Sumber Gambar: harian jogja
HUKUM MELAKSANAKAN HAJI TANPA VISA HAJI (BACKPACKER)
Haji merupakan serangkaian ibadah-ibadah tertentu yang dilaksanakan dengan sengaja datang ke Tanah Haramain (Makkah dan Madinah) yang ada di negara Arab Saudi pada waktu yang telah ditentukan, yaitu pada bulan Dzulhijjah. Perjalanan ke luar negeri harus menggunakan visa, yaitu dokumen resmi yang diterbitkan oleh suatu negara yang memberikan izin kepada seseorang untuk memasuki, tinggal, atau meninggalkan wilayah negara tersebut untuk jangka waktu tertentu. Visa untuk pelaksanaan haji sudah ditentukan oleh pemerintahan Arab Saudi, yaitu dengan menggunakan visa khusus haji. Visa ini merupakan persyaratan mutlak bagi setiap individu yang ingin menunaikan ibadah haji. Sebuah fakta menyatakan, ada seorang petualang sejati bernama Zack yang singgah ke berbagai negara untuk berwisata. Pada suatu perjalanannya yang mana bertepatan dengan bulan Dzulhijjah, dia ingin melaksanakan ibadah haji. Kemudian dia pergi ke negara Arab Saudi untuk melaksanakan ibadah haji menggunakan visa wisata tanpa mendaftar terlebih dahulu sebagai jamaah haji. Yang mana ketentuan dari pemerintah negara Arab Saudi untuk jamaah haji harus menggunakan visa khusus haji.
Bagaimana hukum ibadah haji yang dilaksanakan oleh Zack tanpa menggunakan visa haji tersebut?
Tidak Sah
Menurut Imam Ahmad bin Hambal, haji yang dilaksanakan oleh Zack tersebut tidak sah karena tindakannya tidak mematuhi peraturan pemerintahan. Tidak mematuhi peraturan pemerintahan dalam penggunaan visa haji termasuk dalam kategori melakukan dosa. Dosa tersebut yang menyebabkan tidak sahnya pelaksanaan haji.
Sah
Menurut Imam Abu Hanifah, Imam Malik dan Imam Syafi’i, haji yang dilaksanakan oleh Zack tersebut tetap sah meskipun dengan melakukan dosa yaitu tidak mematuhi peraturan pemerintahan yang harus menggunakan visa haji. Karena menaati peraturan pemerintahan hanya semata-mata pada urusan duniawi saja.
وَمَنْ غَصَبَ مَالًا فَحَجَّ بِهِ أوْ دَابَّةً فَحَجَّ عَلَيْهَا صَحَّ حَجُّهُ وَإنْ كَانَ عَاصِيًا عِنْدَ أبِى حَنِيْفَةَ وَمَالِكٍ وَالشَّافِعِيِّ، وَعَنْ أحْمَدَ أنَّهُ لَا يُجْزِئُهُ الْحَجُّ. ( رحمة الأمة: ٨٢)
“Menurut Imam Abu Hanifah, Imam Malik dan Imam Syafi’i, barang siapa yang mengghosob harta atau kendaraan untuk berhaji maka hajinya sah meskipun berdosa, dan menurut Imam Ahmad bin Hambal, hajinya tersebut tidak mencukupi (tidak sah).” (Rohmah al-Ummah, 82)
وَيَسْقُطُ فَرْضُ مَنْ حَجَّ أَوْ اعْتَمَرَ بِمَالٍ حَرَامٍ كَمَغْصُوبٍ، وَإِنْ كَانَ عَاصِيًا كَمَا فِي الصَّلَاةِ فِي مَغْصُوبٍ أَوْ ثَوْبِ حَرِيرٍ.( حواشي الشرواني على تحفة المحتاج في المنهاج : ج ٤، ص ٣٣)
“Gugur kewajiban orang yang menunaikan ibadah haji atau umrah dengan menggunakan uang yang haram, seperti harta dari hasil ghosob, meskipun dia orang yang berdosa (durhaka), seperti halnya shalat menggunakan perkara dari hasil ghosob atau pakaian dari sutra.” ( Hawasyi al-Syarwani ‘ala Tuhfah al-Muhtaj fi al-Manhaj , 4:33)
Catatan:
Pelaksanaan ibadah haji tanpa dilengkapi visa haji yang sah secara administratif dikategorikan sebagai pelanggaran hukum. Hal ini dikarenakan tindakan tersebut tidak memenuhi prosedur yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Keharusan patuh pada peraturan pemerintah hanya pada urusan duniawi, oleh karena itu, sebagai warga negara yang baik, setiap individu berkewajiban untuk mematuhi segala ketentuan yang berlaku.
