Hukum Mendirikan Perusahaan Perairan Yang Berpotensi Mengganggu Debit Air Sumur Masyarakat

Hukum Mendirikan Perusahaan Perairan Yang Berpotensi Mengganggu Debit Air Sumur Masyarakat

Isu hukum yang beredar di publik seputar pendirian perusahaan yang bergerak dibidang pengolahan air bawah tanah yang bisa berdampak negatif pada pasokan air sumur masyarakat. Dalam hal ini, masalah terkait konflik antara kepentingan bisnis perusahaan dan hak masyarakat atas air bersih. Di satu sisi, perusahaan tersebut mungkin berusaha untuk mengembangkan bisnisnya, tetapi di sisi lain, dampak negatif terhadap ketersediaan air bawah tanah masyarakat, seperti pengambilan air yang berlebihan dapat mengurangi debit air masyarakat setempat dan kualitasnya tercemar limbah industri. 

Upaya pemerintah dalam menjaga kestabilan ketersediaan dan kualitas air bawah tanah telah menetapkan ketentuan pengolahan air bawah tanah bagi sektor industri yang tertuang dalam Peraturan Menteri PUPR Nomor 01/PRT/M/2016 Tentang Tata Cara Perizinan Pengusahaan Sumber Daya Air dan Penggunaan Sumber Daya Air Pasal 17 huruf A menyebutkan, hanya diperbolehkan untuk menggunakan 20% dari potensi air yang tersedia jika diambil dari mata air. Menanggapi persoalan diatas, bagaimanakah hukum menurut islam mengenai pendirian perusahaan yang bergerak dibidang pengolahan air bawah tanah yang berpotensi mengganggu debit air masyarakat?


  1. Tidak Boleh

Tidak boleh jika merusak ekosistem air atau menimbulkan kerusakan dan merugikan bagi lingkungan maupun masyarakat sekitar.


قَوْلُهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: (لَا ضَرَرَ، وَلَا ضِرَارَ) وَالضِّرَارُ هُوَ الضَّرَرُ، وَمَعْنَاهُ، إِنَّهُ يَنْبَغِي لِكُلِّ مُسْلِمٍ أَنْ يَرْفَعَ ضَرَرَهُ عَنْ غَيْرِهِ. وَيَجِبُ عَلَى كُلِّ رَئِيسٍ قَادِرٍ سَوَاءٌ كَانَ حَاكِمًا، أَوْ غَيْرَهُ أَنْ يَرْفَعَ الضَّرَرَ عَنْ مُؤَوِّسِيهِ، فَلَا يُؤْذِيهِمْ هُوَ، وَلَا يَسْمَحُ لِأَحَدٍ أَنْ يُؤْذِيَهُمْ. وَمِمَّا لَا شَكَّ فِيهِ، اِنْ تَرَكَ النَّاسُ بِدُونِ قَانُونٍ يُرْفَعُ عَنْهُمْ الْأَذَى وَالضَّرَرَ، يُخَالِفُ هَذَا الْحَدِيثُ فَكُلُّ حُكْمٍ صَالِحٍ فِيهِ مَنْفَعَةٌ وَرَفْعُ ضَرَرٍ يُقِرُّهُ الشَّرْعُ وَيَرْتَضِيهِ.(الفقه على المذاهب الأربعة: ص ۱٣۷۷)

 

“Pengertian sabda Rasulullah SAW, ‘Tidak mudharat dan memudharatkan’ adalah semestinya seorang Muslim menghilangkan mudharat dari saudaranya. Setiap pemimpin apakah dia pemerintah atau bukan, wajib melenyapkan mudharat dari masyarakatnya. Dia tidak boleh menyakiti mereka. Dia tidak boleh mengizinkan siapapun untuk menyakiti mereka. Tidak perlu disangsikan, pembiaran atas masyarakat dengan misalnya ketiadaan regulasi yang dapat melindungi mereka dari tindakan menyakitkan dan mudharat jelas bertentangan dengan semangat hadits ini. Karena itu, setiap hukum yang mengandung maslahat dan melenyapkan mudharat didukung dan dibenarkan oleh syariat.” (Al-Fiqh ala al-Madzahib al-Arba‘ah :1377). 

