Zuhud Dalam Gaya Hidup Hedonis

 

ZUHUD DALAM GAYA HIDUP HEDONIS

LATAR BELAKANG

 Di era modern ini, gaya hidup hedonis menjadi semakin dominan dan dianggap sebagai bagian dari kehidupan normal, bahkan ideal. Hedonisme secara umum adalah pandangan hidup yang menjadikan kesenangan, kenikmatan, dan kepuasan duniawi sebagai tujuan utama. Gaya hidup ini tampak dalam bentuk konsumsi berlebihan, pencarian status sosial melalui materi, pencitraan di media sosial yang berujung pada minimnya kesadaran terhadap nilai-nilai spiritual. Ironisnya, fenomena ini tidak hanya melanda kalangan sekuler materialistik, tetapi juga merambah kelompok masyarakat yang religius, terutama kalangan religius yang kaya. Hal tersebut memunculkan pertanyaan penting dalam sudut pandang tasawuf: apakah seseorang yang terbiasa hidup dalam nuansa hedonis masih bisa mengembangkan sikap zuhud ?. Pertanyaan ini muncul dari gap antara realitas kehidupan konsumtif umat islam saat ini dan ajaran zuhud dalam tasawuf yang menekankan keterlepasan hati dari dunia. Dengan kesadaran spiritual, pengetahuan yang benar, dan bimbingan tasawuf, seseorang yang hidup dalam lingkungan hedonis tetap memiliki peluang untuk menapaki maqam zuhud.  Tasawuf terbukti fleksibel dan relevan dalam menjawab tantangan zaman modern dan membimbing manusia untuk mencapai kebahagiaan hakiki.  

Tulisan ini mencoba menjawab pertanyaan tersebut melalui pendekatan teori zuhud. Menurut Imam Ghazali, zuhud bukan berarti meninggalkan dunia secara total. melainkan menyucikan hati dari keterikatan terhadap dunia. Dunia tidak ditolak secara lahir, namun ditempatkan sebagai sarana menuju akhirat, bukan sebagai tujuan utama. Zuhud lahir dari mujahadah (perjuangan melawan nafsu) dan muraqabah (kesadaran akan pengawasan Allah), yang melatih jiwa untuk tidak menjadikan dunia sebagai sumber kebahagiaan sejati. 

Sementara itu, zuhud yakni kondisi ketika seseorang memiliki dunia tetapi tidak dimiliki oleh dunia, yang berarti  zuhud merupakan keseimbangan batin, yakni hidup di tengah kenikmatan dunia, namun hati tetap terpaut hanya kepada Allah. Inilah esensi zuhud yang tidak terletak pada pakaian kasar atau meninggalkan harta, melainkan pada niat, tujuan, dan pengendalian diri.

PEMBAHASAN

 Zuhud

 Menurut Imam Ghazali dalam Ihya' ‘Ulum al-Din, zuhud bukan berarti meninggalkan dunia secara total, melainkan menyucikan hati dari keterikatan terhadap dunia. Dunia tidak ditolak secara lahiriah, namun ditempatkan sebagai sarana menuju akhirat, bukan sebagai tujuan utama. Zuhud yaitu meninggalkan sesuatu untuk mencapai lainnya yang lebih baik. Ibarah dari Ihya' ‘Ulum al-Din juz 4, hal 189 : 

أَمَّا اْلحَالُ فَنَعْنِي بِهَا مَا يُسَمَّى زُهْدًا، وَهُوَ عِبَارَةٌ عَنِ انْصِرَافِ الرَّغْبَةِ عَنِ الشَّيْءِ إِلَى مَا هُوَ خَيْرٌ مِنْهُ . (إحياء علوم الدين: ج ٤، ص ١٨٩)

“Adapun keadaan (yang dimaksud), maka yang kami maksud dengannya adalah zuhud. Zuhud adalah ungkapan keadaan memalingkan keinginan dari sesuatu menuju yang lebih baik darinya.” (Ihya’ Ulum al-Din, 4:189)

Imam Ghazali juga menjelaskan bahwa, zuhud adalah meninggalkan (hal, perbuatan, barang) yang haram karena yang halal diperbolehkan oleh Allah SWT. Hal ini terdapat pada ibarah kitab al-Risalah al- Qusyairiyah, hal 151 :

