Hukum Shalat Ghaib Bagi Mayit Terdahulu
Sudah maklum bahwa shalat ghaib dilakukan ketika jenazah tidak berada di hadapan kita, baik jenazah sudah dimakamkan atau belum dimakamkan. Di Indonesia, waktu pelaksanaan shalat ghaib bisa bervariasi tergantung pada tradisi dan kebiasaan masyarakat setempat.
Namun ada juga masyarakat yang melakukan shalat ghaib untuk orang yang telah lama meninggal (baik shalat di kuburannya atau tidak) dengan tujuan penghormatan atas jasa-jasa mereka. Bagaimana hukum shalat ghaib bagi mayit terdahulu? Dan berapa lama batas jenazah yang boleh dishalati di kuburannya?
Bagaimana Hukum Shalat Ghaib Atas Mayit Orang Terdahulu?
Hukum ditinjau dari segi musholli
SAH
Sah jika Musholli ialah Islam, berakal, dan baligh.
TIDAK SAH
Tidak sah jika Musholli orang kafir, orang haid, atau musholli tersebut baru mencapai baligh atau belum baligh dan yakin bahwa jenazah belum dimandikan.
وَالْأَصَحُّ تَخْصِيْصُ صِحَّةِ الصَّلَاةِ عَلَى اْلغَائِبِ وَاْلقَبْرِ بِمَنْ كَانَ (مِنْ أَهْلِ) أَدَاءِ (فَرْضِهَا) أَيِ الصَّلَاةِ (وَقْتَ مَوْتِهِ) دُوْنَ غَيْرِهِ فَلَا تَصِحُّ مِنْ كَافِرٍ وَحَائِضٍ يَوْمَ مَوْتِهِ كَمَنْ بَلَغَ أَوْ أَفَاقَ بَعْدَ الْمَوْتِ وَقَبْلَ الْغُسْلِ ( نهاية الزين :ج ١، ص ١٥٦)
“Menurut pendapat yang shohih adalah sahnya shalat untuk orang yang telah meninggal dan dalam kubur hanya bagi orang yang telah memenuhi kewajiban shalatnya (sepanjang hidupnya), yaitu shalat wajibnya, pada saat kematian si mayit (dalam artian notaben musholli merupakan orang ahli ibadah atau istiqomah mendirikan shalat fardhu hingga kematian mayit pun musholli termasuk ahli ibadah maka sah sholatnya). Oleh karena itu, shalat tidak sah jika dilakukan untuk orang kafir atau wanita haid pada saat kematian si mayit, sebagaimana juga tidak sah jika dilakukan untuk orang dewasa yang telah mencapai baligh atau telah sadar setelah kematian dan jenazah belum dimandikan.” (Nihayah al-Zain, 1:156)
Hukum ditinjau dari segi keadaan mayit
SAH
Sekalipun keadaan mayit sudah membusuk.
TIDAK SAH
Apabila sholat ghaib ditujukan kepada Nabi.
وَتَصِحُّ عَلَى حَاضِرٍ مَدْفُوْنٍ وَلَوْ بَعْدَ بِلاَئِهِ غَيْرِ نَبِيٍّ فَلَا تَصِحُّ عَلَى قَبْرِ نَبِيٍّ (إعانة الطالبين :ج ٢، ص ٢٢١ )
“Dan sah mensholati jenazah yang baru dimakamkan sekalipun jenazah tersebut sudah membusuk kecuali untuk maqbaroh Rosulullah, maka tidak sah menshalati maqbaroh Rosulullah”. ( I’anah al-Thalibin, 2:221)
Berapakah Batas Lama Jenazah Yang Boleh Dishalati di Kuburannya?
Selamanya (tanpa batas waktu)
Menshalati jenazah para sahabat dan ulama setelahnya sampai hari ini. Tidak ada batas berapa umur jenazah yang boleh dishalati di kuburnya, Imam al-Nawawi dalam kitab al-Majmu’ berkata, para ashab sepakat melemahkan pendapat ini.
Tiga Hari
Jika melampaui batas umur jenazah tiga hari maka tidak boleh. Pendapat ini sesuai dengan mazhab Imam Abu Hanifah.
Satu Bulan
Jika melampaui batas umur jenazah satu bulan maka tidak boleh. Pendapat ini sesuai dengan mazhab Imam Ahmad bin Hanbal.
Selama Masih Tersisa Anggota Tubuh Mayit
Selama masih tersisa anggota tubuh mayat maka boleh melaksanakan shalat, bila anggota tubuh mayat telah hancur. Bila ragu-ragu masih tersisa atau telah sirna, maka dihukumi masih tersisa.
