Mengenai hukum haul dan selametan,
terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama’, tetapi mayoritas ulama’ dari
empat madzhab berpendapat bahwa pahala ibadah atau amal shaleh (seperti: selametan)
yang dilakukan oleh orang yang masih hidup bisa sampai kepada orang yang sudah
meninggal. Namun di sini akan kami paparkan seputar khilaf para ulama’ mengenai
hal ini baik yang memperboleh-kan maupun yang tidak memperbolehkannya. Adapun
berbagai pendapat ulama’ madzhab beserta dalil-dalilnya adalah seperti di bawah
ini;
A. Pendapat yang memperbolehkan
1. Menurut Ibnu Taimiyah
Syaikhul
Islam Taqiyuddin Muhammad ibnu Ahmad ibn Abdul Halim (yang lebih populer dengan
julukan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dari madzhab Hambali) dalam kitab Majmu’
al-Fatawa, juz 24, halaman 314-315, menjelaskan sebagai berikut ini:
اَمَّا الصَّدَقَةُ عَنِ الْمَيِّتِ فَاِنَّهُ
يَنْتَفِعُ بِهَا بِاتِّفَاقِ الْمُسْلِمِيْنَ. وَقَدْ وَرَدَتْ بِذَلِكَ عَنِ النَّبِيِّ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اَحَا دِيْثُ صَحِيْحَةٌ مِثْلُ قَوْلِ سَعْدٍ يَا
رَسُوْلَ اللهِ اِنَّ اُمِّيْ اُفْتُلِتَتْ نَفْسُهَا وَاَرَاهَا لَوْ تَكَلَّمَتْ
تَصَدَّقَتْ فَهَلْ يَنْفَعُهَا أَنْ أَتَصَدَّقَ عَنْهَا؟ فَقَالَ: نَعَمْ، وَكَذَلِكَ
يَنْفَعُهُ الْحَجُّ عَنْهُ وَاْلاُضْحِيَةُ عَنْهُ وَالْعِتْقُ عَنْهُ وَالدُّعَاءُ
وَاْلاِسْتِغْفَارُ لَهُ بِلاَ نِزاَعٍ بَيْنَ اْلأَئِمَّةِ
Adapun sedekah untuk mayit, maka ia
bisa mengambil manfaat berdasarkan kesepakatan umat Islam, semua itu terkandung
dalam beberapa hadits shahih dari Nabi Saw. seperti perkataan sahabat Sa’at “Ya
Rasulallah sesungguhnya ibuku telah wafat, dan aku berpendapat jika ibuku masih
hidup pasti ia bersedekah, apakah bermanfaat jika aku bersedekah sebagai
gantinya?” maka Beliau menjawab “Ya”, begitu juga bermanfaat bagi mayit: haji,
qurban, memerdekakan budak, do’a dan istighfar kepadanya, yang ini tanpa
perselisihan di antara para imam.
Ibnu
Taimiyah juga menjelaskan perihal diperbolehkannya menyampaikan hadiah pahala
shalat, puasa dan bacaan al-Qur’an kepada mayit dalam kitab Fatawa, juz 24
halaman 322 sebagai berikut ini:
فَاِذَا أُهْدِيَ
لِمَيِّتٍ ثَوَابُ صِياَمٍ أَوْ صَلاَةٍ أَوْ قِرَاءَةٍ جَازَ ذَلِكَ
Jika saja dihadiahkan kepada mayit
pahala puasa, pahala shalat atau pahala bacaan (al-Qur’an/kalimah thayyibah)
maka hukumnya diperbolehkan.
2. Menurut Imam Nawawi
Al-Imam
Abu Zakariya Muhyiddin Ibn al-Syarof, dari madzhab Syafi’i yang terkenal dengan
panggilan Imam Nawawi dalam kitab al-Majmu’ Syarah al-Muhadzab, juz 5 hal. 258
menegaskan;
يُسْتَحَبُّ أَنْ
يَمْكُثَ عَلىَ اْلقَبْرِ بَعْدَ الدُّفْنِ سَاعَةً يَدْعُوْ لِلْمَيِّتِ وَيَسْتَغْفِرُ
لَهُ. نَصَّ عَلَيْهِ الشَّافِعِىُّ وَاتَّفَقَ عَلَيْهِ اْلأَصْحَابُ قَالوُا: يُسْتَحَبُّ
أَنْ يَقْرَأَ عِنْدَهُ شَيْئٌ مِنَ اْلقُرْأَنِ وَإِنْ خَتَمُوْا اْلقُرْأَنَ كَانَ
أَفْضَلُ (المجموع، ج 5 ص 258)
Disunnahkan untuk diam sesaat di
samping kubur setelah menguburkan mayit untuk mendo’akan dan memohonkan ampunan
kepadanya”, pendapat ini disetujui oleh Imam Syafi’i dan pengikut-pengikutnya,
dan bahkan pengikut Imam Syafi’i mengatakan “sunnah dibacakan beberapa ayat
al-Qur’an di samping kubur si mayit, dan lebih utama jika sampai menghatamkan al-Qur’an.
