HUKUM SUMPAH POCONG UNTUK MENGUNGKAP KEBENARAN

 Sumber Gambar: detik.com


HUKUM SUMPAH POCONG UNTUK MENGUNGKAP KEBENARAN

Dalam fiqh, sumpah (qasam) mempunyai aturan dan batasan tersendiri yang mengatur kapan dan bagaimana  sumpah dapat digunakan untuk mendukung suatu pernyataan atau membuktikan kejujuran seseorang. Salah satunya adalah sumpah mubahalah. Mubahalah merupakan sumpah yang diambil ketika dua pihak yang berselisih meminta Allah untuk melaknat pihak yang berbohong. Sumpah ini dilakukan dalam situasi yang sangat serius untuk membuktikan kebenaran suatu pihak dengan berserah diri pada ketetapan ilahi.

Berbeda dengan sumpah mubahalah yang memiliki landasan yang jelas dalam hukum Islam, terdapat beberapa bentuk sumpah lain yang muncul di tengah masyarakat dengan akar tradisi yang lebih kental. Salah satunya adalah sumpah pocong, sebuah praktik yang banyak dikenal di masyarakat Indonesia. Sumpah pocong melibatkan individu yang disumpah dalam kondisi terbungkus kain kafan sebagai simbol keseriusan dan tekad untuk menyatakan kebenaran.

Sumpah pocong merupakan salah satu bentuk sumpah yang dilakukan oleh sebagian masyarakat di Indonesia, khususnya yang berlatar belakang budaya Islam tradisional. Meski praktik sumpah pocong dikenal luas di kalangan masyarakat, namun praktik sumpah pocong sering kali menimbulkan kontroversi dalam perspektif hukum Islam (fiqh), terutama  sebagai metode pengungkapan kebenaran saat menyelesaikan konflik dan permasalahan sosial. Akan tetapi, sumpah pocong lebih berakar pada kepercayaan masyarakat lokal dibandingkan ketentuan hukum Islam, sehingga menimbulkan pertanyaan tentang keabsahannya dari perspektif hukum Islam.

Bagaimana hukum sumpah pocong sebagai metode pengungkapan kebenaran?

Boleh, menurut Kitab Fath al-Mu’in, halaman 664, diperbolehkan menggunakan penguat atas sebuah perkara dalam melaksanakan sumpah baik bagi penuduh maupun yang tertuduh, dengan catatan tetap mengucapkan asma Allah di dalamnya. Penguat sumpah ini berfungsi sebagai bentuk pembebanan tanggung jawab agar orang yang bersumpah lebih berhati-hati dengan ucapannya. Dalam konteks ini, sumpah pocong dapat dipahami sebagai bentuk simbolis dari penguat sumpah, bukan sebagai syarat sah sumpah itu sendiri.

Untuk memposisikan sumpah pocong sebagai hukum yang diperbolehkan, pelaksanaan sumpah pocong harus dilandasi dengan niat yang benar dan dilakukan di bawah pengawasan otoritas yang berkompeten, seperti hakim syar’i. Hal ini bertujuan agar sumpah pocong tetap sejalan dengan maqashid syariah (tujuan utama hukum Islam). Dengan demikian, sumpah pocong hanya berfungsi untuk memperkuat tekad individu dalam menegaskan kejujurannya, sementara yang menjadikan sumpah tersebut sah tetaplah penyebutan nama Allah. Sumpah pocong tidak berdiri sendiri sebagai hukum baru, melainkan hanya sebagai simbol yang bertujuan meningkatkan keseriusan dalam penyampaian kebenaran.

فَرْعٌ : يُسَنُّ تَغْلِيْظُ يَمِيْنِ مِنَ الْمُدَّعِي وَالْمُدَّعَى عَلَيْهِ ، وَإِنْ لَمْ يَطْلُبُهُ الْخَصْمُ فِي نِكَاحٍ وَطَلَاقٍ وَرَجْعَةٍ وَعِتْقٍ وَوَكَالَةٍ ، وَفِي مَالٍ بَلَغَ عِشْرِيْنَ دِيْنَارًا، لَا فِيْمَا دُوْنَ ذَلِكَ ، لِأَنَّهُ حَقِيْرٌ فِي نَظَرِ الشَّرْعِ ؛ نَعَمْ ، لَوْ رَآهُ الْحَاكِمُ لِنَحْوِ جَراءَةِ الْحَالِفِ فَعَلَهُ . والتَّغْلِيْظُ يَكُوْنُ بِالزَّمَانِ ، وَهُوَ بَعْدَ الْعَصْرِ ، وَعَصْرُ الْجُمُعَةِ أَوْلَى ؛ وَبِالْمَكَانِ ، وَهُوَ لِلْمُسْلِمِيْنَ عِنْدَ الْمِنْبَرِ اهـ  (فتح المعين بشرح قرة العين : ص ٦٦٤)

