Tidak Dibenarkan main hakim sendiri, membunuh, melukai, baik perorangan ataupun massa, karena yang bertugas melaksanakan hukuman pada pelaku tindak kejahatan adalah aparat penegak hukum.
(وَتَقْتُلُ الْجَمَاعَةُ بِالْوَاحِدِ) إِذَا اشْتَرَكَ جَمَاعَةٌ فِي قَتْلٍ وَاحِدٍ قُتِلُوا بِهِ بِشَرْطِ أَنْ يَكُونَ فِعْلُ كُلِّ وَاحِدٍ لَوْ انْفَرَدَ لَقُتِلَ لِعُمُومِ قَوْلِهِ تَعَالَى ﴿وَمَنْ قُتِلَ مَظْلُومًا فَقَدْ جَعَلْنَا لِوَلِيِّهِ سُلْطَانًا﴾ يَعْنِي الْقِصَاصَ، وَقَتَلَ عُمَرُ سَبْعَةً أَوْ خَمْسَةً مِنْ أَهْلِ صَنْعَاءَ الْيَمَنَ بِوَاحِدٍ، وَقَالَ لَوْ تَوَالَى عَلَيْهِ أَهْلُ صَنْعَاءَ لَقَتَلْتُهُمْ بِهِ، وَقَتَلَ عَليٌّ ثَلَاثَةً بِوَاحِدٍ، وَقَتَلَ الْمُغِيرَةُ سَبْعَةً بِوَاحِدٍ، وَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللّهُ عَنْهُمَا: إِذَا قَتَلَ جَمَاعَةٌ وَاحِدًا قُتِلُوا بِهِ وَلَوْ كَانُوا مِائَةً، وَلَمْ يُنْكِرْ عَلَيْهِمْ أَحَدٌ فَكَانَ ذَلِكَ اِجْمَاعًا (كفاية الأخيار في حل غاية الإختصار : ص ٥۹۹ )
“(Sekelompok masa membunuh seseorang) Ketika sekelompok orang bersekutu dalam pembunuhan satu orang, maka kesemuanya di bunuh (di qishosh) sebab pembunuhan itu. dengan syarat perbuatan masing-masing orang dari kelompok itu jika dilakukan oleh satu orang maka dapat menyebabkan pembunuhan, hal ini berdasar keumuman firman Allah “Siapa yang dibunuh secara teraniaya, sungguh Kami telah memberi kekuasaan kepada walinya”. Sayyidina ‘Umar membunuh (menghukum qishosh) 7 atau 5 orang penduduk shon'a' (sana'a) yaman sebab melakukan pembunuhan pada satu orang. Dan Sayyidina ‘Umar berkata : jika penduduk sana'a berturut-turut melakukan pembunuhan pada satu orang, maka aku akan membunuh mereka semua sebab hal itu. Dan Sayyidina ‘Ali membunuh 3 orang sebab pembunuhan satu orang. Al-Mughiroh membunuh 7 orang sebab pembunuhan pada 1 orang. Ibn ‘Abbas berkata : jika ada sekelompok orang membunuh 1 orang, maka mereka dibunuh (diqishosh sebab hal itu) meskipun mereka berjumlah 100 orang. Dan tidak ada satupun yang mengingkari pada (keputusan) para sahabat itu, dan hal ini menjadi ijma'(kesepakatan ‘Ulama)” (Kifayah al-Akhyar fi Halli Ghayah al-Ikhtishar : 599).
