Hukum Istri yang Melaporkan Kasus Kekerasan dalam Rumah Tangga

 

Sumber Gambar: pinterest

HUKUM BAGI ISTRI YANG MELAPORKAN KASUS KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

Masalah hukum bagi istri yang melaporkan kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) seringkali kompleks. Dalam Islam perempuan memiliki hak untuk mendapatkan perlindungan dan keadilan. Sedangkan banyak sekali ada kasus kasus kekerasan di dalam rumah tangga atau KDRT yang dialami oleh perempuan dan kebanyakan dari mereka merasa dilema antara melaporkan kasus kekerasan yang dialaminya atau tidak. Hal tersebut kebanyakan dari mereka enggan melaporkan kasus tersebut karena takut terhadap hukum syariah yang tidak membolehkannya seorang istri untuk mengumbar aib suami.

Bagaimana hukum bagi istri yang melaporkan kasus kekerasan dalam rumah tangga ?

BOLEH

Jika menjadi alternatif terakhir untuk menghentikan KDRT dengan tujuan untuk mencapai kemaslahatan dengan tujuan yang sah secara syar’i yang tidak dapat dicapai kecuali dengan gibah.

اِعْلَمْ أَنَّ الْغِيْبَةَ وَإِنْ كَانَتْ مُحَرَّمَةً فَإِنَّهَا تُبَاحُ فِيْ أَحْوَالِ لِلْمَصْلَحَةِ، وَالمُجَوِّزُ لَهَا غَرْضٌ صَحِيْحٌ شَرْعِيٌّ لَا يُمْكِنُ الْوُصُوْلُ إِلَيْهِ إِلَا بِهَا، وَهُوَ أَحَدُ سِتَّةِ أَسْبَابٍ: 

الأولُ: التَّظَلُّمُ، فَيَجُوزُ لِلْمَظْلُومِ أَنْ يَتَظَلَّمَ إِلَى السُّلْطَانِ وَالْقَاضِي وَغَيْرِهِم مِّمَّن لَهُ وِلَايَةٌ أَوْ لَهُ قُدْرَةٌ عَلَى إنْصَافِهِ مِن ظَالِمِهِ، فَيَذْكُرُ أَنَّ فُلانًا ظَلَمَنِي، وَفَعَلَ بِي كَذَا، وَأَخَذَ لِي كَذَا، وَنَحْوَ ذَٰلِكَ.

الثَّانِي: الاِسْتِعَانَةُ عَلَى تَغْيِيرِ الْمُنْكَرِ، وَرَدِّ الْعَاصِي إِلَى الصَّوَابِ، فَيَقُولُ لِمَن يَرْجُو قُدْرَتَهُ عَلَى إِزَالَةِ الْمُنْكَرِ: فُلانٌ يَعْمَلُ كَذَا فَأَزْجُرُهُ عَنْهُ، وَنَحْوَ ذَٰلِكَ؛ وَيَكُونُ مَقْصُودُهُ التَّوَسُّلَ إِلَى إِزَالَةِ الْمُنْكَرِ، فَإِن لَمْ يَقْصِدْ ذَٰلِكَ كَانَ حَرَامًا

الثَّالِثُ: الْاِسْتِفْتَاءُ، بِأَنْ يَقُوْلَ لِلْمُفْتِيْ: ظَلَمَنِيْ أَبِيْ أَوْ أَخِيْ أَوْ فُلَانٌ بِكَذَا، فَهَلْ لَهُ ذَلِكَ أَمْ لَا؟ وَمَا طَرِيْقِيْ فِيْ الْخَلَاصِ مِنْهُ وَتَحْصِيْلِ حَقِّيْ وَدَفْعِ الْظَلْمِ عَنِّيْ وَنَحْوِ ذَلِكَ؟.