عَن أبي خَلاَّدٍ_ وَكَانَتْ لَهُ صُحْبَةٌ_ قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ ﷺ: "إِذَا رَأَيْتُمُ الرَّجُلَ قَدْ أُوتِيَ زُهْدًا فِي الدُّنْيَا وَمَنْطِقًا، فَاقْتَرِبُوا مِنْهُ، فَإِنَّهُ يُلَقَّنُ الْحِكْمَةَ." وَقَالَ الأُسْتَاذُ الإِمَامُ أَبُو الْقَاسِمِ رَحِمَهُ اللهُ: اخْتَلَفَ النَّاسُ فِي الزُّهْدِ، فَمِنْهُمْ مَنْ قَالَ: الزُّهْدُ فِي الْحَرَامِ، لِأَنَّ الْحَلَالَ مُبَاحٌ مِنْ قِبَلِ اللهِ تَعَالَى.(الرسالة القشيرية: ص ١٥١) 

“Dari abi khalad: Dan ia memiliki persahabatan (dengan Nabi, yakni seorang sahabat). Ia berkata, Nabi SAW bersabda: "Jika diantara kamu sekalian melihat orang laki-laki yang selalu zuhud dan berbicara benar, maka dekatilah dia. Sesungguhnya dia adalah orang yang mengajarkan kebijaksanaan .Dan al-Ustaz al-Imam Abu al-Qasim berkata: Orang-orang berbeda pendapat tentang zuhud. Sebagian berkata bahwa zuhud adalah meninggalkan yang haram, karena yang halal itu diperbolehkan oleh Allah.” (al-Risalah al- Qusyairiyah, 151)

Dengan demikian, zuhud sebenarnya tentang bagaimana hati seseorang yang  bersikap terhadap dunia, bukan tentang seberapa banyak harta yang dimiliki di tangannya. Seseorang boleh punya banyak kekayaan dan menikmati hidup, asalkan hatinya tidak lengket dan bergantung pada semua itu. Ini adalah keseimbangan batin dimana seseorang  tetap hidup nyaman di tengah-tengah kenikmatan, namun fokus utama dan keterikatan terdalam hanyalah kepada Allah SWT. Inti zuhud bukan pada pakaian sederhana atau penampilan miskin, melainkan pada niat tulus dan kontrol diri didalam hati.

Gaya Hidup Hedonis.

Islam adalah agama yang menyeluruh dan meluas, tidak hanya mengatur urusan akhirat, tetapi juga mengedepankan kemaslahatan di dunia. Oleh karena itu, mencari dan menikmati hal-hal yang bersifat duniawi untuk memenuhi kebutuhan hidup bukanlah larangan. Bahkan, adanya keinginan (syahwat) memiliki kebutuhan materialistik yang cukup adalah kewajaran agar kehidupan di dunia ini terus berjalan dan berkembang. Inti larangan dalam islam bukanlah pada kecintaan terhadap dunia yang berlebihan, sehingga dapat melalaikan seorang muslim dari urusan akhiratnya. Sebagaimana ditegaskan oleh Syaikh Wahbah al-Zuhaili dalam kitab al-Tafsir al-Wasith:

لَيْسَ مَمْنُوعًا عَلَى الْمُسْلِمِ حُبُّ الدُّنْيَا وَمَظَاهِرُهَا، وَلَكِنَّ الْمَمْنُوعَ الْمُبَالَغَةُ وَالإِسْرَافُ فِيهَا، وَالاِقْتِصَارُ عَلَيْهَا، حَتَّى تَطْغَى عَلَى النَّاحِيَةِ الدِّينِيَّةِ، وَتُهْمَلَ أُمُورُ الآخِرَةِ. (التفسير الوسيط: ج ١، ص ١٧٨ )

"Seorang muslim tidak dilarang untuk mencintai dunia dan kenikmatan yang ada di dalamnya. Akan tetapi, yang dilarang adalah terlalu berlebihan dan melampaui batas dalam kecintaan terhadap dunia sehingga ia berani melanggar batasan agama dan mengabaikan perkara-perkara ukhrawi." (al-Tafsir al-Wasith, 1:178)

Gaya hidup hedonis berasal dari kata Yunani hedone yang berarti mengutamakan kesenangan atau kenikmatan (Eka Sari Setianingsih, 2018). Gaya hidup hedonis sendiri memiliki sejarah panjang serta memiliki dua sikap. Sikap pertama kirenaika (sikap yang sangat egois dan fokus mencari kesenangan fisik yang paling cepat, cenderung impulsif). Sikap kedua epikureanisme justru mendefinisikan kesenangan sejati sebagai ketenangan pikiran (ataraxia) dan hidup yang bebas dari kecemasan dan ketakutan (Irwan Heruadi et al., 2024). 