{وَلَا تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِيْ حَرَّمَ اللّٰهُ} الَّتِي جَعَلَهَا مَعْصُومَةً بِعِصْمَةِ الدِّينِ، أَوْ عِصْمَةِ الْعَهْدِ، {اِلَّا بِالْحَقِّۗ} وَهُوَ مَا يُبَاحُ بِهِ قَتْلُ الْأَنْفُسِ، كَالرِّدَّةِ، وَالزِّنَى مِنْ الْمُحْصَنِ، وَكَالْقِصَاصِ مِنْ الْقَاتِلِ عَمْدًا عُدْوَانًا، {وَمَنْ قُتِلَ مَظْلُوْمًا} لَا بِسَبَبٍ مِنْ الْأَسْبَابِ الْمُسَوِّغَةِ لِقَتْلِهِ شَرْعًا، {فَقَدْ جَعَلْنَا لِوَلِيِّهٖ} أَيْ لِمَنْ يَلِي أَمْرَهُ مِنْ وَرَثَتِهِ، {سُلْطَٰنًا} السُّلْطَانُ : التَّسَلُّطُ عَلَى الْقَاتِلِ : إِنْ شَاءَ قَتَلَ، وَإِنْ شَاءَ عَفَا، وَإِنْ شَاءَ أَخَذَ الدِّيَةَ، {فَلَا يُسْرِفْ فِّى الْقَتْلِۗ} أَيْ فَلَا يُمَثِّلُ بِالْقَاتِلِ أَوْ يُعَذِّبُهُ أَوْ يَقْتُلُ غَيْرُ الْقَاتِلِ، { اِنَّهٗ كَانَ مَنْصُوْرًا} أَيْ مُؤَيِّدًا مُعَانًا، يَعْنِي الْوَلِيُّ، فَإِنَّ اللَّهَ أَمَرَ أَهْلَ الْوِلَايَاتِ بِمَعُونَتِهِ وَالْقِيَامِ بِحَقِّهِ حَتَّى يَسْتَوْفِيَهُ. [الإسرآء : ٣٣ ] (زبدة التفسير بهامش مصحف المدينة المنورة :ص ۲٨٥)
[Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah] Yakni jiwa yang Allah lindungi dengan perlindungan agama atau perjanjian. [Melainkan dengan suatu alasan yang benar] Yakni sesuatu yang menjadikan dibolehkannya pembunuhan terhadap seseorang seperti kemurtadan, perbuatan zina yang dilakukan orang yang telah menikah, dan qishash atas orang yang membunuh dengan sengaja dan tidak memiliki hak untuk membunuh. [Dan barangsiapa dibunuh secara zalim] Yakni tidak disebabkan hal-hal dibolehkannya pembunuhan secara syariat. [Maka sesungguhnya Kami telah memberi kepada ahli warisnya] Yakni ahli waris yang menjadi wali dalam urusannya. (Kekuasaan) Makna Sulton yakni kekuasaan atas si pembunuh, ia boleh membunuh atau memaafkan pembunuh tersebut, atau meminta diyat kepadanya. (Tetapi janganlah ahli waris itu melampaui batas dalam membunuh) Yakni maka janganlah memotong-motong atau mutilasi tubuh pembunuh atau mengazabnya, atau membunuh orang yang tidak membunuh keluarganya itu. [Sesungguhnya ia adalah orang yang mendapat pertolongan) Yakni wali terbunuh tersebut mendapat pertolongan dan bantuan. Sebab Allah memerintahkan para penguasa untuk menolong wali terbunuh agar dapat mengambil haknya secara sempurna. QS. Al-Isrā' [17]:33 (Zubdah al-Tafsir bi Hamisy Mushhaf al-Madinah al-Munawwarah : 285).
Catatan dan Solusi:
Lembaga yang berwajib atau berwenang (pemerintah) harus melakukan sosialisasi mengenai tupoksi pada masyarakat terkait tindakan kriminal seperti halnya main hakim sendiri terhadap pelaku begal. Karena tindakan tersebut tidak diperbolehkan sekaligus bukan tugas masyarakat, karena negara telah mengatur hal tersebut, dengan tujuan agar tidak melampaui batas, tidak sewenang-wenangnya dalam menentukan hukum, tidak melanggar prinsip keadilan, dan perbuatan yang melanggar hukum atau melampaui batas termasuk dzalim.
Tidak boleh bagi masyarakat umum untuk melakukan tindakan hakim sendiri terhadap pelaku kejahatan, termasuk begal. Sistem hukum yang berlaku di hampir semua negara didasarkan pada prinsip bahwa penegakan hukum dan penyelesaian konflik harus dilakukan melalui proses hukum yang sah dan diatur. Hakim sendiri atau tindakan balas dendam dari masyarakat dapat menyebabkan kekacauan, ketidakadilan, dan pelanggaran hak asasi manusia. Selain itu, hal tersebut dapat menghambat proses hukum yang berusaha mencari keadilan dengan cara yang adil dan terstruktur.