وَكَذَلِكَ قَوْلُهُ: زَوْجَتِيْ تَفْعَلُ مَعِيْ كَذَا، أَوْ زَوْجِيْ يَفْعَلُ كَذَا وَنَحْوِ ذَلِكَ، فَهَذَا جَائِزٌ لِلْحَاجَةِ، وَلَكِنْ الْأَحْوَطُ أَنْ يَقُوْلَ: مَا تَقُوْلُ فِيْ رَجُلٍ كَانَ مِنْ أَمْرِهِ كَذَا، أَوْ فِيْ زَوْجٍ أَوْ زَوْجَةٍ تَفْعَلُ كَذَا، وَنَحْوَ ذَلِكَ، فَإِنَّهُ يَحْصُلُ بِهِ الْغَرْضُ مِنْ غَيْرِ تَعْيِيْنٍ، وَمَعَ ذَلِكَ التَّعْيِيْنُ جَائِزٌ لِحَدِيْثِ هِنْدٍ الَّذِيْ سَنَذْكُرُهُ إِنْ شَاءَ الله تَعَالى وَقَوْلُهَا: يَا رَسُوْلُ الله! إِنْ أَبَا سُفْيَانَ رجلٌ شَحِيْحٌ . الحَدِيْثُ. ولَمْ يَنْهَهَا رَسُوْلُ الله ﷺ. (الأذكار النووية: ص٣٠٣)

“Ketahuilah bahwa ghibah meskipun diharamkan, namun ia dibolehkan dalam keadaan tertentu demi maslahat. Dan yang membolehkan ghibah adalah tujuan yang sah secara syar’i yang tidak mungkin dicapai kecuali dengan ghibah tersebut. Dan itu termasuk salah satu dari enam sebab:

Pertama: kedzaliman, maka diperbolehkan bagi orang yang dizalimi untuk mengadu kepada sultan, hakim, dan selain mereka yang memiliki kekuasaan atau kemampuan untuk menegakkan keadilan dari pelaku yang mendzaliminya. Ia menyebutkan bahwa “si Fulan telah menzalimi saya, melakukan ini kepada saya, dan mengambil ini dari saya, dan semacamnya”.

Kedua: Meminta bantuan untuk mengubah kemungkaran dan mengembalikan pelaku maksiat kepada kebenaran. Ia berkata kepada orang yang diharapkan kemampuannya untuk menghilangkan kemungkaran: “si Fulan melakukan ini... maka cegahlah dia dari perbuatan tersebut, dan semacamnya”; dan tujuan utamanya adalah untuk menghilangkan kemungkaran. Jika ia tidak bertujuan menghilangkan kemungkaran, hal tersebut hukumnya haram.

Ketiga: Meminta fatwa, dengan mengatakan kepada mufti: “Ayahku atau saudaraku atau si Fulan telah menzalimi saya dengan ini… apakah dia boleh melakukan itu atau tidak?” Dan bagaimana caraku untuk terbebas darinya, memperoleh hakku, dan menolak kezaliman dariku dan semacamnya?

Begitu juga, perkataan seseorang: Istriku melakukan ini… padaku, atau suamiku melakukan ini… dan semacamnya, maka meminta fatwa diperbolehkan karena ada kepentingan. Namun lebih hati-hati jika ia mengatakan: “Apa pendapatmu tentang seorang lelaki yang perkaranya seperti ini, atau tentang istri atau suami yang melakukan ini, dan semacamnya”, karena dengan demikian tujuan dapat tercapai tanpa penentuan. Dan meskipun demikian, penentuan itu diperbolehkan merujuk kepada hadis Hindun, Hindun berkata: Wahai Rasulullah! Sesungguhnya Abu Sufyan adalah seorang yang pelit…(hadis). Dan Rasulullah ﷺ tidak melarangnya." (al-Adzkar al-Nawawiyah: 303) 


Penulis : Heni Puji Lestari, S.Ag

Perumus : Ust. Alfandi Jaelani, M.T.

Mushohih : Ust. Arief Rahman Hakim, M.Pd.


Daftar Pustaka

al-Nawawi, Abu Zakariya Muhyiddin Yahya Ibn Syarif (W. 676 H), al-Adzkar al-Nawawiyyah: Nurul Ilmi, Surabaya, tanpa tahun.

=================================================================



Posting Komentar untuk "Hukum Istri yang Melaporkan Kasus Kekerasan dalam Rumah Tangga"