Disunnahkan untuk menguatkan sumpah dari pihak penggugat dan tergugat, meskipun tidak diminta oleh lawan, dalam kasus-kasus seperti pernikahan, talak, rujuk, pembebasan budak, perwakilan, dan dalam kasus harta yang mencapai dua puluh dinar, namun tidak untuk yang kurang dari itu karena dianggap sepele dalam pandangan syariat. Namun, jika hakim melihat perlunya menguatkan sumpah karena keberanian orang yang bersumpah, maka hal tersebut dilakukan. Penguatan sumpah bisa dilakukan dengan memperhatikan waktu, seperti setelah salat Ashar, dan yang lebih utama adalah pada waktu Ashar hari Jumat. Penguatan juga bisa dilakukan berdasarkan tempat, yaitu bagi umat Muslim di hadapan mimbar” (Kitab Fath al-Mu’in bi Syarh Qurroti al-‘Aini, 664).

Catatan: 

Perlu diketahui bahwa tidak boleh bersumpah menggunakan selain nama Allah, karena hal tersebut dianggap sebagai bentuk penyekutuan (syirik) terhadap Allah. Bahkan jika seseorang berniat untuk merendahkan atau menghina Allah dengan menggunakan nama selain-Nya dalam sumpah, maka hal tersebut bisa mengarah pada kekufuran. Tetapi di Indonesia, praktik sumpah pocong sering menekankan simbol kain kafan sebagai filosofi kutukan (kuwalat), yang dapat berpotensi mengalihkan fokus dari prinsip tauhid dan apabila niatnya tidak sesuai dengan syari’at maka hal tersebut tidak sesuai dengan hukum Islam. Dijelaskan dalam Kitab al-Fiqh ‘Ala al-Madzahab al-Arba’ah, juz 2, halaman 71.

لَا يَنْعَقِدُ الْيَمِينُ بِغَيْرِ اللهِ تَعَالَى كَالْحَلْفِ بِالنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَالْكَعْبَةِ، وَجِبْرِيْلَ، وَالْوَلِيِّ وَغَيْرِ ذَلِكَ مِنْ كُلِّ مُعْظَمٍ وَلَا كَفَّارَةً عَلَى الْحِنْثِ فِي الْحَلْفِ بِهِ، وَإِذَا قَصَدَ الْحَالِفُ بِذَلِكَ إِشْرَاكٍ غَيْرَ اللهِ مَعَهُ فِي التَّعْظِيْمِ كَانَ ذَلِكَ شِرْكًا ؛ وَإِذَا قَصَدَ الْاِسْتِهَانَةِ بِالْحَلْفِ بِالنَّبِيِّ وَالرَّسُولِ وَنَحْوِ ذَلِكَ كُفِرَ.أَمَّا إِذَا لَمْ يَقْصِدْ شَيْئًا مِنْ ذَلِكَ بَلْ قَصَدَ الْيَمِيْنَ فَفِيْ حُكْمِهِ تَفْصِيْلُ الْمَذَاهِبِ (الفقه على المذاهب الأربعة : ج ٢، ص ٧١)

Sumpah tidak sah kecuali dengan nama Allah Ta'ala, seperti bersumpah dengan Nabi Muhammad s.a.w, Ka'bah, Jibril, wali, atau selain itu dari segala sesuatu yang dianggap agung. Tidak ada kewajiban kafarat bagi pelanggaran sumpah yang dilakukan dengan selain Allah. Jika orang yang bersumpah berniat untuk menyekutukan selain Allah dalam pengagungan, maka itu adalah syirik. Dan jika dia bermaksud merendahkan dengan bersumpah atas nama Nabi, Rasul, atau yang semisalnya, maka dia kafir. Namun, jika dia tidak berniat demikian, melainkan hanya bermaksud bersumpah, maka hukumnya berbeda menurut rincian mazhab.” (Kitab al-Fiqh ‘Ala al-Madzahab al-Arba’ah, 2 : 71)


Penulis : Yuana Putri Najwa

Perumus : Teguh Pradana, S.P

Mushohih : Gus Muhammad  Agung Shobirin, M.Ag


Daftar Pustaka.

al-Malibari, Zainuddin Ahmad bin Abdu al-Aziz bin Zainuddin bin Ali bin Ahmad Al-Ma'bari Al-Hindi (W. 987 H), Fath al-Mu’in bi Syarh Qurroti al-‘Aini, Daar Ibn Hazm, Beirut, Lebanon : tanpa tahun.

al-Jaziri, Abdu al-Rahman bin Muhammad Awad Al-Jaziri (W. 1360 H), al-Fiqh ‘Ala al-Madzahab al-Arba’ah: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, Beirut, Lebanon : 1424 H - 2003 

====================================


====================================



Posting Komentar untuk "HUKUM SUMPAH POCONG UNTUK MENGUNGKAP KEBENARAN"