Jika ada tindak kejahatan, disarankan untuk segera melaporkan kejadian tersebut kepada pihak berwenang seperti polisi. Penegakan hukum memiliki peran dan kewenangan untuk menyelidiki dan menangani pelanggaran hukum dengan mengikuti prosedur hukum yang berlaku. Penting untuk menjaga ketertiban masyarakat melalui penegakan hukum yang sah dan mendukung sistem peradilan yang adil. Jika ada kekhawatiran terhadap efektivitas sistem peradilan, lebih baik berupaya untuk memperbaiki atau memperkuat sistem tersebut.
فَائِدَةٌ : قَالَ فِي النِّهَايَةِ : لَوِ اسْتَقَلَّ الْمَقْذُوْفُ بِالْاِسْتِيْفَاءِ لِلْحَدِّ وَلَوْ بِإِذْنِ الْإِمَامِ لَمْ يَقَعْ الْمَوْقِعَ ، نَعَمْ لَوْ تَعَذَّرَ عَلَيْهِ الرَّفْعُ إِلَى السُّلْطَانِ اسْتَوْفَاهُ إِنْ أَمْكَنَ مَعَ رِعَايَةِ الْمَشْرُوْعِ وَلَوْ بِالْبَلَدِ كَمَا قَالَهُ الْأَذْرَعِيُّ اهـ. وَقَوْلُهُ السُّلْطَانِ أَيْ أَوْ مَنْ يَقُوْمُ مَقَامَهُ ، وَخَرَجَ بِالْحَدِّ التَّعْزِيْرُ فَلَا يَسْتَوْفِيْهِ مُسْتَحِقُّهُ مُطْلَقاً لِاخْتِلَافِهِ بِاخْتِلَافِ النَّاسِ إِذْ رُبَّمَا يَتَجَاوَزُ الْحَدَّ اهـ ع ش (بغية المسترشدين: ص ٤١٠)
“(Faidah) Imam Romli berkata dalam kitab Nihayah: Jika orang yang di-qodzaf terbebas dengan memenuhi had-nya, meskipun disertai dengan izinnya imam, maka pelaksanaannya tidak sah. Namun, apabila ia kesulitan untuk membawa kasusnya kepada penguasa, maka boleh baginya melaksanakan hukuman itu sendiri jika memungkinkan dan dengan tetap memperhatikan tata cara syariat, meskipun dilakukan di suatu daerah (bukan di hadapan pemerintah pusat), sebagaimana dijelaskan oleh al-Azra‘i. Dan maksud Imam Romli dari kata “sulṭān” adalah penguasa itu sendiri atau orang yang menduduki pangkatnya (mewakili). Terkecuali dari had yaitu ta’zir, maka seseorang yang terkena ta’zir itu tidak bisa memenuhi hukuman had secara mutlak karena berbedanya ta’zir tergantung dengan berbedanya kondisi seseorang, dikhawatirkan ia akan melampaui batas dari had. (Bughyah al-Mustarsyidin: 410)”