  1. Boleh

karena sumber mata air itu hak milik bersama dan pengambilan air tidak sampai menimbulkan mudharat atau dampak negatif pada lingkungan di masyarakat umum.


(وَالْمِيَاهُ الْمُبَاحَةُ مِنْ الْأَوْدِيَةِ) كَالنِّيلِ وَالْفُرَاتِ وَدِجْلَةَ (وَالْعُيُونِ) الْكَائِنَةِ (فِي الْجِبَالِ) وَنَحْوِهَا مِنْ الْمَوَاتِ وَسُيُولِ الْأَمْطَارِ (يَسْتَوِي النَّاسُ فِيهَا) لِخَبَرِ «النَّاسُ شُرَكَاءُ فِي ثَلَاثَةٍ: فِي الْمَاءِ وَالْكَلَّأِ وَالنَّارِ» رَوَاهُ ابْنُ مَاجَهْ بِإِسْنَادٍ جَيِّدٍ فَلَا يَجُوزُ لِأَحَدٍ تَحْجُرُهَا وَلَا لِلْإِمَامِ إقْطَاعُهَا بِالْإِجْمَاعِ كَمَا نَقَلَهُ الْقَاضِي أَبُو الطَّيِّبِ وَابْنُ الصَّبَّاغِ وَغَيْرُهُمَا.(مغني المحتاج إلى معرفة معاني ألفاظ المنهاج: ج ٢،ص ٤٨٠)

"Air boleh digunakan bersama, seperti sungai Nil, Furat, mata air di pegunungan, dan lain-lain, serta air hujan, adalah milik bersama. Karena ada hadits yang mengatakan bahwa 'Manusia bersekutu dalam tiga hal: air, rumput, dan api.' Oleh karena itu, tidak boleh bagi seseorang untuk menutup atau mengambil alih air tersebut, dan juga tidak boleh bagi pemimpin (imam) untuk mengklaimnya secara penuh berdasarkan kesepakatan umum (ijma)." (Mughni al-Muhtaj ila Ma’rifah Ma’any Alfadz al-Minhaj, 2 : 480)


النَّوْعُ الرَّابِعُ مَاءُ الْأَنْهَارِ الْعَامَّةِ: وَهُوَ الَّذِي يَجْرِي فِي مَجَارٍ عَامَةٍ غَيْرِ مَمْلُوْكَةٍ لِأَحَدٍ، وَإِنَّمَا هِيَ لِلْجَمَاعَةِ، مِثْلُ النَّيْلِ وَدَجْلَةِ وَالْفُرَاتِ وَنَحْوِهَا مِنَ الْأَنْهَارِ الْعَظِيْمَةِ. وَحُكْمُهُ: أَنَّهُ لَا مِلْكَ لِأَحَدٍ فِي هَذِهِ الْأَنْهَارِ، لَا فِي الْمَاءِ وَلَا فِي الْمَجْرِى، بَلْ هُوَ حَقٌّ لِلْجَمَاعَةِ كُلِّهَا، فَلِكُلِّ وَاحِدٍ حَقُّ الْاِنْتِفَاعِ بِهَا، بِالشَّفَّةِ (سَقْيِ نَفْسِهِ وَدَوَابِهِ) وَالشُّرْبِ (سَقْيِ زُرُوْعِهِ وَأَشْجَارِهِ)، وَشَقِّ الْجَدَاوِلِ مِنْهَا، وَنَصْبِ الْآلاتِ عَلَيْهَا لِجَرِّ الْمَاءِ لِأَرْضِهِ، وَنَحْوِهَا مِنْ وَسَائِلِ الْاِنْتِفَاعِ بِالْمَاءِ، وَلَيْسَ لِلْحَاكِمِ مَنْعُ أَحَدٍ مِنَ اْلِانْتِفَاعِ بِكُلِّ الْوُجُوْهِ، إِذَا لَمْ يَضُرَّ الْفِعْلُ بِالنَّهْرِ أَوْ بِالْغَيْرِ أَوْ بِالْجَمَاعَةِ. فَإِذَا أَضَرَّ، فَلِكُلِّ وَاحِدٍ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ مَنْعُهُ أَو الْحَدُّ مِنْ تَصَرُّفِهِ لِإِزَالَةِ الضَّرَرِ؛ لِأَنَّهُ حَقٌّ لِعَامَّةٍ المسلمين، وَإِبَاحَةُ التَّصَرُّفِ فِي حَقِّهِمْ مَشْرُوْطَةٌ بِانْتِفَاءِ الضَّرَرِ، كَالْاِنْتِفَاعِ بِالْمُرَافِقِ الْعَامَّةِ، إِذْ لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ. (الفقه الإسلامي وأدلته: ج ٥،ص ٥۹٦-٥۹۷) 

