HUKUM
BERJUALAN DI TROTOAR
Penurunan ekonomi global mendorong para pengusaha
melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap para karyawannya, tentu
kondisi ini menuntut para karyawan melakukan ikhtiyar untuk menyeimbangkan
perekonomian keluarganya dengan melamar pekerjaan ke perusahaan lain dan
umumnya dengan merintis usaha sendiri. Karena keterbatasan modal dan tempat
beberapa orang membuka usahanya di trotoar jalan yang pada dasarnya trotoar
tersebut dikhususkan bagi pejalan umum
Bagaimanakah hukum berjualan di trotoar?
Boleh baik izin terlebih dahulu kepada pemerintah
atau tidak berjualan di trotoar atau tempat umum dengan syarat:
1.
Tempat
tersebut tidak boleh di akui sebagai hak milik jadi siapapun boleh menempati.
2.
Siapa yang
duluan, dia yang paling berhak untuk menempati dan memanfaatkan lahan.
3.
Tidak boleh
dibangun bangunan yang permanen. Membuat bangunan permanen di tempat umum,
termasuk bentuk menguasai fasilitas umum.
4.
Jika orang
yang menggunakannya meninggalkan tempat, namun barangnya masih di tempat itu,
maka dia masih berhak untuk mendudukinya kembali.
5.
Jika orang
yang menggunakannya meninggalkan tempat berikut membawa semua barangnya, maka
orang lain berhak untuk menggunakannya.
6.
Orang yang
meninggalkan tempat itu, tidak berhak menjual tempat yang dia tinggalkan kepada
orang lain.
أَمَّا مَا كَانَ مِنَ الشَّوَارِعِ وَالطُّرْقَاتِ
وَالرُّحَّابِ (الْمَيَادِينِ) بَيْنَ الْعُمْرَانِ فَلَيْسَ لِطَحْدٍ إِحْيَاؤُهُ،
سَوَاءٌ كَانَ وَاسِعًا أَوْ ضَيِّقًا، وَسَوَاءٌ ضَيَّقَ عَلَى النَّاسِ أَوْ لَمْ
يُضَيِّقْ، لِاَنَّ ذٰلِكَ يَشْتَرَكُ فِيْهِ الْمُسْلِمُوْنَ وَتَتَعَلَّقَ بِهِ مَصْلَحَتَهُمْ
فَاَشَبَهَ مَسَاجِدَهُمْ، وَيَجُوْزُ الْاِرْتِفَاقُ بِالْقُعُوْدِ فِي الْوَاسِعِ
مِنْ ذٰلِكَ لِلْبَيْعِ وَالشِّرَاءِ عَلَى وَجْهٍ لاَ يُضَيِّقُ عَلَى أَحَدٍ وَلَا
يَضُرُّ بِالْمَارَّةِ لِاتِّفَاقِ أَهْلِ الْأَمْصَارِ فِي جَمِيعِ الْأَعْصَارِ عَلَى
اِقْرَارِ النَّاسِ عَلَى ذٰلِكَ مِنْ غَيْرِ اِنْكَارٍ، وَلِاَنَّهُ
ارْتِفَاقِ مُبَاحٍ مِنْ غَيْرِ اضْرَارٍ
فَلَمْ يَمْنَعْ مِنْهُ كَالْاِجْتِيَازِ وَالْعَبُوْرِ وَقَالَ أَحْمَدُ فِي السَّابِقِ
إِلَى دِكَاكِيْنَ السَّوْقَ غُدْوَةٌ فَهُوَ لَهُ إِلَى اللَّيْلِ، وَكَانَ هَذَا
فِي سَوْقِ الْمَدِيْنَةِ فِيْمَا مَضَى، لِأَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ (مِنَى مَنَاخٌ مَنْ سَبَقَ) ....... وَرُبَّمَا اَدْعَى أَحَدُهُمْ
مِلْكِيَّةُ الْمَكَانِ الَّذِى يَشْغَلُهُ عَلَى أَنَّ الْفُقَهَاءُ لَمْ يَرْتَبُوْا
حَقًّا لِلْتَمَلُّكِ لِمَنْ يَجْلِسُ فِي الطُّرْقَاتِ لِلْبَيْعِ وَالشَّرَاءِ فَقَالُوْا:
وَالسَّابِقُ أَحَقُّ بِهِ مَا دَامَ فِيْهِ، فَإِنْ قَامَ وَتَرَكَ مَتَاعَهُ فِيْهِ
لَمْ يَجُزْ لِغَيْرِهِ إِزَالَتُهُ لِاَنَّ يَدَ الْاَوَّلِ عَلَيْهِ، وَإِنْ نَقَلَ
