Manusia tidak dapat hidup tanpa orang lain, oleh sebab itu manusia
disebut makhluk sosial yang saling membutuhkan satu sama lain. Lebih-lebih kita
hidup dalam negara yang penuh keragaman, baik dari segi budaya, status sosial,
suku, budaya maupun agama. Untuk hidup damai dan berdampingan, tentu dibutuhkan
teposeliro (tenggang rasa) atau toleransi antara satu dengan yang
lainnya.
Hukum toleransi dalam pergaulan antar umat beragama (pluralitas
agama) adalah sebagai berikut:
a. Dilarang (haram), apabila dalam berhubungan, rela (ridho)
serta meyakini kebenaran aqidah agama lain.
b. Boleh, bergaul atau menjalin hubungan baik dalam
urusan dunia saja dengan sebatas dhohir.
c. Dilarang, tapi tidak menjadi kufur yaitu apabila
tolong menolong tersebut disertai rasa condong terhadap keyakinan (akidah)
agama lain yang disebabkan ada hubungan kerabat atau cinta, tetapi tetap beri’tikad
bahwa agama mereka adalah bathil. Dan apabila tolong menolong yang disertai
rasa condong itu dapat membuat rasa simpati dan rela terhadap agama mereka maka
bisa keluar dari agama Islam.
d. Tidak dilarang, (bahkan dianjurkan) apabila bertujuan untuk
menghindari bahaya yang berasal dari mereka atau untuk memperoleh kemanfaatan
atau kemaslahatan.
Diterangkan dalam kitab Tafsir Munir Lin Nawawi juz 1, hal.
94. kitab al-Bab Fii ‘Ulum al-Kitab bab surat Ali Imran juz 5 hal.143. dan
dalam Hasyiyah al-Bujairami ‘ala al-Khatib pada Fasal Fii al-Jizyah juz 4
halaman 291-292:
وَاعْلَمْ أَنَّ كَوْنَ الْمُؤْمِنِ
مُوَالِياً لِلْكاَفِرِ يَحْتَمِلُ ثَلاَثَةَ أَوْجُوْهٍ أَحَدُهَا أَنْ يَكُوْنَ
رَاضِياً بِكُفْرِهِ وَيَتَوَلاَّهُ لِأَجْلِهِ وَهَذَا مَمْنُوْعٌ لِأَنَّ الرِّضَى
بِالْكُفْرِ كُفْرٌ. وَثَانِيْهَا الْمُعَاشَرَةُ الْجَمِيْلَةُ فِى الدُّنْياَ
بِحَسَبِ الظَّاهِرِ وَذَلِكَ غَيْرُ مَمْنُوْعٍ. وَثاَلِثُهاَ الرُّكُوْنُ إِلَى
الْكُفْرِ وَالْمَعُوْنَةِ وَالنُّصْرَةِ إِمَّا بِسَبَبِ اْلقَرَابَةِ أَوْ
بِسَبَبِ الْمَحَبَّةِ مَعَ اعْتِقَادٍ أَنَّ دِيْنَهُ باَطِلٌ فَهَذَا لاَ
يُوْجِبُ الْكُفْرَ إِلاَّ أَنَّهُ مَنْهِىٌّ عَنْهُ لِأَنَّ الْمُوَالَةَ هَذَا
الْمَعْنَى قَدْ تَجُرُّهُ إِلَى اسْتِحْساَنِ طَرِيْقِهِ وَالرِّضَى بِدِيْنِهِ
وَذَلِكَ يَخْرُجُهُ عَنِ اْلإِسْلاَمِ (تفسير المنير، ج 1 ص 94)
Keterangan Hasyiyah al-Bujairami ‘ala al-Khatib pada Fasal
Fii al-Jizyah, sebagai berikut:
قَوْلُهُ: (تَحْرُمُ مَوَدَّةُ
الْكَافِرِ) أَيْ الْمَحَبَّةُ وَالْمَيْلُ بِالْقَلْبِ وَأَمَّا الْمُخَالَطَةُ
الظَّاهِرِيَّةُ فَمَكْرُوهَةٌ - - - اِلَخْ، أَمَّا مُعَاشَرَتُهُمْ لِدَفْعِ
ضَرَرٍ يَحْصُلُ مِنْهُمْ أَوْ جَلْبِ نَفْعٍ فَلَا حُرْمَةَ فِيهِ ا هـ ع ش عَلَى
م ر (حاشية البجيرمى على الخاطب، فصل فى الجزية
ج 4 ص 291-292)
Kata pengarang, “Haram mencintai non muslim”
maksudnya, cinta, senang dan condong dengan hati. Adapun berinteraksi dengan
orang-non muslim dalam urusan zhahir adalah makruh, sedangkan berinteraksi
dengan mereka untuk menghindari bahaya yang berasal dari mereka atau untuk
memperoleh manfaat maka tidak dilarang. (Hasyiyah al-Bujairami ‘ala al-Khatib
pada Fasal Fii al-Jizyah, juz 4, hal. 291-292)
0 Response to "Hukum Toleransi dalam Pergaulan Antar Umat Beragama"
Posting Komentar