Imam
Nawawi juga memberikan penjelasan lain, sebagai-mana berikut:
وَيُسْتَحَبُّ لِلزَّائِرِ
أَنْ يُسَلِّمَ عَلىَ اْلمَقَابِرِ وَيَدْعُوْ لِمَنْ يَزُوْرُهُ وَلِجَمِيْعِ أَهْلِ
اْلمَقْبَرَةِ. وَاْلأَفْضَلُ أَنْ يَكُوْنَ السَّلاَمُ وَالدُّعَاءُ بِمَا ثَبَتَ
مِنَ اْلحَدِيْثِ وَيُسْتَحَبُّ أَنْ يَقْرَأَ مِنَ اْلقُرْأنِ مَا تَيَسَّرَ وَيَدْعُوْ
لَهُمْ عَقِبَهَا وَنَصَّ عَلَيْهِ الشَّاِفعِىُّ وَاتَّفَقَ عَلَيْهِ اْلأَصْحَابُ
(المجموع، ج 5 ص 258)
Dan disunnahkan bagi peziarah kubur
untuk memberikan salam atas (penghuni) kubur dan mendo’akan kepada mayit yang
diziarahi dan kepada semua penghuni kubur, salam dan do’a itu akan lebih
sempurna dan lebih utama jika menggunakan apa yang sudah dituntunkan atau
diajarkan dari Nabi Muhammad Saw. dan disunnahkan pula membaca al-Qur’an
semampunya dan diakhiri dengan berdo’a untuknya, keterangan ini dinash oleh
Imam Syafi’i (dalam kitab al-Um) dan telah disepakati oleh
pengikut-pengikutnya.
3. Menurut Imam Ibnu Qudamah
al-‘Allamah
al-Imam Muwaffiquddin ibn Qudamah dari madzhab Hambali mengemukakan pendapatnya
dan pendapat Imam Ahmad bin Hanbal dalam kitab karyanya al-Mughny juz 2 hal.
566.
قَالَ: وَلاَ بَأْسَ
بِالْقِراَءَةِ عِنْدَ اْلقَبْرِ. وَقَدْ رُوِيَ عَنْ أَحْمَدَ أَنَّهُ قَالَ: إِذاَ
دَخَلْتمُ الْمَقَابِرَ اِقْرَئُوْا آَيَةَ اْلكُرْسِىِّ ثَلاَثَ مِرَارٍ وَقُلْ هُوَ
اللهُ أَحَدٌ ثُمَّ قُلْ اَللَّهُمَّ إِنَّ فَضْلَهُ لِأَهْلِ الْمَقَابِرِ
al-Imam Ibnu Qudamah berkata: tidak
mengapa membaca (ayat-ayat al-Qur’an atau kalimah tayyibah) di samping kubur,
hal ini telah diriwayatkan dari Imam Ahmad ibn Hambal bahwasanya beliau
berkata: Jika hendak masuk kuburan atau
makam, bacalah Ayat Kursi dan Qul Huwa Allahu Akhad sebanyak tiga kali kemudian
iringilah dengan do’a: Ya Allah keutamaan bacaan tadi aku peruntukkan bagi ahli
kubur.
4. Menurut golongan dari madzhab Syafi’i dalam kitab al-Adzkar al-Nawawi hal
150. dijelaskan lebih spesifik lagi seperti di bawah ini:
وَذَهَبَ أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ وَجَمَاعَةٌ
مِنَ اْلعُلَمَاءِ وَجَمَاعَةٌ مِنْ أَصْحَابِ الشَّاِفِعى إِلىَ أَنَّهُ يَصِلُ .
فَاْلاِخْتِيَارُ أَنْ يَقُوْلَ الْقَارِئُ بَعْدَ فِرَاغِهِ: اَللَّهُمَّ أَوْصِلْ ثَوَابَ مَا قَرأْ
تُهُ إِلَى فُلاَنٍ . وَالله أَعْلَمُ
Imam Ahmad bin Hambal dan golongan
ulama’ dan sebagian dari sahabat Syafi’i
menyatakan bahwa pahala do’a adalah sampai kepada mayit. Dan menurut pendapat
yang terpilih, hendaknya orang yang membaca al-Qur’an setelah selesai untuk
mengiringi bacaannya dengan do’a:
اَللَّهُمَّ أَوْصِلْ ثَوَابَ مَا قَرأْ
تُهُ إِلَى فُلاَنٍ
Ya Allah, sampaikanlah pahala bacaan al-Qur’an yang
telah aku baca kepada si fulan (mayit).