"Jenis keempat adalah air sungai umum, Ini adalah air yang mengalir dalam sungai umum yang tidak dimiliki oleh siapapun. Tetapi sungai ini dimiliki oleh masyarakat, seperti Nil, Dajla, Furat, dan sungai-sungai besar lainnya. Hukumnya adalah bahwa tidak ada kepemilikan bagi siapa pun dalam sungai-sungai ini, baik dalam airnya maupun tempat alirannya. Sebaliknya, ini adalah hak bagi seluruh masyarakat, dan setiap individu memiliki hak untuk memanfaatkannya, baik untuk meminum air (diri sendiri atau hewan ternaknya) atau untuk mengairi tanaman dan pohon-pohonnya. Mereka juga memiliki hak untuk menggali saluran air dari sungai ini, memasang mesin-mesin untuk mengalirkan air ke tanah mereka, dan untuk berbagai keperluan pemanfaatan air lainnya. Hakim (pemimpin, pemerintah) tidak ada yang dapat melarang seseorang untuk menggunakan air sungai ini dalam berbagai cara. Selama tindakan tersebut tidak merugikan sungai itu sendiri, atau orang lain, atau masyarakat secara umum. Karena ini adalah hak bagi masyarakat Muslim secara umum, dan izin penggunaannya tergantung pada penghilangan kerugian, sama halnya dengan penggunaan fasilitas umum lainnya, karena tidak boleh melakukan sesuatu yang membahayakan diri sendiri ataupun orang lain.." (Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, 5 : 596-597)


CATATAN:

Dalam pemberian izin bagi siapapun, Pemerintah harus mempertimbangkan antara manfaat yang bisa diambil dan dampak negatif serta mencegah potensi kerusakan yang ditimbulkannya.

الْقَاعِدَةُ الثَّالِثَةُ : تَرَتُّبُ ضَرَرٍ أَعْظَمُ مِنَ الْمَصْلَحَةِ: إِذَا اسْتَعْمَلَ الْإِنْسَانُ حَقَّهُ بِقَصْدِ تَحْقِيقِ الْمَصْلَحَةِ الْمَشْرُوعَةِ مِنْهُ، وَلَكِنْ تَرَتَّبَ عَلَى فِعْلِهِ ضَرَرٌ يُصِيبُ غَيْرَهُ أَعْظَمُ مِنْ الْمَصْلَحَةِ الْمَقْصُودَةِ مِنْهُ، أَوْ يُسَاوِيهَا، مَنَعَ مِنْ ذَلِكَ سَدًّا لِلذَّرَائِعِ، سَوَاءٌ أَكَانَ الضَّرَرُ الْوَاقِعُ عَامًّا يُصِيبُ الْجَمَاعَةَ، أَوْ خَاصًّا بِشَخْصٍ أَوْ أَشْخَاصٍ. (الفقه الإسلامي وأدلته: ج ٤، ص ٣٣)

 “Kaidah ketiga adalah dampak mudharat itu lebih besar dibanding maslahatnya. Ketika seseorang menggunakan haknya dengan tujuan mewujudkan sebuah kemaslahatan yang dapat dilakukan, tetapi usahanya menimbulkan mudharat bagi orang lain yang lebih besar atau setara dibanding dengan maslahat yang direncanakan, maka harus dicegah sebagai bentuk preventif, baik mudharat itu bersifat umum yang menimpa banyak orang maupun bersifat khusus kepada seseorang atau kelompok.” (Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, 4 : 33)

Batasan (Had) Pemanfaatan Air menurut imam al-Mawardi dalam kitab al-Ahkam al-Shulthoniyah:

Para fuqaha (ahli fikih) berbeda pendapat mengenai ukuran harīm-nya (kawasan lindung) sumur.