Pandangan bahwa kesenangan sebagai tujuan utama hidup ini kembali muncul di era modern, namun wujudnya berubah total karena dipengaruhi sistem sosial dan ekonomi. Pada era modern perbedaan utama terletak pada sistem yang mendorong gaya hidup hedonis. Sistem pertama yakni kapitalisme (sistem ekonomi yang berfokus pada modal dan keuntungan) menjadi pendorong utama sikap hedonis modern. Sistem ini membutuhkan pertumbuhan terus-menerus, sehingga mendorong orang untuk memiliki sikap konsumtif (gemar membeli dan menghabiskan barang), individualistis (mementingkan diri sendiri) dan materialistik (mengukur kebahagiaan dari harta benda), yang berujung pada keegoisan dan pemujaan kemewahan (Mohammad Ghozali et al., 2019), misalnya dengan membeli gadget terbaru demi status, memakai pakaian mewah demi status. Berbanding terbalik, sistem sosialisme (paham yang fokus pada kesejahteraan bersama) justru sangat menolak sikap materialistik dan mendorong sikap hidup hemat serta kolektif, di mana kenikmatan ditemukan dari jaminan kualitas hidup dasar bersama, seperti pendidikan yang baik bagi semua orang. Gaya hidup hedonis modern yang boros ini adalah hasil dari ajaran lama tentang hidup enak yang kemudian diperkuat oleh sistem kapitalis.

Sikap melampaui batas dalam kecintaan dunia inilah yang disamakan dengan gaya hidup hedonis. Islam secara tegas melarang orientasi hidup yang hanya mencari kesenangan duniawi semata, di mana seluruh waktu dan tenaga dihabiskan untuk mengumpulkan harta dengan keyakinan bahwa kesenangan tersebut akan dinikmati selamanya. Gaya hidup hedonis adalah pola hidup yang berorientasi pada pencarian kesenangan dan kenikmatan duniawi semata. Dalam konteks modern, hedonis tampak dalam perilaku konsumtif dan orientasi materialistik yang berlebihan. Gaya hidup hedonis memiliki beberapa karakteristik diantaranya : Mencintai Dunia (menganggap harta dan status sosial sebagai sumber kebahagiaan utama), kesenangan material (suka bermewah-mewahan dan bermegah-megahan), konsumerisme (mengukur kebahagiaan dari kepemilikan barang dan kemudahan hidup).

Secara lahiriah, gaya hidup hedonis ini kerap tampil sebagai sebuah identitas visual atau style yang sangat menonjolkan kemewahan fisik, hal ini terlihat lebih dalam pada aspek tampilannya. Dalam hal ini, gaya hidup hedonis bukan lagi sekadar soal tujuan batin, melainkan soal bagaimana seseorang mencitrakan dirinya melalui estetika kemewahan yang dimiliki. Gaya hidup ini tercermin jelas dari pemilihan atribut fisik yang serba premium dan mewah, mulai dari busana branded hingga koleksi kendaraan yang dianggap sebagai simbol kemapanan. Penekanan pada aspek gaya ini menunjukkan bahwa hedonisme telah menjadi bahasa visual untuk menunjukkan kualitas hidup kelas atas. Tujuannya sederhana, agar orang lain segera terkesan dengan citra hidup yang megah dan glamor, sehingga kesan luar yang terlihat jauh lebih didahulukan daripada maksud atau niat yang sebenarnya ada di dalam hati.

 Zuhud dalam orang yang gaya hidupnya hedonis

Dalam kitab Ihya' 'Ulum al-Din juz 4, hal 211, Imam Ghazali mengutip pandangan ulama tasawuf tentang hakikat zuhud yang relevan dengan orang yang bergaya hidup hedonis. Beliau menegaskan bahwa zuhud yang sejati bukanlah meninggalkan kepemilikan harta, melainkan membebaskan hati dari keterikatan dunia. Berikut ini ibarahnya :

