Hukum Perjanjian Pra Nikah

 


Hukum Perjanjian Pra Nikah

Pernikahan adalah suatu akad yang memperbolehkan wathi (persetubuhan) dengan menggunakan lafadz menikahkan (inkah) atau mengawinkan (tazwij). Perjanjian pra nikah merupakan suatu perjanjian tertulis yang dibuat oleh dua orang yang akan menikah, umumnya berkaitan dengan penggabungan atau pembagian harta setelah menikah atau pembagian harta gono-gini jika terjadi perceraian di kemudian hari (Kancana & Suhendri, 2020). Bagaimana hukum perjanjian pra nikah menurut kacamata syariat?

  1. Perjanjiannya sah

Karena hukum perjanjian pra nikah pada dasarnya diperbolehkan asalkan tidak bertentangan dengan hukum syara’. 


  1. Perjanjiannya tidak sah

Jika perjanjian tersebut tidak sesuai dengan hukum syarak. Misalnya perjanjian yang dapat membatalkan pernikahan, perjanjian yang dapat membatalkan mahar walaupun tidak membatalkan pernikahan, dan lainnya.

أَنَّ الشَّرْطَ فِي النِّكَاحِ ضَرْبَانِ: جَائِزٌ، وَمَحْظُورٌ فَأَمَّا الْجَائِزُ: فَمَا وَافَقَ حُكْمَ الشَّرْعِ فِي مُطْلَقِ الْعَقْدِ مِثْلَ أَنْ يَشْتَرِطَ عَلَيْهَا أَنَّ لَهُ أَنْ يَتَسَرَّى عَلَيْهَا، أَوْ يَتَزَوَّجَ عَلَيْهَا، أَوْ يُسَافِرَ بِهَا، أَوْ أَنْ يُطَلِّقَهَا إِذَا شَاءَ، أَوْ أَنْ تَشْتَرِطَ هِيَ عَلَيْهِ، أَوْ يُوَفِّيَهَا صَدَاقَهَا، أَوْ أَنْ يُنْفِقَ عَلَيْهَا نَفَقَةَ مِثْلِهَا، أَوْ يَقْسِمَ لَهَا مَعَ نِسَائِهِ بِالسَّوِيَّةِ فَكُلُّ هَذِهِ الشُّرُوطِ جَائِزَةٌ، وَالنِّكَاحُ مَعَهَا صَحِيحٌ، وَالْمُسَمَّى فِيْهِ مِنَ الصَّدَاقِ لاَزِمٌ، لِأَنَّ مَا شَرَطَهُ الزَّوْجُ مِنْهَا لِنَفْسِهِ يَجُوزُ لَهُ فِعْلُهُ بِغَيْرِ شَرْطٍ فَكَانَ أَوْلَى بِأَنْ يَجُوزَ مَعَ الشَّرْطِ وَأَمَّا الْمَحْظُورُ مِنْهَا: فَمَرْدُودٌ، لِقَوْلِ النَّبِيِّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: " كُلُّ شَرْطٍ لَيْسَ فِي كِتَابِ اللَّهِ فَهُوَ باَطِلٌ وَلَوْ كَانَ مِائَةَ شَرْطٍ، شَرْطُ اللَّهِ أَحَقُّ وَعَقْدُهُ أَوْثَقُ وَالشُّرُوطُ الْمَحْظُورَةُ تَنْقَسِمُ أَرْبَعَةَ أَقْسَامٍ أَحَدُهَا: مَا يَبْطُلُ بِهِ النِّكَاحُ الثَّانِي: مَا يَبْطُلُ بِهِ الصَّدَاقُ وَالثَّالِثُ: مَا يَخْتَلِفُ حُكْمُهُ لِاخْتِلَافِ مُشْتَرِطِهِ وَالرَّابِعُ: مَا اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِيْهِ (الحاوي الكبير: ج ٩ ، ص  ٥٠٥ )


“Persyaratan dalam pernikahan itu ada 2; boleh dan dilarang. Adapun perjanjian yang diperbolehkan adalah apapun yang disepakati oleh hukum syariat dalam akad yang mutlak. Misalnya suami menetapkan bahwa suami harus membahagiakan istrinya, berhak mengawininya, atau bepergian bersamanya, berhak menceraikannya jika suami menghendakinya. Atau istri mensyaratkan agar suami memenuhi maharnya, atau menafkahi sebagaimana nafkah wanita lainnya, atau membagi jatah menginap dengan adil. Maka semua syarat-syarat ini diperbolehkan dan pernikahannya sah. Karena syarat-syarat diatas boleh dilakukan meskipun tanpa perjanjian atau persyaratan, maka lebih utama jika dengan persyaratan. Adapun persyaratan yang dilarang maka itu ditolak sebagaimana hadis Nabi Muhammad SAW : “Semua syarat yang bertentangan dengan Kitab Allah maka syarat tersebut batal walaupun ada 100 syarat. Syarat Allah lebih Haq dan akadnya lebih kuat”. Syarat yang tidak diperbolehkan itu ada 4 macam. Pertama, syarat yang membatalkan nikah. Kedua, syarat yang membatalkan mahar. Ketiga, syarat yang hukumnya tergantung pada yang memberi persyaratan. Dan keempat, syarat yang diperselisihkan oleh ulama madzhab syafi’i” (al-Hawi al-Kabir, 9 : 505).


Penulis : Daimatul Mahmudah

Perumus : Ust. Alfandi Jaelani, S.T

Mushohih : Ust. Durrotun Naskhin, M.Pd



Penyunting : M. Irvan Masfani R


DAFTAR PUSTAKA

Kancana, H., & Suhendri. 2020. Relevansi perjanjian pranikah antara hukum negara dan hukum agama. Muhammadiyah Law Review 4(1). Hal 45-54

Ali, Abu Hasan bin Muhammad bin Muhammad bin Habib Al-Bashri Al-Baghdadi Al-Mawardi. al-Hawi al-Kabir. Dar al-Kutub al-Ilmiyah. Beirut, Lebanon. 1999. 

====================================




Posting Komentar untuk "Hukum Perjanjian Pra Nikah"