  • Imam Syafi'i berpendapat bahwa: ukurannya diserahkan kepada 'urf (adat kebiasaan) yang berlaku pada sumur sejenis.

  • Abu Hanifah berkata: Harīm sumur untuk unta penarik air (an-nādih) adalah lima puluh hasta (dzirā').

  • Abu Yusuf berkata: Harīm-nya adalah enam puluh hasta, kecuali jika tali penariknya (rishā') lebih panjang, maka harīm-nya adalah sepanjang ujung tali penariknya.

  • Abu Yusuf juga berkata: Harīm sumur di tempat istirahat unta ('athān) adalah empat puluh hasta.

Imam Mawardi: Ukuran-ukuran tertentu ini (50 hasta, 60 hasta, 40 hasta) tidak dapat ditetapkan kecuali dengan adanya nash (teks) syar'i. Jika terdapat nash, maka harus diikuti. Jika tidak ada, maka ia adalah ma'lūl (berdasarkan alasan/dalil yang lemah). Adapun penetapan ukuran dengan sepanjang ujung tali penarik (rishā') memiliki pandangan yang kuat untuk dipertimbangkan, dan ini dapat dianggap termasuk dalam 'urf (adat kebiasaan) yang berlaku.

Maka, apabila kepemilikan seseorang telah ditetapkan atas sumur dan harīm-nya, ia adalah pihak yang paling berhak atas airnya.

Para pengikut Imam Syafi'i berbeda pendapat: Apakah pemilik sumur menjadi pemilik air tersebut sebelum dia menimba dan menguasainya ?

  1. Sebagian dari mereka berpendapat: Air tersebut berada di bawah kepemilikannya (di dasar sumur) sebelum dikuasai (ditimba), sebagaimana seseorang yang memiliki tambang, ia memiliki mineral di dalamnya sebelum diambil. Oleh karena itu, air tersebut boleh dijual sebelum ditimba, dan jika ada yang menimba tanpa izinnya, ia berhak mengambilnya kembali.

  2. Sebagian yang lain berpendapat: Ia tidak memilikinya kecuali setelah dikuasai (ditimba), karena pada dasarnya air tersebut ditetapkan sebagai sesuatu yang mubāh (diperbolehkan untuk diambil). Namun, ia berhak mencegah orang lain untuk menggunakannya dengan menimba. Tetapi jika ada yang mengambilnya secara paksa, ia tidak berhak mengambilnya kembali.

Maka, apabila hukum kepemilikan sumur ini telah ditetapkan dengan kekhususannya, yaitu hak kepemilikan dan haknya atas airnya, maka ia berhak mengairi ternak, tanaman, pohon kurma, dan pohon-pohonnya. Jika air tersebut tidak melebihi dari kecukupannya (tidak ada sisa), maka ia tidak wajib memberikan air sedikit pun dari air tersebut, kecuali kepada orang yang sangat membutuhkan untuk menyelamatkan jiwanya."