مَتَاعَهُ كَانَ لِغَيْرِهِ أَنْ يَقْعَدَ فِيْهِ، لِاَنَّ يَدَهُ قَدْ زَالَتْ (المجموع
شرح المهذب: ج 15، ص 225)
Jalan umum, lorong, atau lapangan di tengah kota, tidak
berhak bagi siapapun untuk mengelolanya (dengan ditanami). Baik tempatnya luas
maupun sempit. Baik mengganggu orang lain maupun tidak ganggu. Karena tempat
ini milik bersama kaum muslimin. Sehingga pemanfaatannya dikembalikan untuk
kemaslahatan mereka, sebagaimana masjid. Dan boleh memanfaatkannya
dengan menduduki tempat umum yang luas untuk jual beli, selama tidak mengganggu
orang lain, dan tidak mengganggu pengguna jalan. Karena penduduk berbagai
daerah di sepanjang zaman sepakat dengan praktik masyarakat dalam masalah ini, tanpa ada
pengingkaran. Dan karena ini adalah pemanfaatan yang mubah dan tidak
membahayakan, sehingga tidak perlu dilarang sebagaimana orang yang lewat. Imam Ahmad berkata: “Orang yang paling pagi datang untuk
membuka lapak di pasar, maka dia berhak menggunakannya sampai malam.” Dan ini
terjadi di pasar Madinah di masa silam. Karena nabi pernah bersabda: “Mina
adalah tempat untuk berdiam bagi orang yang datang lebih awal”. Kerap kali salah
satu dari mereka mengakui hak milik
tempat tersebut yang dipakai untuk
berjualan padahal Para fuqaha’ tidak menetapkan hak milik pada orang yang
menduduki jalan umum tersebut yang ia digunakan untuk berjualan. Para ulama
fiqih berkata: “Orang yang pertama, dia yang paling berhak dengan tempat itu,
selama dia berada di sana. Jika dia pergi, namun barangnya masih ditinggal,
maka orang lain tidak boleh memindahkannya. Karena hak orang yang pertama,
masih ada di tempat itu. Namun jika dia pindahkan barangnya, maka orang lain
memiliki hak untuk menempatinya, karena hak orang yang pertama sudah tidak ada.
(al-Majmu’ Syar hal-Muhadzab, 15:225).
وَأَمَّا الشَّوَارِعُ، فَمَنْفَعَتُهَا الْأَصْلِيَّةُ: الطُّرُوقُ. وَيَجُوزُ الْوُقُوفُ وَالْجُلُوسُ فِيهَا لِغَرَضِ الِاسْتِرَاحَةِ وَالْمُعَامَلَةِ وَنَحْوِهِمَا، بِشَرْطِ أَنْ لَا يُضَيِّقَ عَلَى الْمَارَّةِ، سَوَاءٌ أَذِنَ فِيهِ الْإِمَامُ، أَمْ لَا، وَلَهُ أَنْ يُظَلِّلَ عَلَى مَوْضِعِ جُلُوسِهِ بِمَا لَا يَضُرُّ بِالْمَارَّةِ مِنْ ثَوْبٍ وَبَارِيَةٍ وَنَحْوِهِمَا (روضة الطالبين وعمدة المفتين: ج 5، ص 294)
Adapun jalan umum maka pemanfaatan aslinya adalah sebagai jalan umum dan diperbolehkan untuk berdiri dan duduk di tempat tersebut dengan tujuan istirahat, mu'amalah (jual beli) dan sejenisnya, asalkan tidak menjadikan sempitnya orang yang lewat baik diizini oleh pemerintah atau tidak, dan dia boleh menaungi tempat duduknya dengan cara yang tidak membahayakan orang yang lewat seperti dengan baju, bariya dan sejenisnya (Raudloh al-Thalibin, 5:294)
Posting Komentar untuk "HUKUM BERJUALAN DI TROTOAR"