فَأوْجَبَ طَاعَةُ أُوْلي الأمْرِ كَمَا أوْجَبَ طَاعَةُ الرَّسُوْلِ ﷺ، فَأيْنَ مَوْضِعَ الإبَانَةِ بَيْنَهُ وَبَيْنَ خَلْقِهِ بِمَا فَرَضَ عَلَيْهِمْ مِنْ طَاعَتِهِ؛ وَعَنْ ذلِكَ ثَلَاثَةُ أُجُوْبَةٍ: أحَدُهَا: أنَّ طَاعَةَ أُولِي الْأَمْرِ مِنْ طَاعَةِ الرَّسُوْلِ لِتُبَايِنَهُمْ عَنْهُ، وَقِيَامَهُمْ مُقَاوَمَةٌ، فَصَارَ هو المَخْصُوْصَ بِهَا دُوْنَهُمْ. وَالثَّانِي: أنَّ طَاعَةَ الرَّسُوْلِ وَاجِبَةٌ فِي أُمُوْرِ الدِّيْنِ وَالدُّنْيَا، وَطَاعَةُ أُولِى الْأَمْرِ مُخْتَصَّةٌ بِأُمُوْرِ الدُّنْيَا دُوْنَ الدِّيْنِ، فَتَمَيَّزَ عَنْهُمْ بِوُجُوْبِ الطَّاعَةِ. وَالثَّالِثُ: أنَّ طَاعَةَ الرَّسُوْلِ بَاقِيَةٌ في أوَامِرِهِ وَنَوَاهِيْهِ إلى قِيَامِ السَّاعَةِ وَطَاعَةَ أُوْلي الأمْرِ مُخْتَصَّةٌ بِمُدَّةِ حَيَاتِهِمْ وَبَقَاءِ نَظْرِهِمْ. فَكَانَ هذا مَوْضِعَ الإبَانَةِ بَيْنَهُ وَبَيْنَهُمْ. (بحر المذهب (في فروع المذهب الشافعي): ج ٩، ص ٨)
“Wajib taat (patuh) terhadap pemimpin sebagaimana wajib taat terhadap Rasulullah SAW. Lalu dimanakah letak penjelasan yang jelas antara Dia (Allah) dan makhluk-Nya tentang apa yang Dia wajibkan atas mereka berupa ketaatan? Dan mengenai hal itu ada tiga pendapat:
Bahwa ketaatan kepada pemimpin (ulil amri) adalah bagian dari ketaatan kepada Rasul, karena mereka mewakili Rasul dan menjalankan tugas yang sama. Namun, ketaatan kepada Rasul memiliki keistimewaan tersendiri karena ia adalah sumber utama perintah.
Bahwa ketaatan kepada Rasul wajib dalam urusan agama dan dunia, sedangkan ketaatan kepada pemimpin hanya terbatas pada urusan dunia saja. Dengan demikian, ketaatan kepada Rasul lebih luas dan mencakup semua aspek kehidupan.
Bahwa ketaatan kepada Rasul bersifat abadi, yaitu berlaku untuk semua perintah dan larangannya hingga hari kiamat. Sementara itu, ketaatan kepada pemimpin hanya berlaku selama mereka masih hidup dan menjalankan tugasnya.”(Bahr al-Madzhab, 9: 8)
Undang-Undang (UU) Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah, terdapat dua jenis visa haji yang legal, yaitu visa haji kuota Indonesia (kuota haji reguler dan haji khusus) dan visa haji Mujamalah (undangan Pemerintah Kerajaan Arab Saudi)
Paragraf 3
Warga Negara Indonesia dengan Visa Haji di Luar Kuota Haji Indonesia
Pasal 17
(1) Visa haji di luar kuota haji Indonesia dilarang digunakan oleh Jemaah Haji.
(2) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan bagi warga negara Indonesia yang
mendapatkan undangan visa haji mujamalah dari pemerintah Kerajaan Arab Saudi untuk melaksanakan Ibadah Haji.
Pasal 18
(1) Visa haji Indonesia terdiri atas: a. visa haji kuota Indonesia; dan b. visa haji mujamalah undangan pemerintah Kerajaan Arab Saudi.
(2) Warga negara Indonesia yang mendapatkan undangan visa haji mujamalah dari pemerintah Kerajaan Arab Saudi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib berangkat melalui PIHK.
(3) PIHK yang memberangkatkan warga negara Indonesia yang mendapatkan undangan visa haji mujamalah dari pemerintah Kerajaan Arab Saudi wajib melapor kepada Menteri.
Aturan baru dari pemerintah Kerajaan Arab Saudi terkait pelaksanaan haji 2024
Vaksinasi dan Verifikasi Kesehatan di Aplikasi Sehati
Wajib Mendapatkan Izin
Wajib Memakai Visa Haji, Haji Tanpa Visa Resmi Tidak Sah
Visa Haji Terbatas untuk Izin Masuk Jeddah, Madinah, dan Makkah
Kartu Nusuk untuk Akses Layanan Haji
Masa Berlaku Paspor Minimal sampai Akhir Dzulhijjah 1445 H
Pelanggar Aturan Haji Kena Denda dan Deportasi
Penulis : Ulfatul Chasanah
Perumus : Ust. M. Faisol, S.Pd.I
Mushohih : Ust. Samuji
Daftar Pustaka
al-‘Utsmani, Shadruddin Muhammad bin Abdurrahman (W. 780 H), Rahmah al-Ummah, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Lebanon, 2020.
al-Syarwani, Syekh Abdul Hamid , Hawasyi al-Syarwani ‘ala Tuhfah al-Muhtaj fi al-Manhaj , Mustafa Muhammad pers, tanpa tahun. Sebanyak 10 jilid.
al-Ruyani, Abu al-Mahasin ‘Abdul Wahid bin Ismail (W. 502 H), Bahr al-Madzhab, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Lebanon, 2009. Sebanyak 14 jilid.
============================================================
============================================================
============================================================
Posting Komentar untuk "HUKUM MELAKSANAKAN HAJI TANPA VISA HAJI (BACKPACKER)"