بَيَانُ عَلَامَاتِ الزُّهْدِ. اِعْلَمْ أَنَّهُ قَدْ يُظَنُّ أَنَّ تَارِكَ الْمَالِ زَاهِدٌ، وَلَيْسَ كَذَلِكَ، فَإِنَّ تَرْكَ الْمَالِ وَإِظْهَارَ الْخُشُونَةِ سَهْلٌ عَلَى مَنْ أَحَبَّ الْمَدْحَ بِالزُّهْدِ، فَكَمْ مِنَ الرَّهَابِيْنَ مَنْ رَدُّوا أَنْفُسَهُمْ كُلَّ يَوْمٍ إِلَى قَدْرٍ يَسِيرٍ مِنَ الطَّعَامِ، وَلَازَمُوا دَيْرًا لَا بَابَ لَهُ، وَإِنَّمَا مَسَرَّةُ أَحَدِهِمْ مَعْرِفَةُ النَّاسِ حَالَهُ، وَنَظَرُهُمْ إِلَيْهِ، وَمَدْحُهُمْ لَهُ، فَذَلِكَ لَا يَدُلُّ عَلَى الزُّهْدِ دَلَالَةً قَاطِعَةً، بَلْ لَا يَعُدَّ مِنَ الزُّهْدِ فِي الْمَالِ وَالْجَاهِ جَمِيعًا، حَتَّى يَكْمُلَ الزُّهْدُ فِي جَمِيعِ حُظُوظِ النَّفْسِ مِنَ الدُّنْيَا.

بَلْ قَدْ يَدَّعِي جَمَالٌ الزُّهْدَ مَعَ لُبْسِ الْأَصْوَافِ الْفَاخِرَةِ وَالثِّيَابِ الرَّفِيعَةِ، كَمَا قَالَ الْخَوَّاصُ فِي وَصْفِ الْمُدَّعِينَ، إِذْ قَالَ: وَقَوْمٌ ادَّعَوُا الزُّهْدَ وَلَبِسُوا الْفَاخِرَ مِنَ اللِّبَاسِ، يُمَوِّهُونَ بِذَلِكَ عَلَى النَّاسِ، لِيُهْدَى إِلَيْهِمْ مِثْلُ لِبَاسِهِمْ، لِئَلَّا يُنْظَرَ إِلَيْهِمْ بِالْعَيْنِ الَّتِي يُنْظَرُ بِهَا إِلَى الْفُقَرَاءِ، فَيُحْتَقَرُوا، فَيُعْطَوْا كَمَا تُعْطَى الْمَسَاكِينُ، وَيَحْتَجُّونَ لِأَنْفُسِهِمْ بِاتِّبَاعِ الْعِلْمِ وَأَنَّهُمْ عَلَى السُّنَّةِ، وَأَنَّ الْأَشْيَاءَ دَاخِلَةٌ إِلَيْهِمْ، وَهُمْ خَارِجُونَ مِنْهَا، وَإِنَّمَا يَأْخُذُونَ بِعِلَّةِ غَيْرِهِمْ. (إحياء علوم الدين: ج ٤، ص ‏‏٢١١)

“Ketahuilah, bahwasanya terkadang disangka bahwa orang yang meninggalkan harta adalah zahid (orang yang zuhud), padahal tidak demikian. Maka sesungguhnya meninggalkan harta dan menampakkan kekasaran (kesederhanaan) itu mudah bagi orang yang menyukai pujian atas kezuhudan. Betapa banyak rahib yang membatasi diri mereka setiap hari dengan makanan yang sedikit dan menetap di biara yang tidak memiliki pintu. Namun, sesungguhnya kebahagiaan salah satu dari mereka hanyalah karena orang-orang mengetahui keadaannya, memandangnya, dan memujinya. Maka, hal itu tidak menunjukkan kezuhudan secara pasti. Bahkan, tidak dianggap zuhud didalam harta dan kedudukan/kemuliaan (Al-Jah) sekaligus, hingga sempurnalah kezuhudan pada semua bagian kenikmatan nafsu dari dunia. Bahkan, terkadang sekelompok orang mengaku zuhud padahal mereka mengenakan pakaian wol yang mewah dan pakaian yang bagus (halus). Sebagaimana Al-Khawwaṣ berkata saat mendeskripsikan para pengklaim kezuhudan: "Ada sekelompok orang yang mengaku zuhud dan mengenakan pakaian mewah. Mereka menipu orang lain dengan itu agar mereka dihadiahi pakaian seperti pakaian mereka, supaya mereka tidak dipandang dengan pandangan yang ditujukan kepada orang-orang fakir, lalu direndahkan dan diberi (sedekah) sebagaimana orang-orang miskin diberi." Dan mereka berdalih (membuat alasan) pada diri mereka sendiri dengan (alasan) mengikuti ilmu dan bahwa mereka berada di atas sunnah, dan bahwa segala sesuatu (harta dunia) masuk kepada mereka sementara mereka keluar (terlepas) darinya. Padahal, sesungguhnya mereka mengambil (harta) dengan alasan yang menipu orang lain. (Ihya' ‘Ulum al-Din, 4:211)