واخْتَلَفَ فِي أَكْثَرِ مَا يَنْتَهِي إِلَيْهِ الضَّرْبُ فِي التَّعْزِيْرِ، فَظَاهِرُ مَذْهَبِ الشَّافِعِىِّ أَنَّ أَكْثَرَهُ فِي الْحُرِّ تِسْعَةُ وَثَلَاثُونَ سَوْطًا لِيَنْقُصَ عَنْ أَقَلِّ الْحُدُوْدِ فِي الْخَمْرِ، فَلَا يَبْلُغُ بِالْحُرِّ أَرْبَعِيْنَ، وَبِالْعَبْدِ عِشْرِيْنَ، وَقَالَ أَبُو حَنِيْفَةُ: أَكْثَرُ التَّعْزِيْرِ تسِعْةُ وَثَلَاثُونَ سَوْطًا فِي الحُرِّ وَالْعَبْدِ، وَقَالَ أَبُو يُوْسُفَ: أَكْثَرُهُ خَمْسَةُ وَسَبْعُونَ. وَقَالَ مَالِكٌ: لَا حَدَّ لِأَكْثَرِهِ، وَيَجُوْزُ أَنْ يَتَجَاوَزَ بِهِ أَكْثَرَ الْحُدُوْدِ. وَقَالَ أَبُو عَبْدِ اللَّهِ الزُّبَيْرِيِّ١: تَعْزِيْرُ كُلِّ ذَنْبٍ مُسْتَنْبِطٌ مِنْ حَدِّهِ الْمَشْرُوْعِ فِيِْ، وَأَعْلَاهُ خَمْسَةٌ وَسَبْعُوْنَ يَقْصُرُ بِهِ عَنْ حَدِّ الْقَذَفِ بِخَمْسَةِ أَسْوَاطٍ، فَإِنْ كَانَ الذَّنْبُ فِي التَّعْزِيْرِ بِالزِّنَا رُوْعِيَ مِنْهُ مَا كَانَ، فَإِنْ أَصَابُوْهَا بِأَنْ نَالَ مِنْهَا مَا دُوْنَ الْفَرْجِ ضَرْبُوْهُمَا أَعْلَى التَّعْزِيْرِ، وَهُوَ خَمْسَةٌ وَسَبْعُوْنَ سَوْطًا، وَإِنْ وَجَدُوْهُمَا فِي إِزَارٍ لَا حَائِلَ بَيْنَهُمَا مُتَبَاشِرِيْنَ غَيْرِ مَتَعَامِلِيْنَ لِلْجِمَاعِ ضَرْبُوْهُمَا سِتِّيْنَ سَوْطًا، وَإِنْ وَجَدُوْهُمَا غَيْرَ مُتَبَاشِرِيْنَ ضَرْبُوهُمَا أَرْبَعِينَ سَوْطًا، وَإِنْ وَجَدُوْهُمَا خَالِيَيْنَ فِي بَيتٍ عَلَيهِمَا ثِيَابَهُمَا ضَرْبُوهُمَا ثَلَاثِيْنَ سَوْطًا، وَإِنْ وَجَدُوْهُمَا فِي طَرِيْقٍ يُكَلِّمُهَا وَتُكَلِّمُهُ ضَرْبُوْهُمَا عِشْرِيْنَ سَوْطًا، وَإِنْ وَجَدُوْهُ يُتْبِعُهَا وَلَمْ يَقِفُوْا عَلَى ذَلِكَ يُحَقِّقُوْا، وَإِنْ وَجَدُوْهُمَا يُشِيْرُ إِلَيْهَا وَتُشِيْرُ إِلَيْهِ بِغَيْرِ كَلَامٍ ضَرْبُوهُمَا عَشْرَةُ أَسْوَاطٍ، وَهَكَذَا يَقُوْلُ فِي التَّعْزِيْرِ بِسِرْقَةِ مَا لَا يَجِبُ فِيْهِ الْقَطْعُ، فَإِذَا سَرَقَ نِصَابًا مِنْ غَيْرِ حِرْزٍ ضُرِبَ أَعْلَى التَّعْزِيْرِ خَمْسَةً وَسَبْعِيْنَ سوطًا، وَإِذَا سَرَقَ مِنْ حِرْزٍ أَقَلَّ مِنْ نِصَابٍ ضُرِبَ سِتِّيْنَ سَوْطًا، وَاِذَا سَرَقَ أَقَلَّ مِنْ نِصَابٍ مِنْ غَيْرِ حَرَزٍ ضُرِبَ خَمْسِيْنَ سَوْطًا، فَإِذَا جُمِعَ الْمَالُ فِي الْحِرْزِ وَاسْتُرْجِعَ مِنْهُ قَبْلَ إِخْرَاجِهِ ضُرِبَ أَرْبَعِينَ سَوْطًا، وَإِذَا نَقَبَ الْحٍرْزُ وَدَخَلَ وَلَمْ يَأْخُذْ ضُرِبَ ثَلَاثِيْنَ سَوْطًا، وَإِذَا نَقَبَ الْحِرْزُ وَلَمْ يَدْخُلْ ضُرِبَ عِشْرِيْنَ سَوْطًا.وَإِذَا تَعَرَّضَ لِلنَّقْبِ أَو لِفَتْحِ بَابٍ وَلَمْ يُكْمِلُهُ ضُرِبَ عَشْرَةَ أَسْوَاطٍ (الأحكام السلطانية: ص٢٩٤).