وَٱخْتَلَفَ ٱلْفُقَهَاءُ فِي قَدْرِ حَرِيمِهَا؛ فَذَهَبَ ٱلشَّافِعِيُّ -رَحِمَهُ ٱللَّهُ- إِلَى أَنَّهُ مُعْتَبَرٌ بِالْعُرْفِ ٱلْمَعْهُودِ فِي مِثْلِهَا. وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ: حَرِيمُ ٱلْبِئْرِ لِلنَّاضِحِ خَمْسُونَ ذِرَاعًا. وَقَالَ أَبُو يُوسُفَ: حَرِيمُهَا سِتُّونَ ذِرَاعًا، إِلَّا أَنْ يَكُونَ رِشَاؤُهَا أَبْعَدَ، فَيَكُونُ لَهَا مُنْتَهَى رِشَائِهَا. قَالَ أَبُو يُوسُفَ: وَحَرِيمُ بِئْرِ ٱلْعَطَنِ أَرْبَعُونَ ذِرَاعًا، وَهَذِهِ مَقَادِيرُ لَا تَثْبُتُ إِلَّا بِنَصٍّ، فَإِنْ جَاءَهَا نَصٌّ كَانَ مُتَّبَعًا، وَإِلَّا فَهُوَ مَعْلُولٌ، وَلِلتَّقْدِيرِ بِمُنْتَهَى ٱلرِّشَاءِ وَجْهٌ يَصِحُّ ٱعْتِبَارُهُ، وَيَكُونُ دَاخِلًا فِي ٱلْعُرْفِ ٱلْمُعْتَبَرِ، فَإِذَا ٱسْتَقَرَّ مُلْكُهُ عَلَى ٱلْبِئْرِ وَحَرِيمِهَا فَهُوَ أَحَقُّ بِمَائِهَا. وَٱخْتَلَفَ أَصْحَابُ ٱلشَّافِعِيِّ: هَلْ يَصِيرُ مَالِكًا لَهُ قَبْلَ ٱسْتِقَائِهِ وَحِيَازَتِهِ، فَذَهَبَ بَعْضُهُمْ إِلَى أَنَّهُ يَجْرِي عَلَى مُلْكِهِ فِي قَرَارِهِ قَبْلَ حِيَازَتِهِ؛ كَمَا إِذَا مَلَكَ مَعْدِنًا مَا فِيهِ قَبْلَ أَخْذِهِ، وَيَجُوزُ بَيْعُهُ قَبْلَ ٱسْتِقَائِهِ، وَمَنِ ٱتَّقَاهُ بِغَيْرِ إِذْنِهِ ٱسْتُرْجِعَ مِنْهُ، وَقَالَ آخَرُونَ: لَا يَمْلِكُهُ إِلَّا بَعْدَ ٱلْحِيَازَةِ؛ لِأَنَّ أَصْلَهُ مَوْضُوعٌ عَلَى ٱلْإِبَاحَةِ، وَلَهُ أَنْ يَمْنَعَ مِنَ ٱلتَّصَرُّفِ فِيهَا بِٱسْتِقَائِهِ، فَإِنْ غَلَبَهُ مَنِ ٱسْتَقَى لَمْ يُسْتَرْجَعْ مِنْهُ شَيْئًا، فَإِذَا ٱسْتَقَرَّ حُكْمُ هَذِهِ ٱلْبِئْرِ فِي ٱخْتِصَاصِهِ بِمِلْكِهَا وَٱسْتِحْقَاقِهِ لِمَائِهَا فَلَهُ سَقْيُ مَوَاشِيهِ وَزَرْعِهِ وَنَخِيلِهِ وَأَشْجَارِهِ، فَإِنْ لَمْ يَفْضُلْ عَنْ كِفَايَتِهِ فَضْلٌ لَمْ يَلْزَمْهُ بِذَلِكَ شَيْءٌ مِنْهُ إِلَّا لِمُضْطَرٍّ عَلَى نَفْسٍ. (الأحكام السلطانية: ص٢٣٠)


Penulis : Athoillah Hikam

Perumus : Ust. Arief Rahman Hakim, M.Pd

Mushohih : Ust. M. Faidlus Syukri, S.Pd



Penyunting : Ibn Dahlan


DAFTAR PUSTAKA

Al-Jaziri, Abdul Rahman, Al-Fiqh ala al-Madzahib al- Arba‘ah, Daar al-Ghad al-Ghadid, Mesir: 2005.

Al-Khothib, asy-Syirbini, Mughni al-Muhtaj ila Ma’rifah Ma’any Alfadzu al-Minhaj, sebanyak 4 jilid, Daar al-Ma’rifat, Beirut, Lebanon: 1997.

Al-Zuhayli, Wahbah Mustafa, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, sebanyak 6 jilid. Daar al-Fikr, Beirut, Lebanon: 1985.

Al-Mawardi, al-Ahkam al-Sulthoniyah, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Lebanon: 2020.

===================

=====================


=======================



=======================

=====================

===================




Posting Komentar untuk "Hukum Mendirikan Perusahaan Perairan Yang Berpotensi Mengganggu Debit Air Sumur Masyarakat"