Konsep zuhud sejati yang terkandung dalam kutipan tersebut secara tegas menolak anggapan bahwa meninggalkan harta secara fisik sudah cukup untuk disebut zahid. Praktik menampakkan kesederhanaan dan membatasi diri dari makanan menjadi sia-sia dan palsu jika tujuannya adalah untuk menarik perhatian, pandangan, atau pujian dari orang lain. Hal ini menunjukkan bahwa hati pelaku tersebut masih sepenuhnya terikat pada kedudukan dan kemuliaan, yang merupakan bentuk keinginan duniawi yang lebih sulit dilepaskan daripada harta itu sendiri. Zuhud yang lahir dari motivasi pujian adalah penipuan diri, karena hati tetap diperbudak oleh pandangan manusia, bukan dibebaskan untuk Allah.

Oleh karena itu, zuhud sejati harus mencakup pelepasan hati dari harta dan kedudukan sekaligus, sesuai dengan kalimat kuncinya: "hingga sempurnalah kezuhudan pada semua bagian kenikmatan nafsu dari dunia." Maknanya adalah zuhud yang sempurna bukanlah sekadar penolakan kepemilikan material, tetapi adalah pembebasan batin dari keterikatan terhadap segala yang diinginkan oleh nafsu duniawi. Seseorang bisa saja memiliki harta, tetapi jika hatinya tidak dikuasai oleh harta itu dan ia tidak bergantung pada pujian manusia, maka ia adalah seorang zahid sejati. Hal ini berarti zuhud itu bukan untuk meninggalkan kepemilikan harta, akan tetapi zuhud adalah berpalingnya hati dari dunia. Hal ini sejalan dengan pendapat imam Ghazali dalam kitab Ihya' ‘Ulum al-Din juz 4, hal 199, berikut:

فَالْحَاصِلُ أَنَّ الزُّهْدَ عِبَارَةٌ عَنِ الرَّغْبَةِ عَنْ حُظُوظِ النَّفْسِ كُلِّهَا وَمَهْمَا رَغِبَ عَنْ حُظُوظِ النَّفْسِ رَغِبَ عَنِ الْبَقَاءِ فِي الدُّنْيَا(إحياء علوم الدين: ج ٤، ص ١٩٩)

“Dengan perkataan lain, makna zuhud disini adalah memalingkan hati dari segala kesenangan nafsu. Apabila kita telah berhasil memalingkan hati kita dari segala kesenangan nafsu diri kita, maka kita akan meninggalkan pikiran untuk hidup kekal di dunia ini.” (ihya’ ‘Ulmu al-Din, 4:199)

Kutipan ini secara dasar menantang pemahaman sempit bahwa zuhud harus identik dengan kemiskinan atau penolakan total terhadap materi. Bagi orang yang hedonis yakni masalahnya bukanlah pada kemewahan yang dimiliki, tetapi pada hati yang diperbudak oleh kemewahan tersebut. Seorang yang zahid (orang yang zuhud) tetap dapat bekerja keras dan memiliki harta, tetapi hatinya senantiasa terarah kepada Allah, menjadikan harta hanya sebagai alat, bukan tujuan. 

Dijelaskan pula oleh Imam Ahmad dalam kitab Madarij al-Salikin karya Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyah dalam ibarah berikut ini : 

وَقَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: الزُّهْدُ فِي الدُّنْيَا قَصْرُ الْأَمَلِ وَعَنْهُ رِوَايَةٌ أُخْرَى. أَنَّهُ عَدَمُ فَرَحِهِ بِإِقْبَالِهَا وَلَاحُزْنِهِ عَلَى إِدْبَارِهَا، فَإِنَّهُ سُئِلَ عَنِ الرَّجُلِ يَكُونُ مَعَهُ أَلْفُ دِينَارٍ هَلْ يَكُونُ زَاهِدًا؟ فَقَالَ: نَعَمْ، عَلَى شَرِيطَةِ أَنْ لَا يَفْرَحَ إِذَا زَادَتْ وَلَا يَحْزَنَ إِذَا نَقَصَتْ (مدارج السالكين: ج ٢، ص ١١)

