Mengajari Anak Tarian Joget-Jogetan Di Media Sosial Dan Sebatas Mana Tarian Yang Diperbolehkan Untuk Anak Yang Belum Baligh
Media sosial merupakan salah satu aplikasi yang digunakan semua orang mulai kalangan anak kecil sampai tua yang digunakan untuk mencari hiburan, bisnis, dan lain sebagainya. Mencari konten untuk hiburan merupakan hal yang sering dilakukan oleh pengguna media sosial mulai dari tarian tarian, eksperimen, dan lain-lain.
Bagaimanakah hukum mengajari anak tarian / joget-jogetan di media sosial? dan sebatas mana tarian yang diperbolehkan untuk anak yang belum baligh?
Haram Jika Tarian Tersebut Tarian Yang Haram
Menurut Syekh Wahbah Az-Zuhaili dalam kitab Al-Fiqhu Al-Islami Wa Adillatuhu: Juz 2, Hal. 2665 menjelaskan tentang tarian-tarian yang haram adalah tarian yang gerakannya patah-patah, lenggak lenggok, berayun, menunduk, dan mengangkat dengan gerakan teratur, itu haram dan dianggap perbuatan fasik. Seperti tarian pargoy, goyang walang kekek, goyang ebor dan lain lain.
وَأَمَّا الرَّقْصُ الَّذِي يَشْتَمِلُ عَلَى التَّثَنِّي وَالتَّكَسُّرِ وَالتَّمَايُلِ وَالْخَفْضِ وَالرَّفْعِ بِحَرَكَاتٍ مَوْزُوْنَةٍ فَهُوَ حَرَامٌ وَمُسْتَحِلُّهُ فَاسِقٌ. (الفقه الإسلامي وأدلته للزحيلي:ج ٣، ص ٥٧٥)
“Adapun tarian yang melibatkan patah-patah, lenggak lenggok, berayun, menunduk, dan mengangkat dengan gerakan teratur, tarian tersebut hukumnya haram dan orang yang menghalalkannya termasuk orang fasik”. (Al-Fiqhu Al-Islami wa Adillatuhu, 2: 2665)
Oleh karena itu jika menari dengan gerakan patah-patah, lenggak lenggok, berayun, menunduk, dan mengangkat dengan gerakan teratur, itu haram dan orang yang menghalalkannya termasuk orang yang fasik maka mengajari anak tarian/ joget-jogetan tersebut juga haram hukumnya karena tergolong i'anah ‘Alal Maksiat:
وَمِنْهَا أَيْ مِنْ مَعَاصِى الْبَدَنِ الْإِعَانَةُ عَلَى الْمَعْصِيَةِ أَيْ عَلَى مَعْصِيَةٍ مِنْ مَعَاصِى اللهِ بِقَوْلٍ اَوْ فِعْلٍ أَوْ غَيْرِهِ ثُمَّ إِنْ كَانَتْ الْمَعْصِيَةُ كَبِيْرَةً كَانَتْ الْإِعَانَةُ عَلَيْهَا كَذَالِكَ كَمَا فِي الزَّوَاجِرِ قَالَ فِيْهَا وذِكْرِيْ لِهَذَيْنِ أَيِ الرِّضَا بِهَا وَالْإِعَانَةُ عَلَيْهَا بِأَيِّ نَوْعٍ كاَنَ ظَاهِرٌ مَعْلُوْمٌ مِمَّا سَيَأْتِـيْ فِي الْأَمْرِ بِالْمَعْرُوْفِ وَالنَّهْيِ عَنِ الْمُنْكَرِ. (إسعاد الرفيق على سلم التوفيق: ج ٢، ص ١٩٧)
"Di antara maksiat tubuh adalah ikut menolong (terlibat) peristiwa maksiat-maksiat yang dimurkai Allah, baik berupa ucapan, perbuatan dll. Bila maksiat tadi tergolong dalam dosa besar, maka dosa yang didapat dari keterlibatannya pun juga besar, seperti dijelaskan dalam kitab Zawajir. Di dalam kitab tersebut Ibn Hajar berkata :” (alasan) saya menyebutkan dua hal diatas, yakni membiarkan maksiat terjadi (Ridlo bi Maksiah) dan terlibat di dalamnya (Ianah alaiha) dengan berbagai macam ragamnya, sudah cukup jelas dan maklum seperti yang akan dijelaskan dalam Bab Amr Ma’ruf Nahi Munkar”. (Is’ad Al-Rofiq ‘ala Sulam At-Taufiq, 2:128)
Makruh
Menurut Syekh Sirojuddin Al-Bulqini di dalam kitab Al-Tadrib fi al-Fiqh al-Syafi'i: Juz 4, hal. 366 bahwa tarian itu bukanlah sesuatu yang haram melainkan makruh dengan batasan apabila tarian tersebut tidak sampai Mukhonnits (laki laki menyerupai perempuan/perempuan menyerupai laki laki) dan tidak menyebabkan Kewibawaan seseorang itu menjadi rendah.
وَيُكْرَهُ الرَّقْصُ، إلَّا أَنْ يَكُوْنَ فِيْهِ تَكَسُّرٌ، كَفِعْلِ الْمُخَنِّثِ، أَوْ يَكْثُرُ بِحَيْثُ يُخِلُّ بِمُرُوْءَةِ الرَّجُلِ الْفَاعِلِ لِذَلِكَ، فَيَحْرُمُ فِي الصُّوْرَتَيْنِ حِيْنَئِذٍ. (التَّدْرِيْبُ فِي الْفِقْهِ الشَّافِعِيِّ : ج ٤، ص ٣٦٦)
“Tarian itu makruh, kecuali jika melibatkan pergerakan yang mirip dengan perilaku mukhannits atau jika terlalu berlebihan sehingga merusak kesopanan laki-laki yang melakukannya, maka haram dalam kedua kondisi tersebut." (Al-Tadrib fi al-Fiqh al-Syafi'i, 4:366)
Boleh
Menurut imam Al-Ghozali dalam kitab ihya’ ulumuddin hal. 304 Juz 2 diperbolehkannya menari dengan tujuan bukan memamerkan diri dihadapan orang lain. Dengan demikian bagi orang tua yang mengajari anaknya menari juga diperbolehkan asalkan bukan dengan tujuan memamerkan diri. Karena sesungguhnya menari adalah perbuatan yang memicu kegembiraan dan semangat.