Tidak Ada Batas Dengan Syarat
Dikhususkan untuk orang yang berkewajiban menshalati saat kematian mayat. Berpijak dari pendapat ini, tidak ada batasan berapa lama usia jenazah yang boleh dishalati di kuburnya, asalkan dilakukan oleh orang yang terkena tuntutan kewajiban menshalati saat kematian jenazah. Pendapat kelima ini adalah yang kuat dalam mazhab Syafi’i, disahihkan oleh al-Imam al-Rafi’i dalam kitab al-Syarh al-Shagir.
وَإِلَى مَتَى يُصَلَّى عَلَيْهِ ؟ فِيْهِ أَوْجُهٌ. أَحَدُهَا أَبَدًا، فَعَلَى هَذَا تَجُوْزُ الصَّلَاةُ عَلَى قُبُوْرِ الصَّحَابَةِ فَمَنْ بَعْدَهُمْ إِلَى الْيَوْمِ. قَالَ فِي الْمَجْمُوْعِ: وَقَدِ اتَّفَقَ الْأَصْحَابُ عَلَى تَضْعِيْفِ هَذَا الْوَجْهِ. ثَانِيْهَا إِلَى ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ دُوْنَ بَعْدَهَا، وَبِهِ وَقَالَ أَبُوْ حَنِيْفَةَ. ثَالِثُهَا: إِلَى شَهْرٍ وَبِهِ قَالَ أَحْمَدُ. رَابِعُهَا مَا بَقِيَ مِنْهُ شَيْءٌ فِي الْقَبْرِ فَإِنِ انْمَحَقَتْ أَجْزَاؤُهُ لَمْ يُصَلَّ عَلَيْهِ، وَإِن شَكَّ فِي الاِنْمِحَاقِ فَالْأَصْلُ الْبَقَاءُ. خَامِسُهَا: يَخْتَصُّ بِمَنْ كَانَ مِنْ اَهْلِ الصَّلاَةِ عَلَيْهِ يَوْمَ مَوْتِهِ وَصَحَّحَهُ فِي الشَّرْحِ الصَّغِيْرِ فَيَدْخُلُ الْمُمَيِّزُ عَلَى هَذَا دُوْنَ غَيْرِ الْمُمَيِّزِ (مغني المحتاج: ج ٢، ص ٢٨ )
“Sampai kapan boleh menshalati mayat di kuburnya? Terdapat beberapa pendapat. Pendapat pertama, selamanya. Berpijak dari ini, boleh menshalati kuburnya para sahabat dan ulama setelahnya hingga sekarang. Al-Imam al-Nawawi dalam kitab al-Majmu’ berkata, para ashab sepakat melemahkan pendapat ini. Pendapat kedua, sampai tiga hari, bukan durasi setelahnya. Pendapat ini sesuai dengan pendapat Imam Abu Hanifah. Pendapat ketiga, sampai satu bulan. Pendapat ini sesuai dengan pendapat Imam Ahmad bin Hambal. Pendapat keempat, selama masih tersisa anggota tubuh mayat di dalam kubur. Bila telah hancur anggota-anggotanya, maka tidak boleh dishalati.Bila ragu-ragu, maka hukum asal dihukumi masih tersisa. Pendapat kelima, terkhusus untuk orang yang tergolong berkewajiban menshalati mayat saat hari kematiannya. Pendapat ini disahihkan oleh Imam al-Rafi’i dalam Syarh al-Shaghir, maka memasukkan anak kecil yang sudah tamyiz, bukan anak yang belum mencapai tamyiz.” (Mughni al-Muhtaj, 2:28)
Penulis : Aba Billur Rohmah
Mushohih : Ust. M. Faidlus Syukri, S.Pd
Penyunting : Alfi Fairuz Nazili
DAFTAR PUSTAKA
Abu Abdul Mu’thi Muhammad Nawawi bin ‘Umar Al-Jawi, Nihayah al-Zain fi Irsyadi al-Mubtadi’in, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Lebanon : 2002.
Abu Bakar bin Muhammad Syatho Al-Dimyathi, Hasiyah I’anah at-Thalibin, sebanyak 4 jilid. Jakarta: Dar Ihya’ al-Kutub al-Ilmiah, Beirut, Lebanon : 1995.
Syamsuddin Muhammad bin Muhammad al-Khatib Al-Syarbini, Mughni al-Muhtaj Ila Ma’rifah Ma’ani Alfadz al-Minhaj, Dar al-Kutub al-Ilmiah.
=====================================
Posting Komentar untuk "Hukum Shalat Ghaib Bagi Mayit Terdahulu"