5. Menurut Fuqaha’ (Ulama’ ahli Fiqih) Ahlussunnah wal Jama’ah
Menurut
jumhur fuqoha’ ahlussunnah wal jama’ah seperti yang telah diterangkan oleh
al-‘Allamah Muhammad al-‘Araby mengutip dari hadits Rasulullah Saw. dari
sahabat Abu Hurairah ra.
وَعَنْ اَبِيْ هُرَيْرَةَ
رَضِىَ اللهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ
دَخَلَ الْمَقَابِرَ ثُمَّ قَرَأَ فَاتِحَةَ اْلكِتَابِ وَقُلْ هُوَاللهُ اَحَدٌ، وَاَلْهَاكُمُ
التَّكَاثُرْ، ثُمَّ قَالَ: إِنِّى جَعَلْتُ ثَوَابَ مَا قَرَأْتُ مِنْ كَلاَمِكَ لِأَهْلِ
اْلَمقَابِرِ مِنَ اْلمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ كَانُوْا شُفَعَاءَ لَهُ اِلَى
اللهِ تَعَالىَ
Dari Abi Hurairah ra. berkata,
Rasulullah Saw. bersabda: “Barang siapa berziarah ke makam/kuburan kemudian
membaca al-Fatikhah, Qul Huwa Allahu Ahad, dan Alhakumuttakatsur, kemudian
berdo’a “Sesungguh-nya aku hadiahkan pahala apa yang telah kubaca dari firmanmu
kepada ahli kubur orang mukmin laki-laki dan mukmin perempuan, maka pahala
tersebut bisa mensyafaati si mayit di sisi Allah Swt”.
B. Pendapat yang tidak memperbolehkan
1. Menurut golongan Madzhab Syafi’i
Pendapat
masyhur dari golongan madzhab Syafi’i bahwa pahala membaca al-Qur’an tidak bisa
sampai pada mayit, hal ini diterangkan dalam kitab al-Adzkar al-Nawawi, hal
150.
وَاخْتَلَفَ اْلعُلَمَاءُ فِيْ وُصُوْلِ
ثَوَابِ قِراَءَةِ اْلقُرْأَنِ فَالْمَشْهُوْرُ مِنْ مَذْهَبِ الشَّافِعِى وَجَمَاعَةٍ
أَنَّهُ لاَيَصِلُ، وَاللهُ اَعْلَمُ
Ulama’ berbeda pendapat dalam
masalah sampainya pahala bacaan al-Qur’an kepada mayit, maka menurut pendapat
yang masyhur dari madzhab syafi’i dan
golongan ulama’ menyatakan tidak bisa sampai kepada mayit, dan Allah lah yang
lebih mengetahui.
2. Menurut Imam Malik
Menurut
pendapat sebagian ulama’ pengikut madzhab Maliki dan Syafi’i bahwasanya pahala
puasa, shalat sunnah dan bacaan al-Qur’an adalah tidak bisa sampai kepada
mayit. Keterangan kitab Majmu’ al-Fatawa, juz 24, hal. 314-315, yang berbunyi:
وَأَمَّا الصِّيَامُ عَنْهُ وَصَلاَةُ
التَّطَوُعِ عَنْهُ وَقِرَاءَةُ اْلقُرْأَنِ عَنْهُ فَهَذَا قَوْلاَنِ لِلْعُلَمَاءِ:
أَحَدُهُمَا: يَنْتَفِعُ بِهِ وَهُوَ مَذْهَبُ أَحْمَدَ وَأَبِىْ حَنِيْفَةَ وَغَيْرِهِمَا
وَبَعْضُ أَصْحَابِ الشَّافِعِى وَغَيْرِهِمْ وَالثَّانِىْ: لاَتَصِلُ إِلَيْهِ
وَهُوَ اَلْمَشْهُوْرُ مِنْ مَذْهَبِ مَالِكٍ وَالشَّافِعِى.
Adapun puasa, shalat sunnah, dan
membaca al-Qur’an untuk mayit ada dua pendapat salah satunya; Mayit bisa
mengambil manfaat dengannya, pendapat ini menurut Imam Ahmad, Abu Hanifah dan
sebagian sahabat Syafi’i yang lain, dan yang kedua; tidak sampai kepada mayit,
ini menurut pendapat yang masyhur dalam madzhab Imam Malik dan Imam Syafi’i.
0 Response to "Perbedaan Pendapat Para Ulama’ Tentang Hukum Selametan 1-7 Hari, 40 Hari, 100 Hari dan Haul bagi Orang yang Telah Meninggal"
Posting Komentar