قِيْلَ لِبَعْضِهِمْ لِمَ لَا تَسْمَعُ؟ فَقَالَ مِمَّنْ وَمَعَ مَنْ؟ الْأَدْبُ الرَّابِعُ أَنْ لَا يَقُوْمَ وَلَا يَرْفَعَ صَوْتَهُ بِالْبُكَاءِ وَهُوَ يَقْدُرُ عَلَى ضَبْطِ نَفْسِهِ وَلَكِنْ إِنْ رَقَصَ أَوْ تَبَاكَى فَهُوَ مُبَاحٌ إِذَا لَمْ يَقْصُدْ بِهِ الْمُرَاءَاةَ لِأَنَّ التَّبَاكِيَ اِسْتِجْلَابٌ لِلْحُزْنِ وَالرَّقْصُ سَبَبٌ فِي تَحْرِيْكِ السُّرُوْرِ وَالنَّشَاطِ، (إحياء علوم الدين: ج٢، ص ٣٠٤)
“Seseorang ditanya mengapa dia tidak mendengarkan?, dan dia menjawab, 'Dari siapa dan bersama siapa? Ini adalah nasihat keempat: Janganlah berdiri atau meninggikan suara saat menangis, asalkan Anda mampu mengendalikan diri. Namun, jika Anda menari atau menangis dengan tujuan bukan untuk memamerkan diri, itu diizinkan. Karena menangis membantu mengeluarkan kesedihan, sedangkan menari memicu kegembiraan dan semangat." (ihya’ ulumuddin, 2:304)
Di Dalam kitab Hasyiyah As-Shawi Ala Syarh As-Shaghir hal. 503 Juz 2, menjelaskan bahwa tarian itu diperbolehkan dalam keadaan tertentu saja seperti contoh menari tarian adat (jaipong,ngremo,piring) saat memeriahkan budaya tersebut.
وَأَمَّا الرَّقْصُ فَاخْتَلَفَ فِيهِ الْفُقَهَاءُ، فَذَهَبَتْ طَائِفَةٌ إلَى الْكَرَاهَةِ، وَطَائِفَةٌ إلَى الْإِبَاحَةِ، وَطَائِفَةٌ إلَى التَّفْرِيقِ بَيْنَ أَرْبَابِ الْأَحْوَالِ وَغَيْرِهِمْ فَيَجُوزُ لِأَرْبَابِ الْأَحْوَالِ، وَيُكْرَهُ لِغَيْرِهِمْ، وَهَذَا الْقَوْلُ هُوَ الْمُرْتَضَى، وَعَلَيْهِ أَكْثَرُ الْفُقَهَاءِ الْمُسَوِّغِيْنَ لِسَمَاعِ الْغِنَاءِ، وَهُوَ مَذْهَبُ السَّادَةِ الصُّوفِيَّةِ، (حاشية الصاوي على الشرح الصغير: ج ٢، ص ٥٠٣)
“Adapun tentang tarian, para fuqaha (ahli fiqih) berbeda pendapat mengenainya. Sebagian berpendapat bahwa tarian itu makruh, sebagian lain membolehkannya, dan yang lainnya mengklasifikasikannya berdasarkan situasi. Diperbolehkan bagi mereka yang melakukan tarian dalam keadaan tertentu, tetapi tidak untuk yang lainnya. Pendapat yang lebih diterima adalah yang membolehkan tarian, dan ini adalah pandangan yang dipegang oleh sebagian besar fuqaha yang memperbolehkan mendengarkan musik. Ini juga merupakan pandangan dari beberapa kelompok sufi" (Hasyiyah As-Shawi Ala Syarh As-Shaghir, 2:503)
Penulis : Teguh Pradana
Perumus : Ust. M. Faisol S.Pd
Mushohih : Ust. Afif Dimyati S.Pd
Penyunting : Sulaiman El-Farizi
DAFTAR PUSTAKA
Az-Zuhaili, Wahbah Ibn Musthafa, Al-fiqhu Al-Islami wa Adillatuhu, Dar Al-Fikr, Suriah, Damaskus, cet. kedua, 1985 M, sebanyak 8 jilid.
Al-Syafi’i, Muhammad Bin Salim bin Said Babashil, Is’ad Al-Rofiq ‘Ala Sullam Al-Taufiq, Tanpa Tahun
Al-Bulqini, Sirojuddin Abi Hafs Amr Ibn Ruslan, At-Tadrib Fii Al-Fiqhi As-Syafi’i, Daar Al-Qoblatain, Al-Riyadh, Arab Saudi, 2012.
Al-Ghozali, Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad, Ihya’ Ulumuddin, Dar Al-Ma’rifah, Beirut, tanpa tahun.
Al-Kholwati, Abu Abbas Ahmad Ibn Muhammad, Hasyiah As-Shawi ‘Ala Syarh As-Shaghir: Dar Al-Ma’arif : tanpa tahun.
=================================
Posting Komentar untuk " Mengajari Anak Tarian Joget-Jogetan Di Media Sosial Dan Sebatas Mana Tarian Yang Diperbolehkan Untuk Anak Yang Belum Baligh"