Imam Ahmad berkata: Zuhud (asketisme/tidak terikat) di dunia adalah memperpendek angan-angan (harapan). Dan darinya ada riwayat lain, yaitu bahwa zuhud adalah tidak merasa gembira dengan datangnya (dunia) dan tidak bersedih atas perginya (dunia). Karena beliau ditanya tentang seseorang yang memiliki seribu dinar, apakah ia bisa disebut orang yang zuhud? Maka beliau menjawab: "Ya, dengan syarat dia tidak gembira jika bertambah dan tidak sedih jika berkurang." (Madarij al-Salikin, 2:11)

Adapun implementasi zuhud dalam orang yang gaya hidupnya  hedonis yakni:

  1. Menggunakan barang karena fungsi dan daya tahan, bukan karena merek atau tren. Hal ini berarti seseorang memilih, menggunakan, dan membeli barang yang awet dan fungsional, bukan menggunakan barang yang terbaru atau termahal. Berkomitmen untuk merawat serta menggunakan barang yang sudah ada hingga benar-benar tidak berfungsi. Tujuan utama yakni untuk melepaskan keterikatan hati dari sifat materialistik. 

  2. Membebaskan hati dari pujian manusia, dan mengalihkan niatnya hanya untuk ibadah kepada Allah SWT. Kondisi dimana seseorang mengendalikan niat agar hatinya tidak terpengaruh oleh pujian manusia, melainkan bersikap tenang dan mengembalikan semua kebaikan kepada Allah SWT. Segala amal kebaikan harus dilakukan secara Ikhlas tanpa mengharapkan pengakuan (Al-Jah) dan pencapaian utama yakni keterlepasan hati dari kenikmatan nafsu dan cinta berlebihan pada dunia. 

  3. Mengubah harta menjadi sarana taqarrub kepada Allah SWT, hal ini dilakukan dengan memberikan sebagian besar kelebihan harta untuk kegiatan amal (sedekah, wakaf) atau investasi pendidikan dan kesehatan yang memberi manfaat jangka panjang secara ikhlas. Tujuannya yakni untuk mengalihkan hubbud dunya menjadi kepedulian sosial dan taqarrub kepada Allah SWT.

KESIMPULAN

Zuhud dalam gaya hidup hedonis adalah panggilan serta solusi untuk kembali menuju moderasi dan pengendalian diri dalam menghadapi gempuran materi. Maka gaya hidup hedonis tetap dapat diterapkan dengan zuhud sebagai sistem pertahanan spiritualnya.  Zuhud sebagai sistem pertahanan spiritual, tidak berarti menjauhi dunia secara fisik, melainkan menanggalkan keterikatan dan cinta berlebihan pada dunia (hubbud dunya).

Penulis : Iswatun Nisak

Contact Person : 085732264536

e-Mail : nisak140703@gmail.com


Perumus : M. Abidul Masykur, S.pd.

Mushohih : M. Faidlus Syukri, S.pd.


Daftar Pustaka

Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad al-Ghazali al-Thusi. (W. 505 H), Ihya' ‘Ulum al-Din, Dar al-kutub al-ilmiyah, Beirut, Lebanon, cet. Keempat, 1426H/2005M, sebanyak 4 jilid.

Abdul Karim bin Hawazin al-Qusyairi (W. 465 H), al-Risalah al-Qusyairiyah, Dar al-Kutub al-Ilmiah, Beirut, Lebanon, cet.Keempat, 2009 M.

Wahbah al-Zuhaili. (W. 1436 H), al-Tafsir al-Wasith, Dar al-fikr, Damaskus, Suriah, cet. Pertama, 2001 M, Sebanyak 3 jilid.

Eka Sari Setianingsih, Wabah Gaya Hidup Hedonisme Mengancam Moral Anak,  Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar, Universitas Persatuan Guru Republik Indonesia, Semarang, (2018), Vol.8, No.2

Irwan Heruadi, Resnita Resnita, Ikbal Saogo, Aldo Master, dan Junardi Sihaloho, Filsafat Hedonisme Epikuros: Sebagai Refleksi Bagi Remaja Kristen. Asosiasi Riset Pendidikan Agama dan Filsafat Indonesia, (2024), Vol.2, No.1

Mohammad Ghozali, Sunan Autad Sarjana, dan Achmad Arif, Ekonomi Syariah dalam Hegemoni Faham Kapitalisme dan Sosialisme, Sebuah Solusi Pola Hidup Muslim, (2019), Vol.13, No.1

Ibnu Qayyim al-Jauziyah (W. 751 H), Madarij al-Salikin, Dar al-fikr, Beirut, Lebanon, 1992 M/1412 H, Sebanyak 3 jilid

===============================













Posting Komentar untuk "Zuhud Dalam Gaya Hidup Hedonis"