“Para ulama berbeda pendapat tentang batas maksimum hukuman dera (cambuk) dalam ta‘zīr. Menurut pendapat yang dzohir dalam mazhab asy-Syafi‘i, jumlah maksimalnya untuk orang merdeka adalah 39 cambukan, agar kurang dari batas paling rendah hukuman had minum khamr (40 cambukan). Maka tidak boleh mencapai 40 bagi orang merdeka, dan bagi budak tidak lebih dari 20 cambukan. Menurut Abu Hanifah, batas maksimal ta‘zīr adalah 39 cambukan, baik bagi orang merdeka maupun bagi budak. Menurut Abu Yusuf, batas maksimalnya adalah 75 cambukan. Menurut imam Malik, tidak ada batas tertentu untuk jumlah maksimal ta‘zīr, bahkan boleh melebihi jumlah cambukan pada hukuman had. Sedangkan Abu ‘Abdillah az-Zubairi berkata: “Hukuman ta‘zīr setiap dosa ditetapkan dengan meneladani (diqiyaskan pada) had yang disyariatkan untuk dosa itu, dan batas tertingginya adalah 75 cambukan, yaitu kurang 5 cambukan dari had qadzf. Jika seseorang berbuat zina hanya menyentuh atau menikmati bagian tubuh selain kemaluan, maka dihukum dengan 75 cambukan (batas tertinggi ta‘zīr). Jika mereka ditemukan berpelukan tanpa penghalang (kain) di antara keduanya, namun tidak sampai bersetubuh, maka dihukum 60 cambukan. Jika ditemukan tanpa bersentuhan langsung, maka 40 cambukan. Jika keduanya berdua-duaan di rumah dengan pakaian lengkap, maka 30 cambukan. Jika ditemukan berbicara di jalan secara mesra, maka 20 cambukan. Jika hanya berkejaran atau tampak saling mendekati tanpa bukti nyata, maka diselidiki lebih dulu. Jika hanya saling memberi isyarat tanpa berbicara, maka 10 cambukan. Begitu pula dalam kasus pencurian yang tidak memenuhi syarat hukum potong tangan (had): Jika mencuri harta senilai nisab tapi bukan dari tempat penyimpanan (bukan dari ḥirz), maka 75 cambukan. Jika mencuri dari tempat penyimpanan tapi kurang dari nisab, maka 60 cambukan. Jika mencuri kurang dari nisab dan bukan dari tempat penyimpanan, maka 50 cambukan. Jika harta sudah dikumpulkan dalam tempat penyimpanan dan diambil namun tertangkap sebelum dikeluarkan, maka 40 cambukan. Jika membobol tempat penyimpanan dan masuk tapi tidak mengambil apa pun, maka 30 cambukan. Jika membobol tempat penyimpanan namun belum sempat masuk, maka 20 cambukan. Jika hanya berniat membobol atau membuka pintu tapi belum melakukannya, maka 10 cambukan.” (Al-Ahkam as-Shulthoniyyah: 294)
Penulis : Ahmad Miftahus Sudury
Perumus : Ust. Arief Rahman Hakim, M.Pd.
Mushohih : Ust. M. Faidlus Syukri, S.Pd
Penyunting : Muzammilul Hannan
DAFTAR PUSTAKA
Al-Syafi’i, Al-Imam Taqiyuddin Abi Bakar bin Muhammad al-Husaini al-Hishni al-Dimasyqi, Kifayah al-Akhyar fi Halli Ghayah al-Ikhtishar, Dar al-Kutub al-Ilmiah, Beirut, Lebanon : 2001.
Ashqar, Muhammad Sulayman 'Abd Allah, Zubdah al-Tafsir bi Hamisy Mushhaf al-Madinah al-Munawwarah, Dar al-Nafaes: Jordan, 2013.
Syaikh Abdurrahman bin Muhammad, Bughyah al-Mustarsyidin, Dar al-Fikr : 1994.
Al-Baghdadi, Abu al-Hasan Ali bin Muhammad bi Habib al-Bashri, al-Ahkam as-Sulthaniyah, Dar al-Kutub al-Ilmiyah : 2020.
Posting Komentar untuk "Hukum Masyarakat Umum Main Hakim Sendiri Dengan Membunuh Begal"