Hukum Shalat Bagi Perempuan
Menjelang Persalinan (Masa Buka’an)
Ketika seorang perempuan hamil yang hendak melahirkan, maka perempuan tersebut akan mengalami masa yang dinamakan masa bukaan (masa menjelang persalinan). Pada umumnya masa bukaan 1-10 berkisar 8 sampai 10 jam. Pada masa tersebut perempuan mengalami kontraksi dan mengalami rasa sakit sehingga membuatnya tidak bisa melakukan kegiatan lain, dan sangat memungkinkan juga tidak dapat melaksanakan shalat dengan sempurna.
Bagaimana hukum shalat bagi perempuan menjelang persalinan atau masa bukaan?
Tetap Wajib Shalat, apabila perempuan tersebut hanya mengalami kontraksi ringan disertai dengan keluarnya flek darah (darah fasad) dan lendir. Maka perempuan tersebut tetap wajib shalat sesuai dengan kemampuannya. Karena flek darah yang keluar bukan termasuk darah nifas atau darah haid yang menjadi tercegahnya untuk melaksanakan shalat.
وَالنِّفَاسُ: الدَّمُ الْخَارِجُ بَعْدَ فَرَاغِ الرَّحِمِ مِنَ الْحَمْلِ، فَخَرَجَ بِذَلِكَ دَمُ الطَّلْقِ، وَالْخَارِجُ مَعَ الْوَلَدِ فَلَيْسَ بِحَيْضٍ لِكَوْنِهِ مِنْ آثَارِ الْوِلَادَةِ، وَلَا نِفَاسَ لِتَقَدُّمِهِ عَلَى خُرُوجِ الْوَلَدِ بَلْ هُوَ دَمُ فَسَادٍ إلَّا أَنْ يَتَّصِلَ بِحَيْضِهَا الْمُتَقَدِّمُ فَإِنَّهُ يَكُونُ حَيْضًا.(حاشية الجمل على شرح المنهج: ج ١،ص:٣٦٧)
“Nifas adalah darah yang keluar setelah kosongnya Rahim dari kehamilan. Maka darah yang keluar termasuk darah talq, dan darah yang keluar bersamaan dengan bayi. Kedua jenis darah ini tidak bisa dikatakan sebagai haid karena merupakan akibat dari proses persalinan. Juga tidak masuk kategori nifas karena keluar sebelum bayi, tetapi masuk kategori darah fasad (rusak), kecuali bila bersambung dengan darah haid sebelumnya baru bisa dikatakan sebagai darah haid (Hasyiyah al-jamal ‘Ala Syarh al-Minhaj 1: 367).
Namun, ketika kontraksi (peregangan pada dinding Rahim) menimbulkan rasa nyeri pada perut yang seringkali tidak tertahankan, sehingga perempuan yang mengalami kontraksi bisa disamakan dengan orang yang sedang sakit dan diperbolehkan untuk tarakhush (mengambil keringanan syariat). Keringanan syariat itu berbeda-beda sesuai dengan kondisi perempuan tersebut:
Jika ibu hamil mengalami kontraksi dengan rasa nyeri yang ringan. Maka wajib wudhu’ dan shalat dengan normal
Jika ibu hamil mengalami kontraksi dengan nyeri perut yang berat sehingga sangat kepayahan, akan tetapi tanpa mengeluarkan cairan dari jalan lahir. Maka wajib wudhu’ jika ada yang menolong dan shalat semampunya tanpa kewajiban qadha’. Dan dalam hal ini ibu hamil berstatus sebagai orang sakit.
Jika ibu hamil dalam kondisi yang sangat payah dan menderita disertai mengeluarkan cairan (ketuban dan darah) dari jalan lahir. Najis yang terus menerus keluar dan tidak mungkin untuk menyucikannya adalah salah satu problem keabsahan shalat pada kondisi ini. Maka diperbolehkan untuk meninggalkan shalat dengan kewajiban qadha’.
يَجِبُ عَلَى الْمَرِيْضِ أَنْ يُؤَدِّيَ الصَّلَوَاتِ الْخَمْسَ مَعَ كَمَالِ شُرُوْطِهَا وَأَرْكَانِهَا وَاجْتِنَابِ مُبْطِلاَتِهَا حَسْبَ قُدْرَتِهِ وَإِمْكَانِهِ وَلَهُ الْجُلُوْسُ ثُمَّ اِلاضْطِجَاعُ ثُمَّ اِلاسْتِلْقَاءُ وَاْلإِيْمَاءُ إِذَا وَجَدَ مَا تُبِيْحُهُ عَلَى مَا قُرِّرَ فِي الْمَذْهَبِ فَاِنْ كَثُرَ ضَرَرُهُ وَاشْتَدَّ مَرَضُهُ وَخَشِيَ تَرْكَ الصَلاَةِ رَأْسًا فَلَا بَأْسَ بِتَقْلِيدِ أَبِى حَنِيفَةَ وَمَالِكٍ وَإِنْ فُقِدَتْ بَعْضُ الشُّرُوطِ عِنْدَنَا. وَحَاصِلُ مَا ذَكَرَهُ الشَّيْخُ مُحَمَّدُ بْنُ خَاتِمٍ فِى رِسَالَتِهِ فِي صَلَاةِ الْمَرِيضِ أَنَّ مَذْهَبَ أَبِى جُنَيْفَةَ أَنَّ الْمَرِيضَ إِذَا عَجَزَ عَنِ الْايْمَاءِ بِرَأْسِهِ جَازَ لَهُ تَرْكُ الصَّلَاةِ.(بغية المسترشدين: ص:٩٩)
“Wajib bagi orang yang sakit untuk melaksanakan salat lima waktu dengan menyempurnakan syarat-syaratnya, rukunnya, dan menjauhi hal-hal yang membatalkannya sesuai dengan kemampuan dan kesanggupannya. Ia boleh melaksanakan salat dengan duduk, kemudian berbaring miring, lalu terlentang, dan dengan isyarat (gerakan kepala) apabila terdapat sebab yang membolehkannya, sebagaimana telah dijelaskan dalam mazhab (Syafi’i). Jika penyakitnya semakin berat, penderitaannya bertambah, dan ia khawatir akan meninggalkan salat sama sekali, maka tidak mengapa baginya untuk mengikuti pendapat Abu Hanifah dan Malik, meskipun sebagian syarat salat menurut mazhab kami (Syafi’i) tidak terpenuhi. Kesimpulan dari apa yang disebutkan oleh Syaikh Muhammad bin Khatim dalam risalahnya tentang salat orang sakit adalah bahwa menurut mazhab Abu Hanifah, apabila orang sakit tidak mampu melakukan isyarat dengan kepalanya, maka boleh baginya meninggalkan salat.”
(Bughyah al-Mustarsyidin : 99)
Penulis : Alisa Fitriani
Perumus : Ust. Arief Rahman Hakim, M.Pd
Mushohih : Ust. M. Faidlus Syukri, S.Pd
Penyunting : M. Salman al-Farizi
DAFTAR PUSTAKA
Al-Jamal, Syaikh Sulaiman. Hasyiyah al-Jamal ‘Ala Syarh al-Minhaj, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Lebanon, sebanyak 8 jilid.
Ba’lawi, al-Allamah as-Sayyid Abdurrahman bin Muhammad bin Husain bin ‘Umar al-Masyhur. Bughyah al-Mustarsyidin, Beirut, Lebanon, 1414 H.
====================================
=====================================
Posting Komentar untuk "Hukum Shalat Bagi Perempuan Menjelang Persalinan (Masa Buka’an)"